tag:blogger.com,1999:blog-3604896913282753952024-03-12T15:37:26.947-07:00USHUL FIQHtantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.comBlogger42125tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-20625752906836546002010-12-31T20:19:00.001-08:002010-12-31T20:19:36.263-08:00URGENSI IJTIHAD DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIAOleh : Erlan Naofal, S.Ag, M.Ag. <br />
<br />
<br />
<br />
A. Pendahuluan <br />
Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan hukum Islam seiring dengan <br />
masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejak saat itu sampai saat ini, Hukum Islam <br />
menjadi hukum yang hidup (living law) dan menjiwai bangsa Indonesia, bukan hanya <br />
pada tataran simbol melainkan juga pada tataran praktis.<br />
2<br />
Dan hal itu berlangsung <br />
ratusan tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda atau Portugis terutama setelah <br />
umat Islam memegang tampuk kekuasaan politik yang ditandai dengan berdirinya <br />
kerajaan muslim di Indonesia seperti Kerajaan Samudera Pasai, Demak, Banten dan <br />
lainnya. <br />
Pada masa reformasi, Hukum Islam diakui sebagai salah satu sub sistem <br />
yang membentuk dan mempengaruhi sistem hukum Nasional disamping sistem <br />
Hukum Adat (adatrecht) dan sistem Hukum Barat.<br />
3<br />
Oleh karena itu hukum Islam <br />
memiliki peran yang cukup signifikan bagi pengembangan dan pembangunan Hukum <br />
Nasional. Muhsin menyebutkan bahwa dari tiga sub sistem hukum Nasional yaitu <br />
sistem hukum Adat, sistem hukum Barat dan sistem hukum Islam, maka sistem <br />
hukum Islam-lah yang memiliki kans yang sangat besar dalam mewarnai dan <br />
mempengaruhi pembentukan hukum Nasional. Hal ini disebabkan sistem hukum <br />
Islam merupakan sistem hukum yang holistik dan lengkap mencakup seluruh aspek <br />
kehidupan manusia. Disamping itu, secara historis dan sosiologis, bangsa Indonesia <br />
tidak bisa dilepaskan dari hukum Islam karena umat Islam merupakan mayoritas <br />
penduduk Indonesia yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari <br />
pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam. Sementara itu hukum Barat sudah tidak <br />
<br />
1<br />
Penulis menyelesaikan Pendidikan SI di Fakultas Syari'ah Jurusan al-Akhwal al-Syahsiyyah IAIC <br />
Cipasung Tasikmalaya pada tahun 2000. sedangkan Pendidikan S2 selesai pada tahun 2006 dari UIN <br />
Sunan Gunung Djati Bandung pada Studi Konsentrasi Hadits dan pernah mondok di Pesantren <br />
Sukahideng Tasikmalaya dari tahun 1992-2000. Pertama berkarir sebagai Calon Hakim pada <br />
Pengadilan Agama Kelas 1-A Subang, Jawa Barat dari tahun 2006-2009. Dan sejak Agustus 2009 <br />
bertugas sebagai Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Kelas 2B Sidikalang, Medan Sumatera <br />
Utara. <br />
2<br />
Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi : Upaya Posititivisasi Hukum Pidana <br />
Islam, dalam Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari, 2009, PPHIM, hal.164-165 <br />
3<br />
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo <br />
Persada, 2006, hal, 66-67 berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sedangkan sistem Hukum Adat juga <br />
tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan Hukum Nasional<br />
4<br />
<br />
Oleh karena itu, pembaruan dan pengembangan hukum Islam bagi umat <br />
Islam Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Hukum Islam memiliki karakteristik <br />
tersendiri yaitu bersifat ta'amul (sempurna), wasathiyah ( harmonis) dan harakah <br />
(dinamis).<br />
5<br />
<br />
Harakah atau dinamis sebagai salah satu karakteristik hukum Islam <br />
mengindikasikan kemampuan hukum Islam dalam mengakomodir, merespon dan <br />
menjawab setiap persoalan baru yang tidak terdapat hukumnya dalam sumber utama <br />
hukum Islam sebagai konsekwensi logis dari perubahan dan kemajuan sosial yang tak <br />
mungkin dielakkan. Hukum Islam elastis dan mampu mengakomodir perubahan-<br />
perubahan kondisi sosial terutama dalam bidang muamalah. Hukum Islam telah <br />
menyiapkan pranata Ijtihad dengan berbagai macam metodenya sebagai sebuah <br />
instrumen penemuan hukum/rechtsvinding dalam hukum Islam. Oleh karena itu <br />
dengan adanya pranata Ijtihad ini, hukum Islam diyakini tidak akan mengalami apa <br />
yang dikenal dengan istilah kekosongan hukum (rechtvacuum). <br />
<br />
B. Perubahan Sosial dan Implikasinya terhadap Pengembangan Hukum. <br />
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, bahkan saking <br />
mulianya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dan ditundukkan <br />
oleh Allah agar dapat dimampaatkan oleh manusia sebagai hamba dan khalifah-Nya.<br />
6<br />
<br />
Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah-Nya, maka Allah <br />
memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya <br />
yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu berkembang dan <br />
mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya baik <br />
dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi. <br />
Kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi <br />
memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan <br />
<br />
4<br />
Muchsin, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, dalam Mimbar <br />
Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari 2009, PPHIMM, hal. 42 <br />
5<br />
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia. sedangkan <br />
Abdul Manan sendiri dalam buku yang sama menyebutkan adanya empat karakter Hukum Islam <br />
yaitu: ketuhanan (rabbaniyah), universal (Syumul), harmonis (wasathiyyah) dan manusiawi (insaniyah) <br />
dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, <br />
h. 95-103 <br />
6<br />
QS. al-Baqarah ayat, 29 manusia baik dampak positip maupun dampak negatip. Dampak positip dari <br />
kemajuan iptek adalah kehidupan semakin serba mudah dan serba cepat (instan) <br />
tetapi di sisi lain juga melahirkan problema dan masalah yang sangat komplek. <br />
Sehingga untuk menjawab dan merespon masalah-masalah tersebut diperlukan hukum <br />
yang akomodatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman. <br />
Dalam kondisi seperti ini, apabila hukum yang ada dan sedang berlaku (ius <br />
Constitutum) tidak mampu memberikan jawaban atas setiap persoalan yang baru, <br />
maka akan ditemukan adanya celah-celah kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang <br />
selanjutnya akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena itu, hukum dituntut <br />
untuk adaptip dan dinamis mengikuti dan menjawab tantangan zaman. Hakim dan <br />
para praktisi yang bergelut di bidang hukum ditantang untuk mampu mengisi <br />
kekosongan tersebut baik dengan cara menemukan ataupun menciptakan hukum. <br />
Hakim, sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya, bukan hanya <br />
menjadi mulut atau corong undang-undang (baouche de lalor), tetapi seorang hakim <br />
juga dituntut harus mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan <br />
hukum (rechtschepping)<br />
7<br />
dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, <br />
tentunya dalam hal ini tanpa mengesampingkan kepastian hukum itu sendiri. <br />
Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum <br />
Islam dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut, <br />
telah tersedia suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad. <br />
<br />
C. Ijtihad suatu upaya Pengembangan Hukum Islam <br />
<br />
Dalam filsafat hukum Islam dikenal adanya term mashadir al-ahkam <br />
(sumber-sumber hukum) yang secara struktural meliputi; al-Qur’an, al-Hadits dan <br />
Ijtihad. Pengakuan atas Ijtihad sebagai suatu sumber hukum didasarkan atas hadits <br />
yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal pada saat diutus oleh Nabi menjadi <br />
Gubernur Syam. Sebelum pengangkatan tersebut ,Nabi melakukan Fit and profertest <br />
untuk menguji kelayakan Muadz dalam menjabat gubernur Syam. Hadits tersebut <br />
berbunyi: <br />
<br />
<br />
7<br />
Bagir Manan, Kata Pengantar dalam Buku Abdul Manan Reformasi Hukum Islam, PT. Raja Grafindo <br />
Persada, 2006, hal. XV اذا ﻰѧﻀﻘﺗ ﻒѧﯿﻛ لﺎѧﻗ ﻦﻤﯿѧﻟا ﻲѧﻟا ﮫѧﺜﻌﺑ ﺎﻤﻟ ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻲﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر نا ﻞﺒﺟ ﻦﺑذﺎﻌﻣ ﻦﻋ<br />
لﺎѧﻗ ﷲا لﻮѧﺳر ﺔﻨѧﺴﺒﻓ لﺎѧﻗ ﷲا بﺎѧﺘﻛ ﻲﻓ ﺪﺠﺗ ﻢﻟ نﺎﻓ لﺎﻗ ﷲا بﺎﺘﻜﺑ ﻰﻀﻗا لﺎﻗ ءﺎﻀﻗ ﻚﻟ ضﺮﻋ<br />
لﺎѧﻗ و هرﺪﺻ ﻰﻠﻋ ﷲا لﻮﺳر بﺮﻀﻓ لﺎﻗ ﻮﻟا ﻻو ﻲﯾأر ﺪﮭﺘﺟا لﺎﻗ ﷲا لﻮﺳر ﺔﻨﺳ ﻲﻓ ﺪﺠﺗ ﻢﻟ نﺎﻓ<br />
ﷲا لﻮﺳر ﻰﺿﺮﯾ ﺎﻤﻟ ﷲا لﻮﺳر لﻮﺳر ﻖﻓو ﷲ ﺪﻤﺤﻟا <br />
8<br />
<br />
<br />
Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika <br />
mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika <br />
diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan <br />
memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak <br />
menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan <br />
sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah <br />
Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan <br />
seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi <br />
Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang <br />
diridhoi oleh Rasulullah.. <br />
Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan eksistensi <br />
ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber <br />
hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad. <br />
Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu dan al-Juhd yang artinya <br />
kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya.<br />
9<br />
Ijtihad <br />
dalam arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai <br />
sesuatu yang diharapkan. <br />
10<br />
Seakar dengan kata ijtihad adalah jihad dan mujahadah. <br />
Dimana ketiga term tersebut pada intinya adalah mencurahkan segenap daya dan <br />
kemampuan dalam rangka menegakkan agama Allah meski lapangannya berbeda. <br />
Ijtihad lebih bersifat upaya sungguh-sungguh yang dilakukan seseorang yang telah <br />
memenuhi persyaratan dengan penalaran dan akalnya dalam rangka mencari dan <br />
menemukan hukum yang tidak ditegaskan secara jelas dalam Alqur'an maupun al-<br />
Hadits dan orang yang melakukan hal tersebut dikenal dengan sebutan mujtahid. Jihad <br />
titik tekannya adalah upaya sungguh-sungguh dengan fisik dan materil dalam <br />
<br />
8<br />
Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Dar al-Qalam, 1978, cet. 12, hal. 21-22; A. Djazuli, Ilmu Fiqh, <br />
Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, cet. 3, h. 61-62 <br />
9<br />
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25, <br />
hal. 217; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet. 8, hal. 92-93 <br />
10<br />
A. Djazuli, op.cit , h. 71 menegakkan kalimah Allah dengan cara-cara dan bentuk-bentuk yang tidak terbatas <br />
dan orangnya dikenal dengan sebutan mujahid. Sedangkan mujahadah menitik <br />
beratkan pada upaya sungguh-sungguh dengan hati dalam melawan dorongan dan <br />
hasrat nafsu agar mau tunduk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi <br />
larangan-Nya, orang yang melakukan hal tersebut seringkali di sebut salik atau murid. <br />
Para ulama mendefinisikan Ijtihad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh <br />
seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu, untuk <br />
merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa) <br />
perkara, yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas baik <br />
dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis. <br />
Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada beberapa kriteria <br />
kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan berijtihad: pertama, <br />
mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alqur'an <br />
dan al-Hadits. Kedua, mengetahui bahasa Arab. Ketiga, mengetahui metodologi qiyas <br />
dengan baik. Keempat, mengetahui nasikh dan mansukh. Kelima, mengetahui kaidah-<br />
kaidah ushul dengan baik dan dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-<br />
rumusan kaidah tersebut. Keenam, mengetahui maqashid al-ahkam.<br />
11<br />
<br />
Ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu yaitu: <br />
pertama, dalil-dalil yang qath'i wurud-nya dhani dalalah-nya. Kedua, dalil-dalil yang <br />
dhani wurud-nya qath'i dalalah-nya. Ketiga, dalil-dalil yang dhanni wurud dan <br />
dalalah-nya. Keempat, terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya.<br />
12<br />
Oleh karena <br />
itu, Ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sudah secara tegas <br />
disebutkan hukumnya oleh dalil-dalil yang qath'i wurud dan dalalah-nya. <br />
Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam <br />
pembaruan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para hukum Islam kecuali <br />
apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut diatas yaitu: pertama, pelaku <br />
pembaharuan hukum Islam adalah orang yang memenuhi kualitas sebagai mujtahid. <br />
Kedua, pembaruan itu dilakukan di tempat-tempat ijtihad yang di benarkan oleh <br />
syara'.<br />
13<br />
<br />
A. Dzajuli menyebutkan ada tiga macam cara yang dapat dilakukan dalam <br />
berijtihad, yaitu: pertama, dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik). <br />
<br />
11<br />
Abdul Manan, op.cit, hal. 162-163 <br />
12<br />
A. Djazuli. Op.cit. hal. 72. <br />
13<br />
Abdul Manan,loc.cit. 162 Kedua, dengan menggunakan kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal, <br />
cabang, hukum asal dan illat hukum. Ketiga, dengan memperhatikan semangat ajaran <br />
Islam atau roh syari'ah. Oleh karena itu, dalam hal ini, kaidah-kaidah kulliyah Ushul <br />
Fiqh, kaidah-kaidah kulliyyah fiqhiyyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan <br />
dalil-dalil kulli sangat menentukan. Dalam hal ini bisa menempuh cara-cara istishlah, <br />
istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan sebagainya. <br />
14<br />
<br />
Dari pemaparan diatas, nampak sekali bahwa ijtihad memiliki peranan yang <br />
sangat besar dalam pembaruan hukum Islam. Pembaruan tidak mungkin dapat <br />
dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya. <br />
Antara pembaruan dan ijtihad ibarat dua sisi mata yang tidak dapat dipisahkan, saling <br />
mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam proses <br />
pembaharuan hukum Islam secara benar, maka hukum-hukum yang dihasilkan dari <br />
proses ijtihad akan benar pula.<br />
15<br />
<br />
<br />
D. Kesimpulan. <br />
<br />
Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan <br />
maupun teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. <br />
Kemajuan tersebut disatu sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi <br />
kehidupan manusia, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan <br />
bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan <br />
tersebut menimbulkan dan melahirkan pelbagai masalah yang cukup komplek. <br />
Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan ketidakstabilan, <br />
ketidaktentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia. <br />
Hukum sebagaimana menurut Rescue Pond adalah instrument untuk <br />
merekayasa sosial (law as a tool of social engenering)<br />
16<br />
agar tercipta kehidupan yang <br />
aman, tertib dan sejahtera terkadang tidak cepat, kurang tanggap bahkan terkadang <br />
keteteran menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat. Hal ini memberikan celah-<br />
celah adanya kekosongan hukum sekaligus memberikan kesempatan, peluang dan <br />
tangtangan bagi orang-orang yang concern terhadap hukum terutama dari kalangan <br />
<br />
14<br />
A. Djazuli, op.cit, bandingkan dengan pendapat Ibrahim Husen yang dikutip oleh Abdul Manan <br />
dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal161-162 <br />
15<br />
Abdul Manan, op.cit. hal. 165. <br />
16<br />
Rifyal Ka'bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Varia Peradilan No. 271 Juni 2008, IKAHI, <br />
Jakarta, hal. 8 hakim dan akademisi untuk mengisi kekosongan tersebut dengan cara menemukan <br />
dan menciptakan hukum. <br />
Hukum Islam sebagai salah satu sub sistem Hukum Nasional di Indonesia <br />
dituntut untuk memberikan kontribusinya dalam menghadapi problem-problem baru <br />
dampak dari kemajuan peradaban manusia tersebut. Khazanah hukum Islam telah <br />
menyiapkan sebuah pranata atau instrumen sebagai solusi permasalahan diatas yang <br />
dikenal dengan term Ijtihad. <br />
Ijtihad adalah upaya sekuat tenaga yang dilakukan oleh ulama yang kompeten <br />
dan kapabel dengan menggunakan nalarnya untuk menemukan hukum atas problem <br />
baru tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam. <br />
Ijtihad dengan berbagai metodenya baik istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz <br />
dzari'ah, istihsan dan lainnya merupakan sebuah instrumen penemuan hukum dalam <br />
tatanan Hukum Islam yang membuktikan kemampuan dan elastisitas Hukum Islam <br />
dalam mengantisipasi perubahan dan kemajuan sosial sehingga dengan adanya <br />
instrumen ijtihad ini, Hukum Islam diharapkan dapat lebih memberikan kontribusinya <br />
dalam pengembangan Hukum Nasional di Indonesia. Oleh karena itu, dalam ruang <br />
pembaruan hukum Islam, Ijtihad perlu dilaksanakan secara terus- menerus guna <br />
mengantisipasi dan mengisi kekosongan hukum terutama pada zaman modern seperti <br />
sekarang dimana perubahan dan kemajuan terjadi dengan sangat pesat.(wallahu 'alam <br />
bis shawab) <br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA <br />
<br />
1. Abdul Wahab Khallaf, 'Ilmu Ushul al-Fiqh, Darul Qalam, th. 1978 <br />
2. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII <br />
Juni 2008, Jakarta, IKAHI . <br />
3. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo <br />
Persada, Jakarta, 2006 <br />
4. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja <br />
Grafindo Persada, Jakarta, 2006. <br />
5. A. Djazuli, Ilmu Fiqh Peenggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum <br />
Islam, Kencana Prenada Media Grouf, Jakarta, 2005, Edisi Revisi, cet. 5 6. Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi: Upaya Positivisasi <br />
Hukum Pidana Islam, dalam Mimbar Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta PPHIM. <br />
Muchsin, Kontribusi Hukum Islam terhadap Perkembangan Hukum Nasional, Mimbar <br />
Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta, PPHIMM. tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-35757683690035991392010-12-31T20:18:00.001-08:002010-12-31T20:18:30.662-08:00ISTILAH-ISTILAH PENTING DALAM ILMU SYARI'AH (1 )By ADYA RANAU<br />
email: Adya21thranau@yahoo.com<br />
UNIVERSITAS SRIWIJAYA<br />
<br />
"AD DAHRIYAH" Artinya:<<Kelompok yang beranggapan bahwa kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia<br />
saja,dan tidak ada kehidupan setelah itu.Dan yamg membinasakan tidak lain adalah ad dahr, sang waktu itu sendiri.>><br />
"AHLI KITAB" Artinya:<<Orang-orang Yahudi dan Nasrani.>><br />
<br />
"AHLUL HADITS" Artinya:<<Orang-orang yang menjadikan hadits-hadits Rasulullah sebagai salah satu sumber<br />
penerimaan Aqidah Islam yang benar,baik ia seorang ulama hadits,ulama fiqh,ulama ushul fiqh,orang-orang zuhud atau<br />
lainnya.>><br />
"AHLUR RA'YI" Artinya:<<Orang-orang yang lebih mengandalkan akal pikiran dalam menentukan hukum atas nash-nash<br />
AL-QUR'AN dan hadits.>><br />
"AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH" Artinya:<<Orang-orang yang mengikuti Aqidah Islam yang benar,komitmen dengan<br />
manhaj Rasulullah bersama para sahabat,tabi'in dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari<br />
kiamat.><br />
"AL QODARIYAH" Artinya:<< Salah satu ajaran teolog dalam agama Islam yang menafikan takdir ALLAH.Mereka<br />
menganggap bahwa segala perbuatan hamba bersumber dari kemampuan dirinya sendiri dan bukan berasal dari takdir<br />
ataupun kehendak ALLAH. Ajaran ini terpengaruh oleh filsafat orang-orang Yunani.Pendirinya adalah mantan nasrani<br />
bernama Susiah.Ibnu Umar mengomentari mereka dengan berkata:"Majusinya umat ini adalah Al-Qodariyah,kalau mereka<br />
sakit jangan dijenguk dan kalau mereka mati jangan dilayat".>><br />
"ANSHAR" Artinya:<< Sahabat-sahabat Rasulullah yang tinggal di Madinah yang menyambut dan memberi pertolongan<br />
kepada beliau dan para sahabatnya yang berhijrah dari Mekah ke Madinah.>><br />
"ARSY " Artinya:<< Singgasana di mana ALLAH bersemayam di atasnya.Singgasana yang berbeda dengan Singgasana<br />
raja-raja dunia.>> <br />
"ASY'ARIYAH " Artinya:<<Salah satu sekte dalam agama Islam yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy'ariy,walaupun<br />
kemudian di akhir-akhir hayatnya lebih condong dan membela ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah.Mereka lebih<br />
mengedepankan akal atas dalil naqli ketika terjadi pertentangan.Tidak memakai hadits ahad dalam menetapkan Aqidah<br />
sementara hadits hadits mutawatir mereka takwilkan ke makna lain. Di antara imam-imam mereka yang terkenal seperti;Abu<br />
Bakar Al Baqillani, Abu Ishak Al Isfirayaini,Abu Hamid Al Gazali,Fakhrurrozi dll.>> <br />
"ATSAR" Artinya:<<Apa-apa yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi'in,atau kepada Nabi bila diikuti oleh<br />
penyebutan kata Nabi, Contoh:"Dalam atsar dari Nabi....">><br />
"AZALIY" Artinya:<<Ketetapan yang telah ada sejak dahulu kala.>> "BAHIIRAH" Artinya:<<Onta betina yang telah beranak lima kali dan yang kelima adalah jantan,lalu telinga onta betina itu<br />
dibelah lalu dilepaskan,hal itu dibuat sebagai tanda yang dikenal oleh orang-orang Arab agar mereka tidak menunggangi<br />
atau membebaninya dengan barang bawaan.>><br />
"BID'AH" Artinya:<< Bid'ah secara bahasa,berarti menciptakan sesuatu tanpa didahului sebuah contoh atau bermakna<br />
menemukan sebuah metode atau cara yang sebelumnya belum pernah ada.Dalam hal ini di klasifikasikan menjadi dua<br />
bagian:*PERTAMA* Penemuan cara baru yang berhubungan dengan adat (kebiasaan) yang bersifat duniawi,seperti halnya<br />
penemuan-penemuan modern,dan ini hukumnya mubah (boleh).Sebab pada dasarnya hukum kebiasaan (adat) itu adalah<br />
boleh.*KEDUA* Membuat cara baru yang berhubungan dengan agama,hal ini hukumnya haram,sebab pada dasarnya ajaran<br />
agama ini,bersifat tuqifiy (memutuskan suatu hukum hanya berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Rasul ). <br />
"DALIL AQLIY" Artinya:<<Dalil-dalil yang merujuk kepada nalar (akal ).>><br />
"DALIL NAQLIY" Artinya:<< Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah.>><br />
"FILSAFAT" Artinya:<<Berasal dari kata Yunani,yang bermakna ahli hikmah. dan dalam ruang lingkup pengetahuan<br />
filsafat ada jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap<br />
dasar-dasar keputusan,hipotesa-hipotesa dan kepercayaan.Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat bersifat mengakar<br />
(radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh dari A sampai Z, mencari yang sedalam-dalamnya sehingga<br />
melintasi dimensi fisik dan tehnik.Obyek penelitiannya adalah segala yang ada dan yang mungkin ada,baik 'ada yang umum<br />
(ontologi ) maupun ada yang khusus atau mutlak (Tuhan ).Atau dengan kata lain obyek penelitian filsafat mencakup<br />
pembahasan-pembahasan logika,estetika,etika,politik, dan metafisika.Sedang filosof (ahli filsafat ) menurut Aristoteles lebih<br />
tinggi kedudukannya dari seorang nabi,karena nabi menurutnya,mendapatkan pengetahuan melalui khayalan sedang filosof<br />
mendapatkan pengetahuan melalui akal dan pengamatan. <br />
"FITRAH" Artinya:<< Fitrah,kesucian,asal penciptaan.>> <br />
"HADITS AHAD " Artinya:<< Hadits-hadits yang tidak sampai pada derajat mutawatir.>><br />
"HADITS DHOIF" Artinya:<< hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hasan.>><br />
"HADITS MARFU" Artinya:<<Sesuatu yang disandarkan pada diri Rasulullah berupa perkataan,perbuatan,persetujuan<br />
atau sifat;akhlak dan bentuk fisiknya.>><br />
"HADITS MAUDHU " Artinya:<<Dalam sanadnya terdapat orang-orang pendusta.>><br />
"HADITS MAUQUF" Artinya:<<Ucapan yang disandarkan kepada salah seorang sahabat dan belum sampai pada derajat<br />
marfu.>><br />
"HADITS MU'ALLAQ" Artinya:<<Hadits yang sanad pertamanya atau seluruhnya terhapus.>><br />
"HADITS MUTAWATIR " Artinya:<<Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang,yang menurut kebiasaan tidak mungkin<br />
mereka bersepakat untuk berbohong,dari sanad pertama hingga sanad terakhir.Sebagai contoh adalah hadits Nabi; [Barang<br />
siapa berbohong atas namaku,maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka.] Hadits ini diriwayatkan<br />
oleh 60 orang sahabat,diantaranya 10 orang yang dijanjikan masuk surga,dan dari mereka hadits ini diriwayatkan oleh<br />
banyak orang.>> <br />
"HADITS NABI" Artinya:<<Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan,perbuatan,persetujuan atau sifat<br />
yang bisa menetapkan hukum yang bersifat wajib (zakat ),sunnah (siwak),haram (arak,judi,emas bagi laki-laki ),makruh<br />
(makan bawang sebelum shalat ) dan mubah (makan dan minum ). <br />
"HADITS QUDSI" Artinya:<<Apa yang diriwayatkan oleh Rasulullah dari ALLAH,atau hadits yang maknanya dari ALLAHdan lafaznya dari Rasulullah.>><br />
"IJMA" Artinya:<< Salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an dan sunnah yang bermakna kesepakatan (consesus<br />
) seluruh ulama mujtahid pada suatu masalah tertentu yang terjadi di suatu zaman setelah wafatnya Rasulullah berdasarkan<br />
firman ALLAH dalam surah An Nisa: 115.>><br />
"KURAFAT" Artinya:<< Cerita atau kisah yang tidak di dukung oleh dalil yang benar,bahkan cenderung dibuat-buat,yang<br />
dengan mempercayainya maka hal tersebut dapat mengotori Aqidah orang beriman. >><br />
"LAUH MAHFUZH " Artinya:<<Kitab ketetapan,dimana ALLAH telah menulisakan dan menetapkan di dalamnya segala hal<br />
yang telah dan akan terjadi.>><br />
"MANHAJ " Artinya:<< Jalan,metode,cara atau sekumpulan dasar-dasar atau prinsip-prinsip yang dihimpun untuk<br />
mengatur dan mengendalikan pendapat dan jalan hidup,serta untuk menetapkan hukum dan mengambil sikap.>><br />
"MAZHAB" Artinya:<<Secara bahasa bermakna jalan yang dilewati atau ditempuh,yang secara istilah bermakna jalan atau<br />
cara yang telah digarisakan oleh seseorang atau sekelompok orang,baik dalam maslah keyakinan,prilaku,hukum atau<br />
lainnya.>> <br />
"MAZHAB HANAFI" Artinya:<<Mazhab yang dinisbatkan kepada pendirinya,Imam Abu Hanifah ( 80-150,H )Mazhab ini<br />
banyak tersebar di Afganistan,Pakistan,India,Mesir dan negara-negara Asia pada umumnya.Mereka menetapkan hukum<br />
dengan merujuk kepada Al-Qur'an,Sunnah Nabi,Ijma (kesepakatan ulama ),Qiyash (analogi ),Istihsan (memandang baik ),Urf<br />
(adat kebiasaan ),pendapat sahabat dan syariat sebelum masa Rasulullah.>><br />
"MAZHAB HANBALI" Artinya:<<Mazhab ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (164-241.H )<br />
Banyak tersebar di Jazirah Arabia,di daratan Mesir dan Damaskus (Syiria ).Ladasan mazhabnya adalah nash<br />
Al-Qur'an,Sunnah Nabi dan Fatwah Sahabat,Mendahulukan penggunaan hadits mursal dan hasan atas qiyas,kalau hal itu<br />
semua tidak ada baru menggunakan qiyas.>><br />
"MAZHAB MALIK" Artinya:<<Mazhab yang dinisbatkan kepada Imam Malik bin Anas (93- 179.H ), banyak tersebar di<br />
daratan Mesir,Maroko dan Sudan.Landasan mazhabnya adalah Al-Qur'an,Sunnah Nabi, Ijma,Qiyas, Mashalih Mursalah dan<br />
Amalan penduduk Madinah.>> <br />
"MAZHAB SYAFI'I" Artinya:<<Mazhab yang dinisbatkan kepada Imam Syafi'i Muhammad bin Idris (150-240.H ) Banyak<br />
tersebar di sebagian Mesir,Palestina,Hadramaut (Yaman ),Irak,Pakistan,Saudi Arabia dan dianut oleh mayoritas penduduk<br />
Indonesia,Malaysia,Brunai Darusalam dan disekitar Asia Tenggara.Landasan mazhabnya Al-Qur'an,Sunnah Nabi,Ijma' dan<br />
Qiyas.<br />
**************************Sekian dulu nanti disambung lagi.,,*****<br />
SEMOGA BERMANFAAT BUAT KITA DALAM MENINGKATKAN IMAN DAN TAKWA*************WABILLAHI TAUFIK WAL<br />
HIDAYAH,WASSALAMU'ALAIKUM WA RROHMATULLAHI WA BAROKAATUH........Salam ukhuwah.<br />
<br />
sumber :Catatan Ummu Marwantantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-7445304984675537342010-12-31T20:16:00.001-08:002010-12-31T20:16:23.261-08:00Kedudukan As-Sunnah dalam IslamJudul Asli : Manziilatus-Sunnah fil-Islaam <br />
<br />
Judul Terjemahan : Kedudukan As-Sunnah dalam Islam <br />
<br />
Penulis : Syaikh Muhammad Naashiruddin <br />
Al-Albani v <br />
<br />
Alih Bahasa : Abu Al-Jauzaa' <br />
<br />
Desain Sampul : MRM Graph <br />
<br />
<br />
<br />
Disebarluaskan melalui: <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Website: <br />
http://www.raudhatulmuhibbin.org <br />
e-Mail: redaksi@raudhatulmuhibbin.org <br />
<br />
<br />
April, 2009 <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Buku ini adalah online e-Book dari Maktabah <br />
Raudhah al Muhibbin yang disalin kembali <br />
dari situs http://abul-jauzaa.blogspot.com. <br />
Diperbolehkan untuk menyebarluaskannya <br />
dalam bentuk apapun, selama tidak untuk <br />
tujuan komersil Catatan Maktabah <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam <br />
tercurah kepada Nabi Muhammad , keluarganya, para <br />
sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka <br />
dengan baik hingga hari kiamat. <br />
<br />
Beberapa waktu yang lalu kami bermaksud untuk <br />
menterjemahkan risalah ini: Manzilatus Sunnah fil Islam, <br />
namun kemudian kami menemukan risalah tersebut telah <br />
diterjemahkan dan dipublikasikan oleh Al-Akh Abu <br />
Jauzaa melalui blog pribadinya. Oleh sebab itu kami <br />
kemudian menyalinnya kembali, dengan menambahkan <br />
beberapa bagian yang tidak terdapat pada terjemahan, <br />
yang kami dapati terdapat pada teks bahasa Arab dan <br />
terjemahan bahasa Inggris yang ada pada kami, <br />
khususnya pada halaman 23, mulai dari perkataan <br />
Syaikh Albani v “saya telah memulai...dst” sampai <br />
dengan penyebutkan lima kitab fiqih yang beliau telaah. <br />
Selain itu juga kami menambahkan teks Al-Qur’an dan <br />
beberapa hadits, dan beberapa sub judul. <br />
<br />
Semoga Allah memberikan manfaat melalui eBook ini <br />
bagi kita sekalian untuk senantiasa berpegang teguh <br />
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman <br />
Salaful Ummah. <br />
<br />
<br />
Maktabah Raudhah al-Muhibbin <br />
http://www.raudhatulmuhibbin.org <br />
mailto: redaksi@raudhatulmuhibbin.org <br />
<br />
Daftar Isi <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pendahuluan.......................................................... 1 <br />
<br />
Kedudukan As-Sunnah dalam Islam..................... 1 <br />
<br />
Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an......... 4 <br />
<br />
Pentingnya As-Sunnah untuk Memahami <br />
Al-Qur’an dan Contoh-Contohnya ...................... 7 <br />
<br />
Kesesatan Para Pengingkar Sunnah ..................... 15 <br />
<br />
Tidak Cukup Pengertian Bahasa Saja <br />
untuk Memahami Al-Qur’an ............................... 19 <br />
<br />
Peringatan............................................................. 22 <br />
<br />
Kelemahan Hadits Mu’adz tentang Ra’yu <br />
dan Apa-Apa yang Diingkari Darinya ................. 24<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
1 <br />
Pendahuluan <br />
<br />
<br />
! " <br />
<br />
# $% . <br />
'<br />
: <br />
<br />
Ini merupakan muhadlarah yang pernah aku (Asy-Syaikh <br />
Al-Albani v) sampaikan di kota Dauhah ibu kota <br />
Qatar, pada bulan Ramadlan tahun 1392 H. Namun <br />
sebagian ikhwan meminta kepadaku agar ceramah <br />
tersebut ditulis menjadi sebuah buku; karena muhadlarah <br />
tersebut mengandung banyak faedah yang penting. <br />
<br />
Maka akupun memenuhi permintaan tersebut untuk <br />
menyebarkan manfaatnya. Sebagai peringatan, aku <br />
tambahkan pula sebagian judul untuk membantu <br />
pembaca dalam memahami inti permasalahan setiap <br />
pembahasannya. Aku berharap Allah agar mencatatku <br />
termasuk orang yang membela agama-Nya, membela <br />
syari’at-Nya, serta menuliskan pahala untukku. Dia <br />
adalah semulia-mulianya tempat meminta. <br />
<br />
<br />
Kedudukan As-Sunnah dalam Islam <br />
<br />
Segala puji bagi Allah, kami memuji, meminta <br />
pertolongan, meminta ampun serta meminta <br />
perlindungan kepada-Nya dari kejelekan jiwa-jiwa dan Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
2 <br />
amal perbuatan kami. Barangsiapa yang telah diberi <br />
petunjuk oleh Allah, tidak ada yang bisa <br />
menyesatkannya. Dan barangsiapa yang telah disesatkan <br />
oleh Allah, tidak ada yang bisa memberi petunjuk. Aku <br />
bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhaq untuk <br />
disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu <br />
bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah <br />
utusan-Nya. <br />
<br />
Allah berfirman : <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
! <br />
" ! #$ % &' <br />
<br />
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada <br />
Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah <br />
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan <br />
beragama Islam.” (QS. Al Imran [3]: 102). <br />
<br />
() * ' + % , <br />
- . % , / 0 <br />
1 (2 3 <br />
4 5 6 7 4 8 0 ! # 9 / 8# : # <br />
- <br />
; $ ' <br />
#0<= / " ; $ . " > 4 ?@ A 0 #% ,#@ B " 7 <br />
<br />
”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu <br />
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari <br />
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada <br />
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
3 <br />
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah <br />
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling <br />
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan <br />
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan <br />
mengawasi kamu.” [QS. An-Nisaa’ [4] : 1]. <br />
<br />
4 3 3 C 4 # A A <br />
#D #E <br />
#F G #% , / ' H #% , #I *#J #% , !#B #% , C 0 <br />
4 !@ K B 4 :# L : L #3 <br />
L <br />
<br />
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu <br />
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, <br />
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu <br />
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa <br />
menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia <br />
telah mendapat kemenangan yang besar” (QS. Al-<br />
Ahzaab [33] : 70-71). <br />
<br />
Amma ba’du <br />
<br />
Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah <br />
Kitabullah, dan petunjuk yang paling baik adalah <br />
petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. <br />
Adapun perkara yang paling jelek adalah perkara yang <br />
diada-adakan, dan semua perkara yang diada-adakan <br />
adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah itu sesat, dan <br />
semua kesesatan itu di neraka. Dan setelah itu : <br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
4 <br />
Aku telah mempunyai perkiraan bahwa aku tidak akan <br />
bisa membawakan materi yang asing dalam acara ini, <br />
apalagi di sini banyak ulama dan ustadz yang <br />
terpandang. Kalau benar perkiraanku ini, cukuplah <br />
perkataanku ini sebagai pengingat, mengamalkan firman <br />
Allah : <br />
M #N ! F * O I 7P " Q L #IP7 H <br />
<br />
”Berilah peringatan, karena peringatan itu akan <br />
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz-<br />
Dzaariyaat [51] : 55). <br />
<br />
Ceramahku di malam bulan Ramadlan yang mulia ini <br />
tidak berkaitan dengan masalah keutamaan puasa, <br />
keutamaan shalat tarawih, atau yang lainnya, seperti <br />
yang biasa disampaikan oleh para penasihat dan <br />
pembimbing lainnya. Sehingga bisa memberikan <br />
manfaat bagi orang yang menjalankan puasa, dan <br />
menghasilkan kebaikan dan barakah bagi mereka. <br />
<br />
Namun tema yang aku pilih dalam pertemuan ini adalah <br />
masalah yang sangat penting, karena merupakan salah <br />
satu pokok syari’at yang mulia, yaitu penjelasan <br />
pentingnya As-Sunnah dalam syari’at Islam. <br />
<br />
<br />
Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an <br />
<br />
Kita semua mengetahui bahwa Allah tabaaraka wa ta’ala <br />
telah memilih Muhammad dengan nubuwwah, <br />
memuliakannya dengan risalah, menurunkan kepadanya Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
5 <br />
kitab-Nya Al-Qur’an Al-Karim dan memerintahkannya <br />
untuk menerangkan kepada manusia. Allah ta’ala <br />
berfirman : <br />
<br />
R' I / R S +@ ? / +@ ? & I 7P T#@ U+R ' 1 <br />
#% #@ <br />
<br />
”Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu <br />
menerangkan pada umat manusia apa yang telah <br />
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka <br />
memikirkan” (QS. An-Nahl [16]: 44). <br />
<br />
Menurut pandanganku (Asy-Syaikh Al-Albani), Al-<br />
Bayan (penjelasan) yang disebutkan dalam ayat ini <br />
mencakup 2 macam penjelasan : <br />
<br />
Pertama, penjelasan lafadh dan susunannya, yaitu <br />
penyampaian Al-Qur’an tidak menyembunyikannya dan <br />
menyampaikan kepada umat, sebagaimana Allah ta’ala <br />
menurunkannya kepada beliau . Inilah yang dimaksud <br />
dengan firman Allah ta’ala : <br />
<br />
T+/ 0 T#@ U R' VP / U C I <br />
<br />
”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan <br />
kepadamu dari Tuhanmu …” (QS. Al-Maaidah [5] : 67) <br />
<br />
Telah berkata Sayyidah ‘Aisyah x dalam haditsnya : <br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
6 <br />
”Barangsiapa yang mengatakan kepada kalian bahwa <br />
Muhammad menyembunyikan perkara yang dia <br />
perintahkan untuk menyampaikannya, berarti ia telah <br />
berbuat kedustaan yang besar kepada Allah”. Kemudian <br />
beliau membaca ayat tersebut". [Diriwayatkan oleh <br />
Bukhari dan Muslim]. <br />
<br />
Dalam riwayat Muslim: “Kalaulah Rasulullah <br />
menyembunyikan suatu perkara yang diperintahkan <br />
untuk disampaikan, sungguh dia akan menyembunyikan <br />
firman Allah ta’ala : <br />
W#' #@ B % W#' . U <br />
H #@ B X#! #T $# <br />
T $ * ' Y L Y *#Z <br />
T 8# : T#@ B 3#? <br />
[ \#Z " <br />
1 ] \#Z <br />
<br />
”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang <br />
Allah telah melimpahkan ni'mat kepadanya dan kamu <br />
(juga) telah memberi ni'mat kepadanya: "Tahanlah terus <br />
isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu <br />
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan <br />
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang <br />
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” <br />
(QS. Al-Ahzab [33] : 37) <br />
<br />
Kedua, Penjelasan makna lafadh atau kalimat atau ayat <br />
yang ummat ini membutuhkan penjelasan. Yang <br />
demikian ini banyak dalam ayat-ayat yang mujmal <br />
(global), ammah (umum), atau muthlaq. Maka datanglah <br />
As-Sunnah menjelaskan yang mujmal, mengkhususkan Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
7 <br />
yang umum, dan membatasi yang muthlaq. Yang <br />
demikian ini semuanya terjadi dengan perkataan beliau <br />
sebagaimana terjadi pula dengan perbuatan dan taqrir <br />
beliau. <br />
<br />
Pentingnya As-Sunnah untuk Memahami <br />
Al-Qur’an dan Contoh-Contohnya <br />
<br />
<br />
Firman Allah ta’ala : <br />
<br />
! 3# W G A L ^ A 0 $ _ 0 $ <br />
<br />
”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, <br />
potonglah tangan keduanya...” (QS. Al-Maidah [5] : 38). <br />
<br />
Ayat ini merupakan contoh yang baik dalam masalah ini, <br />
karena kata pencuri dalam ayat ini bersifat muthlaq. <br />
Demikian pula dengan tangan. Jadi, sunnah qauliyah <br />
menerangkan yang pertama (yaitu pencuri) dengan <br />
membatasi pencuri yang mencuri ¼ dinar dengan sabda <br />
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
”Tidak dipotong tangan kecuali mencapai ¼ dinar atau <br />
lebih” [Diriwayatkan oleh Al- Bukhari dan Muslim]. <br />
<br />
Sebagaimana sunnah menerangkan maksud “tangan” <br />
dengan perbuatan beliau , perbuatan shahabatnya, dan Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
8 <br />
ijma’ bahwa mereka dahulu memotong tangan pencuri <br />
pada batas pergelangan, sebagaimana telah dikenal <br />
dalam kitab-kitab hadits. <br />
<br />
Demikian pula ketika sunnah qauliyyah menerangkan <br />
ayat tentang tayamum : <br />
<br />
% , 3# #% , ` 8 / a $# L <br />
<br />
”Sapulah mukamu dan tanganmu ...” (QS. Al-Maidah [5] <br />
: 6). <br />
<br />
Maksud tangan di sini adalah telapak tangan. Hal itu <br />
berdasarkan pada sabda beliau : <br />
!"# <br />
”Tayamum itu dengan mengusap wajah dan kedua <br />
telapak tangan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, <br />
dan selain keduanya dari hadits ‘Ammar bin Yaasir ]. <br />
<br />
Demikian pula sebagian ayat-ayat yang lain tidak <br />
mungkin dipahami dengan pemahaman yang benar <br />
sesuai dengan keinginan Allah ta’ala kecuali dari jalan <br />
Sunnah seperti : <br />
<br />
1.Firman Allah ta’ala : <br />
<br />
? #% % T bc # (% K / % ' d $ # <= <br />
" 3 &# % ` Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
9 <br />
<br />
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-<br />
adukkan iman mereka dengan kedhaliman (syirik), <br />
mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan <br />
keamanan dan mereka itu adalah orang-orangyang <br />
mendapatkan petunjuk” (QS. Al-An’am [6] : 82). <br />
<br />
Para shahabat Nabi telah memahami perkataan beliau, <br />
yaitu adz-dzulm ( ا) secara umum yang mencakup <br />
segala macam bentuk kedhaliman walaupun kecil. Oleh <br />
karena itu ayat ini menjadi berat bagi mereka, sehingga <br />
mereka berkata : <br />
<br />
“Ya Rasulullah, siapa di antara kami yang tidak <br />
mencampur keimanannya dengan kedhaliman ?”. Maka <br />
Rasulullah menjawab : <br />
<br />
”Tidak demikian yang dimaksud ! Tetapi yang dimaksud <br />
dengan adz-dzulm (kedhaliman) di sini adalah syirik. <br />
Tidakkah kalian menyimak perkataan Luqman : <br />
“Sesungguhnya syirik itu adalah kedhaliman yang besar” <br />
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya]. <br />
<br />
2. Firman Allah ta’ala : <br />
<br />
<br />
" ef 8 #% ,#@ B )#@ L g#0<= Y L #% &#/ I h H I E<br />
" I * 7 % , & * " #% & * - " 2 i E I L , <br />
4 @ ? 4 j 3 B #% , ' 7 <br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
10 <br />
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka <br />
tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika <br />
kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. <br />
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang <br />
nyata bagimu” (QS. An-Nisaa’ [4] : 101). <br />
<br />
Dhahir ayat ini menghendaki dikerjakannya shalat <br />
qashar dalam safar itu dengan syarat adanya perasaan <br />
takut. Oleh karena itu shahabat Rasulullah bertanya <br />
kepadanya: “Apakah kita mengqashar padahal telah <br />
aman?” Rasulullah : <br />
<br />
“Ini adalah shadaqah, Allah bershadaqah dengannya <br />
kepada kalian, maka terimalah shadaqah-Nya”. <br />
<br />
3. Firman Allah ta’ala : <br />
<br />
#a > 3 ^ &#@ ! % ,#@ B #X +I I R# Z % <br />
<br />
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah …” <br />
[QS. Al-Maidah : 3]. <br />
<br />
As-Sunnah menerangkan bahwa bangkai yang halal <br />
adalah bangkai belalang dan ikan. Sedangkan hati dan <br />
limpa termasuk darahyang halal. Rasulullah bersabda: <br />
<br />
”Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, yaitu : <br />
bangkai belalang dan ikan (semua jenis ikan) serta hati <br />
dan limpa” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi secara marfu’ <br />
dan mauquf. Adapun hadits yang bersanad mauquf <br />
adalah shahih yang dihukumi dengan marfu’. Hal Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
11 <br />
tersebut dikarenakan bahwa perkataan tersebut tidak <br />
mungkin diucapkan hanya berdasarkan ra’yu semata]. <br />
<br />
<br />
4. Firman Allah ta’ala : <br />
<br />
! W G (% B k ] B 4 I a Y Y # Y L 3 8 l A <br />
(I m - %#a # 4 *#$ 4 n # 4^ &#@ " , " e)#8 0 ' Q L<br />
I G#h ! L / I#@ J l ` 4 <br />
#$ L # (n B (o / I#@ p<br />
" Q L e%@ 0 e0 * p T / 0 <br />
<br />
”Katakanlah : “Tiada aku peroleh dalam wahyu yang <br />
diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi <br />
orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan <br />
itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, <br />
karena sesungguhnya semua itu kotor. Atau binatang <br />
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa <br />
yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak <br />
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, <br />
maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi <br />
Maha Penyayang” (QS. Al-An’am [6] : 145). <br />
<br />
Kemudian datanglah Sunnah yang mengharamkan <br />
sesuatu yang tidak disebut dalam ayat ini seperti sabda <br />
beliau : <br />
<br />
”Setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung <br />
yang berkuku pencakar tajam adalah haram”. Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
12 <br />
Dalam bab ini ada hadits-hadits lain yang melarang dari <br />
hal selain itu seperti sabda Rasulullah pada waktu <br />
perang Khaibar : <br />
<br />
”Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari (memakan) <br />
himar yang jinak karena rijs (kotor)” [Diriwayatkan oleh <br />
Al-Bukhari dan Muslim]. <br />
<br />
<br />
5. Firman Allah ta’ala : <br />
<br />
S ?+@ G [ n ? W q I#- Y & ^ : > I # l A <br />
_#:+I <br />
<br />
”Katakanlah : Siapa yang telah mengharamkan perhiasan <br />
dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-<br />
hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) <br />
rizki yng baik?” (QS. Al-A’raf [7]: 32). <br />
<br />
As-Sunnah menerangkan pula bahwa ada zinah <br />
(perhiasan) yang haram. Telah shahih dari Nabi <br />
bahwa beliau pada suatu hari keluar menuju salah <br />
seorang shahabat yang pada salah satu tangannya ada <br />
sutera dan di tangan lainnya ada emas. Kemudian beliau <br />
bersabda : <br />
$%& "'( )#<br />
* + , -. / 01 23 4+ <br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
13 <br />
”Kedua hal ini (sutera dan emas) haram bagi laki-laki <br />
umatku dan halal bagi para wanitanya” [Diriwayatkan <br />
oleh Al-Hakim dan beliau menshahihkannya]. <br />
<br />
Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak dan <br />
ma’ruf, baik dalam Shahihain ataupun selainnya. Dan <br />
banyak lagi contoh-contoh lain yang dikenal di kalangan <br />
ahlul-‘ilmi tentang hadits dan fiqh. <br />
<br />
Dari uraian di atas menjadi jelaslah bagi kita tentang <br />
pentingnya Sunnah dalam syari’at Islam. Karena jika <br />
kembali melihat contoh-contoh di atas, terlebih lagi dari <br />
contoh lain yang tidak disebutkan, kita akan yakin <br />
bahwasannya tidak ada jalan untuk memahami Al-<br />
Qur’an dengan pemahaman benar kecuali dengan <br />
diiringi As-Sunnah. Contoh yang pertama, pemahaman <br />
para shahabat dari kata dhulm ( ) yang tersebut dalam <br />
ayat, menurut dzahirnya saja. Padahal mereka (para <br />
shahabat) adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu <br />
Mas’ud : “Yang paling utama dari umat ini yang paling <br />
baik hatinya dan paling tidak berbuat takalluf <br />
(memberatkan diri secara berlebihan). <br />
<br />
Namun demikian, mereka salah dalam memahaminya. <br />
Kalaulah Nabi tidak meluruskan kesalahan mereka <br />
dan membimbing mereka kepada pengertian yang benar; <br />
bahwasannya dzulm ( ) dalam ayat tersebut maknanya <br />
adalah syirik. Niscaya kita tidak akan mengikuti <br />
kesalahan tersebut. <br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
14 <br />
Akan tetapi Allah Ta’ala melindungi kita dari yang <br />
demikian dengan keutamaan bimbingan dan Sunnah <br />
Nabi . <br />
<br />
Contoh yang kedua, kalaulah tidak ada hadits tersebut, <br />
minimal kita akan ragu dalam meng-qashar dalam safar <br />
dan waktu aman --- jika kita berpendapat kepada <br />
pensyaratan “takut” sebagaimana dzahir ayat --- <br />
sebagaimana timbul yang demikian pada sebagian <br />
shahabat. Jika mereka tidak melihat Rasulullah meng-<br />
qashar, dan mereka pun meng-qashar bersamanya dalam <br />
keadaan aman. <br />
<br />
Dalam contoh yang ketiga, kalaulah tidak ada hadits <br />
tentu kita akan mengharamkan makanan-makanan yang <br />
baik yang dihalalkan bagi kita, yaitu belalang, ikan, hati, <br />
dan limpa. <br />
<br />
Dalam contoh keempat, kalaulah tidak ada hadits yang <br />
sebagianya telah disebutkan niscaya kita akan <br />
menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah bagi kita <br />
melalui lisan Nabi-Nya seperti binatang buas, atau <br />
burung yang mempunyai kuku pencakar. <br />
<br />
Demikian pula contoh yang kelima. Kalaulah tidak ada <br />
hadits, maka kita akan menghalalkan apa yang <br />
diharamkan Allah melalui lisan Nabi-Nya yaitu emas <br />
dan sutera bagi laki-laki. Oleh karena itu dari sinilah <br />
berkata sebagian salaf : <br />
<br />
As-Sunnah itu menjelaskan Al-Kitab (menyampaikan <br />
pemahaman kepada Kitab) Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
15 <br />
<br />
Kesesatan Para Pengingkar Sunnah <br />
<br />
Di antara hal yang memprihatinkan adalah ditemuinya <br />
sebagian mufassirin dan penulis-penulis sekarang ini <br />
yang berpendapat dengan membolehkan dua contoh <br />
terakhir di atas, yaitu membolehkan memakan binatang <br />
buas dan memakai emas serta sutera bagi laki-laki <br />
karena bersandar dengan Al-Qur’an semata. <br />
<br />
Dewasa ini telah ditemukan satu kelompok yang <br />
menamakan qur’aniyyin yang menafsirkan Al-Qur’an <br />
dengan nafsu dan akal-akal mereka, tanpa meminta <br />
bantuan dengan As-Sunnah Ash-Shahiihah. <br />
<br />
Bagi mereka As-Sunnah hanya sebagai pengikut hawa <br />
nafsu mereka. Jika sesuai dengan hawa nafsu mereka, <br />
maka mereka berpegang dengannya dan yang tidak <br />
sesuai mereka buang ke belakang punggung mereka. <br />
<br />
Nabi telah mengisyaratkan tentang mereka dalam <br />
hadits yang shahih : <br />
<br />
5 %& 6% %7 89 / & )#<br />
<br />
: % ' +& ;6< = > ?& <br />
/ @ %& A & B"C / <br />
D E : 5 & ! 2 ! %<br />
H ' I JK8 L <br />
<br />
“Salah seorang dari kalian betul-betul akan menjumpai <br />
seseorang yang sedang duduk di singgasananya, Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
16 <br />
kemudian datang urusanku kepadanya dari apa yang aku <br />
perintahkan atau aku larang, maka dia berkata,”Aku <br />
tidak tahu! Semua yang kami dapatkan di dalam <br />
Kitabullah itulah yang kami ikuti” [Diriwayatkan oleh <br />
At-Tirmidzi]. <br />
<br />
Dalam riwayat lain : Dia berkata : “Apa-apa yang kami <br />
jumpai (pada Al-Qur’an) sebagai sesuatu yang haram, <br />
maka kami mengharamkannya” Berkata Rasulullah : <br />
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan <br />
yang semisalnya (hadits) bersamanya” <br />
<br />
Dan diriwayat yang lain lagi : Berkata (Rasulullah ) : <br />
<br />
”Ketahuilah, sesungguhnya semua yang dilarang oleh <br />
Rasulullah shallallaahu seperti apa yang dilarang oleh <br />
Allah” <br />
<br />
Bahkan juga di antara yang memprihatinkan bahwa <br />
sebagian penulis yang menulis kitab-kitab dalam syari’at <br />
Islam dan aqidah Islam menyebutkan dalam <br />
muqaddimahnya bahwa dia menyusun kitab tersebut <br />
tanpa rujukan selain Al-Qur’an. <br />
<br />
Hadits shahih di atas menjelaskan secara tegas bahwa <br />
syari’at Islam bukan Al-Qur’an saja, melainkan Al-<br />
Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa berpegang dengan <br />
salah satunya, berarti dia tidak berpegang dengan yang <br />
lain. Padahal masing-masing dari keduanya me-<br />
merintahkan untuk berpegang dengan yang lain seperti <br />
firman Allah : <br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
17 <br />
. r k #3 <br />
L U C I F G # <br />
<br />
”Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia <br />
telah menta'ati Allah.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 80). <br />
<br />
#% #@ / I s t !@ L u !P, a ] & " #N T+/ 0 i L % v<br />
!P $ X#@ w A !+ 4 8 I #% $ *' Y L 3 s 4 !@ #$ <br />
<br />
”Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak <br />
beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim <br />
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian <br />
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka <br />
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka <br />
menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisaa’ [4]: 65). <br />
<br />
(^ #N ( #N ! " 7 4 I# C 0 ] w A H " <br />
C 0 x#W #% ` I# # 2 I @ Z % " , #3 <br />
L<br />
4 @ ? 4 h l h <br />
<br />
”Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak <br />
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan <br />
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada <br />
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. <br />
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya <br />
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. <br />
Al-Ahzab [33]: 36). Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
18 <br />
<br />
I % 7 &' L # B #% 7 ' [ Z L U C <br />
<br />
”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. <br />
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” <br />
(QS. Al-Hasyr [59] : 7). <br />
<br />
Sehubungan dengan ayat terakhir ini (QS. Al-Hasyr : 7), <br />
ada kejadian yang menakjubkan dalam riwayat yang <br />
shahih dari Ibnu Mas’ud yaitu bahwasannya ada <br />
seorang wanita yang datang kepadanya kemudian <br />
berkata kepadanya : “Kamukah yang berkata bahwa <br />
Allah melaknat namishaat ( = wanita yang mencabut <br />
rambut alis) dan mutanaamishaat ( = wanita yang dicabut <br />
rambut alisnya) dan waasyimaat ( = wanita yang <br />
membuat tato) ?”. Ibnu Mas’ud menjawab,”Ya, benar”. <br />
Perempuan tadi berkata,”Aku telah membaca Kitabullah <br />
dari awal sampai akhir tetapi aku tidak menemukan apa <br />
yang kamu katakan”. Maka Ibnu Mas’ud menjawab, <br />
”Jika kamu betul-betul membacanya, niscaya engkau <br />
akan menemukannya. Tidakkah engkau membaca : <br />
<br />
”Apa-apa yang disampaikan Rasul kepadamu maka <br />
ambillah dan apa-apa yang dilarangnya, tinggalkan-<br />
lah…” (QS. Al-Hasyr : 7). <br />
<br />
Aku telah mendengar Rasulullah : <br />
<br />
”Allah melaknat An-Naamishaat…..” [Diriwayatkan <br />
oleh Al-Bukhari dan Muslim]. <br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
19 <br />
<br />
Tidak Cukup Pengertian Bahasa Saja untuk <br />
Memahami Al-Qur’an <br />
<br />
<br />
Dari penjelasan di atas telah jelas dan terang <br />
bahwasannya tidak mungkin seorang memahami Al-<br />
Qur’an walaupun dia mahir dalam bahasa Arab dan <br />
sastra-sastranya jika tidak dibantu dengan Sunnah Nabi <br />
, baik qauliyyah maupun fi’liyyah. Karena dia tidak <br />
mungkin lebih alim atau lebih mahir dalam bahasa Arab <br />
daripada para shahabat Nabi yang Al-Qur’an turun <br />
dengan bahasa mereka dan pada waktu tersebut belum <br />
tercampur bahasa ‘ajam, awam, dan lahn (kesalahan <br />
bahasa). Namun walaupun demikian, mereka para <br />
shahabat telah salah dalam memahami ayat-ayat yang <br />
telah lewat, ketika mereka hanya bersandar dengan <br />
bahasa mereka saja. <br />
<br />
Atas dasar itu jelaslah bahwasannya seseorang jika <br />
semakin alim dalam sunnah, dia lebih pantas untuk <br />
memahami Al-Qur’an dan mengambil istinbath hukum <br />
darinya dibandingkan orang yang bodoh tentang sunnah. <br />
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak menganggap <br />
sunnah dan tidak pula meliriknya sama sekali ? Oleh <br />
karena itu sudah merupakan suatu kaidah yang <br />
disepakati oleh ahli ilmu bahwasannya Al-Qur’an <br />
ditafsirkan dengan As-Sunnah1<br />
, kemudian dengan <br />
perkataan shahabat…..dan seterusnya. <br />
<br />
1<br />
(Berkata Syaikh Al-Albani) : “Kami tidak mengatakan seperti <br />
yang sudah masyhur di kalangan sebagian besar ahlul-ilmi, dimana Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
20 <br />
Dari sini jelas bagi kita sebab-sebab kesesatan tokoh-<br />
tokoh Ahli Kalam dulu dan sekarang serta perbedaan <br />
mereka dengan as-salafush-shalih g dalam keyakinan-<br />
keyakinan mereka terutama dalam hukum-hukum <br />
mereka, karena jauhnya ahlul-kalam dari Sunnah dan <br />
dangkalnya pengetahuan mereka tentang Sunnah dan <br />
mereka menghakimi ayat-ayat tentang shifat (Allah) dan <br />
yang lainnya dengan akal dan nafsu mereka. <br />
<br />
Betapa indahnya perkataan dalam kitab Syarh Al-Aqidah <br />
Ath-Thahawiyyah halaman 212 cetakan ke-4 : <br />
“Bagaimana mungkin kita berbicara tentang pokok <br />
agama orang yang tidak menerima agamanya dari Al-<br />
Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah melainkan hanya <br />
menerima perkataan si fulan? Walaupun dia mengaku <br />
atau menganggap mengambil dari Kitabullah tetapi tidak <br />
menerima penafsiran Kitabullah dari hadits-hadits Rasul, <br />
tidak melihat hadits-hadits, tidak pula melihat perkataan <br />
para shahabat dan pengikut mereka yang mengikuti <br />
dengan baik (tabi’in) yang disampaikan kepada kita oleh <br />
orang yang terpercaya yang dipilih oleh para pakar. <br />
Karena para shahabat tidak hanya meriwayatkan matan <br />
Al-Qur’an saja tetapi juga menyampaikan maknanya. <br />
Mereka tidak belajar Al-Qur’an seperti anak kecil, tetapi <br />
mempelajarinya dengan makna-maknanya. Barangsiapa <br />
tidak menempuh jalan mereka berarti berbicara dengan <br />
pikirannya sendiri. Barangsiapa berbicara dengan <br />
pikirannya dan sangkaannya sendiri tentang agama Allah <br />
ini, serta tidak menerimanya dari Al-Kitab, dia berdosa <br />
<br />
mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, kemudian baru <br />
dengan Sunnah seperti yang akan datang penjelasan di akhir tulisan <br />
dalam pembahasan ini dalam hadits Mu’adz bin Jabal . Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
21 <br />
walaupun kebetulan benar. Barangsiapa mengambil <br />
Kitab dan Sunnah, dia mendapatkan pahala walaupun <br />
salah (dalam berijtihad). Tetapi jika benar, akan <br />
dilipatkan pahalanya”. <br />
<br />
Kemudian berkata di halaman 217: “Maka wajib <br />
menyempurnakan kepatuhan kepada Rasul dan tunduk <br />
kepada perintahnya dan menerima khabarnya dengan <br />
perkataan dan keyakinan, tidak menentangnya dengan <br />
khayalan yang bathil yang dinamakan ma’qul (logis), <br />
atau menganggap sebagai syubhat (samar) atau <br />
meragukannya atau mendahulukan pendapat-pendapat <br />
manusia dan sampah-sampah pikiran mereka di atasnya. <br />
Kita menyendirikan beliau dalam berhukum, patuh, <br />
tunduk, sebagaimana kita mentauhidkan Allah <br />
subhaanahu wa ta’ala dalam ibadah, ketundukan, <br />
kehinaan, inabah, dan tawakal. <br />
<br />
Kesimpulannya: Sesungguhnya wajib atas semua <br />
muslim untuk tidak membedakan Al-Qur’an dengan As-<br />
Sunnah dari sisi kewajiban mengambil dan berpegang <br />
dengan keduanya serta menegakkan syari’at di atas <br />
keduanya bersama-sama. Karena ini adalah penjamin <br />
mereka agar tidak berpaling ke kiri dan ke kanan. Agar <br />
mereka tidak mundur dengan kesesatan sebagaimana <br />
Rasulullah telah menjelaskan : <br />
<br />
M NO , % "#P8 6 / 6 %& D' 8 : H '<br />
6 / $ Q L R"S )#<br />
= T+ <br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
22 <br />
”Aku tingalkan pada kalian dua perkara yang kalian <br />
tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan <br />
keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya <br />
tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di <br />
telaga Haudl” [Diriwayatkan oleh Malik dan Al-Hakim, <br />
dengan sanad hasan]. <br />
<br />
<br />
<br />
Peringatan <br />
<br />
Suatu hal penting yang ingin saya (Asy-Syaikh Al-<br />
Albani) kemukakan adalah bahwa Sunnah yang begitu <br />
pentingnya dalam syari’at hanyalah Sunnah yang shahih <br />
dari Rasulullah dengan cara-cara ilmiah dan sanad <br />
yang shahih yang dikenal oleh ahlul-‘ilmi tentang hadits <br />
dan rawi-rawinya. Bukanlah yang dimaksud seperti yang <br />
terdapat dalam kitab-kitab yang beraneka ragam baik <br />
dalam masalah tafsir, fiqh, targhib dan tarhib, raqaaiq, <br />
nasihat-nasihat, dan lain-lain. Karena dalam kitab-kitab <br />
tersebut banyak hadits-hadits yang dla’if, munkar, dan <br />
maudlu’, sebagian lagi tidak diterima dalam Islam <br />
seperti hadits Harut dan Marut, serta kisah Gharaaniq. <br />
Aku (Asy-Syaikh Al-Albani) mempunyai risalah khusus <br />
dalam menolak kisah ini.<br />
2<br />
Dan telah aku bawakan pula <br />
sebagian besarnya dalam Silsilah Al-Ahaadits Adl-<br />
Dla’iifah wal-Maudluu’ah wa Atsaruhas-Sayyi-il-<br />
Ummah yang jumlahnya sampai saat ini mencakup 4000 <br />
hadits mencakup hadits dla’if dan maudlu’ dimana <br />
<br />
2<br />
Namanya Nashbul-Majaaniq fii Nisfi Qishshatil-Gharaaniq <br />
cetakan Al-Maktab Al-Islami Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
23 <br />
sampai saat ini baru dicetak 500 hadits saja ( - pada saat <br />
itu, akan tetapi sekarang telah tercetak lengkap – Pent. ). <br />
Wajib atas semua ahlul-‘ilmi terutama yang <br />
menyebarkan kepada manusia pemahaman dan fatwa-<br />
fatwa agar jangan berhujjah dengan hadits-hadits kecuali <br />
setelah meyakini keshahihannya karena biasanya kitab-<br />
kitab fiqih yang dijadikan tempat rujukan penun dengan <br />
hadits-hadits yang lemah, munkar, serta tidak ada asal-<br />
usulnya sebagaimana dikenal di kalangan para ulama. <br />
<br />
Saya telah memulai proyek yang menurut saya penting <br />
ini, yang bermanfaat bagi orang-orang yang <br />
menyibukkan diri mereka dalam bidang Fiqih, yang saya <br />
sebut ‘Hadits-Hadits Dha’if dan Maudhu dalam Kitab-<br />
kitab Induk Fiqih. Yang saya maksudkan adalah kitab-<br />
kitab berikut: <br />
<br />
1. Al-Hidaayah Al-Marginani, mengenai Fiqih <br />
Hanafi. <br />
2. Al-Mudawwanah Ibnu Al-Qasim, mengenai Fiqih <br />
Maliki. <br />
3. Syarhul Wajiz Ar-Rafi’i, mengenai Fiqih Syafi’i. <br />
4. Al-Mughni Ibnu Qudamah, mengenai Fiqih <br />
Hambali. <br />
5. Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd Al-Andalysi, <br />
dalam Fiqih perbandingan. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
24 <br />
Kelemahan Hadits Mu’adz tentang Ra’yu <br />
dan Apa-Apa yang Diingkari Darinya <br />
<br />
<br />
Sebelum mengakhiri uraian ini, aku (Asy-Syaikh Al-<br />
Albani) memandang perlu memalingkan perhatian <br />
ikhwan sekalian kepada hadits yang masyhur yang sering <br />
dibawakan dalam kitab ushul-fiqh, yaitu berkisar tentang <br />
dla’ifnya hadits tersebut dari sisi sanadnya dan karena <br />
bertentangan dengan larangan membedakan antara Al-<br />
Kitab dan As-Sunnah (dalam syari’at) serta wajibnya <br />
berpegang dengan keduanya secara bersama, yaitu hadits <br />
Mu’adz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi <br />
shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya ketika <br />
mengutusnya ke Yaman : <br />
<br />
”Dengan apa kamu akan berhukum?”. Mu’adz <br />
berkata,”Dengan Kitabullah”. Rasulullah berkata,”Jika <br />
tidak engkau dapati dalam Kitabullah?”. Mu’adz <br />
menjawab,”Dengan Sunnah Rasulullah ”. Rasulullah <br />
berkata,”Jika engkau tidak menemui dalam Sunnah?”. <br />
Mu’adz menjawab,”Aku akan berijtihad dengan ra’yu <br />
dan aku akan berusaha keras”. Maka Rasulullah <br />
bersabda,”Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah yang <br />
telah membimbing utusan Rasulullah kepada perkara <br />
yang dicintainya”. <br />
<br />
Tentang kelemahan sanadnya, tidak layak untuk dibahas <br />
sekarang. Aku telah menjelaskannya dengan penjelasan <br />
yang cukup dan mungkin belum ada yang mendahului <br />
saya dalam pembahasan itu dalam kitab As-Silsilah yang Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
25 <br />
telah disebutkan sebelumnya.<br />
3<br />
Cukup bagiku dalam <br />
kesempatan ini untuk menyebutkan bahwa Amiirul-<br />
Mukminiin dalam masalah hadits, yaitu Al-Imam Al-<br />
Bukhari v, berkata tentang hadits ini,”Hadits munkar”. <br />
Setelah itu layak bagiku untuk mulai menjelaskan <br />
pertentangan yang telah aku sebutkan tadi. <br />
<br />
Maka aku (Asy-Syaikh Al-Albani) katakan : “Hadits <br />
Mu’adz ini memberikan manhaj bagi seorang hakim <br />
dalam berhukum dengan tiga marhalah ( = yaitu Al-<br />
Qur’an, As-Sunnah, dan ra’yu). Tidak boleh mencari <br />
hukum dengan ra’yu kecuali setelah hukum itu tidak <br />
ditemukan dalam As-Sunnah, dan tidak boleh pula <br />
mencari hukum suatu hukum dari As-Sunnah kecuali <br />
jika tidak ditemui dalam Al-Qur’an. Manhaj ini jika <br />
dilihat dari sisi ra’yu adalah benar menurut seluruh <br />
ulama’. Mereka berkata juga,”Jika telah ada atsar, maka <br />
batallah nadhar (penyelidikan)”. Tetapi (manhaj ini) jika <br />
dilihat dari sisi As-Sunnah, tidaklah benar. Karena As-<br />
Sunnah adalah hakim atas Al-Qur’an. Maka wajib <br />
membahas/mencari hukum dalam As-Sunnah walaupun <br />
disangka ada hukum tersebut dalam Al-Qur’an. Tidaklah <br />
kedudukan Al-Qur’an dengan As-Sunnah seperti <br />
kedudukan ra’yu dengan As-Sunnah. Tidak, sekali lagi <br />
tidak !! Tetapi wajib menganggap Al-Qur’an dan As-<br />
Sunnah sebagai suatu sumber yang tidak dapat <br />
dipisahkan selamanya sebagaimana yang telah <br />
diisyaratkan oleh sabda Rasulullah : <br />
<br />
3<br />
Terdapat pada nomor 885 dari kitab As-Silsilah yang telah <br />
disebutkan – Silsilah Al-Ahadits Adl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah <br />
(dan kami berharap agar proses pencetakan dan pembukuannya <br />
dapat segera terwujud dalam waktu dekat, insyaAllah). Kedudukan As-sunnah dalam Islam <br />
<br />
<br />
_________________________________________________________ <br />
http:www.raudhatulmuhibbin.org <br />
26 <br />
<br />
,U C D 8V& W & #X% J% <br />
<br />
”Ketahuilah, aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya <br />
bersamanya”, yaitu As-Sunnah. <br />
<br />
Dan sabda beliau yang lain : <br />
<br />
R"S Y#<br />
T+ 6 <br />
<br />
”Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya <br />
mendatangiku di Haudl (telaga)” <br />
<br />
Pengelompokan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah <br />
tidaklah benar karena mengharuskan pemisahan antara <br />
keduanya dan hal ini adalah bathil, seperti telah <br />
disebutkan penjelasannya. Inilah yang ingin aku <br />
ingatkan. Jika benar itu datangnya dari Allah dan jika <br />
salah itu dari diriku sendiri. Kepada Allah aku meminta <br />
agar menjagaku dan Anda sekalian dari kesalahan-<br />
kesalahan dan segala sesuatu yang tidak diridlai-Nya. <br />
Dan penutup doa kita : Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin.tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-57233120089941874002010-12-31T20:13:00.000-08:002010-12-31T20:13:20.205-08:00Al-Ushul min 'Ilmil UshulAl-Ushul min 'Ilmil Ushul <br />
<br />
Penulis <br />
Asy-Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin <br />
<br />
Judul Dalam Bahasa Indonesia <br />
Prinsip Ilmu Ushul Fiqih <br />
<br />
Penerjemah <br />
Abu SHilah & Ummu SHilah <br />
<br />
Layout & Design Sampul <br />
Abu SHilah <br />
<br />
Disebarkan melalui : <br />
http://tholib.wordpress.com <br />
Jumadi ats-Tsaniyah 1428 H / Juni 2007 M <br />
<br />
<br />
* ajiyoid@yahoo.com <br />
<br />
<br />
Diperbolehkan menyebarkan / memperbanyak terjemahan ini <br />
selama bukan untuk tujuan komersial <br />
DIGITAL LIBRARYUshul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
1 <br />
ﻣ ﹶﻘ ﺪ ﻣ ﹸﺔ ﹾ ﻟﺍ ﻤ ﺆ ﱢﻟ ِﻒ <br />
MUQODDIMAH PENULIS <br />
<br />
ﻦﻣ ﷲﺎﺑ ﺫﻮﻌﻧﻭ ،ﻪﻴﻟﺇ ﺏﻮﺘﻧﻭ ،ﻩﺮﻔﻐﺘﺴﻧﻭ ،ﻪﻨﻴﻌﺘﺴﻧﻭ ،ﻩﺪﻤﳓ ﷲ ﺪﻤﳊﺍ ،ﺎﻨﺴﻔﻧﺃ ﺭﻭﺮﺷ<br />
ﻥﺃ ﺪﻬﺷﺃﻭ ،ﻪﻟ ﻱﺩﺎﻫ ﻼﻓ ﻞﻠﻀﻳ ﻦﻣﻭ ﻪﻟ ﻞﻀﻣ ﻼﻓ ﷲﺍ ﻩﺪﻬﻳ ﻦﻣ ،ﺎﻨﻟﺎﻤﻋﺃ ﺕﺎﺌﻴﺳ ﻦﻣﻭ<br />
ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﻩﺪﺒﻋ ﹰ ﺍﺪﻤﳏ ﻥﺃ ﺪﻬﺷﺃﻭ ،ﻪﻟ ﻚﻳﺮﺷ ﻻ ﻩﺪﺣﻭ ﷲﺍ ﻻﺇ ﻪﻟﺇ ﻻ ،ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ،<br />
ﹰ ﺎﻤﻴﻠﺴﺗ ﻢﻠﺳﻭ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﱃﺇ ﻥﺎﺴﺣﺈﺑ ﻢﻬﻌﺒﺗ ﻦﻣﻭ ،ﻪﺑﺎﺤﺻﺃﻭ ﻪﻟﺁ ﻰﻠﻋﻭ . ﺪﻌﺑ ﺎﻣﺃ : <br />
<br />
Ini adalah Tulisan singkat dalam Ushul Fiqih yang kami tulis sesuai <br />
kurikulum yang telah disepakati untuk tahun ketiga Tsanawiyah di ma’had-<br />
ma’had ilmiyyah, dan kami menamakannya: <br />
<br />
ِ ﻝ ﻮ ﺻُ ﻷﺍ ِ ﻢﹾ ﻠِﻋ ﻦِﻣ ﹸ ﻝ ﻮ ﺻُ ﻷﺍ <br />
(al-Ushul min 'Ilmil Ushul) <br />
<br />
Aku memohon kepada Allah agar menjadikan ilmu kami ikhlas karena <br />
Allah dan bermanfaat bagi hamba-hamba Allah, sesungguhnya Allah Maha <br />
Dekat dan Maha Mengabulkan Doa. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
2 <br />
ﹸﺃ ﺻ ﹸ ﻝﻮ ِ ﻔﻟﺍ ِ ﻪـﹾﻘ <br />
USHUL FIQIH <br />
<br />
DEFINISINYA: <br />
<br />
Ushul Fiqih didefinisikan dengan 2 tinjauan: <br />
<br />
Pertama : tinjauan dari 2 kosa katanya yaitu dari tinjauan kata (ﹲ ﻝ ﻮ ﺻﹸﺃ) dan <br />
kata ( ﻪﹾ ﻘِﻓ). <br />
<br />
Ushul (ﹸ ﻝ ﻮ ﺻُ ﻷﺍ) adalah bentuk jamak dari "al-Ashl" (ﹲ ﻞ ﺻﹶﺃ) yaitu apa yang <br />
dibangun di atasnya yang selainnya, dan diantaranya adalah 'pokoknya <br />
tembok' (ﺭﺍ ﺪِ ﳉﺍ ﹸ ﻞ ﺻﹶﺃ) yaitu pondasinya, dan 'pokoknya pohon' (ِ ﺓ ﺮ ﺠ ﺸﻟﺍ ﹸ ﻞ ﺻﹶﺃ) yang <br />
bercabang darinya ranting-rantingnya. Allah berfirman: <br />
<br />
ﹶﻛ ﹰ ﻼﹶ ﺜﻣ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺏ ﺮﺿ ﻒ ﻴﹶﻛ ﺮﺗ ﻢﹶ ﻟﹶﺃ ﻲِﻓ ﺎ ﻬ ﻋ ﺮﹶ ﻓﻭ ﺖِ ﺑﺎﹶﺛ ﺎ ﻬﹸ ﻠ ﺻﹶﺃ ٍ ﺔ ﺒ ﻴﹶﻃ ٍ ﺓ ﺮ ﺠ ﺸﹶﻛ ﹰ ﺔ ﺒ ﻴﹶﻃ ﹰ ﺔ ﻤِﻠ<br />
ِ ﺀﺎ ﻤ ﺴﻟﺍ <br />
<br />
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat <br />
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan <br />
cabangnya (menjulang) ke langit" [QS. Ibrohim : 24] <br />
<br />
Dan Fiqih ( ﻪﹾ ﻘِ ﻔﻟﺍ) secara bahasa adalah pemahaman ( ﻢ ﻬﹶ ﻔﻟﺍ), diantara dalilnya <br />
adalah firman Allah : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
3 <br />
ﻲِ ﻧﺎ ﺴِﻟ ﻦِﻣ ﹰ ﺓ ﺪﹾ ﻘﻋ ﹾ ﻞﹸ ﻠ ﺣﺍﻭ <br />
<br />
"dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku." (QS Thohaa : 27) <br />
<br />
Dan secara istilah: <br />
<br />
ﺸﻟﺍ ِ ﻡﺎﹶ ﻜﺣَ ﻷﺍ ﹸ ﺔﹶ ﻓِ ﺮ ﻌﻣ ِ ﺔ ﻴِ ﻠ ﻴِ ﺼﹾ ﻔ ﺘﻟﺍ ﺎ ﻬِ ﺘﱠ ﻟِ ﺩﹶ ﺄِﺑ ِ ﺔ ﻴِ ﻠ ﻤ ﻌﻟﺍ ِ ﺔ ﻴِ ﻋﺮ <br />
<br />
"Mengetahui hukum-hukum syar'i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-<br />
dalilnya yang terperinci." <br />
<br />
Maka yang dimaksud dengan perkataan kami : ) ﹸ ﺔﹶ ﻓِ ﺮ ﻌﻣ ( " Mengetahui" adalah <br />
Ilmu dan persangkaan. Karena mengetahui hukum-hukum fiqih terkadang <br />
bersifat yakin dan terkadang bersifat persangkaan, sebagaimana banyak <br />
dalam masalah-masalah fiqih. <br />
<br />
Dan yang dimaksud dengan perkataan kami : ) ﹸ ﺔ ﻴِ ﻋ ﺮ ﺸﻟﺍ ﻡﺎﹶ ﻜﺣَ ﻷﺍ ( "Hukum-hukum <br />
syar'i" adalah hukum-hukum yang diambil dari syari'at, seperti wajib dan <br />
haram, maka keluar darinya (yakni Hukum-hukum syar'i) hukum-hukum akal; <br />
seperti mengetahui bahwa keseluruhan lebih besar daripada sebagian; dan <br />
hukum-hukum adat (kebiasaan); seperti mengetahui turunnya embun di <br />
malam yang dingin jika cuaca cerah. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan perkataan kami : ) ﹸ ﺔ ﻴِ ﻠ ﻤ ﻌﻟﺍ ( "Amaliah" adalah apa-apa <br />
yang tidak berhubungan dengan aqidah, seperti sholat dan zakat. Maka tidak <br />
termasuk darinya (Amaliah) apa-apa yang berhubungan dengan aqidah; Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
4 <br />
seperti mentauhidkan Allah, dan mengenal nama-nama dan sifat-Nya; maka <br />
yang demikian tidak dinamakan Fiqih secara istilah. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan perkataan kami : ) ِ ﺔ ﻴِ ﻠ ﻴِ ﺼﹾ ﻔ ﺘﻟﺍ ﺎ ﻬِ ﺘﱠ ﻟِ ﺩﹶ ﺄِﺑ ( "dengan dalil-<br />
dalilnya yang terperinci" adalah dalil-dalil fiqh yang berhubungan dengan <br />
masalah-masalah fiqh yang terperinci, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu <br />
Ushul Fiqih karena pembahasan di dalamnya hanyalah mengenai dalil-dalil <br />
fiqih yang umum. <br />
<br />
Kedua : dari tinjauan keberadaannya sebagai julukan pada bidang tertentu, <br />
maka Ushul Fiqih didefinisikan dengan : <br />
<br />
ﻦﻋ ﹸ ﺚ ﺤ ﺒﻳ ﻢﹾ ﻠِﻋ ِ ﺪ ﻴِ ﻔ ﺘ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ ِ ﻝﺎ ﺣﻭ ﺎ ﻬ ﻨِﻣ ِ ﺓ ﺩﺎﹶ ﻔِ ﺘ ﺳِ ﻹﺍ ِ ﺔ ﻴِ ﻔ ﻴﹶ ﻛﻭ ِ ﺔ ﻴِ ﻟﺎ ﻤ ﺟِ ﻹﺍ ِ ﻪﹾ ﻘِ ﻔﻟﺍ ِ ﺔﱠ ﻟِ ﺩﹶﺃ <br />
<br />
"Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqih yang umum dan cara mengambil <br />
faidah darinya dan kondisi orang yang mengambil faidah." <br />
<br />
Yang dimaksud dengan perkataan kami ) ِ ﺔ ﻴِ ﻟﺎ ﻤ ﺟِ ﻹﺍ ( "yang umum/mujmal", <br />
kaidah-kaidah umum; seperti perkataan : "perintah menunjukkan hukum <br />
wajib", "larangan menunjukkan hukum haram", "sah-nya suatu amal <br />
menunjukkan amal tersebut telah terlaksana (yakni, ia tidak dituntut untuk <br />
mengulangi, pent)". Maka tidak termasuk dari "yang umum": dalil-dalil yang <br />
terperinci. Dalil-dalil terperinci tersebut tidaklah disebutkan dalam ilmu <br />
Ushul Fiqih kecuali sebagai contoh (dalam penerapan) suatu kaidah. <br />
<br />
Yang dimaksud dari perkataan kami : ) ﹶ ﻛﻭ ﺎ ﻬ ﻨِﻣ ِ ﺓ ﺩﺎﹶ ﻔِ ﺘ ﺳِ ﻹﺍ ِ ﺔ ﻴِ ﻔﻴ ( "dan cara mengambil <br />
faidah darinya" yaitu mengetahui bagaimana mengambil faidah hukum dari <br />
dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
5 <br />
seperti umum, khusus, muthlaq, muqoyyad, nasikh, mansukh, dan lain-lain. <br />
Maka dengan menguasainya (yakni cara mengambil faidah dari dalil-dalil <br />
umum) seseorang bisa mengambil faidah hukum dari dalil-dalil fiqih. <br />
<br />
Diinginkan dengan perkataan kami : ) ِ ﺪ ﻴِ ﻔ ﺘ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ ِ ﻝﺎ ﺣﻭ ( "kondisi orang yang <br />
mengambil faidah", yaitu mengetahui kondisi/keadaan orang yang mengambil <br />
faidah, yaitu mujtahid. Dinamakan orang yang mengambil faidah ( ﺪ ﻴِ ﻔ ﺘ ﺴﻣ) <br />
karena ia dengan dirinya sendiri dapat mengambil faidah hukum dari dalil-<br />
dalilnya karena ia telah mencapai derajat ijtihad. Maka mengenal mujtahid, <br />
syarat-syarat ijtihad, hukumnya dan yang semisalnya dibahas dalam ilmu <br />
Ushul Fiqih. <br />
<br />
FAIDAH USHUL FIQIH: <br />
<br />
Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang agung kedudukannya, sangat penting <br />
dan banyak sekali faidahnya. Faidahnya adalah kokoh dalam menghasilkan <br />
kemampuan yang seseorang mampu dengan kemampuan itu mengeluarkan <br />
hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya dengan landasan yang selamat. <br />
<br />
Dan yang pertama kali mengumpulkannya menjadi suatu bidang tersendiri <br />
adalah al-Imam asy-Syafi'i Muhammad bin Idris rohimahulloh, kemudian para <br />
'ulama sesudahnya mengikutinya dalam hal tersebut. Maka mereka menulis <br />
dalam ilmu Ushul Fiqih tulisan-tulisan yang bermacam-macam. Ada yang <br />
berupa tulisan, sya'ir, tulisan ringkas, tulisan yang panjang, sampai ilmu <br />
Ushul Fiqih ini menjadi bidang tersendiri keberadaannya dan kelebihannya. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
6 <br />
َ ﻷﺍ ﺣ ﹶﻜ ﻡﺎــ <br />
HUKUM-HUKUM <br />
<br />
Al-Ahkam ) ﹾﺍ َ ﻷ ﺣ ﹶﻜ ﻡﺎ ( adalah bentuk jamak dari hukum ( ﹾ ﻜﺣ ﻢ ), secara bahasa <br />
maknanya adalah keputusan/ketetapan ( ﹶ ﻘﻟﺍ ﻀ ُ ﺀﺎ ). <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﻣ ﺘﹾ ﻗﺍ ﺎ ﻀ ﻩﺎ ِ ﺧ ﹶ ﻄ ﺏﺎ ﺸﻟﺍ ﺮ ِ ﻉ ﹸ ﳌﺍ ﺘ ﻌ ﱢﻠ ﻖ ِﺑ ﹶ ﺄ ﹾﻓ ﻌ ِ ﻝﺎ ﹸ ﳌﺍ ﹶﻜ ﱠﻠ ِﻔ ﻴ ﻦ ِﻣ ﻦ ﹶﻃ ﹶﻠ ٍ ﺐ ﹶﺃ ، ﻭ ﺗ ﺨ ِﻴ ﻴ ٍﺮ ﹶﺃ ، ﻭ ﻭ ﺿ ٍ ﻊ <br />
<br />
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan <br />
perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan <br />
atau peletakan." <br />
<br />
Dan yang dimaksud dari perkataan kami : ) ِ ﺧ ﹶ ﻄ ﺏﺎ ﺸﻟﺍ ﺮ ِ ﻉ ( "seruan syari'at" : Al-<br />
Qur'an dan as-Sunnah. <br />
<br />
Dan yang dimaksud dari perkataan kami : ) ﹸ ﳌﺍ ﺘ ﻌ ﱢﻠ ﻖ ِﺑ ﹶ ﺄ ﹾﻓ ﻌ ِ ﻝﺎ ﹸ ﳌﺍ ﹶﻜ ﱠﻠ ِﻔ ﻴ ﻦ ( "yang <br />
berhubungan dengan perbuatan mukallaf": apa-apa yang berhubungan <br />
dengan perbuatan mereka baik itu perkataan atau perbuatan, melakukan <br />
sesuatu atau meninggalkan sesuatu. <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan tersebut apa-apa yang berhubungan dengan <br />
aqidah, maka tidak dinamakan hukum secara istilah. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
7 <br />
Yang dimaksud dari perkataan kami : ( ﹸ ﳌﺍ ﹶﻜ ﱠﻠ ِﻔ ﻴ ﻦ ) "mukallaf" : siapa saja yang <br />
keadaannya dibebani syari'at, maka mencakup anak kecil dan orang gila. <br />
<br />
Yang dimaksud dari perkataan kami : ( ِﻣ ﻦ ﹶﻃ ﹶﻠ ٍ ﺐ ) "dari tuntutan": perintah <br />
dan larangan, baik itu sebagai keharusan ataupun keutamaan. <br />
<br />
Yang dimaksud dari perkataan kami : ( ﹶﺃ ﻭ ﺗ ﺨ ِﻴ ﻴ ٍﺮ ) "atau pilihan": mubah (hal-<br />
hal yang dibolehkan) <br />
<br />
Yang dimaksud dari perkataan kami : ) ﹶﺃ ﻭ ﻭ ﺿ ٍ ﻊ ( "atau peletakan": Sah, rusak, <br />
dan yang lainnya yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, <br />
atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. <br />
<br />
PEMBAGIAN HUKUM SYARI'AT: <br />
<br />
Hukum syari'at dibagi menjadi dua bagian : Taklifiyyah (Pembebanan) <br />
dan Wadh'iyyah (Peletakan). <br />
<br />
Al-Ahkam at-Taklifiyyah ada lima : Wajib, mandub (sunnah), harom, <br />
makruh, dan mubah. <br />
<br />
1. Wajib (ﺐﺟﺍﻮﻟﺍ) secara bahasa : (ﻡﺯﻼﻟﺍﻭ ﻂﻗﺎﺴﻟﺍ) "yang jatuh dan harus". <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﻣ ﹶﺃ ﺎ ﻣ ﺮ ِﺑ ِﻪ ﺸﻟﺍ ِ ﺭﺎ ﻉ ﻋ ﹶﻠ ﻭ ﻰ ﺟ ِﻪ ﹾﺍ ِ ﻹ ﹾﻟ ﺰ ِ ﻡﺍ <br />
<br />
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk <br />
keharusan", seperti sholat lima waktu. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
8 <br />
Maka keluar dari perkataan kami : ) ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ ﻪﺑ ﺮﻣﺃ ﺎﻣ ( "Apa-apa yang <br />
diperintahkan oleh pembuat syari'at", yang haram, makruh dan mubah. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ) ﻡﺍﺰﻟﻹﺍ ﻪﺟﻭ ﻰﻠﻋ ( "dengan bentuk <br />
keharusan", yang mandub. <br />
<br />
Dan suatu yang wajib itu pelakunya diganjar jika ia melakukannya <br />
untuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang meninggalkannya <br />
berhak mendapatkan adzab. <br />
<br />
Dan dinamakan juga : ( ﻡﺯﻻﻭ ﹰ ﺎﻤﺘﺣﻭ ﺔﻀﻳﺮﻓﻭ ﹰ ﺎﺿﺮﻓ ﺍ ). <br />
<br />
2. Mandub (ﺏﻭﺪﻨﳌﺍ) secara bahasa : ( ﻮﻋﺪﳌﺍ) "yang diseru". <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﻣ ﹶﺃ ﺎ ﻣ ﺮ ِﺑ ِﻪ ﺸﻟﺍ ِ ﺭﺎ ﻉ ﹶﻻ ﻋ ﹶﻠ ﻭ ﻰ ﺟ ِﻪ ﹾﺍ ِ ﻹ ﹾﻟ ﺰ ِ ﻡﺍ <br />
<br />
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk <br />
keharusan", seperti sholat rowatib. <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : ) ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ ﻪﺑ ﺮﻣﺃ ﺎﻣ ( "Apa-apa yang <br />
diperintahkan oleh pembuat syari'at", yang haram, makruh dan mubah. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ) ﻡﺍﺰﻟﻹﺍ ﻪﺟﻭ ﻰﻠﻋ ﻻ ( "tidak dengan bentuk <br />
keharusan", yang wajib. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
9 <br />
<br />
Dan suatu yang mandub itu pelakunya diganjar jika ia melakukannya <br />
untuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang meninggalkannya tidak <br />
mendapatkan adzab. <br />
<br />
Dan dinamakan juga : (ﻼﻔﻧﻭ ﹰ ﺎﺒﺤﺘﺴﻣﻭ ﹰ ﺎﻧﻮﻨﺴﻣﻭ ﺔﻨﺳ ً ). <br />
<br />
3. Haram (ﻡﺮﶈﺍ) secara bahasa : (ﻉﻮﻨﻤﳌﺍ) "yang dilarang". <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﻣ ﻧ ﺎ ﻬ ﻋ ﻰ ﻨ ﻪ ﺸﻟﺍ ِ ﺭﺎ ﻉ ﻋ ﹶﻠ ﻭ ﻰ ﺟ ِﻪ ﹾﺍ ِ ﻹ ﹾﻟ ﺰ ِ ﻡﺍ ِﺑ ﺘﻟﺎ ﺮ ِ ﻙ <br />
<br />
"Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan <br />
untuk ditinggalkan", seperti durhaka kepada orang tua. <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : ) ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻰ ﺎﻣ ( "Apa-apa yang dilarang <br />
oleh pembuat syari'at", yang wajib, sunnah dan mubah. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ) ﻙﺮﺘﻟﺎﺑ ﻡﺍﺰﻟﻹﺍ ﻪﺟﻭ ﻰﻠﻋ ( "dalam bentuk <br />
keharusan untuk ditinggalkan", yang makruh. <br />
<br />
Dan suatu yang haram itu pelakunya diganjar jika ia meninggalkannya <br />
untuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang melakukannya <br />
berhak mendapatkan adzab. <br />
<br />
Dan dinamakan juga : ( ﻋﻮﻨﳑ ﻭﺃ ﹰ ﺍﺭﻮﻈﳏ ﹰﺎ ) Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
10 <br />
4. Makruh (ﻩﻭﺮﻜﳌﺍ) secara bahasa : (ﺾﻐﺒﳌﺍ) "yang dimurkai". <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﻣ ﻧ ﺎ ﻬ ﻋ ﻰ ﻨ ﻪ ﺸﻟﺍ ِ ﺭﺎ ﻉ ﹶﻻ ﻋ ﹶﻠ ﻭ ﻰ ﺟ ِﻪ ﹾﺍ ِ ﻹ ﹾﻟ ﺰ ِ ﻡﺍ ِﺑ ﺘﻟﺎ ﺮ ِ ﻙ <br />
<br />
"Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk <br />
keharusan untuk ditinggalkan", seperti mengambil sesuatu dengan tangan <br />
kiri dan memberi dengan tangan kiri. <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : ) ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻰ ﺎﻣ ( "Apa-apa yang dilarang <br />
oleh pembuat syari'at", yang wajib, sunnah dan mubah. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ) ﻙﺮﺘﻟﺎﺑ ﻡﺍﺰﻟﻹﺍ ﻪﺟﻭ ﻰﻠﻋ ﻻ ( "tidak dalam bentuk <br />
keharusan untuk ditinggalkan", yang haram. <br />
<br />
Dan suatu yang makruh itu pelakunya diganjar jika ia meninggalkannya <br />
untuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang melakukannya <br />
tidak mendapatkan adzab. <br />
<br />
5. Mubah (ﺡﺎﺒﳌﺍ) secara bahasa : (ﻪﻴﻓ ﻥﻭﺫﺄﳌﺍﻭ ﻦﻠﻌﳌﺍ) "yang diumumkan dan diizinkan <br />
dengannya". <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﻣ ﹶﻻ ﺎ ﻳ ﺘ ﻌ ﱠﻠ ﻖ ِﺑ ِﻪ ﹶﺃ ﻣ ﺮ ﻭ ، ﹶﻻ ﻧ ﻬ ﻲ ِﻟ ﹶ ﺬ ِ ﺗﺍ ِﻪ <br />
<br />
"Apa-apa yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara <br />
asalnya". Seperti makan pada malam hari di bulan Romadhon. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
11 <br />
Dan keluar dari perkataan kami : ( ﻖﻠﻌﺘﻳ ﻻ ﺎﻣ ﺮﻣﺃ ﻪﺑ ) "apa-apa yang tidak <br />
berhubungan dengan perintah", wajib dan mandub. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : (ﻲ ﻻﻭ) "dan pula larangan", haram dan <br />
makruh. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : (ﻪﺗﺍﺬﻟ) "pada asalnya", apa-apa yang <br />
seandainya ada kaitannya dengan perintah karena keberadaannya (yakni <br />
suatu yang mubah) sebagai wasilah (yang menghantarkan) terhadap hal <br />
yang diperintahkan, atau ada kaitannya dengan larangan karena <br />
keberadaannya sebagai wasilah terhadap hal yang dilarang; maka bagi hal <br />
yang mubah tersebut hukumnya sesuai dengan apa-apa ia (yang mubah <br />
tersebut) menjadi wasilah baginya, dari hal yang diperintahkan atau yang <br />
dilarang. Dan yang demikian tidak mengeluarkannya (yakni hal yang mubah) <br />
dari keberadaannya sebagai sesuatu yang hukumnya mubah pada asalnya. <br />
<br />
Dan mubah yang senantiasa berada pada sifat mubah (boleh), maka ia <br />
tidak mengakibatkan ganjaran dan tidak pula adzab. <br />
<br />
Dan dinamakan juga : (ﹰﺍﺰﺋﺎﺟﻭ ﹰ ﻻﻼﺣ). <br />
<br />
AL-AHKAM AL-WADH'IYYAH (ﺔﻴﻌﺿﻮﻟﺍ ﻡﺎﻜﺣﻷﺍ) : <br />
<br />
Al-Ahkam al-wadh'iyyah adalah : <br />
<br />
ﻣ ﻭ ﺎ ﺿ ﻌ ﻪ ﺸﻟﺍ ِ ﺭﺎ ﻉ ِﻣ ﻦ ﹶﺃ ﻣ ﺭﺎ ٍ ﺕﺍ ِﻟ ، ﹸﺜ ﺒ ﻮ ٍﺕ ﹶﺃ ﻭ ﻧﺍ ِﺘ ﹶﻔ ٍ ﺀﺎ ﹶﺃ ، ﻭ ﻧ ﹸﻔ ﻮ ٍﺫ ﹶﺃ ، ﻭ ِﺇ ﹾﻟ ﻐ ٍ ﺀﺎ <br />
<br />
"Apa-apa yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda untuk <br />
menetapkan atau menolak, melaksanakan atau membatalkan." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
12 <br />
Dan diantaranya adalah sah (ﺔﺤﺼﻟﺍ) dan rusak(ﺩﺎﺴﻔﻟﺍ)/tidak sah-nya sesuatu. <br />
<br />
1. Sah (ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ) secara bahasa : (ﺽﺮﳌﺍ ﻦﻣ ﻢﻴﻠﺴﻟﺍ) yang selamat dari penyakit. <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﻣ ﺗ ﺎ ﺮ ﺗ ﺒ ﺖ ﹶ ﺛﺁ ﺭﺎ ِﻓ ﻌ ِﻠ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﻴ ِﻪ ِﻋ ﺒ ﺩﺎ ﹶﻛ ﹰﺓ ﹶ ﻥﺎ ﹶﺃ ﻡ ﻋ ﹾﻘ ﹰ ﺍﺪ <br />
<br />
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu <br />
ibadah ataupun akad." <br />
<br />
Maka sah dalam ibadah : apa-apa yang beban terlepas dengannya <br />
(yakni ibadah yang sah) dan tuntutan gugur dengannya. <br />
<br />
Dan sah dalam akad : apa-apa yang pengaruh adanya akad tersebut <br />
berakibat terhadap keberadaannya, seperti pada suatu akad jual beli <br />
berakibat kepemilikan. <br />
<br />
Dan tidaklah sesuatu itu menjadi sah kecuali dengan menyempurnakan <br />
syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang-penghalangnya. <br />
<br />
Contohnya dalam ibadah : seseorang mendatangi sholat pada waktunya <br />
dengan menyempurnakan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan kewajiban-<br />
kewajibannya. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
13 <br />
Contohnya dalam akad : seseorang melakukan akad jual beli dengan <br />
menyempurnakan syarat-syaratnya yang telah diketahui dan tidak adanya <br />
penghalang-penghalangnya. <br />
<br />
Jika hilang satu syarat dari syarat-syarat yang ada, atau adanya <br />
penghalang dari penghalang-penghalangnya maka tidak dikatakan sah. <br />
<br />
Contoh hilangnya syarat dalam ibadah : seseorang sholat tanpa bersuci. <br />
<br />
Contoh hilangnya syarat dalam akad : seseorang menjual barang yang <br />
bukan miliknya. <br />
<br />
Contoh adanya penghalang dalam ibadah : seseorang sholat sunnah <br />
mutlak pada waktu larangan. <br />
<br />
Contoh adanya penghalang dalam akad : seseorang menjual sesuatu <br />
kepada orang yang wajib baginya sholat jum'at, sesudah adzan jum'at yang <br />
kedua dari sisi yang tidak dibolehkan. <br />
<br />
2. Rusak / Fasid (ﺪﺳﺎﻔﻟﺍ) secara bahasa : yang pergi dengan hilang dan rugi. <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﻣ ﹶﻻ ﺎ ﺗ ﺘ ﺮ ﺗ ﺐ ﹶ ﺛﺁ ﺭﺎ ِﻓ ﻌ ِﻠ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﻴ ِﻪ ِﻋ ﺒ ﺩﺎ ﹶﻛ ﹰﺓ ﹶ ﻥﺎ ﹶﺃ ﻡ ﻋ ﹾﻘ ﹰ ﺍﺪ <br />
<br />
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik <br />
itu ibadah atu akad." <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
14 <br />
Fasid dalam ibadah : apa-apa yang beban tidak terlepas dengannya dan <br />
tuntutan tidak gugur dengannya; seperti sholat sebelum waktunya. <br />
<br />
Fasid dalam akad : apa-apa yang pengaruh akad tersebut tidak <br />
berakibat padanya (tidak memiliki dampak); seperti menjual sesuatu yang <br />
belum ditentukan. <br />
<br />
Dan semua yang fasid (rusak) dalam ibadah, akad dan syarat-syarat <br />
maka itu adalah haram. Karena yang demikian termasuk melampaui <br />
batasan-batasan Allah dan menjadikan ayat-ayat-Nya sebagai olok-olokan, <br />
dan karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam mengingkari orang yang <br />
mensyaratkan syarat-syarat yang tidak ada dalam kitabullah (al-Qur'an). <br />
<br />
Fasid dan batil memiliki makna yang sama kecuali dalam dua tempat: <br />
<br />
Yang pertama: dalam ihrom, para 'ulama membedakan keduanya, <br />
bahwa yang fasid adalah apabila seorang yang ihrom menyetubuhi istrinya <br />
sebelum tahallul awal; dan yang batil adalah apabila seseorang murtad dari <br />
Islam. <br />
<br />
Yang kedua : dalam nikah; para 'ulama membedakan keduanya, bahwa <br />
yang fasid adalah apa-apa yang diperselisihkan para 'ulama dalam <br />
kerusakannya, seperti nikah tanpa wali; dan batil adalah apa-apa yang <br />
disepakati kebatilannya seperti menikahi wanita yang masih dalam `iddah-<br />
nya. <br />
<br />
*** <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
15 <br />
ﹾ ﻠِ ﻌﻟﺍ ﻢ <br />
ILMU <br />
<br />
Definisinya: <br />
<br />
Ilmu adalah : <br />
<br />
ِﺇ ﺩ ﺭ ﻙﺍ ﺸﻟﺍ ﻲ ِﺀ ﻋ ﹶﻠ ﻣ ﻰ ﻫ ﺎ ﻮ ﻋ ﹶﻠ ﻴ ِﻪ ِﺇ ﺩ ﺭ ﺟ ﹰ ﺎﻛﺍ ِ ﺯﺎ ﹰ ﺎﻣ <br />
<br />
"Mengetahui sesuatu sesuai dengan apa adanya (yakni sesuai dengan yang <br />
sebenarnya) dengan pasti/yakin" <br />
<br />
Misalnya mengetahui bahwa keseluruhan itu lebih besar daripada <br />
sebagian, dan bahwa niat merupakan syarat dari ibadah. <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : ( ﻙﺍﺭﺩﺇ ﺀﻲﺸﻟﺍ ) "mengetahui sesuatu" adalah <br />
tidak mengetahui sesuatu secara menyeluruh, dan dinamakan "kebodohan <br />
yang ringan" ( ﻞﻬﳉﺍ ﻂﻴﺴﺒﻟﺍ ), misalnya seseorang ditanya: "kapankah terjadinya <br />
perang Badar?" Lalu dia menjawab "saya tidak tahu". <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami: (ﻪﻴﻠﻋ ﻮﻫ ﺎﻣ ﻰﻠﻋ) "sesuai dengan yang <br />
sebenarnya" adalah mengetahui sesuatu dari segi yang menyelisihi keadaan <br />
yang sebenarnya dan dinamakan ( ﻞﻬﳉﺍ ﺐﻛﺮﳌﺍ ) "kebodohan yang bertingkat", <br />
misalnya seseorang ditanya : "kapankah terjadinya perang badar?", Lalu dia <br />
menjawab : "pada tahun ketiga Hijriah". <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
16 <br />
Dan keluar dari perkataan kami : ( ﹰ ﺎﻛﺍﺭﺩﺇ ﹰ ﺎﻣﺯﺎﺟ ) "dengan pengetahuan yang <br />
pasti/yakin" adalah mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu dengan <br />
pengetahuan yang tidak pasti/yakin dari segi ada kemungkinan padanya <br />
(bahwa yang benar) tidak sesuai dengan apa yang ia ketahui, maka tidak <br />
dinamakan sebagai ilmu. Kemudian jika kuat padanya dari salah satu <br />
kemungkinan tersebut, maka yang kuat disebut sebagai (ﻦﻇ) dan yang lemah <br />
disebut sebagai (ﻢﻫﻭ), dan jika kedua kemungkinan itu sama maka disebut <br />
sebagai (ﻚﺷ). <br />
<br />
Dengan hal ini jelaslah bahwa hubungan tentang pengetahuan terhadap <br />
sesuatu itu adalah seperti berikut : <br />
<br />
1. Ilmu (ﻢﻠﻋ) : yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan yang sebenarnya <br />
dengan pasti/yakin. <br />
<br />
2. Jahil Basith ( ﻞﻬﺟ ﻂﻴﺴﺑ ) : yaitu tidak mengetahui sesuatu secara menyeluruh <br />
(yakni mengetahui sesuatu secara sebagian saja, pent). <br />
<br />
3. Jahil Murokkab ( ﻞﻬﺟ ﺐﻛﺮﻣ ) : yaitu mendapat pengetahuan tentang sesuatu <br />
dari segi yang menyelisihi apa yang sebenarnya. <br />
<br />
4. Dzonn (ﻦﻇ) : yaitu mendapat pengetahuan tentang sesuatu dengan <br />
kemungkinan adanya (pendapat) lainnya yang marjuh/lemah. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
17 <br />
5. Wahm (ﻢﻫﻭ) : yaitu mendapat pengetahuan tentang sesuatu dengan <br />
kemungkinan adanya (pendapat) lainnya yang rojih/kuat. <br />
<br />
6. Syakk (ﻚﺷ) : yaitu mendapat pengetahuan tentang sesuatu dengan <br />
kemungkinan adanya (pendapat) lainnya yang sama kuat. <br />
<br />
PEMBAGIAN ILMU : <br />
<br />
Ilmu terbagi menjadi dua macam : (ﻱﺭﻭﺮﺿ) "Dhoruri" dan (ﻱﺮﻈﻧ) "Nadzori". <br />
<br />
1. Ilmu Dhoruri adalah apa-apa yang pengetahuan tentangnya sudah diketahui <br />
secara pasti, yaitu sudah pasti padanya tanpa butuh pemeriksaan dan <br />
pendalilan, seperti ilmu tentang bahwa keseluruhan itu lebih besar <br />
daripada sebagian, bahwa api itu panas, dan bahwa Nabi Muhammad <br />
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah subhanahu wa ta'ala. <br />
<br />
2. Ilmu Nadhori adalah apa-apa yang (untuk mengetahuinya) membutuhkan <br />
pemeriksaan dan pendalilan, seperti pengetahuan tentang wajibnya niat <br />
dalam sholat. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
18 <br />
ﹶ ﻜﻟﺍ ﹶ ﻼـ ﻡ <br />
KALAM <br />
<br />
Definisi : <br />
<br />
Kalam secara bahasa : <br />
<br />
ﹾ ﻟﺍ ﱠﻠ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹾ ﻟﺍ ﻤ ﻮ ﺿ ﻮ ﻉ ِﻟ ﻤ ﻌ ﲎ <br />
<br />
"Lafadh yang diletakkan untuk suatu makna." <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﹾﺍ ﱠ ﻠﻟ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹸ ﳌﺍ ِﻔ ﻴ ﺪ <br />
<br />
"Lafadh yang berfaidah (memiliki makna)", <br />
<br />
Misalnya : ( ﻴﺒﻧ ﺪـﻤﳏﻭ ﺎﻨﺑﺭ ﷲﺍ ﺎـﻨ ) "Allah adalah Robb kita dan Muhammad adalah <br />
Nabi kita". <br />
<br />
Dan suatu kalam minimal tersusun dari dua kata benda; atau satu kata <br />
kerja dan satu kata benda. <br />
<br />
Contoh yang pertama : ( ﷲﺍ ﻝﻮـﺳﺭ ﺪـﻤﳏ) "Muhammad adalah Rosullullah" dan <br />
contoh yang kedua adalah (ﺪﻤﳏ ﻡﺎﻘﺘﺳﺍ) "Muhammad berdiri". <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
19 <br />
Dan satu bagian dari kalam disebut kata yaitu : Lafadh yang diletakkan <br />
untuk suatu makna tunggal, yaitu kadang-kadang berupa kata benda (isim), <br />
kata kerja (fi'il), atau huruf (harf). <br />
<br />
Isim (kata benda) : <br />
<br />
ﻣ ﺩ ﺎ ﱠﻝ ﻋ ﹶﻠ ﻣ ﻰ ﻌ ﲎ ِﻓ ﻲ ﻧ ﹾﻔ ِﺴ ِﻪ ِﻣ ﻦ ﹶ ﻏ ﻴ ِﺮ ِﺇ ﺷ ﻌ ٍ ﺭﺎ ِﺑ ﺰ ﻣ ٍﻦ <br />
<br />
"apa-apa yang menunjukkan makna pada dirinya sendiri dengan tidak <br />
menunjukkan waktu tertentu." <br />
<br />
Dan isim ada tiga macam : <br />
<br />
Pertama : Apa-apa yang menunjukkan keumuman misalnya kata sambung. <br />
<br />
Kedua : Apa-apa yang menunjukkan kemutlakan misalnya nakiroh dalam <br />
konteks penetapan. <br />
<br />
Ketiga : Apa-apa yang menunjukkan kekhususan misalnya nama orang. <br />
<br />
Fi'il (kata kerja): <br />
<br />
ﻣ ﺩ ﺎ ﱠﻝ ﻋ ﹶﻠ ﻣ ﻰ ﻌ ﲎ ِﻓ ﻲ ﻧ ﹾﻔ ِﺴ ِﻪ ﻭ ، ﹶﺃ ﺷ ﻌ ﺮ ِﺑ ﻬ ﻴ ﹶﺌ ِﺘ ِﻪ ِﺑ ﹶ ﺄ ﺣ ِﺪ ﹾﺍ َ ﻷ ﺯ ِﻣ ﻨ ِﺔ ﻟﺍ ﱠﺜ ﹶﻼ ﹶﺛ ِﺔ <br />
<br />
"Apa-apa yang menunjukkan makna pada dirinya sendiri, dan keadaannya <br />
menunjukkan salah satu dari tiga waktu." <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
20 <br />
Yaitu fi'il madhi seperti ( ﻢـِ ﻬﹶﻓ), fi'il mudhori' seperti ( ﻢـ ﻬﹾ ﻔﻳ) atau fi'il amr <br />
seperti ( ﻢ ﻬﹾ ﻓِﺍ). <br />
<br />
Dan fi'il dengan pembagiannya tersebut memberikan faidah mutlaq, <br />
bukan umum. <br />
<br />
Harf adalah : <br />
<br />
ﻣ ﺩ ﺎ ﱠﻝ ﻋ ﹶﻠ ﻣ ﻰ ﻌ ﻨ ِﻓ ﻰ ﹶ ﻏ ﻲ ﻴ ِﺮ ِﻩ <br />
<br />
"Apa-apa yang menunjukkan makna pada yang selainnya" <br />
<br />
Diantaranya : <br />
<br />
1. Wawu ( ﻭﺍﻮـﻟﺍ) : datang sebagai 'athof (penyambung), maka memberikan <br />
faidah penggabungan dua hal yang saling bersambung di dalam sebuah <br />
hukum, tidak menunjukkan urutan dan tidak menafikannya kecuali <br />
dengan dalil. <br />
<br />
2. Fa' (ﺀﺎﻔﻟﺍ) : datang sebagai 'athof (penyambung), maka memberikan faidah <br />
penggabungan dua hal yang saling bersambung di dalam hukum dengan <br />
berurutan dan beriringan dan datang dengan sebab, dan memberi faidah <br />
ta'lil (alasan). <br />
<br />
3. ( ﺓ ﺭﺎـﳉﺍ ﻡﻼـﻟﺍ) : memiliki beberapa makna diantaranya : sebab, kepemilikan <br />
dan kebolehan. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
21 <br />
4. (ﺓ ﺭﺎﳉﺍ ﻰﻠﻋ) : memiliki beberapa makna diantaranya : wajib. <br />
<br />
JENIS-JENIS KALAM : <br />
<br />
Kalam terbagi dari segi kemungkinan disifati benar dan tidaknya dengan dua <br />
macam : <br />
<br />
1) Al-Khobar (Berita): <br />
<br />
ﻣ ﻳ ﺎ ﻤ ِﻜ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻳ ﻮ ﺻ ﻒ ِﺑ ﺼﻟﺎ ﺪ ِ ﻕ ﹶﺃ ﻭ ﹶ ﻜﻟﺍ ِ ﺬ ِﺏ ِﻟ ﹶ ﺬ ِ ﺗﺍ ِﻪ <br />
<br />
"Kalam yang mungkin disifati dengan benar atau dusta pada asalnya." <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : (ﺏﺬﻜﻟﺍﻭ ﻕﺪﺼﻟﺎﺑ ﻒﺻﻮﻳ ﻥﺃ ﻦﻜﳝ ﺎﻣ) "Apa-apa yang <br />
mungkin disifati dengan benar atau dusta"; (ﺀﺎﺸﻧﻹﺍ) "al-insya' (yang mengandung <br />
perintah atau larangan, pent)" karena tidak memiliki kemungkinan seperti <br />
itu, sebab penunjukannya bukanlah suatu pengkabaran yang mungkin untuk <br />
dikatakan : ia benar atau dusta. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : (ﻪﺗﺍﺬﻟ) "pada asalnya"; khobar yang tidak <br />
mengandung kebenaran, atau tidak mengandung kedustaan dari sisi yang <br />
dikabarkan. Yang demikian karena khobar dari sisi yang dikabarkan terbagi <br />
menjadi 3 : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
22 <br />
Pertama, yang tidak mungkin disifati dengan dusta, seperti khobar dari <br />
Allah dan Rasul-Nya yang telah shohih darinya. <br />
<br />
Kedua, yang tidak mungkin disifati dengan kebenaran, seperti khobar <br />
tentang sesuatu yang mustahil secara syar'i atau secara akal. Yang pertama <br />
(mustahil secara syar'i, pent), seperti seorang yang mengaku sebagai Rasul <br />
setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam; dan yang kedua (mustahil secara <br />
akal, pent), seperti khobar berkumpulnya 2 hal yang saling bertentangan <br />
(yang tidak mungkin ada bersamaan atau hilang bersamaan, pent) seperti <br />
bergerak dan diam pada sesuatu yang satu pada waktu yang sama. <br />
<br />
Ketiga, yang mungkin disifati dengan benar dan dusta baik dengan <br />
kemungkinan yang sama (tidak bisa dibenarkan dan didustakan karena sulit <br />
ditarjih, pent) atau dengan merojihkan salah satunya, seperti kabar dari <br />
seseorang tentang sesuatu yang ghoib dan yang semisalnya. <br />
<br />
2) Al-Insya' (ﺀﺎﺸﻧﻹﺍ): <br />
<br />
ﻣ ﹶﻻ ﺎ ﻳ ﻤ ِﻜ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻳ ﻮ ﺻ ﻒ ِﺑ ﺼﻟﺎ ﺪ ِ ﻕ ﻭ ﹾ ﻟﺍ ﹶﻜ ِ ﺬ ِﺏ <br />
<br />
"Kalam yang tidak mungkin disifati dengan benar atau dusta", <br />
diantaranya adalah perintah dan larangan. Seperti firman Allah : <br />
<br />
ﺎﺌ ﻴﺷ ِ ﻪِﺑ ﺍﻮﹸ ﻛِ ﺮ ﺸﺗ ﻻﻭ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺍﻭ ﺪ ﺒ ﻋﺍﻭ <br />
<br />
"Sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukannya dengan sesuatu <br />
apapun." (an-Nisa : 36) <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
23 <br />
Dan terkadang kalam adalah berupa khobar insya' ditinjau dari 2 sisi; <br />
seperti bentuk akad yang dilafadzkan, misal : "aku jual atau aku terima", <br />
karena kalimat ini merupakan khobar ditinjau dari penunjukannya terhadap <br />
apa yang ada (kehendak, pent) pada orang yang meng-akad, dan merupakan <br />
insya' ditinjau dari sisi konsekuensi akad. <br />
<br />
Terkadang kalam datang dalam bentuk khobar tapi yang dimaksud <br />
dengannya adalah Insya' dan sebaliknya untuk suatu faidah. <br />
<br />
Contoh yang pertama : Firman Allah subhanahu wa ta'ala : <br />
<br />
ٍ ﺀﻭ ﺮﹸ ﻗ ﹶ ﺔﹶ ﺛﻼﹶﺛ ﻦِ ﻬِ ﺴﹸ ﻔ ﻧﹶ ﺄِﺑ ﻦ ﺼ ﺑ ﺮ ﺘﻳ ﺕﺎﹶ ﻘﱠ ﻠﹶ ﻄ ﻤﹾ ﻟﺍﻭ <br />
<br />
"Dan perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah menunggu tiga <br />
kali quru'" (al-Baqoroh : 228) <br />
<br />
Maka firman Allah "ﻦ ﺼ ﺑ ﺮ ﺘﻳ" adalah berbentuk khobar tetapi yang dimaksud <br />
dengannya adalah perintah, dan faidah dari hal tersebut adalah penegasan <br />
terhadap perbuatan yang diperintahkan tersebut, sampai seolah-olah <br />
perintah tersebut seperti perintah yang telah terjadi, berbicara dengannya <br />
seperti salah satu sifat dari sifat-sifat perintah. <br />
<br />
Contoh yang sebaliknya : Firman Allah subhanahu wa ta'ala : <br />
<br />
ﻢﹸ ﻛﺎ ﻳﺎﹶ ﻄ ﺧ ﹾ ﻞِ ﻤ ﺤ ﻨﹾ ﻟﻭ ﺎ ﻨﹶ ﻠﻴِ ﺒﺳ ﺍﻮ ﻌِ ﺒ ﺗﺍ ﺍﻮ ﻨ ﻣﺁ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻠِﻟ ﺍﻭ ﺮﹶ ﻔﹶﻛ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗﻭ <br />
<br />
"Dan berkata orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman, " Ikutilah <br />
jalan (agama) kami dan kami akan memikul kesalahan-kesalahan kamu." [QS <br />
al-Ankabut : 12] <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
24 <br />
Maka firman Allah "ﹾ ﻞِ ﻤ ﺤ ﻨﹾ ﻟﻭ" adalah dalam bentuk perintah tetapi yang dimaksud <br />
dengannya adalah khobar, yaitu : dan kami akan memikul, dan faidah dari hal <br />
tersebut adalah menempatkan sesuatu yang dikhobarkan tersebut pada <br />
tempat yang diwajibkan dan diharuskan dengannya. <br />
<br />
HAKIKAT DAN MAJAZ <br />
<br />
Kalam dari sisi penggunaannya terbagi menjadi hakikat dan majaz. <br />
<br />
1. Hakikat (ﺔﻘﻴﻘﳊﺍ) adalah <br />
<br />
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹾ ﻟﺍ ﻤ ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ ﻴ ﻤ ﻭ ﺎ ﺿ ﻊ ﹶﻟ ﻪ <br />
<br />
"Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya." <br />
<br />
Seperti : Singa (ﺪﺳﺃ) untuk suatu hewan yang buas. <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : (ﻞﻤﻌﺘﺴﳌﺍ) "yang digunakan" : yang tidak <br />
digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ( ﻪـﻟ ﻊﺿﻭ ﺎﻤﻴﻓ) " pada asal peletakannya" : <br />
Majaz. <br />
<br />
Dan hakikat terbagi menjadi tiga macam : Lughowiyyah, Syar'iyyah dan <br />
'Urfiyyah. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
25 <br />
Hakikat lughowiyyah adalah : <br />
<br />
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹾ ﻟﺍ ﻆ ﻤ ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ ﻴ ﻤ ﻭ ﺎ ِﺿ ﻊ ﹶﻟ ﻪ ِﻓ ﻲ ﱡ ﻠﻟﺍ ﻐ ِﺔ <br />
<br />
"Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa." <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : (ﺔﻐﻠﻟﺍ ﰲ) "secara bahasa" : hakikat syar'iyyah <br />
dan hakikat 'urfiyyah. <br />
<br />
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, <br />
maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa. <br />
<br />
Hakikat syar'iyyah adalah : <br />
<br />
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹾ ﻟﺍ ﻤ ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ ﻴ ﻤ ﻭ ﺎ ِﺿ ﻊ ﹶﻟ ﻪ ِﻓ ﻲ ﺸﻟﺍ ﺮ ِ ﻉ <br />
<br />
"Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara syar'i." <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : (ﻉﺮـ ـﺸﻟﺍ ﰲ) "secara syar'i" : hakikat <br />
lughowiyyah dan hakikat 'urfiyyah. <br />
<br />
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara syar'i adalah <br />
perkataan dan perbuatan yang sudah diketahui yang dimulai dengan takbir <br />
dan diakhiri dengan salam, maka dibawa pada makna tersebut menurut <br />
perkataan ahli syar'i. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
26 <br />
Hakikat 'urfiyyah adalah : <br />
<br />
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹸ ﳌﺍ ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ ﻴ ﻤ ﻭ ﺎ ِﺿ ﻊ ﹶﻟ ﻪ ِﻓ ﻲ ﻌﻟﺍ ﺮ ِ ﻑ <br />
<br />
"Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara 'urf (adat/kebiasaan)." <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : (ﻑﺮﻌﻟﺍ ﰲ) "secara 'urf" : hakikat lughowiyyah <br />
dan hakikat syar'iyyah. <br />
<br />
Contohnya : Ad-Dabbah ( ﺔـﺑﺍﺪﻟﺍ), maka sesungguhnya hakikatnya secara 'urf <br />
adalah hewan yang mempunyai empat kaki, maka dibawa pada makna <br />
tersebut menurut perkataan ahli 'urf. <br />
<br />
Dan manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah <br />
: Agar kita membawa setiap lafadz pada makna hakikat dalam tempat yang <br />
semestinya sesuai dengan penggunaannya. Maka dalam penggunaan ahli <br />
bahasa lafadz dibawa kepada hakikat lughowiyyah dan dalam penggunaan <br />
syar'i dibawa kepada hakikat syar'iyyah dan dalam penggunaan ahli 'urf <br />
dibawa kepada hakikat 'urfiyyah. <br />
<br />
2. Majaz (ﺯﺎﺍ) adalah <br />
<br />
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹸ ﳌﺍ ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ ﻲ ﹶ ﻏ ﻴ ِﺮ ﻣ ﻭ ﺎ ِﺿ ﻊ ﹶﻟ ﻪ <br />
<br />
"Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya." <br />
<br />
Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
27 <br />
Maka keluar dari perkataan kami : (ﻞﻤﻌﺘﺴﳌﺍ) "yang digunakan" : yang tidak <br />
digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ( ﻪـﻟ ﻊـﺿﻭ ﺎـﻣ ﲑـﻏ ﰲ) "bukan pada asal <br />
peletakannya" : Hakikat. <br />
<br />
Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan <br />
dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, <br />
dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat). <br />
<br />
Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafadz pada majaznya : Adanya <br />
kesatuan antara makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar <br />
benarnya pengungkapannya, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan <br />
sebagai 'Alaqoh (hubungan/ penyesuaian), dan 'Alaqoh bisa berupa <br />
penyerupaan atau yang selainnya. <br />
<br />
Maka jika majaz tersebut dengan penyerupaan, dinamakan majaz <br />
Isti'arah (ﺓﺭﺎﻌﺘﺳﺍ), seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang <br />
pemberani. <br />
<br />
Dan jika bukan dengan penyerupaan, dinamakan majaz Mursal (ﻞﺳﺮﻣ ﺯﺎﳎ) <br />
jika majaznya dalam kata, dan dinamakan majaz 'Aqli (ﻲﻠﻘﻋ ﺯﺎﳎ) jika majaznya <br />
dalam penyandarannya. <br />
<br />
Contohnya dari majaz mursal : kamu mengatakan : ( ﺮـﻄﳌﺍ ﺎـﻨﻴﻋﺭ) "Kami <br />
memelihara hujan", maka kata ( ﺮـﻄﳌﺍ) "hujan" merupakan majaz dari rumput <br />
(ﺐﺸﻌﻟﺍ). Maka majaz ini adalah pada kata. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
28 <br />
Dan contohnya dari majaz 'Aqli : Kamu mengatakan : ( ﺐـﺸﻌﻟﺍ ﺮـﻄﳌﺍ ﺖـﺒﻧﺃ) <br />
"Hujan itu menumbuhkan rumput", maka kata-kata tersebut seluruhnya <br />
menunjukkan hakikat maknanya, tetapi penyandaran menumbuhkan pada <br />
hujan adalah majaz, karena yang menumbuhkan secara hakikat adalah Allah <br />
ta'ala, maka majaz ini adalah dalam penyandarannya. <br />
<br />
Dan diantara majaz mursal adalah : Majaz dalam hal penambahan dan <br />
majaz dalam hal penghapusan. <br />
<br />
Mereka memberi permisalan majaz dalam hal penambahan dengan <br />
firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ٌ ﺀ ﻲﺷ ِ ﻪِ ﻠﹾ ﺜِ ﻤﹶﻛ ﺲ ﻴﹶﻟ <br />
<br />
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya" (QS. Asy-Syuro : 11) <br />
<br />
Maka mereka mengatakan : Sesungguhnya ( ﻑﺎـﻜﻟﺍ) "huruf kaaf" adalah <br />
tambahan untuk penguatan peniadaan permisalan dari Allah ta'ala. <br />
<br />
Contoh dari majaz dengan penghapusan adalah firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﹶ ﺔ ﻳ ﺮﹶ ﻘﹾ ﻟﺍ ِ ﻝﹶ ﺄ ﺳﺍﻭ <br />
<br />
"Bertanyalah kepada desa" (QS. Yusuf : 82) <br />
<br />
Maksudnya : ( ﺔـﻳﺮﻘﻟﺍ ﻞـﻫﺃ ﻝﺄـﺳﺍﻭ) "bertanyalah pada penduduk desa", maka <br />
penghapusan kata ) ﻞـﻫﺃ ( "penduduk" adalah suatu majaz, dan bagi majaz ada <br />
macam yang sangat banyak yang disebutkan dalam ilmu bayan. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
29 <br />
Dan hanya saja disebutkan sedikit tentang hakikat dan majaz dalam <br />
ushul fiqh karena penunjukan lafadz bisa jadi berupa hakikat dan bisa jadi <br />
berupa majaz, maka dibutuhkan untuk mengetahui keduanya dan hukumnya. <br />
Wallahu A'lam. <br />
<br />
PERINGATAN: <br />
<br />
Pembagian kalam menjadi hakikat dan majaz adalah masyhur di <br />
kalangan sebagian besar muta'akhkhirin dalam Al-Qur'an dan yang selainnya. <br />
Dan berkata sebagian ahli ilmu : "Tidak ada majaz dalam Al-Qur'an" dan <br />
berkata sebagian yang lain : "Tidak ada majaz dalam Al-Qur'an dan yang <br />
selainnya", dan ini merupakan pendapat Abu Ishaq Al-Isfaroyin dan dari <br />
kalangan muta'akhkhirin Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi. Dan Syaikhul <br />
Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim telah menjelaskan <br />
bahwasanya istilah tersebut muncul setelah berlalunya tiga masa yang utama, <br />
dan beliau menguatkan pendapat ini dengan dalil-dalil yang kuat dan banyak, <br />
yang menjelaskan kepada orang yang menelitinya bahwa pendapat ini adalah <br />
pendapat yang benar. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
30 <br />
َ ﻷﺍ ﻣ ﺮ <br />
PERINTAH <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Perintah (ﺮﻣﻷﺍ) adalah : <br />
<br />
ﹶ ﻗ ﻮ ﹲﻝ ﻳ ﺘ ﻀ ﻤ ﻦ ﹶﻃ ﹶﻠ ﺐ ِ ﻔﻟﺍ ﻌ ِﻞ ﻋ ﹶﻠ ﻭ ﻰ ﺟ ِﻪ ﹾﺍ ِﻻ ﺳ ِﺘ ﻌ ﹶﻼ ِﺀ <br />
<br />
"Perkataan yang mengandung permintaan untuk dilakukannya suatu <br />
perbuatan, dalam bentuk al-isti'la (dari yang lebih tinggi ke yang lebih <br />
rendah, seperti Allah memerintahkan hamba-Nya. pent). <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﻝﻮـﻗ) "perkataan" ; Isyarat, maka isyarat <br />
tidak dinamakan perintah, walaupun maknanya memberi faidah perintah. <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﺐـﻠﻃ ﻞـﻌﻔﻟﺍ ) "permintaan untuk dilakukannya <br />
suatu perbuatan" ; larangan, karena larangan merupakan permintaan untuk <br />
meninggalkan sesuatu, dan yang dimaksud dengan perbuatan adalah <br />
mewujudkan sesuatu, maka (perbuatan tersebut, pent) mencakup <br />
perkataan/ucapan yang diperintahkan. <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﻰـﻠﻋ ﻪـﺟﻭ ﺀﻼﻌﺘـﺳﻻﺍ ) "dalam bentuk isti'la" ; al-<br />
iltimas (setara/sejajar/selevel, pent) dan do'a (dari yang lebih rendah <br />
kepada yang lebih tinggi, pent) dan yang selainnya yang diambil dari bentuk <br />
perintah dengan adanya qorinah (yakni konteks kalimatnya bukan sebagai <br />
perintah, pent). Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
31 <br />
BENTUK-BENTUK PERINTAH : <br />
<br />
Bentuk-bentuk perintah ada empat : <br />
<br />
1. Fi'il amr ( ﻞﻌﻓ ﺮﻣﻷﺍ ), <br />
<br />
Contohnya : <br />
<br />
ﹸ ﻞ ﺗﺍ ِ ﺏﺎ ﺘِ ﻜﹾ ﻟﺍ ﻦِﻣ ﻚ ﻴﹶ ﻟِﺇ ﻲِ ﺣﻭﹸﺃ ﺎﻣ <br />
<br />
"Bacalah apa-apa yang diwahyukan kepadamu dari Al-Kitab" [QS. Al-<br />
Ankabut :45] <br />
<br />
2. Isim fi'il amr ( ﻢﺳﺍ ﻞﻌﻓ ﺮﻣﻷﺍ ), <br />
<br />
Contohnya : <br />
<br />
ﺣ ﻲ ﻋ ﹶﻠ ﺼﻟﺍ ﻰ ﹶﻼ ِﺓ <br />
<br />
"Marilah kita sholat" <br />
<br />
3. Masdar pengganti dari fi'il amr (ﺮﻣﻷﺍ ﻞﻌﻓ ﻦﻋ ﺐﺋﺎﻨﻟﺍ ﺭﺪﺼﳌﺍ), <br />
<br />
Contohnya : <br />
<br />
ﺍﻭ ﺮﹶ ﻔﹶﻛ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﻢ ﺘﻴِ ﻘﹶﻟ ﺍﹶ ﺫِ ﺈﹶﻓ ﺏ ﺮ ﻀﹶﻓ ﺏﺎﹶ ﻗ ﺮﻟﺍ <br />
<br />
"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka <br />
pancunglah batang leher mereka." [QS. Muhammad : 4] <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
32 <br />
4. Fi'il Mudhori' yang bersambung dengan lam amr (ﺮﻣﻷﺍ ﻡﻼﺑ ﻥﻭﺮﻘﳌﺍ ﻉﺭﺎﻀﳌﺍ), <br />
<br />
Contohnya : <br />
<br />
ﺍﻮ ﻨِ ﻣ ﺆ ﺘِﻟ ِ ﻪِ ﻟﻮ ﺳ ﺭﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺎِﺑ <br />
<br />
"Supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya" QS. Al-Mujadalah:4] <br />
<br />
Dan terkadang yang selain bentuk perintah memberi faidah permintaan <br />
untuk dilakukannya suatu perbuatan seperti suatu perbuatan yang disifati <br />
dengan hukum fardhu atau wajib atau mandub (disukai) atau merupakan <br />
ketaatan atau pelakunya dipuji atau yang meninggalkannya dicela atau <br />
mengerjakannya mendapat ganjaran atau meninggalkannya mendapat adzab. <br />
<br />
Yang ditunjukkan dari bentuk perintah (ﺮﻣﻷﺍ ﺔﻐﻴﺻ): <br />
<br />
Bentuk perintah secara mutlak/ umum memberi konsekuensi: wajibnya <br />
sesuatu yang diperintahkan dan bersegera (ﺓﺭﺩﺎﺒﳌﺍ) dalam melakukannya secara <br />
langsung. <br />
<br />
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa bentuk perintah memberi <br />
konsekuensi wajib adalah firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﻢﻴِ ﻟﹶﺃ ﺏﺍﹶ ﺬﻋ ﻢ ﻬ ﺒﻴِ ﺼﻳ ﻭﹶﺃ ﹲ ﺔ ﻨ ﺘِﻓ ﻢ ﻬ ﺒﻴِ ﺼﺗ ﹾ ﻥﹶﺃ ِ ﻩِ ﺮ ﻣﹶﺃ ﻦﻋ ﹶ ﻥﻮﹸ ﻔِ ﻟﺎ ﺨﻳ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ِ ﺭﹶ ﺬ ﺤ ﻴﹾ ﻠﹶﻓ <br />
<br />
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan <br />
ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih" [QS. an-Nur : 63] <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
33 <br />
Segi pendalilannya bahwasanya Allah memperingatkan kepada orang-<br />
orang yang menyelisihi perintah Rosul shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa <br />
mereka akan tertimpa fitnah yaitu kesesatan atau mereka akan ditimpa <br />
dengan adzab yang pedih, yang demikian itu tidaklah terjadi melainkan <br />
dengan meninggalkan kewajiban, maka ini menunjukkan bahwa perintah <br />
Rosullullah shallallahu 'alaihi wa sallam secara mutlak/ umum menunjukkan <br />
wajibnya perbuatan yang diperintahkan. <br />
<br />
Dan diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa bentuk perintah <br />
menunjukkan untuk segera dilakukan secara langsung adalah firman Allah <br />
ta'ala : <br />
<br />
ِ ﺕﺍ ﺮ ﻴ ﺨﹾ ﻟﺍ ﺍﻮﹸ ﻘِ ﺒ ﺘ ﺳﺎﹶﻓ <br />
<br />
"Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan" [QS. Al-Baqoroh : <br />
148] <br />
<br />
Dan semua yang diperintahkan secara syar'i merupakan kebaikan, dan <br />
perintah untuk berlomba-lomba dalam mengerjakannya merupakan dalil <br />
wajibnya bersegera. <br />
<br />
Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membenci ketika para sahabat <br />
menunda-nunda apa yang diperintahkan kepada mereka dari menyembelih <br />
dan mencukur rambut pada hari perjanjian Hudaibiyyah, sampai Rosullullah <br />
shallallahu 'alaihi wa sallam masuk mendatangi Ummu Salamah radhiyallahu <br />
'anha maka beliau menceritakan kepadanya apa yang beliau dapatkan dari <br />
sikap para sahabat (yang menunda-nunda perintahnya, pent). [HR. Ahmad <br />
dan Al-Bukhori]. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
34 <br />
Dan karena bersegera dalam melakukan suatu perbuatan (yang <br />
diperintahkan, pent) adalah lebih hati-hati dan lebih membebaskan dari <br />
tanggungan, dan menunda-nunda melakukan perbuatan yang diperintahkan <br />
merupakan cacat, dan memberi konsekuensi bertumpuknya kewajiban-<br />
kewajiban sehingga seseorang menjadi tidak sanggup mengerjakannya. <br />
<br />
Dan terkadang perintah keluar dari hukum wajib dan bersegera dengan <br />
adanya dalil yang menunjukkan demikian maka perintah keluar dari hukum <br />
wajib kepada beberapa makna (hukum), diantaranya : <br />
<br />
1. Mandub (disukai), seperti firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﻢ ﺘ ﻌ ﻳﺎ ﺒﺗ ﺍﹶ ﺫِﺇ ﺍﻭ ﺪِ ﻬ ﺷﹶ ﺃﻭ <br />
<br />
"Dan datangkanlah saksi jika kalian berjual beli" [QS. Al-Baqoroh : 282] <br />
<br />
Perintah untuk mendatangkan saksi atas jual beli hukumnya adalah mandub <br />
dengan dalil bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membeli kuda dari <br />
seorang A'robi (Arab Badui) dan beliau tidak mendatangkan saksi. [HR. <br />
Ahmad, An-Nasa'i, Abu Dawud, dan pada hadits tersebut terdapat suatu <br />
cerita]. <br />
<br />
2. Mubah (Boleh), dan kebanyakan yang terjadi adalah jika perintah tersebut <br />
datang setelah adanya larangan atau sebagai jawaban terhadap sesuatu yang <br />
disangka terlarang. <br />
<br />
Contoh setelah adanya larangan : firman Allah ta'ala : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
35 <br />
ﺍﻭ ﺩﺎﹶ ﻄ ﺻﺎﹶﻓ ﻢ ﺘﹾ ﻠﹶ ﻠﺣ ﺍﹶ ﺫِ ﺇﻭ <br />
<br />
"Jika engkau telah bertahallul maka berburulah" [QS. Al-Maidah : 2] <br />
<br />
Perintah untuk berburu tersebut hukumnya mubah karena ia muncul <br />
setelah adanya larangan yang ditunjukkan dari firman Allah : <br />
<br />
ﻭ ِ ﺪ ﻴ ﺼﻟﺍ ﻲﱢ ﻠِ ﺤﻣ ﺮ ﻴﹶ ﻏ ﻡ ﺮﺣ ﻢ ﺘ ﻧﹶﺃ <br />
<br />
"(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang <br />
dalam keadaan ber-ihrom." [QS. Al-Maidah : 1] <br />
<br />
Dan contoh sebagai jawaban terhadap sesuatu yang disangka terlarang <br />
adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﹾ ﻓﺍ ﻌ ﹾﻞ ﻭ ﹶﻻ ﺣ ﺮ ﺝ <br />
<br />
"Lakukanlah, tidak mengapa!" [Muttafaqun alaih] <br />
<br />
Sebagai jawaban atas orang yang bertanya kepada beliau pada haji wada' <br />
tentang mendahulukan amalan-amalan haji yang satu terhadap yang lainnya <br />
yang dikerjakan pada hari Ied. <br />
<br />
3. Ancaman seperti pada firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﲑِ ﺼﺑ ﹶ ﻥﻮﹸ ﻠ ﻤ ﻌﺗ ﺎ ﻤِﺑ ﻪ ﻧِﺇ ﻢ ﺘﹾ ﺌِﺷ ﺎﻣ ﺍﻮﹸ ﻠ ﻤ ﻋﺍ <br />
<br />
"Berbuatlah semau kalian, sesungguhnya Allah Maha Melihat terhadap <br />
apa-apa yang kalian kerjakan." [QS. Fushshilat : 40] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
36 <br />
ﻴﹾ ﻠﹶﻓ ﺀﺎﺷ ﻦ ﻣﻭ ﻦِ ﻣ ﺆ ﻴﹾ ﻠﹶﻓ ﺀﺎﺷ ﻦ ﻤﹶﻓ ﺍ ﺭﺎﻧ ﲔِ ﻤِ ﻟﺎﱠ ﻈﻠِﻟ ﺎ ﻧ ﺪ ﺘ ﻋﹶﺃ ﺎ ﻧِﺇ ﺮﹸ ﻔﹾﻜ <br />
<br />
"Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan <br />
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya Kami telah <br />
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka" [QS. Al-Kahfi: 29] <br />
<br />
Penyebutan ancaman setelah adanya perintah yang disebutkan tadi <br />
merupakan dalil bahwa perintah tersebut adalah sebagai ancaman. <br />
<br />
Dan terkadang perintah keluar dari hukum bersegera kepada hukum boleh <br />
ditunda (ﻲﺧﺍﺮﺘﻟﺍ). <br />
<br />
Contohnya : Qodho' puasa romadhon, maka seseorang diperintahkan <br />
untuk menunaikannya, akan tetapi ada dalil yang menunjukkan bahwa qodho' <br />
tersebut boleh ditunda. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata : <br />
<br />
ِﻓ ﺎﱠ ﻟِﺇ ﻪ ﻴِ ﻀﹾ ﻗﹶﺃ ﹾ ﻥﹶﺃ ﻊﻴِ ﻄ ﺘ ﺳﹶﺃ ﺎ ﻤﹶﻓ ﹶ ﻥﺎ ﻀ ﻣﺭ ﻦِﻣ ﻡ ﻮ ﺼﻟﺍ ﻲﹶ ﻠﻋ ﹸ ﻥﻮﹸ ﻜﻳ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ ﻚِ ﻟﹶ ﺫﻭ ﹶ ﻥﺎ ﺒ ﻌﺷ ﻲ<br />
ﻢﱠ ﻠ ﺳﻭ ِ ﻪ ﻴﹶ ﻠﻋ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻰﱠ ﻠﺻ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ِ ﻝﻮ ﺳﺭ ِ ﻥﺎﹶ ﻜ ﻤِﻟ <br />
<br />
"Aku pernah mempunyai hutang puasa romadhon, aku tidak mampu untuk <br />
mengqodho'nya kecuali di bulan Sya'ban, yang demikian adalah karena <br />
kedudukan Rosullullah shallallahu 'alaihi wa sallam." [HR. Al-Jama'ah] <br />
<br />
Dan seandainya mengakhirkannya adalah haram maka Aisyah tidak akan <br />
diizinkan untuk mengakhirkan qodho' tersebut. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
37 <br />
APA YANG TIDAK SEMPURNA SESUATU YANG DIPERINTAHKAN KECUALI <br />
DENGANNYA (ﻪﺑ ﻻﺇ ﺭﻮﻣﺄﳌﺍ ﻢﺘﻳ ﻻ ﺎﻣ): <br />
<br />
Jika suatu perbuatan yang diperintahkan tidak bisa dikerjakan kecuali <br />
dengan sesuatu maka sesuatu tersebut adalah diperintahkan, jika yang <br />
diperintahkan adalah wajib maka sesuatu itu hukumnya juga wajib, dan jika <br />
yang diperintahkan adalah mandub maka sesuatu itu hukumnya mandub. <br />
<br />
Contoh yang wajib : menutup aurat, jika tidak bisa dikerjakan kecuali <br />
dengan membeli pakaian, maka membeli pakaian tersebut hukumnya menjadi <br />
wajib. <br />
<br />
Contoh yang mandub : memakai wewangian untuk sholat jum'at, jika <br />
tidak bisa dikerjakan kecuali dengan membeli wewangian, maka membeli <br />
wewangian tersebut hukumnya menjadi mandub. <br />
<br />
Dan kaidah ini terkandung pada kaidah yang lebih umum darinya yaitu : <br />
<br />
ﻮﻟﺍ ﺳ ِ ﺋﺎ ﹸﻞ ﹶﻟ ﻬ ﹶﺃ ﺎ ﺣ ﹶﻜ ﻡﺎ ﹶ ﳌﺍ ﹶﻘ ِ ﺻﺎ ِﺪ <br />
<br />
"hukum wasilah adalah sebagaimana hukum yang dituju." <br />
<br />
Maka wasilah-wasilah untuk suatu yang diperintahkan hukumnya adalah <br />
diperintahkan juga, dan wasilah-wasilah yang suatu yang dilarang hukumnya <br />
adalah dilarang. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
38 <br />
ﻲـ ﻬ ﻨﻟﺍ <br />
LARANGAN <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Larangan (ﻲﻬﻨﻟﺍ) adalah : <br />
<br />
ﹶ ﻗ ﻮ ﹲﻝ ﻳ ﺘ ﻀ ﻤ ﻦ ﹶﻃ ﹶﻠ ﺐ ﻟﺍ ﹶﻜ ﻒ ﻋ ﹶﻠ ﻭ ﻰ ﺟ ِﻪ ﹾﺍ ِﻻ ﺳ ِﺘ ﻌ ﹶﻼ ِﺀ ِﺑ ِ ﺼ ﻴ ﻐ ٍﺔ ﻣ ﺨ ﺼ ﻮ ﺻ ٍﺔ ِﻫ ﻲ ﹸ ﳌﺍ ﻀ ِ ﺭﺎ ﻉ ﹶ ﳌﺍ ﹾﻘ ﺮ ﻭ ﹸﻥ ِﺑ ﹶﻼ <br />
ﻨﻟﺍ ِ ﻫﺎ ﻴ ِﺔ <br />
<br />
"Perkataan yang mengandung permintaan untuk menahan diri dari suatu <br />
perbuatan dalam bentuk isti'la' (dari atas ke bawah) dengan bentuk khusus <br />
yaitu fi'il mudhori' yang didahului dengan 'la nahiyah' (ﺔﻴِ ﻫﺎ ﻨﻟﺍ ﹶﻻ) (Yakni [ﻻ] yang <br />
bermakna larangan, pent)." <br />
<br />
Seperti firman Allah : <br />
<br />
ﹶ ﻥﻮ ﻤﹶ ﻠ ﻌﻳ ﻻ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ َ ﺀﺍ ﻮ ﻫﹶﺃ ﻊِ ﺒ ﺘﺗ ﻻﻭ <br />
<br />
"Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang <br />
mendustakan ayat-ayat kami dan orang-orang yang tidak beriman kepada <br />
akhirat." [QS. Al-An'am:105] <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
39 <br />
Keluar dari perkataan kami : (ﻝﻮﻗ) "perkataan" : isyarat (ﺓﺭﺎﺷﻹﺍ), maka <br />
isyarat tidak dinamakan sebagai larangan walaupun maknanya memiliki <br />
faidah sebagai larangan. <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﺐﻠﻃ ﻒﻜﻟﺍ ) "permintaan untuk menahan diri <br />
dari suatu perbuatan": perintah (ﺮﻣﻷﺍ), karena perintah adalah permintaan <br />
untuk melakukan suatu perbuatan." <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﻰﻠﻋ ﻪﺟﻭ ﺀﻼﻌﺘﺳﻻﺍ ) "dalam bentuk isti'la'" : <br />
sejajar (ﺱﺎﻤﺘﻟﻻﺍ) dan doa (ﺀﺎﻋﺪﻟﺍ), dan yang selainnya yang memberi faidah <br />
larangan dengan adanya qorinah. <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﺔﻐﻴﺼﺑ ﺔﺻﻮﺼﳐ ﻲﻫ ﻉﺭﺎﻀﳌﺍ ﻥﻭﺮﻘﳌﺍ ﻼﺑ ﺔﻴﻫﺎﻨﻟﺍ ) "dengan <br />
bentuk khusus yaitu fi'il mudhori' yang didahului dengan la nahiyah" : apa-apa <br />
yang menunjukkan atas permintaan menahan diri dari sesuatu dengan bentuk <br />
perintah ( ﺔﻐﻴﺻ ﺮﻣﻷﺍ ), seperti : (ﻉﺩ) "tinggalkan", (ﻙﺮﺗﺍ) "tinggalkan", (ﻒﻛ) <br />
"cukup", dan yang selainnya, maka walaupun ini mengandung permintaan <br />
untuk menahan diri dari sesuatu, tapi fi'il-fi'il tersebut dalam bentuk perintah <br />
(ﺮﻣﻷﺍ ﺔﻐﻴﺻ), maka fi'il-fi'il tersebut adalah bermakna perintah, bukan larangan. <br />
<br />
Dan terkadang yang selain bentuk larangan ( ﺔﻐﻴﺻ ﻲﻬﻨﻟﺍ ) memberi faidah <br />
permintaan untuk menahan diri dari suatu perbuatan seperti suatu perbuatan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
40 <br />
yang disifati dengan keharoman, larangan atau keburukan, atau atau <br />
pelakunya dicela, atau mengerjakannya mendapat adzab. <br />
<br />
APA-APA YANG MENJADI KOSEKUENSI BENTUK LARANGAN (ﻲﻬﻨﻟﺍ ﺔﻐﻴﺻ): <br />
<br />
Bentuk larangan secara mutlak menunjukkan keharoman dan rusaknya <br />
sesuatu yang dilarang tersebut. <br />
<br />
Diantara dalil-dalil bahwa larangan itu menunjukkan keharoman adalah <br />
firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﺍﻮ ﻬ ﺘ ﻧﺎﹶﻓ ﻪ ﻨﻋ ﻢﹸ ﻛﺎ ﻬﻧ ﺎ ﻣﻭ ﻩﻭﹸ ﺬ ﺨﹶﻓ ﹸ ﻝﻮ ﺳ ﺮﻟﺍ ﻢﹸ ﻛﺎ ﺗﺁ ﺎ ﻣﻭ <br />
<br />
"Apa-apa (perintah) yang datang kepada kalian dari Rosul maka ambillah <br />
(kerjakanlah) dan apa-apa yang dilarang oleh Rosul maka berhentilah <br />
(tinggalkanlah)" [QS. Al-Hasyr : 7] <br />
<br />
Maka perintah untuk berhenti (meninggalkan dari apa yang dilarang) <br />
menunjukkan wajibnya berhenti, dan konsekuensinya adalah haramnya <br />
mengerjakan perbuatan tersebut. <br />
<br />
Diantara dalil-dalil bahwa larangan itu menunjukkan rusaknya suatu <br />
perbuatan adalah sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah : <br />
<br />
ﻣ ﻦ ﻋ ِﻤ ﹶﻞ ﻋ ﻤ ﹶﻟ ﹰﻼ ﻴ ﺲ ﻋ ﹶﻠ ﻴ ِﻪ ﹶﺃ ِﻣ ﺮ ﻧ ﹶﻓ ﺎ ﻬ ﻮ ﺭ ﺩ <br />
<br />
"Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada padanya <br />
perintah kami maka perbuatan tersebut tertolak." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
41 <br />
Yakni ditolak (ﺩﻭﺩﺮﻣ), dan apa-apa yang Nabi shollallahu alaihi wa sallam <br />
melarang dari mengerjakannya, maka tidak ada padanya perintah Nabi <br />
shollallahu alaihi wa sallam, sehingga perbuatan tersebut merupakan <br />
perbuatan yang ditolak. <br />
<br />
Demikian dan dalam kaidah al-madzhab (maksudnya adalah madzhab <br />
hambali, pent) dalam perbuatan yang dilarang; apakah perbuatan tersebut <br />
menjadi batal atau tetap sah dengan adanya pengharaman (terhadap <br />
perbuatan tersebut)? adalah sebagai berikut : <br />
<br />
1. Bahwa larangan tersebut kembali pada dzat yang dilarang atasnya atau <br />
syaratnya maka sesuatu itu menjadi batal. <br />
<br />
2. Bahwa larangan tersebut kembali pada perkara luar yang tidak <br />
berhubungan dengan dzat yang dilarang atasnya dan tidak pula <br />
berhubungan dengan syaratnya maka sesuatu itu tidak menjadi batal. <br />
<br />
Misal larangan yang kembali pada dzat yang dilarang dalam masalah <br />
ibadah adalah : Larangan untuk berpuasa pada dua hari Ied. <br />
<br />
Misal larangan yang kembali pada dzat yang dilarang dalam masalah <br />
mu'amalah adalah : Larangan untuk berjual beli setelah adzan sholat jum'at <br />
yang kedua bagi orang-orang yang wajib sholat jum'at. <br />
<br />
Misal larangan yang kembali pada syaratnya dalam masalah ibadah <br />
adalah: Larangan bagi laki-laki untuk memakai pakaian dari sutera, menutup <br />
aurat adalah syarat sahnya sholat, jika dia menutupnya dengan pakaian yang <br />
dilarang atasnya, maka sholatnya tidak sah karena larangan tersebut kembali <br />
pada syaratnya. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
42 <br />
Misal larangan yang kembali pada syaratnya dalam masalah mu'amalah <br />
adalah: Larangan untuk berjual beli dengan suatu binatang yang masih berada <br />
dalam perut induknya, maka pengetahuan tentang sesuatu yang akan <br />
diperjual belikan adalah syarat sahnya jual beli, jika seseorang berjual beli <br />
dengan suatu binatang yang masih berada dalam perut induknya, maka jual <br />
beli tersebut tidak sah karena larangan tersebut kembali pada syaratnya. <br />
<br />
Misal larangan yang kembali pada perkara luar dalam masalah ibadah <br />
adalah : larangan bagi laki-laki untuk memakai imamah dari sutera, jika dia <br />
sholat dan memakai imamah dari sutera maka sholatnya tidak batal, karena <br />
larangan tidak kembali kepada dzatnya sholat dan syaratnya. <br />
<br />
Misal larangan yang kembali pada perkara luar dalam masalah mu'amalah <br />
adalah : larangan untuk menipu, maka jika seseorang melakukan jual beli <br />
sesuatu dengan menipu, jual beli tersebut tidak batal karena larangan tidak <br />
kembali pada dzatnya jual beli dan syaratnya. <br />
<br />
Dan terkadang suatu larangan keluar dari hukum haram kepada hukum <br />
lain dengan dalil yang menunjukkan hal itu, diantaranya : <br />
<br />
1. Makruh, mereka (ulama ushul fiqh, pent) memberi permisalan hal itu <br />
dengan sabda Nabi shollallahu alahi wa sallam : <br />
<br />
ﹶﻻ ﻳ ﻤ ﺴ ﹶﺃ ﻦ ﺣ ﺪ ﹸﻛ ﻢ ﹶﺫ ﹶﻛ ﺮ ﻩ ِﺑ ﻴ ِﻤ ﻴ ِﻨ ِﻪ ﻭ ﻫ ﻮ ﻳ ﺒ ﻮ ﹸﻝ <br />
<br />
"Janganlah salah seorang diantara kalian menyentuh kemaluannya <br />
dengan tangan kanan ketika sedang kencing." <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
43 <br />
Maka jumhur ulama mengatakan : "Sesungguhnya larangan disini <br />
adalah menunjukkan kemakruhan, karena kemaluan adalah salah satu <br />
bagian tubuh manusia, dan hikmah dari larangan tersebut adalah <br />
mensucikan tangan kanan." <br />
<br />
2. Sebagai arahan, misalnya sabda Nabi shollallahu alaihi wa sallam kepada <br />
Mu'adz :" Janganlah kamu meninggalkan untuk membaca disetiap akhir <br />
sholat : <br />
<br />
ﻚِ ﺗ ﺩﺎ ﺒِﻋ ِ ﻦ ﺴ ﺣﻭ ﻙِ ﺮﹾ ﻜ ﺷﻭ ﻙِ ﺮﹾ ﻛِﺫ ﻰﹶ ﻠﻋ ﻲ ﻨِ ﻋﹶﺃ ﻢ ﻬﱠ ﻠﻟﺍ <br />
<br />
"Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur <br />
kepada-Mu dan untuk memperbaiki ibadahku kepada-Mu." <br />
<br />
ORANG YANG MASUK DALAM PEMBICARAAN PERINTAH DAN LARANGAN : <br />
<br />
Orang yang masuk dalam pembicaraan perintah dan larangan adalah <br />
Mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal. <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : "orang yang telah baligh": anak kecil, <br />
maka dia tidak dibebani perintah dan larangan dengan pembebanan yang <br />
sama sebagaimana beban orang yang telah baligh, tetapi dia diperintahkan <br />
untuk melakukan ibadah setelah mencapai tamyiz, sebagai latihan baginya <br />
dalam ketaatan dan melarang dari kemaksiatan, agar terbiasa menahan diri <br />
darinya. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : "orang yang berakal" : orang gila, maka <br />
dia tidak dibebani perintah dan larangan, tetapi dia dicegah dari apa-apa <br />
yang melampaui batas terhadap orang lain atau dari melakukan kerusakan, Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
44 <br />
dan seandainya dia melakukan sesuatu yang diperintahkan atasnya, maka <br />
perbuatan tersebut tidak sah, karena tidak ada maksud untuk melaksanakan <br />
perintah Allah didalamnya. <br />
<br />
Dan tidak termasuk atas hal ini diwajibkannya zakat dan hak-hak harta <br />
bagi harta anak kecil dan orang gila, karena kewajiban atas hal ini terikat <br />
dengan sebab yang tertentu, kapan didapatkan sebab itu (misalnya : haul dan <br />
nishob sebagai sebab wajibnya zakat mal, pent) maka ditetapkan hukumnya, <br />
maka sesungguhnya masalah ini dilihat pada sebabnya bukan pada pelakunya! <br />
<br />
Dan taklif (pembebanan) dengan perintah dan larangan mencakup untuk <br />
orang Islam dan orang kafir, tetapi orang kafir tidak sah jika ia melakukan <br />
perbuatan yang diperintahkan disebabkan kekafirannya, berdasarkan firman <br />
Allah ta'ala : <br />
<br />
ﻪِ ﻟﻮ ﺳ ﺮِ ﺑﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺎِﺑ ﺍﻭ ﺮﹶ ﻔﹶﻛ ﻢ ﻬ ﻧﹶﺃ ﺎﱠ ﻟِﺇ ﻢ ﻬ ﺗﺎﹶ ﻘﹶ ﻔﻧ ﻢ ﻬ ﻨِﻣ ﹶ ﻞ ﺒﹾ ﻘﺗ ﹾ ﻥﹶﺃ ﻢ ﻬ ﻌ ﻨﻣ ﺎ ﻣﻭ <br />
<br />
"Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka <br />
nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan <br />
RasulNya" [QS. At-Taubah : 54] <br />
<br />
Dan ia tidak diperintahkan untuk meng-qodho'nya seandainya ia masuk <br />
islam, berdasarkan firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﻒﹶ ﻠﺳ ﺪﹶ ﻗ ﺎﻣ ﻢ ﻬﹶﻟ ﺮﹶ ﻔ ﻐﻳ ﺍﻮ ﻬ ﺘ ﻨﻳ ﹾ ﻥِﺇ ﺍﻭ ﺮﹶ ﻔﹶﻛ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻠِﻟ ﹾ ﻞﹸ ﻗ <br />
<br />
"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti <br />
(dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-<br />
dosa mereka yang sudah lalu" [QS. Al-Anfal : 38] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
45 <br />
Dan sabda Nabi Shollallohu alaihi wa sallam kepada Amr bin al-Ash : <br />
<br />
ﺖ ﻤِ ﻠﻋ ﺎ ﻣﹶﺃ ﻳ ﻋ ﺎ ﻤ ﺮ ﻭ ﹶﻛ ﺎﻣ ﻡِ ﺪ ﻬﻳ ﻡﺎﹶ ﻠ ﺳِ ﺈﹾ ﻟﺍ ﱠ ﻥﹶﺃ ﻪﹶ ﻠ ﺒﹶ ﻗ ﹶ ﻥﺎ <br />
<br />
"Apakah kamu tidak mengetahui wahai Amr, bahwa islam menghapus <br />
apa-apa (dosa-dosa, pent) yang telah lalu" <br />
<br />
Dan hanya saja dia akan disiksa disebabkan ia meninggalkannya <br />
(perintah, pent) jika ia mati dalam kekafiran, berdasarkan firman Allah ta'ala <br />
sebagai jawaban kepada orang-orang yang berdosa ketika mereka ditanya : <br />
<br />
ﺎ ﻨﹸ ﻛﻭ ﲔِ ﻜ ﺴِ ﻤﹾ ﻟﺍ ﻢِ ﻌﹾ ﻄﻧ ﻚﻧ ﻢﹶ ﻟﻭ ﲔﱢ ﻠ ﺼ ﻤﹾ ﻟﺍ ﻦِﻣ ﻚﻧ ﻢﹶﻟ ﺍﻮﹸ ﻟﺎﹶ ﻗ ﺮﹶ ﻘﺳ ﻲِﻓ ﻢﹸ ﻜﹶ ﻜﹶ ﻠﺳ ﺎﻣ<br />
ﺘﺣ ِ ﻦﻳ ﺪﻟﺍ ِ ﻡ ﻮ ﻴِﺑ ﺏﱢ ﺬﹶ ﻜﻧ ﺎ ﻨﹸ ﻛﻭ ﲔِ ﻀِ ﺋﺎ ﺨﹾ ﻟﺍ ﻊﻣ ﺽﻮ ﺨﻧ ﲔِ ﻘ ﻴﹾ ﻟﺍ ﺎ ﻧﺎ ﺗﹶﺃ ﻰ <br />
<br />
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka <br />
menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan <br />
shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami <br />
membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang <br />
membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan,hingga <br />
datang kepada kami kematian"" [QS. Al-Muddatsir : 32-37] <br />
<br />
Penghalang-Penghalang Taklif (ﻒﻴﻠﻜﺘﻟﺍ ﻊﻧﺍﻮﻣ) : <br />
<br />
Taklif (pembebanan syari'at) memiliki penghalang-penghalang, <br />
diantaranya : Kebodohan (ﻞﻬﳉﺍ), lupa (ﻥﺎﻴﺴﻨﻟﺍ) dan keterpaksaan (ﻩﺍﺮﻛﻹﺍ), <br />
berdasarkan sabda Nabi Shollallahu alaihi wa sallam : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
46 <br />
ِ ﻪ ﻴﹶ ﻠﻋ ﺍﻮ ﻫِ ﺮﹾ ﻜ ﺘ ﺳﺍ ﺎ ﻣﻭ ﹶ ﻥﺎ ﻴ ﺴ ﻨﻟﺍﻭ ﹶ ﺄﹶ ﻄ ﺨﹾ ﻟﺍ ﻲِ ﺘ ﻣﹸﺃ ﻦﻋ ﺯ ﻭﺎ ﺠﺗ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﱠ ﻥِﺇ <br />
<br />
"Sesungguhnya Allah telah memaafkan pada ummatku kesalahan, lupa <br />
dan apa-apa yang mereka dipaksa atasnya." [HR Ibnu Majah dan Baihaqi] dan <br />
hadits ini memiliki penguat-penguat dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang <br />
menunjukkan atas keshohihannya. <br />
<br />
Kebodohan (ﻞﻬﳉﺍ) adalah tidak adanya ilmu, maka kapan saja seorang <br />
mukallaf melakukan suatu perbuatan yang haram karena tidak tahu tentang <br />
keharomannya maka ia tidak berdosa, seperti orang yang berbicara dalam <br />
sholat karena tidak tahu tentang keharoman berbicara (dalam sholat, pent). <br />
Dan jika seseorang meninggalkan suatu perbuatan yang wajib karena tidak <br />
tahu tentang wajibnya perbuatan tersebut, maka tidak wajib baginya untuk <br />
mengqodho'nya jika waktunya telah berlalu, dengan dalil bahwasanya Nabi <br />
Shollallohu alaihi wa Sallam tidak memerintahkan kepada orang yang jelek <br />
dalam sholatnya -yang dia tidak tuma'ninah dalam sholatnya-, Nabi tidak <br />
memerintahkan kepadanya untuk mengganti apa yang telah berlalu dalam <br />
sholat-sholatnya, dan hanya saja Nabi memerintahkan kepadanya untuk <br />
mengerjakan (yakni mengulang, pent) sholat yang masih pada waktunya <br />
berdasarkan sisi yang disyari'atkan. <br />
<br />
Lupa (ﻥﺎﻴﺴﻨﻟﺍ) : adalah lalainya hati terhadap sesuatu yang diketahui, <br />
maka jika seseorang mengerjakan sesuatu perbuatan yang haram karena <br />
lupa, maka ia tidak berdosa, seperti orang yang makan dalam keadaan <br />
berpuasa disebabkan lupa. Dan jika seseorang meninggalkan perbuatan yang <br />
yang wajib karena lupa maka tidak ia tidak berdosa pada saat ia lupa. Tetapi Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
47 <br />
dia wajib mengerjakannya ketika dia ingat, berdasarkan sabda Nabi <br />
Shollallohu alaihi wa Sallam : <br />
<br />
ﻣ ﻦ ﻧ ِﺴ ﻲ ﺻ ﹶﻼ ﹰﺓ ﹶﻓ ﹾﻠ ﻴ ﺼ ﱢﻠ ﻬ ِﺇ ﺎ ﹶﺫ ﹶﺫ ﺍ ﹶﻛ ﺮ ﻫ ﺎ <br />
<br />
"Barang siapa yang lupa mengerjakan sholat, maka hendaknya ia <br />
mengerjakannya ketika ia mengingatnya." <br />
<br />
Keterpaksaan (ﻩﺍﺮﻛﻹﺍ) : dipaksanya seseorang mengerjakan sesuatu yang <br />
tidak ia ingink an, maka barang siapa yang dipaksa untuk melakukan sesuatu <br />
yang haram, maka ia tidak berdosa, seperti orang yang dipaksa dalam <br />
kekafiran dan hatinya tetap dalam keimanan. Dan barang siapa yang dipaksa <br />
untuk meninggalkan kewajiban maka ia tidak berdosa pada saat ia dipaksa, <br />
dan wajib baginya untuk mengqodho'nya ketika sudah tidak ada paksaan, <br />
seperti orang yang dipaksa untuk meninggalkan sholat sampai keluar <br />
waktunya, maka sesungguhnya dia wajib untuk mengqodho'nya ketika sudah <br />
tidak ada paksaan. <br />
<br />
Dan hanya saja pencegah-pencegah ini berhubungan dengan hak Allah, <br />
karena hal ini dibangun atas ampunan dan rahmat-Nya, adapun dalam hak-<br />
hak sesama makhluk maka tidaklah dicegah dari menanggung apa yang wajib <br />
untuk ditanggungnya jika orang yang memiliki hak tersebut tidak ridho <br />
dengan gugurnya (hak tersebut, pent), Wallohu a'lam. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
48 <br />
ﻌﻟﺍ ﻡﺎ <br />
UMUM <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Umum (ﻡﺎﻌﻟﺍ) secara bahasa : (ﻞﻣﺎﺸﻟﺍ) Yang mencakup. <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﺮﺼﺣ ﻼﺑ ﻩﺩﺍﺮﻓﺃ ﻊﻴﻤﳉ ﻕﺮﻐﺘﺴﳌﺍ ﻆﻔﻠﻟﺍ <br />
<br />
"Lafadz yang mencakup untuk semua anggotanya tanpa ada pembatasan" <br />
<br />
Contohnya : <br />
<br />
ٍ ﻢﻴِ ﻌﻧ ﻲِ ﻔﹶﻟ ﺭﺍ ﺮ ﺑﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ﱠ ﻥِﺇ <br />
<br />
"Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti ( ﺭﺍ ﺮ ﺑﹶ ﺄـﹾ ﻟﺍ) benar-benar <br />
berada dalam syurga yang penuh kenikmatan." [QS. Al-Infithor : 13 dan Al-<br />
Muthoffifin : 22] <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : ) ﻩﺩﺍﺮﻓﺃ ﻊﻴﻤﳉ ﻕﺮﻐﺘﺴﳌﺍ ( "yang mencakup untuk <br />
semua anggotanya" : apa-apa yang tidak mencakup kecuali satu, seperti nama <br />
sesuatu dan Isim Nakiroh dalam konteks untuk penetapan (ﺕﺎﺒﺛﻹﺍ ﻕﺎﻴﺳ ﰲ ﺓﺮﻜﻨﻟﺍ) <br />
sebagaimana firman Allah ta'ala : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
49 <br />
ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ ﺮ ﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ <br />
<br />
"Maka bebaskanlah seorang budak (ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ)" [QS. Al-Mujadalah : 3] <br />
<br />
Karena ayat ini tidak mencakup semua anggotanya secara menyeluruh, <br />
dan hanya saja ayat ini mencakup satu dari anggotanya yang tidak <br />
ditentukan. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ) ﺮﺼﺣ ﻼﺑ ( "tanpa ada pembatasan" : apa-<br />
apa yang mencakup seluruh anggotanya dengan pembatasan, seperti nama-<br />
nama bilangan: ratusan, ribuan dan yang semisal keduanya. <br />
<br />
BENTUK-BENTUK UMUM (ﻡﻮﻤﻌﻟﺍ ﻎﻴﺻ) <br />
<br />
Bentuk-bentuk umum ada tujuh : <br />
<br />
1. Apa-apa yang menunjukkan atas keumumannya dengan alat-alatnya (yang <br />
menunjukkan keumuman, pent), contohnya : (ﹼ ﻞﹸﻛ), (ﻊ ﻴِ ﻤ ﺟ), (ﺔﱠ ﻓﺎﹶﻛ), (ﺔ ﺒِ ﻃﺎﹶ ﻗ), dan (ﺔ ﻣﺎﻋ) <br />
<br />
Sebagaimana firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ِﺇ ٍ ﺭ ﺪﹶ ﻘِﺑ ﻩﺎ ﻨﹾ ﻘﹶ ﻠ ﺧ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱠ ﻞﹸﻛ ﺎﻧ <br />
<br />
"Sesungguhnya segala sesuatu (ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱠ ﻞﹸﻛ) Kami ciptakan menurut ukuran" <br />
[QS. Al-Qomar : 49] <br />
<br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
50 <br />
2. Kata-kata syarat (ﻁﺮﺸﻟﺍ ﺀﺎﲰﺃ), sebagaimana firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﻣ ﻪِ ﺴﹾ ﻔ ﻨِ ﻠﹶﻓ ﹰ ﺎﺤِ ﻟﺎﺻ ﹶ ﻞِ ﻤﻋ ﻦ <br />
<br />
"Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, maka itu adalah untuk <br />
dirinya sendiri" [QS. Al-Jatsiyah : 15] <br />
<br />
ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻪ ﺟﻭ ﻢﹶ ﺜﹶﻓ ﺍﻮﱡ ﻟ ﻮﺗ ﺎ ﻤ ﻨ ﻳﹶ ﺄﹶﻓ <br />
<br />
"Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah" [QS. Al-<br />
Baqoroh : 115] <br />
<br />
3. Kata-kata tanya (ﻡﺎﻬﻔﺘﺳﻻﺍ ﺀﺎﲰﺃ), sebagimana firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ٍ ﲔِ ﻌﻣ ٍ ﺀﺎ ﻤِﺑ ﻢﹸ ﻜﻴِ ﺗﹾ ﺄﻳ ﻦ ﻤﹶﻓ <br />
<br />
"Maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?" [QS. <br />
Al-Mulk : 30] <br />
<br />
ﲔِ ﻠ ﺳ ﺮ ﻤﹾ ﻟﺍ ﻢ ﺘ ﺒ ﺟﹶﺃ ﺍﹶ ﺫﺎﻣ <br />
<br />
"Apakah jawabanmu kepada para Rosul?" [QS. Al-Qoshosh : 65] <br />
<br />
ﹶ ﻥ ﻮ ﺒ ﻫﹾ ﺬﺗ ﻦ ﻳﹶ ﺄﻓ <br />
<br />
"Maka kemanakah kamu akan pergi?" [QS. At-Takwir : 26] <br />
<br />
<br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
51 <br />
4. Kata-kata sambung (ﺔﻟﻮﺻﻮﳌﺍ ﺀﺎﲰﻷﺍ), sebagaimana firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﹶ ﻥﻮﹸ ﻘ ﺘ ﻤﹾ ﻟﺍ ﻢﻫ ﻚِ ﺌﹶ ﻟﻭﹸﺃ ِ ﻪِﺑ ﻕ ﺪ ﺻﻭ ِ ﻕ ﺪ ﺼﻟﺎِﺑ َ ﺀﺎ ﺟ ﻱِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ <br />
<br />
"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan mem-<br />
benarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [QS.Az-Zumar :33] <br />
<br />
ﻨ ﻳِ ﺪ ﻬ ﻨﹶﻟ ﺎ ﻨﻴِﻓ ﺍﻭ ﺪ ﻫﺎ ﺟ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ ﺎ ﻨﹶ ﻠ ﺒﺳ ﻢﻬ <br />
<br />
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- <br />
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." [QS. Al-<br />
Ankabut : 69] <br />
<br />
ﻰ ﺸ ﺨﻳ ﻦ ﻤِﻟ ﹰ ﺓ ﺮ ﺒِ ﻌﹶﻟ ﻚِ ﻟﹶﺫ ﻲِﻓ ﱠ ﻥِﺇ <br />
<br />
"Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang <br />
yang takut (kepada Tuhannya)." [QS. An-Nazi'at : 26] <br />
<br />
ﺽ ﺭﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ﻲِﻓ ﺎ ﻣﻭ ِ ﺕﺍ ﻭﺎ ﻤ ﺴﻟﺍ ﻲِﻓ ﺎﻣ ِ ﻪﱠ ﻠِ ﻟﻭ <br />
<br />
"Kepunyaan Allah apa-apa yang ada di langit dan yang ada di bumi." [QS. <br />
Ali Imron : 109] <br />
<br />
5. Isim Nakiroh dalam konteks peniadaan, larangan, syarat, atau pertanyaan <br />
yang maksudnya adalah pengingkaran (ﻱﺭﺎﻜﻧﻹﺍ ﻡﺎﻬﻔﺘﺳﻻﺍﻭﺃ ﻁﺮﺸﻟﺍﻭﺃ ﻲﻬﻨﻟﺍﻭﺃ ﻲﻔﻨﻟﺍ ﻕﺎﻴﺳ ﰲ ﺓﺮﻜﻨﻟﺍ), <br />
sebagaimana firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﱠ ﻻﺇ ٍ ﻪﹶ ﻟِﺇ ﻦِﻣ ﺎ ﻣﻭ ﷲﺍ Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
52 <br />
"Dan tidaklah ada Sesembahan (yang berhak disembah) selain Allah" [QS. <br />
Ali-Imron : 62] <br />
<br />
ﹰ ﺎﺌ ﻴﺷ ِ ﻪِﺑ ﺍﻮﹸ ﻛِ ﺮ ﺸﺗ ﻻﻭ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺍﻭ ﺪ ﺒ ﻋﺍﻭ <br />
<br />
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan <br />
sesuatupun" [QS. An-Nisa' : 36] <br />
<br />
ﻴِ ﻠﻋ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱢ ﻞﹸ ﻜِﺑ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﱠ ﻥِ ﺈﹶﻓ ﻩﻮﹸ ﻔ ﺨﺗ ﻭﹶﺃ ﹰ ﺎﺌ ﻴﺷ ﺍﻭ ﺪ ﺒﺗ ﹾ ﻥِﺇ ﹰ ﺎﻤ <br />
<br />
"Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesung-<br />
guhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu." [QS. Al-Ahzab : 54] <br />
<br />
ﹶ ﻥﻮ ﻌ ﻤ ﺴﺗ ﻼﹶ ﻓﹶﺃ ٍ ﺀﺎ ﻴِ ﻀِﺑ ﻢﹸ ﻜﻴِ ﺗﹾ ﺄﻳ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺮ ﻴﹶ ﻏ ﻪﹶ ﻟِﺇ ﻦﻣ <br />
<br />
"Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang <br />
kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?" [QS. Al-Qoshosh : 71] <br />
<br />
6. Yang dima'rifatkan dengan idhofah baik tunggal ataupun jama' ( ﺔﻓﺎﺿﻹﺎﺑ ﻑ ﺮﻌﳌﺍ<br />
ﹰ ﺎﻋﻮﻤﳎ ﻡﺃ ﻥﺎﻛ ﹰ ﺍﺩﺮﻔﻣ), sebagaimana firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﻟﺍ ﹶ ﺔ ﻤ ﻌِﻧ ﺍﻭ ﺮﹸ ﻛﹾ ﺫﺍﻭ ﻢﹸ ﻜ ﻴﹶ ﻠﻋ ِ ﻪﱠﻠ <br />
<br />
"Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian" [QS. Ali Imron : 103 dan al-Ma'idah : 7] <br />
<br />
ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ َ ﺀﺎﹶﻟَ ﺁ ﺍﻭ ﺮﹸ ﻛﹾ ﺫﺎﹶﻓ <br />
<br />
"maka ingatlah nikmat-nikmat Allah." [QS. al-A'rof : 74] <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
53 <br />
7. Yang dima'rifatkan dengan alif-lam al-Istighroqiyyah ( ﻗﺍﺮﻐﺘﺳﻻﺍ ﻝﺍ ﺔﻴ , alif-lam <br />
yang menunjukkan umum, pent) baik tunggal maupun jama', sebagaimana <br />
firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﹰ ﺎﻔﻴِ ﻌﺿ ﹸ ﻥﺎ ﺴ ﻧِ ﺈﹾ ﻟﺍ ﻖِ ﻠ ﺧﻭ <br />
<br />
"Dan manusia dijadikan bersifat lemah." [QS. An-Nisa':28] <br />
<br />
ِ ﺫﹾ ﺄ ﺘ ﺴ ﻴﹾ ﻠﹶﻓ ﻢﹸ ﻠ ﺤﹾ ﻟﺍ ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﹸ ﻝﺎﹶ ﻔﹾ ﻃﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ﹶ ﻎﹶ ﻠﺑ ﺍﹶ ﺫِ ﺇﻭ ﻢِ ﻬِ ﻠ ﺒﹶ ﻗ ﻦِﻣ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﹶ ﻥﹶ ﺫﹾ ﺄ ﺘ ﺳﺍ ﺎ ﻤﹶﻛ ﺍﻮﻧ <br />
<br />
"Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah <br />
mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta <br />
izin" [QS. An-Nuur : 59] <br />
<br />
Adapun yang dima'rifatkan dengan alif-lam al-ahdiyyah (ﺔﻳﺪﻬﻌﻟﺍ ﻝﺍ, alif-lam <br />
untuk sesuatu yang sudah diketahui) maka hal ini tergantung dari isim yang sudah <br />
diketahui tersebut (yakni yang dimasuki alif-lam al-ahdiyyah, pent), jika ia <br />
umum maka yang dima'rifatkan juga umum, dan jika ia khusus maka yang <br />
dima'rifatkan juga khusus. Contoh dari yang umum adalah firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ٍ ﲔِﻃ ﻦِﻣ ﹰ ﺍﺮ ﺸﺑ ﻖِ ﻟﺎ ﺧ ﻲ ﻧِﺇ ِ ﺔﹶ ﻜِ ﺋﻼ ﻤﹾ ﻠِﻟ ﻚ ﺑﺭ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﹾ ﺫِﺇ . ﻲِ ﺣﻭﺭ ﻦِﻣ ِ ﻪﻴِﻓ ﺖ ﺨﹶ ﻔ ﻧﻭ ﻪ ﺘ ﻳ ﻮﺳ ﺍﹶ ﺫِ ﺈﹶﻓ<br />
ﻦﻳِ ﺪِ ﺟﺎﺳ ﻪﹶﻟ ﺍﻮ ﻌﹶ ﻘﹶﻓ . ﻬﱡ ﻠﹸﻛ ﹸ ﺔﹶ ﻜِ ﺋﻼ ﻤﹾ ﻟﺍ ﺪ ﺠ ﺴﹶﻓ ﻢ ﹶ ﻥﻮ ﻌ ﻤ ﺟﹶﺃ <br />
<br />
"(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat (ِ ﺔﹶ ﻜِ ﺋﻼ ﻤﹾ ﻠِﻟ): <br />
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah <br />
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka <br />
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Lalu seluruh <br />
malaikat-malaikat (ﹸ ﺔﹶ ﻜِ ﺋﻼ ﻤﹾ ﻟﺍ) itu bersujud semuanya." [QS. Ash Shod : 71-73] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
54 <br />
Contoh dari yang khusus adalah firman Allah ta'ala : <br />
<br />
ﹶ ﻝﻮ ﺳ ﺮﻟﺍ ﹸ ﻥ ﻮ ﻋ ﺮِﻓ ﻰ ﺼ ﻌﹶﻓ ﻻﻮ ﺳﺭ ﹶ ﻥ ﻮ ﻋ ﺮِﻓ ﻰﹶ ﻟِﺇ ﺎ ﻨﹾ ﻠ ﺳ ﺭﹶﺃ ﺎ ﻤﹶﻛ ﹰ ﻼﻴِ ﺑﻭ ﹰﺍﺬ ﺧﹶﺃ ﻩﺎ ﻧﹾ ﺬ ﺧﹶ ﺄﹶﻓ <br />
<br />
"Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) <br />
seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah <br />
mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun mendurhakai <br />
Rasul ( ﺮﻟﺍ ﹶ ﻝﻮﺳ ) itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat." [QS. Al-<br />
Muzammil : 15-16] <br />
<br />
Adapun yang dima'rifatkan dengan Alif-lam untuk menjelaskan jenis, <br />
maka tidak bersifat umum kepada setiap anggotanya, jika kamu berkata : <br />
<br />
ﺓﺃﺮﳌﺍ ﻦﻣ ﲑﺧ ﻞﺟﺮﻟﺍ <br />
<br />
"Laki-laki itu lebih baik daripada wanita", atau <br />
<br />
ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﲑﺧ ﻝﺎﺟﺮﻟﺍ <br />
<br />
"Kaum laki-laki lebih baik daripada kaum wanita" <br />
<br />
Maka maksudnya bukanlah bahwa setiap perorangan dari laki-laki lebih <br />
baik daripada setiap perorangan dari wanita. Dan hanya saja maksudnya <br />
adalah bahwa jenis ini (laki-laki,pent) lebih baik daripada jenis ini (wanita, <br />
pent). Dan kadang-kadang dijumpai seseorang dari wanita yang lebih baik <br />
dari sebagian laki-laki. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
55 <br />
BERAMAL DENGAN DALIL YANG UMUM <br />
<br />
Wajib beramal dengan keumuman lafadz dalil yang umum sampai ada <br />
dalil shohih yang mengkhususkannya, karena beramal dengan nash-nash dari <br />
Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib berdasarkan yang ditunjukkan oleh <br />
penunjukannya, sampai ada dalil yang menyelisihinya. <br />
<br />
Jika ada suatu dalil umum dengan sebab yang khusus, maka wajib <br />
beramal sesuai keumumannya. Karena yang menjadi ibroh (sandaran) adalah <br />
umumnya lafadz bukan kekhususan sebab ( ﺐﺒـﺴﻟﺍ ﺹﻮـﺼﲞ ﻻ ﻆﻔﻠﻟﺍ ﻡﻮﻤﻌﺑ ﺓﱪﻌﻟﺍ) kecuali <br />
jika ada dalil yang menunjukkan pengkhususan dalil yang umum tersebut <br />
dengan apa yang menyerupai keadaan sebab (asbabun nuzul atau wurud, <br />
pent) yang dalil itu turun karenanya, maka dikhususkan dengan yang <br />
menyerupai sebab tersebut. <br />
<br />
Contoh yang tidak ada dalil menunjukkan atas pengkhususannya : Ayat <br />
tentang zhihar (yakni seorang suami mengatakan kepada isrinya : "bagiku <br />
kamu seperti punggung ibuku", pent), sebab turunnya adalah perbuatan <br />
zhihar yang dilakukan Aus bin Shomit, dan hukumnya umum untuknya dan <br />
untuk yang selainnya. <br />
<br />
Contoh yang ada dalil yang menunjukkan atas pengkhususannya : Sabda <br />
Rosullulloh shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﺮﻔﺴﻟﺍ ﰲ ﻡﺎﻴﺼﻟﺍ ﱪﻟﺍ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ <br />
<br />
"Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar." <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
56 <br />
Sebabnya adalah ketika Nabi shollallohu alaihi wa sallam dalam suatu <br />
safar, beliau melihat keramaian dan ada seseorang yang diberi naungan (dari <br />
terik matahari, pent) lalu Rosullulloh bersabda : <br />
<br />
" ؟ﺍﺬﻫ ﺎﻣ " ﺍﻮﻟﺎﻗ : ﻢﺋﺎﺻ . ﻝﺎﻘﻓ " : ﺮﻔﺴﻟﺍ ﰲ ﻡﺎﻴﺼﻟﺍ ﱪﻟﺍ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ " <br />
<br />
"Ada apa ini?" Mereka berkata : "Dia orang yang sedang berpuasa." Lalu <br />
Rosullulloh bersabda : "Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar." <br />
<br />
Ini merupakan dalil umum yang khusus untuk orang yang menyerupai <br />
kondisi orang ini, yakni berat baginya puasa ketika safar. Dan dalil yang <br />
menunjukkan pengkhususannya bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam <br />
pernah berpuasa ketika safar dimana hal itu tidak memberatkannya, dan <br />
Rosullullah shollallohu alaihi wa sallam tidak melakukan sesuatu kecuali <br />
kebaikan. <br />
<br />
*** <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
57 <br />
ﹶ ﳋﺍ ﺹﺎ <br />
KHUSUS <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Khusus (ﺹﺎ ﺨﹾ ﻟﺍ) secara bahasa : (ِ ﻡﺎ ﻌﹾ ﻟﺍ ﺪِﺿ) Lawan dari umum. <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ِ ﺩ ﺪ ﻌﻟﺍﻭ ِ ﺓ ﺭﺎ ﺷِ ﻹﺍﻭ ِ ﻡﹶ ﻼﻋَ ﻷﹾﺍ ِ ﺀﺎ ﻤ ﺳﹶ ﺄﹶﻛ ،ٍ ﺩ ﺪﻋ ﻭﹶﺃ ٍﺺ ﺨ ﺸِﺑ ٍ ﺭ ﻮ ﺼ ﺤﻣ ﻰﹶ ﻠﻋ ﱡ ﻝﺍ ﺪﻟﺍ ﹸ ﻆﹾ ﻔﹶ ﻠﹾ ﻟﺍ <br />
<br />
"Suatu lafadz yang menunjukkan atas sesuatu yang terbatas dengan <br />
orang tertentu atau bilangan tertentu, seperti nama-nama , isyarat dan <br />
jumlah." <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : (ٍ ﺭ ﻮ ﺼ ﺤﻣ ﻰﹶ ﻠﻋ) "atas sesuatu yang terbatas" : ( ﻡﺎ ﻌﻟﺍ) umum. <br />
<br />
Pengkhususan (ﺺ ﻴِ ﺼ ﺨ ﺘﻟﺍ) secara bahasa : ( ﺪِﺿ ِ ﻢ ﻴِ ﻤ ﻌ ﺘﻟﺍ ) lawan dari pengumuman. <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ِ ﻡﺎ ﻌﻟﺍ ِ ﺩﺍ ﺮﹾ ﻓﹶﺃ ِﺾ ﻌﺑ ﺝﺍ ﺮ ﺧِﺇ <br />
<br />
"Mengeluarkan sebagian anggota yang umum." <br />
<br />
Dan yang mengkhususkan (ﺺ ﺼ ﺨﹸ ﳌﺍ) : Pelaku pengkhususan yaitu pembuat <br />
syariat, dan dimutlakkan sebagai dalil yang dihasilkan dengannya <br />
pengkhususan. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
58 <br />
Dalil takhsis ada dua macam : Muttashil (ﹲ ﻞِ ﺼ ﺘﻣ) dan Munfashil (ﹲ ﻞِ ﺼﹶ ﻔ ﻨﻣ). <br />
<br />
Muttashil (bersambung) : yang tidak bisa berdiri sendiri. <br />
<br />
Munfashil (terpisah) : yang bisa berdiri sendiri. <br />
<br />
Di antara Mukhoshshis Muttasil (ﻞﺼﺘﳌﺍ ﺺﺼﺨﳌﺍ) : <br />
<br />
Pertama : pengecualian/istitsna' (ُ ﺀﺎ ﻨﹾ ﺜِ ﺘ ﺳِ ﻻﺍ) yaitu secara bahasa : berasal dari kata <br />
(ﲏﺜﻟﺍ), yaitu mengembalikan sebagian dari sesuatu kepada sebagian yang lain, <br />
seperti ( ﲏﺜﻛ ﻞﺒﳊﺍ ) mengembalikan sebagian dari tali kepada sebagian yang lain. <br />
<br />
Secara istilah : "mengeluarkan sebagian anggota sesuatu yang umum <br />
dengan illa (ﻻﺇ) atau salah satu saudara-saudaranya, seperti firman Alloh : <br />
<br />
ﻭ ِ ﺕﺎ ﺤِ ﻟﺎ ﺼﻟﺍ ﺍﻮﹸ ﻠِ ﻤ ﻋﻭ ﺍﻮ ﻨ ﻣﺁ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﺎﱠ ﻟِﺇ ٍ ﺮ ﺴ ﺧ ﻲِ ﻔﹶﻟ ﹶ ﻥﺎ ﺴ ﻧِ ﺄﹾ ﻟﺍ ﱠ ﻥِﺇ ﺍ ﻮ ﺻﺍ ﻮ ﺗﻭ ﻖ ﺤﹾ ﻟﺎِﺑ ﺍ ﻮ ﺻﺍ ﻮﺗ<br />
ِ ﺮ ﺒ ﺼﻟﺎِﺑ <br />
<br />
"Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang <br />
yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling berwasiat untuk mentaati <br />
kebenaran dan saling berwasiat untuk menetapi kesabaran." [QS. al-'Ashr : 2-3] <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﻻﺈﺑ ﻭﺃ ﻯﺪـﺣﺇ ﺎـﺍﻮﺧﺃ ) "dengan illa (kecuali) atau <br />
salah satu saudara-saudaranya" : takhshih dengan syarat dan yang lainnya. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
59 <br />
SYARAT ISTITSNA' (PENGECUALIAN) : <br />
<br />
Benarnya istitsna' disyaratkan dengan beberapa syarat, diantaranya : <br />
<br />
[1] Bersambungnya dengan yang dikecualikan (ﲎﺜﺘﺴﳌﺍ), secara hakiki atau <br />
secara hukum. <br />
<br />
Muttashil secara hakiki : yang langsung bersambung dengan yang <br />
dikecualikan dari sisi keduanya tidak dipisah dengan suatu pemisah. <br />
<br />
Muttashil secara hukum : yang dipisahkan antara sesuatu yang umum <br />
dengan yang dikecualikan darinya dengan pemisah yang tidak mungkin untuk <br />
dicegah, seperti batuk atau bersin. <br />
<br />
Jika antara keduanya terpisah dengan suatu pemisah yang mungkin <br />
dicegah atau dengan diam, maka istitsna'-nya tidak sah. Seperti seseorang <br />
mengatakan : ( ﻱﺪﻴﺒﻋ ﺭﺍﺮﺣﺃ ) "Semua budak-budakku bebas" kemudian ia diam atau <br />
berbicara dengan pembicaraan yang lain lalu mengatakan : ( ﻻﺇ ﹰ ﺍﺪﻴﻌﺳ ) "kecuali <br />
Sa'id", maka istitsna'-nya tidak sah dan semuanya budaknya bebas. <br />
<br />
Dan dikatakan : istitsna' dengan diam atau ada pemisah adalah sah, jika <br />
masih dalam satu pembicaraan yang sama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas <br />
rodhiyallohu anhuma: <br />
<br />
ﺔﻜﻣ ﺢﺘﻓ ﻡﻮﻳ ﻝﺎﻗ ﻢﹼ ﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﹼ ﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻥﺃ " : ﻖﻠﺧ ﻡﻮﻳ ﷲﺍ ﻪﻣﺮﺣ ﺪﻠﺒﻟﺍ ﺍﺬﻫ ﻥﺇ<br />
ﻩﻼﺧ ﻰﻠﺘﳜ ﻻﻭ ﻪﻛﻮﺷ ﺪﻀﻌﻳ ﻻ ،ﺽﺭﻷﺍﻭ ﺕﺍﻮﻤﺴﻟﺍ " ﺱﺎﺒﻌﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ، : ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ<br />
ﻝﺎﻘﻓ ،ﻢﻮﻴﺑﻭ ﻢﻬﻨﻴﻘﻟ ﻪﻧﺈﻓ ﺮﺧﹼ ﺫﻹﺍ ﻻﺇ " : ﺮﺧﺫﻹﺍ ﻻﺇ " <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
60 <br />
Bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata pada hari fat-hul <br />
Makkah (penaklukan Makkah) : "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan <br />
negri ini pada hari ketika Dia menciptakan langit dan bumi, tidak boleh <br />
dipotong durinya dan tidak boleh dipotong ranting-rantingnya" al-Abbas <br />
berkata : "wahai Rasululloh, kecualikan idzkhir, karena idzkhir adalah untuk <br />
kebutuhan mereka dan rumah mereka", lalu Rasululloh bersabda : "kecuali <br />
idzkhir". Dan pendapat ini lebih rojih berdasarkan penunjukkan hadits ini <br />
atasnya. <br />
<br />
[2] Yang dikecualikan (ﻰ ﻨﹾ ﺜ ﺘ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ) tidak lebih banyak dari setengah yang <br />
dikecualikan darinya ( ﻪ ﻨِﻣ ﻰ ﻨﹾ ﺜ ﺘ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ), seandainya dikatakan : (ﺔﺘﺳ ﻻﺇ ﻢﻫﺍﺭﺩ ﺓﺮﺸﻋ ﻲﻠﻋ ﻪﻟ) <br />
"Saya memiliki hutang terhadapnya sepuluh dirham kecuali enam", istitsna'-<br />
nya tidak sah dan ia harus mengeluarkan 10 seluruhnya. <br />
<br />
Dan dikatakan : yang demikian tidak disyaratkan sehingga istitsna'-nya sah, <br />
walaupun yang dikecualikan lebih banyak dari setengah, maka pada contoh <br />
yang tadi tidak mengharuskannya untuk mengeluarkan kecuali hanya 4 saja. <br />
<br />
Adapun jika dikecualikan semuanya, maka tidak sah berdasarkan dua <br />
pendapat tadi. Jika seseorang mengatakan : ( ﻪﻟ ﻲﻠﻋ ﺓﺮﺸﻋ ﻻﺇ ﺓﺮﺸﻋ ) "Saya memiliki <br />
hutang terhadapnya sepuluh kecuali sepuluh", mengharuskannya membayar <br />
sepuluh seluruhnya. <br />
<br />
Dan syarat ini adalah jika istitsna'nya dalam bentuk jumlah, adapun jika <br />
dalam bentuk sifat maka sah walaupun dikeluarkan semua atau kebanyakan, <br />
misalnya : firman Alloh ta'ala kepada iblis : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
61 <br />
ﻦﻳِ ﻭﺎ ﻐﹾ ﻟﺍ ﻦِﻣ ﻚ ﻌ ﺒ ﺗﺍ ِ ﻦﻣ ﺎﱠ ﻟِﺇ ﹲ ﻥﺎﹶ ﻄﹾ ﻠﺳ ﻢِ ﻬ ﻴﹶ ﻠﻋ ﻚﹶﻟ ﺲ ﻴﹶﻟ ﻱِ ﺩﺎ ﺒِﻋ ﱠ ﻥِﺇ <br />
<br />
"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap <br />
mereka, kecuali orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang yang sesat." <br />
[QS. al-Hijr : 42] <br />
<br />
Dan pengikut iblis dari kalangan anak adam adalah lebih banyak dari <br />
separuh jumlah mereka, seandainya aku mengatakan : (ﺀﺎﻴﻨﻏﻷﺍ ﻻﺇ ﺖﻴﺒﻟﺍ ﰲ ﻦﻣ ﻂﻋﺃ) <br />
"Berikanlah kepada siapa yang di rumah itu kecuali orang-orang yang kaya.", <br />
lalu diketahui bahwa semua yang ada di rumah itu adalah orang kaya, maka <br />
istitsna'nya sah dan mereka tidak diberi apa-apa. <br />
<br />
Yang kedua : yang termasuk mukhoshshish muttashil ( ﺺﺼﺨﳌﺍ ﻞﺼﺘﳌﺍ ) : syarat, <br />
yaitu secara bahasa : ( ﻼﻌﻟﺍ ﺔﻣ ) tanda. <br />
<br />
Dan yang dimaksud dengannya di sini : <br />
<br />
ﺎﺍﻮﺧﺃ ﻯﺪﺣﺇ ﻭﺃ ﺔﻴﻃﺮﺸﻟﺍ ﻥﺈﺑ ﹰ ﺎﻣﺪﻋ ﻭﺃ ،ﹰ ﺍﺩﻮﺟﻭ ﺀﻲﺸﺑ ﺀﻲﺷ ﻖﻴﻠﻌﺗ <br />
<br />
"menggantungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain adanya atau tidak <br />
adanya dengan ( ﻥﺇ ﺔﻴﻃﺮﺸﻟﺍ ) atau salah satu dari saudara-saudaranya." <br />
<br />
Dan syarat merupakan mukhoshshish (yang mengkhususkan), baik <br />
diletakkan di depan atau diakhirkan. <br />
<br />
Contoh yang diletakkan di depan adalah firman-Nya ta'ala kepada orang-<br />
orang musyrik : Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
62 <br />
ﻬﹶ ﻠﻴِ ﺒﺳ ﺍﻮﱡ ﻠ ﺨﹶﻓ ﹶ ﺓﺎﹶ ﻛ ﺰﻟﺍ ﺍ ﻮ ﺗﺁﻭ ﹶ ﺓﻼ ﺼﻟﺍ ﺍﻮ ﻣﺎﹶ ﻗﹶ ﺃﻭ ﺍﻮ ﺑﺎﺗ ﹾ ﻥِ ﺈﹶﻓ ﻢ <br />
<br />
"Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, <br />
maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan" [QS. at-Taubah : 5] <br />
<br />
Dan contoh yang diakhirkan adalah firman-Nya ta'ala : <br />
<br />
ﻤ ﻳﹶﺃ ﺖﹶ ﻜﹶ ﻠﻣ ﺎ ﻤِﻣ ﺏﺎ ﺘِ ﻜﹾ ﻟﺍ ﹶ ﻥﻮ ﻐ ﺘ ﺒﻳ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ ﺍﺮ ﻴ ﺧ ﻢِ ﻬﻴِﻓ ﻢ ﺘ ﻤِ ﻠﻋ ﹾ ﻥِﺇ ﻢ ﻫﻮ ﺒِ ﺗﺎﹶ ﻜﹶﻓ ﻢﹸ ﻜ ﻧﺎ <br />
<br />
"Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, <br />
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada <br />
kebaikan pada mereka" [QS. an-Nur : 33] <br />
<br />
Yang ketiga : (ﺔﻔﺼﻟﺍ) Sifat, yaitu : <br />
<br />
ﻝﺎﺣ ﻭﺃ ﻝﺪﺑ ﻭﺃ ﺖﻌﻧ ﻦﻣ ﻡﺎﻌﻟﺍ ﺩﺍﺮﻓﺃ ﺾﻌﺑ ﻪﺑ ﺺﺘﳜ ﲎﻌﲟ ﺮﻌﺷﺃ ﺎﻣ <br />
<br />
"Yang memberikan kesan suatu makna yang menjadi khusus dengannya <br />
sebagian anggota yang umum dari na'at atau badal atau haal." <br />
<br />
Misal dari na'at (ﺖﻌﻧ) adalah firman-Nya ta'ala : <br />
<br />
ِ ﻤﹶﻓ ﻦِﻣ ﻢﹸ ﻜ ﻧﺎ ﻤ ﻳﹶﺃ ﺖﹶ ﻜﹶ ﻠﻣ ﺎﻣ ﻦ ﻢﹸ ﻜِ ﺗﺎ ﻴ ﺘﹶﻓ ِ ﺕﺎ ﻨِ ﻣ ﺆ ﻤﹾ ﻟﺍ <br />
<br />
"Maka dari yang kamu miliki dari budak-budak wanita yang beriman" [QS. <br />
an-Nisa' : 25] <br />
<br />
Misal dari badal (ﻝﺪﺑ) adalah firman-Nya ta'ala : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
63 <br />
ﻰﹶ ﻠﻋ ِ ﻪﱠ ﻠِ ﻟﻭ ِ ﺱﺎ ﻨﻟﺍ ِ ﺖ ﻴ ﺒﹾ ﻟﺍ ﺞِﺣ ﹶ ﻄ ﺘ ﺳﺍ ِ ﻦﻣ ﹰ ﻼﻴِ ﺒﺳ ِ ﻪ ﻴﹶ ﻟِﺇ ﻉﺎ <br />
<br />
"Atas manusia ada kewajiban terhadap Allah untuk haji ke Baitulloh, <br />
yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana" [QS. Ali Imron <br />
: 97] <br />
<br />
Misal dari haal (ﻝﺎﺣ) adalah firman-Nya ta'ala : <br />
<br />
ﹰ ﺎﻨِ ﻣ ﺆﻣ ﹾ ﻞ ﺘﹾ ﻘﻳ ﻦ ﻣﻭ ﻌ ﺘﻣ ﹰ ﺍﺪﻤ ﺎ ﻬﻴِﻓ ﹰ ﺍﺪِ ﻟﺎ ﺧ ﻢ ﻨ ﻬ ﺟ ﻩ ﺅﺍ ﺰ ﺠﹶﻓ <br />
<br />
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka <br />
balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya" [QS. an-Nisa' : 93] <br />
<br />
MUKHOSHSHISH MUNFASIL (ﻞﺼﻔﻨﳌﺍ ﺺﺼﺨﳌﺍ) <br />
<br />
Mukhoshshish Munfasil adalah : Mukhoshshish yang berdiri sendiri, yaitu <br />
ada tiga hal : perasaan, akal dan syari'at. <br />
<br />
Contoh takhshish dengan perasaan adalah firman Alloh ta'ala tentang <br />
angin untuk kaum 'Aad : <br />
<br />
ﺎ ﻬ ﺑﺭ ِ ﺮ ﻣﹶ ﺄِﺑ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱠ ﻞﹸﻛ ﺮ ﻣ ﺪﺗ <br />
<br />
"yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya" [QS. Al-<br />
Ahqof : 25] <br />
<br />
Maka perasaan menunjukkan bahwa angin tersebut tidak menghancurkan <br />
langit dan bumi. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
64 <br />
Contoh takhshish dengan akal adalah firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺮﻳِ ﺪﹶ ﻗ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱢ ﻞﹸﻛ ﻰﹶ ﻠﻋ ﻪ ﻧِﺇ <br />
<br />
"Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." [QS. al-Ahqof : 33] <br />
<br />
Maka akal menunjukkan bahwa Dzat Alloh ta'ala bukanlah makhluk. <br />
<br />
Dan diantara 'ulama ada yang berpendapat bahwa apa-apa yang <br />
dikhususkan dengan perasaan dan akal bukanlah sesuatu yang umum yang <br />
dikhususkan, akan tetapi merupakan umum yang dimaksudkan dengannya <br />
sesuatu yang khusus. <br />
<br />
Adapun takhshish dengan syari'at, maka al-Qur'an dan as-Sunnah <br />
dikhususkan dengan yang semisalnya dan dengan ijma' dan qiyas. <br />
<br />
Contoh Takhshish al-Qur'an dengan al-Qur'an : firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ٍ ﺀﻭ ﺮﹸ ﻗ ﹶ ﺔﹶ ﺛﻼﹶﺛ ﻦِ ﻬِ ﺴﹸ ﻔ ﻧﹶ ﺄِﺑ ﻦ ﺼ ﺑ ﺮ ﺘﻳ ﺕﺎﹶ ﻘﱠ ﻠﹶ ﻄ ﻤﹾ ﻟﺍﻭ <br />
<br />
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali <br />
quru'" [QS. al-Baqoroh : 228] <br />
<br />
Dikhususkan dengan firman-Nya ta'ala : <br />
<br />
ﹶ ﻜﻧ ﺍﹶ ﺫِﺇ ﺍﻮ ﻨ ﻣﺁ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﺎﻬ ﻳﹶﺃ ﺎﻳ ﺎ ﻤﹶﻓ ﻦ ﻫﻮ ﺴ ﻤﺗ ﹾ ﻥﹶﺃ ِ ﻞ ﺒﹶ ﻗ ﻦِﻣ ﻦ ﻫﻮ ﻤ ﺘﹾ ﻘﱠ ﻠﹶﻃ ﻢﹸﺛ ِ ﺕﺎ ﻨِ ﻣ ﺆ ﻤﹾ ﻟﺍ ﻢ ﺘﺤ<br />
ﺎ ﻬ ﻧﻭ ﺪ ﺘ ﻌﺗ ٍ ﺓ ﺪِﻋ ﻦِﻣ ﻦِ ﻬ ﻴﹶ ﻠﻋ ﻢﹸ ﻜﹶﻟ <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
65 <br />
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-<br />
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu <br />
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu <br />
yang kamu minta menyempurnakannya." [QS. al-Ahzab : 49] <br />
<br />
Contoh takhshish al-Qur'an dengan as-Sunnah : ayat warisan, seperti <br />
firman-Nya ta'ala : <br />
<br />
ﹸ ﻛِ ﺩﻻ ﻭﹶﺃ ﻲِﻓ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻢﹸ ﻜﻴِ ﺻﻮﻳ ﻦ ﻴ ﻴﹶ ﺜ ﻧﹸ ﺄﹾ ﻟﺍ ﱢ ﻆﺣ ﹸ ﻞﹾ ﺜِﻣ ِ ﺮﹶ ﻛﱠ ﺬﻠِﻟ ﻢ <br />
<br />
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-<br />
anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang <br />
anak perempuan." [QS. an-Nisa' : 11] <br />
<br />
Dan yang semisal dengan ayat ini dikhususkan dengan sabda Rasulullah <br />
shallallahu 'alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﻢﻠﺴﳌﺍ ﺮﻓﺎﻜﻟﺍ ﻻﻭ ﺮﻓﺎﻜﻟﺍ ﻢﻠﺴﳌﺍ ﺙﺮﻳ ﻻ <br />
<br />
"Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak <br />
mewarisi orang muslim." <br />
<br />
Contoh takhshish al-Qur'an dengan Ijma' : firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﹰ ﺓ ﺪﹾ ﻠ ﺟ ﲔِ ﻧﺎ ﻤﹶﺛ ﻢ ﻫﻭ ﺪِ ﻠ ﺟﺎﹶﻓ َ ﺀﺍ ﺪ ﻬﺷ ِ ﺔ ﻌ ﺑ ﺭﹶ ﺄِﺑ ﺍﻮ ﺗﹾ ﺄﻳ ﻢﹶﻟ ﻢﹸﺛ ِ ﺕﺎ ﻨ ﺼ ﺤ ﻤﹾ ﻟﺍ ﹶ ﻥﻮ ﻣ ﺮﻳ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ <br />
<br />
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat <br />
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah <br />
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera." [QS. an-Nur : 4] <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
66 <br />
Dikhususkan dengan ijma' bahwa budak yang menuduh hukumannya <br />
didera (dicambuk) 40 kali. Demikianlah yang dijadikan contohkan oleh para <br />
ahli ushul, dan hal ini perlu diperiksa kembali dikarenakan adanya khilaf <br />
dalam masalah ini, dan aku belum mendapati contoh yang selamat (dari <br />
adanya khilaf, pent). <br />
<br />
Contoh takhshish al-Qur'an dengan Qiyas : firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺓ ﺪﹾ ﻠ ﺟ ﹶ ﺔﹶ ﺋﺎِﻣ ﺎ ﻤ ﻬ ﻨِﻣ ٍ ﺪِ ﺣﺍﻭ ﱠ ﻞﹸﻛ ﺍﻭ ﺪِ ﻠ ﺟﺎﹶﻓ ﻲِ ﻧﺍ ﺰﻟﺍﻭ ﹸ ﺔ ﻴِ ﻧﺍ ﺰﻟﺍ <br />
<br />
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-<br />
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera." [QS. an-Nur : 2] <br />
<br />
Dikhususkan dengan mengqiyaskan budak laki-laki yang berzina terhadap <br />
budak perempuan yang berzina dalam menjadikan hukumannya separuh, dan <br />
dikurangi menjadi lima puluh dera, menurut pendapat yang masyhur. <br />
<br />
Dan contoh takhshish As-Sunnah dengan Al-Qur'an : sabda Nabi <br />
shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
" ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﹰ ﺍﺪﻤﳏ ﻥﺃﻭ ﷲﺍ ﻻﺇ ﻪﻟﺇ ﻻ ﻥﺃ ﺍﻭﺪﻬﺸﻳ ﱴﺣ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻞﺗﺎﻗﺃ ﻥﺃ ﺕﺮﻣﺃ "... ،<br />
ﺚﻳﺪﳊﺍ . <br />
<br />
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi <br />
bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Alloh dan <br />
bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh…." Al-Hadits. <br />
<br />
Dikhususkan dengan firman Alloh ta'ala : Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
67 <br />
<br />
ﻪﹸ ﻟﻮ ﺳ ﺭﻭ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻡ ﺮﺣ ﺎﻣ ﹶ ﻥﻮ ﻣ ﺮ ﺤﻳ ﻻﻭ ِ ﺮِ ﺧﺂﹾ ﻟﺍ ِ ﻡ ﻮ ﻴﹾ ﻟﺎِﺑ ﻻﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺎِﺑ ﹶ ﻥﻮ ﻨِ ﻣ ﺆﻳ ﻻ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﺍﻮﹸ ﻠِ ﺗﺎﹶ ﻗ<br />
ﻌﻳ ﻰ ﺘﺣ ﺏﺎ ﺘِ ﻜﹾ ﻟﺍ ﺍﻮ ﺗﻭﹸﺃ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﻦِﻣ ﻖ ﺤﹾ ﻟﺍ ﻦﻳِﺩ ﹶ ﻥﻮ ﻨﻳِ ﺪﻳ ﻻﻭ ﻢ ﻫﻭ ٍ ﺪﻳ ﻦﻋ ﹶ ﺔ ﻳ ﺰِ ﺠﹾ ﻟﺍ ﺍﻮﹸ ﻄ<br />
ﹶ ﻥﻭ ﺮِ ﻏﺎﺻ <br />
<br />
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) <br />
kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang <br />
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang <br />
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada <br />
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka <br />
dalam keadaan tunduk." [At-Taubah : 29] <br />
<br />
Dan contoh takhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah : sabda Rosul <br />
shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
" ﺮﺸﻌﻟﺍ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﺖﻘﺳ ﺎﻤﻴﻓ " <br />
<br />
"Apa-apa (pertanian, pent) yang diairi dengan air hujan zakatnya adalah <br />
sepersepuluh" <br />
<br />
Dikhususkan dengan sabdanya shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﺔﻗﺪﺻ ﻖﺳﻭﺃ ﺔﺴﲬ ﻥﻭﺩ ﺎﻤﻴﻓ ﺲﻴﻟ <br />
<br />
"Tidak ada zakat bagi (hasil pertanian, pent) yang di bawah 5 wisq". <br />
<br />
Dan aku (asy-Syaikh Ibnul 'Utsaimin, pent) belum menemukan contoh <br />
takhshish As-Sunnah dengan ijma'. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
68 <br />
Dan contoh takhshish As-Sunnah dengan qiyas : sabda Rosul shollallohu <br />
alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﻡﺎﻋ ﺐﻳﺮﻐﺗﻭ ﺔﺌﻣ ﺪﻠﺟ ﺮﻜﺒﻟﺎﺑ ﺮﻜﺒﻟﺍ <br />
<br />
"Laki-laki yang belum menikah dan perempuan yang belum menikah (yang <br />
berzina, pent) didera seratus kali dan diasingkan selama 1 tahun." <br />
<br />
Dikhususkan dengan mengqiyaskan budak laki-laki yang berzina terhadap <br />
budak perempuan yang berzina dalam menjadikan hukumannya separuh, dan <br />
dikurangi menjadi lima puluh dera, menurut pendapat yang masyhur. <br />
<br />
*** <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
69 <br />
ﹾ ﻟﺍ ﹾ ﻄﻤ ﻖﹶﻠ ِﻭ ﹾ ﻟﺍ ﻤ ﺪ ﻴﹶﻘ <br />
MUTLAK DAN MUQOYYAD <br />
<br />
DEFINISI MUTLAK (ﻖﻠﻄﳌﺍ): <br />
<br />
Mutlak (ﻖﻠﻄﳌﺍ) secara bahasa adalah : ( ﺪﺿ ﺪﻴﻘﳌﺍ ) lawan dari Muqoyyad. <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
ﺪﻴﻗ ﻼﺑ ﺔﻘﻴﻘﳊﺍ ﻰﻠﻋ ﻝﺩ ﺎﻣ <br />
<br />
"Apa-apa yang menunjukkan atas hakikat tanpa ikatan" <br />
<br />
Sebagaimana firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺎ ﺳﺎ ﻤ ﺘﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ ِ ﻞ ﺒﹶ ﻗ ﻦِﻣ ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ ﺮﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ <br />
<br />
"Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua <br />
suami isteri itu bercampur" [QS. al-Mujadilah : 3] <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : ( ﺎﻣ ﻝﺩ ﻰﻠﻋ ﺔﻘﻴﻘﳊﺍ ) "apa-apa yang <br />
menunjukkan atas hakikat": umum (ﻡﺎﻌﻟﺍ), karena umum menunjukkan atas <br />
keumuman, bukan mutlak hakikat saja. <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : ( ﻼﺑ ﺪﻴﻗ ) "tanpa ikatan" : Muqoyyad (ﺪﻴﻘﳌﺍ). <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
70 <br />
DEFINISI MUQOYYAD (ﺪﻴﻘﳌﺍ) : <br />
<br />
Muqoyyad (ﺪﻴﻘﳌﺍ) secara bahasa adalah : ( ﺎﻣ ﻞﻌﺟ ﻪﻴﻓ ﺪﻴﻗ ﻦﻣ ﲑﻌﺑ ﻩﻮﳓﻭ ) Apa yang <br />
dijadikan padanya suatu ikatan dari unta dan yang semisalnya. <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﺪﻴﻘﺑ ﺔﻘﻴﻘﳊﺍ ﻰﻠﻋ ﻝﺩ ﺎﻣ <br />
<br />
"Apa-apa yang menunjukkan hakikat dengan ikatan" <br />
<br />
Sebagaimana firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ ٍ ﺔ ﻨِ ﻣ ﺆﻣ ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ ﺮ <br />
<br />
"(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman" [QS. <br />
an-Nisa' : 92] <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : (ﺪﻴﻘﺑ) "dengan ikatan" : Mutlak (ﻖﻠﻄﳌﺍ). <br />
<br />
BERAMAL DENGAN NASH YANG MUTLAK : <br />
<br />
Wajib beramal dengan nash yang mutlak berdasarkan kemutlakannya <br />
kecuali jika ada dalil yang men-taqyid-nya (mengikatnya), karena beramal <br />
dengan nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib berdasarkan atas <br />
apa-apa yang menjadi konsekuensi penunjukkan-penunjukannya sampai ada <br />
dalil yang menyelisihi hal itu. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
71 <br />
Jika terdapat nash yang mutlak dan nash yang muqoyyad, wajib mengikat <br />
nash yang mutlak tersebut dengan nash yang muqoyyad jika hukumnya satu <br />
(dalam satu permasalahan, pent), dan jika tidak, maka setiap nash diamalkan <br />
berdasarkan apa-apa yang ada padanya, dari mutlak atau muqoyyad. <br />
<br />
Contoh yang hukum keduanya satu : firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺎ ﺳﺎ ﻤ ﺘﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ ِ ﻞ ﺒﹶ ﻗ ﻦِﻣ ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ ﺮﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ <br />
<br />
"maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua <br />
suami isteri itu bercampur" [QS. al-Mujadalah : 3] <br />
<br />
Dan firman Alloh dalam kafarot membunuh : <br />
<br />
ٍ ﺔ ﻨِ ﻣ ﺆﻣ ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ ﺮﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ <br />
<br />
"(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman" [QS. <br />
an-Nisa' : 92] <br />
<br />
Contoh yang hukum keduanya tidak satu : Firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﻕِ ﺭﺎ ﺴﻟﺍﻭ ﺎ ﻤ ﻬ ﻳِ ﺪ ﻳﹶﺃ ﺍﻮ ﻌﹶ ﻄﹾ ﻗﺎﹶﻓ ﹸ ﺔﹶ ﻗِ ﺭﺎ ﺴﻟﺍﻭ <br />
<br />
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan <br />
keduanya" [QS. al-Ma'idah : 38] <br />
<br />
Dan firman Alloh dalam ayat wudhu' : <br />
<br />
ﻖِ ﻓﺍ ﺮ ﻤﹾ ﻟﺍ ﻰﹶ ﻟِﺇ ﻢﹸ ﻜ ﻳِ ﺪ ﻳﹶ ﺃﻭ ﻢﹸ ﻜ ﻫﻮ ﺟﻭ ﺍﻮﹸ ﻠِ ﺴﹾ ﻏﺎﹶﻓ <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
72 <br />
"Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku" [QS. al-<br />
Ma'idah : 6] <br />
<br />
Maka hukumnya berbeda, yang pertama memotong dan yang kedua <br />
membasuh, maka ayat yang pertama tidak bisa diikat dengan ayat yang <br />
kedua, bahkan tetap pada kemutlakannya, sehingga pemotongan adalah <br />
sampai pergelangan tangan dan membasuh sampai siku. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
73 <br />
ﻦ ﻴ ﺒﻤـﻟﺍﻭ ﹸ ﻞ ﻤ ﺠ ﻤـﻟﺍ <br />
MUJMAL DAN MUBAYYAN <br />
<br />
DEFINISI MUJMAL (ﻞﻤﺍ) : <br />
<br />
Mujmal secara bahasa : ( ﻢﻬﺒﳌﺍ ﻉﻮﻤﺍﻭ ) mubham (yang tidak diketahui) dan <br />
yang terkumpul. <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﻩﺭﺍﺪﻘﻣ ﻭﺃ ﻪﺘﻔﺻ ﻥﺎﻴﺑ ﻭﺃ ﻪﻨﻴﻴﻌﺗ ﰲ ﺎﻣﺇ ،ﻩﲑﻏ ﻰﻠﻋ ﻪﻨﻣ ﺩﺍﺮﳌﺍ ﻢﻬﻓ ﻒﻗﻮﺘﻳ ﺎﻣ <br />
<br />
"Apa yang dimaksud darinya ditawaqqufkan terhadap yang selainnya, baik <br />
dalam ta'yinnya (penentuannya) atau penjelasan sifatnya atau ukurannya." <br />
<br />
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam ta'yin/penentuannya: Firman <br />
Alloh ta'ala: <br />
<br />
ﺑ ﺮ ﺘﻳ ﺕﺎﹶ ﻘﱠ ﻠﹶ ﻄ ﻤﹾ ﻟﺍﻭ ٍ ﺀﻭ ﺮﹸ ﻗ ﹶ ﺔﹶ ﺛﻼﹶﺛ ﻦِ ﻬِ ﺴﹸ ﻔ ﻧﹶ ﺄِﺑ ﻦ ﺼ <br />
<br />
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali <br />
quru'" [QS. Al-Baqoroh : 228] <br />
<br />
Quru' (ﺀﺮﻘﻟﺍ) adalah lafadz yang musytarok (memiliki beberapa makna, <br />
pent) antara haidh dan suci, maka menta'yin salah satunya membutuhkan <br />
dalil. <br />
<br />
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan sifatnya : Firman <br />
Alloh ta'ala : Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
74 <br />
<br />
ﺓﻼ ﺼﻟﺍ ﺍﻮ ﻤﻴِ ﻗﹶ ﺃﻭ <br />
<br />
"Dan dirikanlah sholat" [QS. Al-Baqoroh : 43] <br />
<br />
Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui (hanya dengan ayat ini, <br />
pent), membutuhkan penjelasan. <br />
<br />
Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya : <br />
Firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﹶ ﺓﺎﹶ ﻛ ﺰﻟﺍ ﺍﻮﺗَ ﺁﻭ <br />
<br />
"Dan tunaikanlah zakat" [QS. Al-Baqoroh : 43] <br />
<br />
Ukuran zakat yang wajib tidak diketahui (hanya dengan ayat ini, pent), <br />
maka membutuhkan penjelasan. <br />
<br />
DEFINISI MUBAYYAN (ﻦ ﻴﺒﳌﺍ) : <br />
<br />
Mubayyan secara bahasa : (ﺢﺿﻮﳌﺍﻭ ﺮﻬﻈﳌﺍ) yang ditampakkan dan yang <br />
dijelaskan. <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﲔﻴﺒﺘﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﻭﺃ ﻊﺿﻮﻟﺍ ﻞﺻﺄﺑ ﺎﻣﺇ ،ﻪﻨﻣ ﺩﺍﺮﳌﺍ ﻢﻬﻔﻳ ﺎﻣ <br />
<br />
"Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya <br />
atau setelah adanya penjelasan." <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
75 <br />
Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya : <br />
lafadz : langit (ﺀﺎﲰ), bumi (ﺽﺭﺃ), gunung (ﻞﺒﺟ), adil (ﻝﺪﻋ), dholim (ﻢﻠﻇ), jujur <br />
(ﻕﺪﺻ). Maka kata-kata ini dan yang semisalnya dapat difahami dengan asal <br />
peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain dalam menjelaskan <br />
maknanya. <br />
<br />
Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan : <br />
firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﹶ ﺓﺎﹶ ﻛ ﺰﻟﺍ ﺍﻮ ﺗﺁﻭ <br />
<br />
"Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat" [QS. Al-Baqoroh : 43] <br />
<br />
Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal, <br />
tetapi pembuat syari'at (Alloh ta'ala) telah menjelaskannya, maka lafadz <br />
keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan. <br />
<br />
BERAMAL DENGAN DALIL YANG MUJMAL: <br />
<br />
Seorang mukallaf wajib bertekad untuk beramal dengan dalil yang <br />
mujmal ketika telah datang penjelasannya. <br />
<br />
Nabi shollallohu alaihi wa sallam telah menjelaskankan semua syari'atnya <br />
kepada umatnya baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, sehingga <br />
beliau meninggalkan ummat ini di atas syari'at yang putih bersih malamnya <br />
seperti siangnya, dan beliau tidak pernah sama sekali meninggalkan <br />
penjelasan (terhadap syari'at, pent) ketika dibutuhkan. <br />
<br />
Dan penjelasan Nabi shollallohu alaihi wa sallam itu berupa perkataan <br />
atau perbuatan atau perkataan dan sekaligus perbuatan. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
76 <br />
Contoh penjelasan beliau shollallohu alaihi wa sallam dengan perkataan : <br />
Pengkhobaran beliau tentang nishob-nishob dan ukuran zakat, sebagaimana <br />
dalam sabdanya shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﺮﺸﻌﻟﺍ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﺖﻘﺳ ﺎﻤﻴﻓ <br />
<br />
"Apa-apa (hasil pertanian, pent) yang diairi dengan air hujan zakatnya <br />
adalah 1/10" <br />
<br />
Sebagai penjelasan dari firman Alloh ta'ala yang mujmal : <br />
<br />
ﹶ ﺓﺎﹶ ﻛ ﺰﻟﺍ ﺍﻮ ﺗﺁﻭ <br />
<br />
"Dan tunaikanlah zakat" [QS. Al-Baqoroh : 43] <br />
<br />
Contoh penjelasan beliau shollallohu alaihi wa sallam dengan perbuatan: <br />
perbuatan beliau dalam manasik di hadapan ummat sebagai penjelasan dari <br />
firman Alloh ta'ala yang mujmal : <br />
<br />
ﺖ ﻴ ﺒﹾ ﻟﺍ ﺞِﺣ ِ ﺱﺎ ﻨﻟﺍ ﻰﹶ ﻠﻋ ِ ﻪﱠ ﻠِ ﻟﻭ <br />
<br />
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah" [QS. Ali <br />
Imron :97] <br />
<br />
Dan demikian juga sholat kusuf (gerhana bulan) dengan sifat sholatnya, <br />
dalam kenyataannya hal ini merupakan penjelasan terhadap sabdanya <br />
shollallohu alaihi wa sallam yang mujmal : <br />
<br />
ﺍﻮﻠﺼﻓ ﹰ ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻬﻨﻣ ﻢﺘﻳﺃﺭ ﺍﺫﺈﻓ Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
77 <br />
<br />
"Jika kalian melihat sesuatu darinya maka sholatlah". [Muttafaqun alaihi] <br />
<br />
Contoh penjelasan beliau shollallohu alaihi wa sallam dengan perkataan <br />
dan sekaligus perbuatan : penjelasan beliau shollallohu alaihi wa sallam <br />
tentang tata cara sholat, sesungguhnya pejelasan beliau adalah dengan <br />
perkataan dalam hadits al-musi' fi sholatihi (orang yang jelek dalam <br />
sholatnya), dimana beliau shollallohu alaihi wa sallam bersabda : <br />
<br />
ﱪﻜﻓ ﺔﻠﺒﻘﻟﺍ ﻞﺒﻘﺘﺳﺍ ﰒ ،ﺀﻮﺿﻮﻟﺍ ﻎﺒﺳﺄﻓ ،ﺓﻼﺼﻟﺍ ﱃﺇ ﺖﻤﻗ ﺍﺫ ... <br />
<br />
"Jika engkau akan sholat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian <br />
menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah….", al-hadits. <br />
<br />
Dan penjelasan beliau adalah dengan perbuatan juga, sebagaimana <br />
dalam hadits Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi rodhiyallohu anhu bahwa Nabi <br />
shollallohu alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar lalu bertakbir (takbirotul <br />
ihrom, pent), dan orang-orangpun bertakbir di belakang beliau sedangkan <br />
beliau berada di atas mimbar…., Al-Hadits, dan dalam hadits tersebut : <br />
"kemudian beliau menghadap kepada orang-orang dan berkata : <br />
<br />
ﰐﻼﺻ ﺍﻮﻤﻠﻌﺘﻟﻭ ،ﰊ ﺍﻮﲤﺄﺘﻟ ؛ﺍﺬﻫ ﺖﻠﻌﻓ ﺎﳕﺇ <br />
<br />
"hanya saja aku melakukan ini supaya kalian mengikuti gerakanku dan <br />
supaya kalian mengetahui sholatku". <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
78 <br />
ﺮِ ﻫﺎﱠ ﻈﻟﺍ ِﻭ ﹾ ﻟﺍ ﻤ ﹸ ﻝ ﻭﺆ <br />
DZOHIR DAN MU'AWWAL <br />
<br />
DEFINISI DZOHIR (ﺮﻫﺎﻈﻟﺍ) : <br />
<br />
Dzohir secara bahasa : Yang terang (ﺢﺿﺍﻮﻟﺍ) dan yang jelas (ﲔﺒﻟﺍ). <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﻩﲑﻏ ﻝﺎﻤﺘﺣﺍ ﻊﻣ ﺢﺟﺍﺭ ﲎﻌﻣ ﻰﻠﻋ ﻪﺴﻔﻨﺑ ﻝﺩ ﺎﻣ <br />
<br />
"Apa-apa yang menunjukkan atas makna yang rojih dengan lafadznya <br />
sendiri dengan adanya kemungkinan makna lainnya." <br />
<br />
Misalnya sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﻞﺑﻹﺍ ﻡﻮﳊ ﻦﻣ ﺍﻭﺆﺿﻮﺗ <br />
<br />
"Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!" <br />
<br />
Maka sesungguhnya yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu adalah <br />
membasuh anggota badan yang empat dengan sifat yang syar'i bukan wudhu <br />
yang berarti membersihkan diri. <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : "apa-apa yang menunjukkan atas makna <br />
dengan lafadznya sendiri" (ﲎﻌﻣ ﻰﻠﻋ ﻪﺴﻔﻨﺑ ﻝﺩ ﺎﻣ) : Mujmal, karena mujmal tidak <br />
menunjukkan makna dengan lafadznya sendiri. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
79 <br />
Keluar dari perkataan kami : "rojih" (ﺢﺟﺍﺭ) : Mu'awwal, karena ia <br />
menunjukkan atas makna yang marjuh jika tanpa qorinah. <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : "dengan adanya kemungkinan makna <br />
lainnya" ( ﻊﻣ ﻩﲑﻏ ﻝﺎﻤﺘﺣﺍ ) : Nash yang tegas, karena ia tidak memiliki kemungkinan <br />
kecuali hanya satu makna. <br />
<br />
BERAMAL DENGAN DALIL YANG DZOHIR : <br />
<br />
Beramal dengan dalil yang dzohir adalah wajib kecuali jika ada dalil yang <br />
memalingkannya dari makna dzohirnya. Karena ini merupakan jalannya para <br />
salaf, dan karena ini lebih hati-hati dan lebih melepaskan tanggungan, dan <br />
lebih kuat dalam ta'abbud dan ketundukan. <br />
<br />
DEFINISI MU'AWWAL (ﻝﻭﺆﳌﺍ): <br />
<br />
Mu'awwal secara bahasa : dari kata "al-Awli" (ﻝﻭَ ﻷﺍ) yakni kembali (ﻉﻮﺟﺮﻟﺍ). <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﺡﻮﺟﺮﳌﺍ ﲎﻌﳌﺍ ﻰﻠﻋ ﻪﻈﻔﻟ ﻞﲪ ﺎﻣ <br />
<br />
"Apa-apa yang lafadznya dibawa pada makna yang marjuh." <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : "pada makna yang marjuh" ( ﻰﻠﻋ ﺡﻮﺟﺮﳌﺍ ﲎﻌﳌﺍ ) : <br />
Nash dan Dzohir. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
80 <br />
Adapun nash, karena ia tidak mengandung kemungkinan kecuali hanya <br />
satu makna, dan adapun dzohir, karena ia dibawa kepada makna yang rojih. <br />
<br />
Ta'wil ada dua macam : Shohih diterima dan Rusak ditolak. <br />
<br />
1. Ta'wil yang shohih : yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil <br />
yang shohih, seperti ta'wil terhadap firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﹶ ﺔ ﻳ ﺮﹶ ﻘﹾ ﻟﺍ ِ ﻝﹶ ﺄ ﺳﺍﻭ ... <br />
<br />
"bertanyalah kepada desa..." [QS. Yusuf : 82] <br />
<br />
Kepada makna "bertanyalah kepada penduduk desa" (ﺔﻳﺮﻘﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﻝﺄﺳﺍﻭ), karena <br />
desa tidak mungkin untuk diberi pertanyaan kepadanya. <br />
<br />
2. Ta'wil yang rusak : yang tidak ada dalil yang shohih yang menunjukkan <br />
makna tersebut, seperti ta'wil orang-orang mu'aththilah (ahli ta'thil) <br />
terhadap firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺮﻟﺍ ﹶ ﻠﻋ ﻦ ﻤﺣ ﻯ ﻮ ﺘ ﺳﺍ ِ ﺵ ﺮ ﻌﹾ ﻟﺍ ﻰ <br />
<br />
"Ar-Rohman bersemayam di atas arsy" [QS. Thoha : 5] <br />
<br />
Kepada makna istaula (ﱃﻮﺘﺳﺍ / menguasai), dan yang benar bahwa <br />
maknanya adalah ketinggian dan menetap, tanpa takyif dan tamtsil. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
81 <br />
ﺦـ ﺴ ﻨﻟﺍ <br />
AN-NASKH <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Naskh secara bahasa : Penghilangan (ﺔﻟﺍﺯﻹﺍ) dan Pemindahan (ﻞﻘﻨﻟﺍ). <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﺔﻨﺴﻟﺍﻭ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻦﻣ ﻞﻴﻟﺪﺑ ﻪﻈﻔﻟ ﻭﺃ ﻲﻋﺮﺷ ﻞﻴﻟﺩ ﻢﻜﺣ ﻊﻓﺭ <br />
<br />
"Terangkatnya (dihapusnya, pent) hukum suatu dalil syar'i atau lafadznya <br />
dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah." <br />
<br />
Yang dimaksud dengan perkataan kami : ( ﻊﻓﺭ ﻢﻜﺣ ) " Terangkatnya hukum" <br />
yakni : perubahannya dari wajib menjadi mubah atau dari mubah menjadi <br />
haram misalnya. <br />
<br />
Keluar dari hal tersebut perubahan hukum karena hilangnya syarat atau <br />
adanya penghalang, misalnya terangkatnya kewajiban zakat karena <br />
kurangnya nishob atau kewajiban sholat karena adanya haid, maka hal <br />
tersebut tidak dinamakan sebagai naskh. <br />
<br />
Dan yang dimaksud dengan perkataan kami : ( ﻭﺃ ﻪﻈﻔﻟ ) "atau lafadznya" : <br />
lafadz suatu dalil syar'i, karena naskh bisa terjadi pada hukumnya saja tanpa <br />
lafadznya, atau sebaliknya, atau pada keduanya (hukum dan lafadznya) <br />
secara bersamaan sebagaimana yang akan datang. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
82 <br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﻞﻴﻟﺪﺑ ﻦﻣ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﺔﻨﺴﻟﺍﻭ ) "dengan dalil dari Al-Kitab <br />
dan As-Sunnah" : apa yang selain keduanya dari dalil-dalil syar'i, seperti ijma' <br />
dan qiyas maka suatu dalil tidak bisa di-naskh dengan keduanya. <br />
<br />
NASKH ITU MUNGKIN TERJADI SECARA AKAL DAN TERJADI SECARA SYAR'I. <br />
<br />
Adapun kemungkinannya secara akal : karena di tangan Alloh-lah semua <br />
perkara, dan milik-Nyalah hukum, karena Dia adalah Ar-Robb Al-Malik, maka <br />
Alloh berhak mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya apa-apa yang menjadi <br />
konsekuensi hikmah dan rahmat-Nya. Apakah tidak masuk akal jika al-Malik <br />
memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? <br />
Kemudian konsekuensi hikmah dan rahmat Alloh ta'ala kepada hamba-hamba-<br />
Nya adalah Dia mensyariatkan kepada mereka dengan apa-apa yang <br />
diketahui-Nya bahwa di dalamnya dapat tegak maslahat-maslahat agama dan <br />
dunia mereka. Dan maslahat-maslahat berbeda-beda tergantung kondisi dan <br />
waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih <br />
bermaslahat bagi para hamba, dan terkadang hukum yang lain pada waktu <br />
dan kondisi yang lain adalah lebih bermaslahat, dan Alloh Maha Mengetahui <br />
dan Maha Bijaksana. <br />
<br />
Adapun terjadinya naskh secara syar'i, dalil-dalilnya adalah : <br />
<br />
1. Firman Alloh ta'ala: <br />
<br />
ﻣ ﺎ ﻬِ ﻠﹾ ﺜِﻣ ﻭﹶﺃ ﺎ ﻬ ﻨِﻣ ٍ ﺮ ﻴ ﺨِﺑ ِ ﺕﹾ ﺄﻧ ﺎ ﻬِ ﺴ ﻨﻧ ﻭﹶﺃ ٍ ﺔ ﻳﺁ ﻦِﻣ ﺦ ﺴ ﻨﻧ ﺎ <br />
<br />
"Ayat mana saja yang Kami naskh, atau Kami jadikan (manusia) lupa <br />
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding <br />
dengannya." [QS. al-Baqoroh : 106] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
83 <br />
2. Firman Alloh ta'ala: <br />
<br />
ﹾ ﻟﺍ ﻢﹸ ﻜ ﻨﻋ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻒﱠ ﻔ ﺧ ﹶﻥﺂ <br />
<br />
"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu" [QS. al-Anfal : 66] <br />
<br />
ﹶﻥﺂﹾ ﻟﺎﹶﻓ ﻦ ﻫﻭ ﺮِ ﺷﺎﺑ <br />
<br />
"Maka sekarang campurilah mereka" [QS. al-Baqoroh : 187] <br />
<br />
Maka ini adalah nash tentang terjadinya perubahan hukum yang <br />
sebelumnya. <br />
<br />
3. Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam: <br />
<br />
ﹸﻛ ﻨ ﺖ ﻧ ﻬ ﻴ ﺘ ﹸﻜ ﻢ ﻋ ﻦ ِ ﺯ ﻳ ﺭﺎ ِﺓ ﹾ ﻟﺍ ﹸﻘ ﺒ ﻮ ِﺭ ﹶﻓ ﺰ ﻭ ﺭ ﻭ ﻫ ﺎ <br />
<br />
"Aku dahulu melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) <br />
berziarahlah" [HR. Muslim] <br />
<br />
Ini merupakan nash tentang dinaskh-nya larangan menziarahi kubur. <br />
<br />
DALIL YANG TIDAK BISA DI-NASKH <br />
<br />
Naskh tidak bisa terjadi pada beberapa hal berikut ini : <br />
<br />
1. Al-Akhbar (Khobar-khobar), karena naskh tempatnya adalah dalam <br />
masalah hukum dan karena me-naskh salah satu di antara dua khobar berarti <br />
melazimkan bahwa salah satu di antara kedua khobar tersebut adalah dusta. <br />
Dan kedustaan adalah suatu hal yang mustahil bagi khobar dari Alloh dan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
84 <br />
Rosul-Nya, kecuali apabila hukum tersebut datang dalam bentuk khobar, <br />
maka tidak mustahil untuk di-naskh, sebagaimana firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ ﺍﻮ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ ﹶ ﻥﻭ ﺮِ ﺑﺎﺻ ﹶ ﻥﻭ ﺮ ﺸِﻋ ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِﺇ <br />
<br />
"Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan <br />
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh." [QS. Al-Anfal : 65] <br />
<br />
Maka sesungguhnya ayat ini adalah khobar yang maknanya adalah <br />
perintah, oleh karena itu naskh-nya datang pada ayat yang berikutnya, yaitu <br />
firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺍﻮ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ ﹲ ﺓ ﺮِ ﺑﺎﺻ ﹲ ﺔﹶ ﺋﺎِﻣ ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِ ﺈﹶﻓ ﹰ ﺎﻔ ﻌﺿ ﻢﹸ ﻜﻴِﻓ ﱠ ﻥﹶﺃ ﻢِ ﻠ ﻋﻭ ﻢﹸ ﻜ ﻨﻋ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻒﱠ ﻔ ﺧ ﹶﻥﺂﹾ ﻟﺍ<br />
ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ <br />
<br />
"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui <br />
bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang <br />
sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir." [QS. <br />
Al-Anfal : 66] <br />
<br />
2. Hukum-hukum yang maslahatnya berlaku di setiap waktu dan tempat : <br />
seperti tauhid, pokok-pokok keimanan, pokok-pokok ibadah, akhlaq-akhlaq <br />
yang mulia seperti kejujuran dan kesucian, kedermawanan dan keberanian <br />
dan yang semisalnya. Maka tidak mungkin me-naskh perintah terhadap hal-hal <br />
tersebut, dan begitu pula tidak mungkin me-naskh larangan tentang apa-apa <br />
yang tercela di setiap waktu dan tempat, seperti syirik, kekufuran, akhlaq-<br />
akhlaq yang buruk seperti dusta, berbuat fujur (dosa), bakhil, penakut dan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
85 <br />
yang semisalnya, karena syari'at-syari'at semuanya adalah untuk <br />
kemaslahatan para hamba dan mencegah mafsadat dari mereka. <br />
<br />
SYARAT-SYARAT NASKH <br />
<br />
Disyaratkan dalam me-naskh apa yang mungkin untuk di-naskh dengan <br />
syarat-syarat di antaranya : <br />
<br />
1. Tidak mungkinnya dilakukan jama' (penggabungan makna) antara kedua <br />
dalil, apabila memungkinkan untuk di-jama' maka tidak boleh di-naskh karena <br />
memungkinkannya untuk beramal dengan kedua dalil tersebut. <br />
<br />
2. Pengetahuan tentang lebih terbelakangnya (lebih akhir datangnya, pent) <br />
dalil yang me-naskh (naasikh) dan hal tersebut bisa diketahui dengan nash <br />
atau khobar dari sahabat atau dengan tarikh (sejarah). <br />
<br />
Contoh yang diketahui lebih akhirnya yang me-naskh dengan nash adalah <br />
sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ِ ﺔ ﻣﺎ ﻴِ ﻘﹾ ﻟﺍ ِ ﻡ ﻮﻳ ﻰﹶ ﻟِﺇ ﻚِ ﻟﹶﺫ ﻡ ﺮﺣ ﺪﹶ ﻗ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﱠ ﻥِ ﺇﻭ ِ ﺀﺎ ﺴ ﻨﻟﺍ ﻦِﻣ ِ ﻉﺎ ﺘ ﻤِ ﺘ ﺳﺎِ ﻟﺍ ﻲِﻓ ﻢﹸ ﻜﹶﻟ ﺖ ﻧِ ﺫﹶﺃ ﺖ ﻨﹸﻛ <br />
<br />
"Dahulu aku mengizinkan kalian untuk nikah mut'ah dengan wanita, maka <br />
sesungguhnya Alloh telah mengharomkannya sampai hari kiamat". <br />
<br />
Contoh yang diketahui dengan khobar sahabat adalah perkataan Aisyah <br />
rodhiyallohu anha : <br />
<br />
ٍ ﺕﺎ ﻌ ﺿﺭ ﺮ ﺸﻋ ِ ﻥﺁ ﺮﹸ ﻘﹾ ﻟﺍ ﻦِﻣ ﹶ ﻝِ ﺰ ﻧﹸﺃ ﺎ ﻤﻴِﻓ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ ٍ ﺲ ﻤ ﺨِﺑ ﻦ ﺨِ ﺴﻧ ﻢﹸﺛ ﻦ ﻣ ﺮ ﺤﻳ ٍ ﺕﺎ ﻣﻮﹸ ﻠ ﻌﻣ <br />
ٍ ﺕﺎ ﻣﻮﹸ ﻠ ﻌﻣ Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
86 <br />
"Dahulu dalam apa yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah sepuluh kali <br />
persusuan menjadikan mahrom, kemudian dihapus menjadi lima kali <br />
persusuan". <br />
<br />
Contoh yang diketahui dengan tarikh adalah firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﻢﹸ ﻜ ﻨﻋ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻒﱠ ﻔ ﺧ ﹶﻥﺂﹾ ﻟﺍ <br />
<br />
"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu" [QS. Al-Anfal : 66] <br />
<br />
Kata (ﻥﻵﺍ) "sekarang", menunjukkan atas lebih akhirnya hukum tersebut. <br />
Dan demikian juga jika disebutkan bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam <br />
menghukumi sesuatu sebelum hijroh, kemudian setelah itu beliau <br />
menghukumi dengan yang menyelisihinya, maka yang kedua (setelah hijroh, <br />
pent) adalah sebagai naasikh (yang me-naskh). <br />
<br />
3. Naasikh-nya Shohih, dan jumhur mensyaratkan bahwa naasikh harus lebih <br />
kuat dari yang mansukh (yang di-naskh) atau semisal/sederajat dengannya, <br />
sehingga menurut mereka dalil yang mutawatir tidak bisa di-naskh dengan <br />
dalil yang ahad, walaupun dalil ahad tersebut shohih. Dan yang rojih adalah <br />
bahwasanya naasikh tidak disyaratkan harus lebih kuat dari yang mansukh <br />
atau sederajat dengannya, karena tempatnya naskh adalah masalah hukum, <br />
dan dalam penetapan hukum tidak disyaratkan derajatnya harus mutawatir. <br />
<br />
MACAM-MACAM AN-NASKH : <br />
<br />
Naskh ditinjau dari nash yang mansukh terbagi menjadi tiga macam : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
87 <br />
1. Apa yang di-naskh hukumnya dan tertinggal lafadznya, dan ini banyak <br />
dalam Al-Qur'an. <br />
<br />
Contohnya : dua ayat Al-Mushobaroh yakni firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ ﺍﻮ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ ﹶ ﻥﻭ ﺮِ ﺑﺎﺻ ﹶ ﻥﻭ ﺮ ﺸِﻋ ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِﺇ <br />
<br />
"Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan <br />
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh." [QS. Al-Anfal : 65] <br />
<br />
Hukumnya di-naskh dengan firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ِﻣ ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِ ﺈﹶﻓ ﹰ ﺎﻔ ﻌﺿ ﻢﹸ ﻜﻴِﻓ ﱠ ﻥﹶﺃ ﻢِ ﻠ ﻋﻭ ﻢﹸ ﻜ ﻨﻋ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻒﱠ ﻔ ﺧ ﹶﻥﺂﹾ ﻟﺍ ﺍﻮـ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ ﹲ ﺓ ﺮِ ﺑﺎـﺻ ﹲ ﺔﹶ ﺋﺎ<br />
ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ِ ﻥﹾ ﺫِ ﺈِﺑ ِ ﻦ ﻴﹶ ﻔﹾ ﻟﹶﺃ ﺍﻮ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ ﻒﹾ ﻟﹶﺃ ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِ ﺇﻭ ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ ﻦﻳِ ﺮِ ﺑﺎ ﺼﻟﺍ ﻊﻣ ﻪﱠ ﻠﻟﺍﻭ <br />
<br />
"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui <br />
bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang <br />
sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir. Dan <br />
jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat <br />
mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-<br />
orang yang sabar." [QS. Al-Anfal : 66] <br />
<br />
Dan hikmah di-naskhnya hukum tanpa lafadznya adalah tetap adanya <br />
pahala membacanya dan mengingatkan ummat tentang hikmah naskh <br />
tersebut. <br />
<br />
2. Apa yang di-naskh lafadznya dan hukumnya tetap berlaku seperti ayat <br />
rajam, dan telah shohih dalam "Ash-Shohihain" dari hadits Ibnu Abbas Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
88 <br />
rodhiyallohu anhuma dari Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu anhu, ia <br />
berkata : <br />
ﻰﱠ ﻠﺻ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﹸ ﻝﻮ ﺳﺭ ﻢ ﺟﺭ ﺎ ﻫﺎ ﻨ ﻴ ﻋ ﻭﻭ ﺎ ﻫﺎ ﻨﹾ ﻠﹶ ﻘ ﻋﻭ ﺎ ﻫﺎ ﻧﹾ ﺃ ﺮﹶ ﻘﹶﻓ ِ ﻢ ﺟ ﺮﻟﺍ ﹸ ﺔ ﻳﺁ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﹶ ﻝ ﺰ ﻧﹶﺃ ﺎ ﻤِﻣ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ<br />
ﺎﻣ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍﻭ ﹲ ﻞِ ﺋﺎﹶ ﻗ ﹶ ﻝﻮﹸ ﻘﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ ﹲ ﻥﺎ ﻣ ﺯ ِ ﺱﺎ ﻨﻟﺎِﺑ ﹶ ﻝﺎﹶﻃ ﹾ ﻥِﺇ ﻰ ﺸ ﺧﹶ ﺄﹶﻓ ﻩ ﺪ ﻌﺑ ﺎ ﻨ ﻤ ﺟ ﺭﻭ ﻢﱠ ﻠ ﺳﻭ ِ ﻪ ﻴﹶ ﻠﻋ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ<br />
ِ ﺏﺎ ﺘِﻛ ﻲِﻓ ﻢ ﺟ ﺮﻟﺍﻭ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺎ ﻬﹶ ﻟ ﺰ ﻧﹶﺃ ٍ ﺔ ﻀﻳِ ﺮﹶﻓ ِ ﻙ ﺮ ﺘِﺑ ﺍﻮﱡ ﻠِ ﻀ ﻴﹶﻓ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ِ ﺏﺎ ﺘِﻛ ﻲِﻓ ِ ﻢ ﺟ ﺮﻟﺍ ﹶ ﺔ ﻳﺁ ﺪِ ﺠﻧ<br />
ﻋ ﻖﺣ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ ﻭﹶﺃ ﹸ ﺔ ﻨ ﻴ ﺒﹾ ﻟﺍ ﺖ ﻣﺎﹶ ﻗ ﺍﹶ ﺫِﺇ ِ ﺀﺎ ﺴ ﻨﻟﺍﻭ ِ ﻝﺎ ﺟ ﺮﻟﺍ ﻦِﻣ ﻦِ ﺼ ﺣﹸﺃ ﺍﹶ ﺫِﺇ ﻰ ﻧ ﺯ ﻦﻣ ﻰﹶﻠ<br />
ﻑﺍ ﺮِ ﺘ ﻋﺎِ ﻟﺍ ﻭﹶﺃ ﹸ ﻞ ﺒ ﺤﹾ ﻟﺍ <br />
<br />
"Dahulu diantara ayat yang Alloh turunkan adalah ayat rajam, maka kami <br />
membacanya, memahaminya, dan menghafalnya. Dan Rosullulloh shollallohu <br />
alaihi wa sallam melakukan hukum rajam dan kamipun melakukan hukum <br />
rajam setelah beliau, maka aku khawatir seandainya manusia telah melewati <br />
waktu yang panjang, seseorang akan berkata : Demi Alloh, kami tidak <br />
menemukan ayat rajam dalam kitab Alloh, maka mereka menjadi sesat <br />
dengan meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan oleh Alloh, <br />
sesungguhnya rajam dalam Kitabulloh adalah hak terhadap orang yang <br />
berzina, jika laki-laki dan perempuan itu adalah muhshon (pernah menikah, <br />
pent) dan kejelasan (persaksian) telah ditegakkan atau hamil atau adanya <br />
pengakuan." <br />
<br />
Dan hikmah di-naskhnya lafadz tanpa hukumnya adalah sebagai ujian bagi <br />
ummat dalam mengamalkan apa yang mereka tidak mendapatkan lafadznya <br />
dalam Al-Qur'an, dan menguatkan iman mereka terhadap apa yang diturunkan <br />
Alloh ta'ala, kebalikan dari keadaan orang yahudi yang berusaha <br />
menyembunyikan nash rajam dalam Taurot. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
89 <br />
3. Apa yang di-naskh hukum dan lafadznya, seperti di-naskhnya sepuluh kali <br />
persusuan dari hadits Aisyah rodhiyallohu anha yang telah lalu. <br />
<br />
Naskh ditinjau dari yang me-naskh dibagi menjadi empat macam : <br />
<br />
1. Di-naskhnya Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, contohnya adalah dua ayat al-<br />
Mushobaroh. <br />
<br />
2. Di-naskhnya Al-Qur'an dengan As-Sunnah, aku belum menemukan contoh <br />
yang selamat/ shohih. <br />
<br />
3. Di-naskhnya As-Sunnah dengan Al-Qur'an, contohnya adalah di-naskhnya <br />
hukum (sholat) menghadap Baitul Maqdis yang telah shohih dengan As-<br />
Sunnah dengan hukum menghadap Ka'bah yang telah shohih dengan <br />
firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺤﹾ ﻟﺍ ِ ﺪِ ﺠ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ ﺮﹾ ﻄﺷ ﻚ ﻬ ﺟﻭ ﱢ ﻝ ﻮﹶﻓ ﻩ ﺮﹾ ﻄﺷ ﻢﹸ ﻜ ﻫﻮ ﺟﻭ ﺍﻮﱡ ﻟ ﻮﹶﻓ ﻢ ﺘ ﻨﹸﻛ ﺎﻣ ﹸ ﺚ ﻴ ﺣﻭ ِ ﻡﺍﺮ <br />
<br />
"Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja <br />
kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." [Al-Baqoroh : 144] <br />
<br />
4. Di-naskhnya As-Sunnah dengan As-Sunnah, contohnya sabda Nabi <br />
shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﹸﻛ ﻨ ﺖ ﻧ ﻬ ﻴ ﺘ ﹸﻜ ﻢ ﻋ ِﻦ ﻨﻟﺍ ِﺒ ﻴ ِ ﺬ ِﻓ ﻲ ﹾﺍ َ ﻷ ﻭ ِﻋ ﻴ ِﺔ ﹶﻓ ، ﺷﺎ ﺮ ﺑ ِﻓ ﺍﻮ ﻴ ﻤ ِﺷ ﺎ ﹾﺌ ﺘ ﻢ ﻭ ، ﹶﻻ ﺗ ﺸ ﺮ ﺑ ﻣ ﺍﻮ ﺴ ِﻜ ﹰ ﺍﺮ <br />
<br />
"Dahulu aku melarang kalian dari meminum nabidz yang disimpan di <br />
tempat-tempat, maka (sekarang) minumlah sesuai dengan kehendak kalian, <br />
dan jangan kalian meminum sesuatu yang memabukkan." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
90 <br />
HIKMAH NASKH : <br />
<br />
Naskh mempunyai banyak hikmah diantaranya : <br />
<br />
1. Memelihara maslahat-maslahat para hamba dengan disyariatkannya apa <br />
yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia <br />
mereka. <br />
<br />
2. Berkembangnya syari'at sedikit demi sedikit hingga mencapai <br />
kesempurnaan. <br />
<br />
3. Ujian bagi para mukallaf terhadap kesiapan mereka untuk menerima <br />
perubahan suatu hukum kepada yang lain, dan keridho'an mereka <br />
terhadap hal tersebut. <br />
<br />
4. Ujian bagi para mukallaf untuk menegakkan tugas bersyukur jika naskh <br />
itu kepada hukum yang lebih ringan, dan tugas untuk bersabar jika naskh <br />
itu kepada hukum yang lebih berat. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
91 <br />
َ ﻷﺍ ﺧ ﺒ ﺭﺎ <br />
AL-AKHBAR <br />
<br />
DEFINISI KHOBAR : <br />
<br />
Khobar (ﱪﳋﺍ) secara bahasa : berita (ﺄﺒﻨﻟﺍ). <br />
<br />
Yang dimaksud di sini adalah : <br />
<br />
ﻒﺻﻭ ﻭﺃ ﺮﻳﺮﻘﺗ ﻭﺃ ﻞﻌﻓ ﻭﺃ ﻝﻮﻗ ﻦﻣ ﻢﹼ ﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﹼ ﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﱃﺇ ﻒﻴﺿﺃ ﺎﻣ <br />
<br />
"Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dari <br />
perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat." <br />
<br />
Dan telah berlalu penjelasan tentang ahkam lebih dari sekali. <br />
<br />
Adapun perbuatan, maka sesungguhnya perbuatan Rosullulloh shollallohu <br />
alaihi wa sallam ada beberapa macam : <br />
<br />
Yang pertama : yang dilakukannya berupa kebiasaan, seperti makan, <br />
minum, dan tidur, maka secara dzatnya perbuatan ini tidak ada hukumnya, <br />
akan tetapi terkadang perbuatan yang sifatnya kebiasaan tersebut <br />
diperintahkan atau dilarang karena suatu sebab, dan terkadang memiliki sifat <br />
yang dituntut seperti makan dengan tangan kanan, atau larangan seperti <br />
makan dengan tangan kiri. <br />
<br />
Yang kedua : apa yang dilakukan sesuai dengan adat, seperti sifat <br />
pakaian maka hal ini mubah dalam batasan dzatnya, dan terkadang hal <br />
tersebut diperintahkan atau dilarang karena suatu sebab. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
92 <br />
Yang ketiga : apa yang dilakukan Nabi shollallohu alaihi wa sallam dalam <br />
bentuk khushushiyyah (kekhususan), maka hal itu khusus bagi beliau, seperti <br />
puasa wishol dan nikah dengan menghibahkan diri. <br />
<br />
Dan tidaklah sesuatu perbuatan dihukumi dengan khushushiyyah kecuali <br />
dengan dalil (yang menunjukkan bahwa hal tersebut adalah kekhususan <br />
beliau, pent), karena hukum asalnya adalah mengikutinya. <br />
<br />
Yang keempat : apa yang dilakukan Nabi shollallohu alaihi wa sallam <br />
secara ta'abbudi, maka ini wajib bagi beliau sampai perbuatan tersebut <br />
disampaikan karena wajibnya menyampaikan, kemudian hukumnya menjadi <br />
mandub (mustahab/sunnah, pent) bagi beliau dan bagi kita berdasarkan <br />
perkataan yang rojih, hal tersebut dikarenakan bahwa perbuatan beliau yang <br />
ta'abuddiyah menunjukkan atas disyari'atkannya perbuatan tersebut, dan <br />
pada asalnya tidak ada dosa bagi yang meninggalkannya, maka perbuatan itu <br />
disyari'atkan dan tidak ada dosa dalam meninggalkannya, ini adalah hakikat <br />
mandub. <br />
<br />
Contoh dari hal tersebut adalah : hadits Aisyah rodhiyallohu anha <br />
bahwasanya dia ditanya tentang dengan apa Nabi shollallohu alaihi wa sallam <br />
memulai masuk rumahnya? Ia berkata : "dengan siwak", tidaklah siwak ketika <br />
masuk rumah kecuali hanya sekedar perbuatan beliau, maka perbuatan <br />
tersebut menjadi mandub. <br />
<br />
Contoh yang lain adalah : Nabi shollallohu alaihi wa sallam menyela-<br />
nyela jenggotnya di dalam berwudhu. Maka menyela-nyela jenggot tidak <br />
masuk dalam membasuh wajah, sehingga hal ini menjadi penjelas terhadap <br />
sesuatu yang mujmal dan hanya saja hal tersebut sekedar perbuatan beliau, <br />
maka perbuatan tersebut adalah mandub. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
93 <br />
Yang kelima : apa-apa yang dilakukan beliau sebagai penjelas dari <br />
kemujmalan (keumuman) nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, maka perbuatan <br />
tersebut wajib atas beliau sampai perbuatan tersebut dijelaskan karena <br />
wajibnya menyampaikannya, kemudian hukum nash tersebut menjadi <br />
mubayyan bagi beliau dan bagi kita, jika hukumnya wajib maka perbuatan <br />
tersebut hukumnya wajib dan jika hukumnya mandub maka perbuatan <br />
tersebut hukumnya mandub. <br />
<br />
Contoh yang wajib adalah : perbuatan-perbuatan dalam sholat yang <br />
sifatnya wajib yang Nabi shollallohu alaihi wa sallam melakukannya sebagai <br />
penjelas terhadap firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﹶ ﺓﻼ ﺼﻟﺍ ﺍﻮ ﻤﻴِ ﻗﹶ ﺃﻭ <br />
<br />
"Dan dirikanlah sholat" [QS. Al-Baqoroh : 43] <br />
<br />
Dan contoh yang mandub : sholatnya Nabi shollallohu alaihi wa sallam <br />
dua rokaat di belakang maqom Ibrohim setelah selesai dari thowaf sebagai <br />
penjelas firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﻰﹼ ﻠ ﺼﻣ ﻢﻴِ ﻫﺍ ﺮ ﺑِﺇ ِ ﻡﺎﹶ ﻘﻣ ﻦِﻣ ﺍﻭﹸ ﺬِ ﺨ ﺗﺍﻭ <br />
<br />
"Dan jadikanlah sebagian maqom Ibrahim tempat shalat." [QS. Al-<br />
Baqoroh : 125] <br />
<br />
Yang mana Nabi shollallohu alaihi wa sallam mendatangi maqom Ibrohim <br />
dan beliau membaca ayat ini, maka sholat dua roka'at di belakang maqom <br />
Ibrohim adalah sunnah. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
94 <br />
Adapun taqrir (persetujuan) Nabi Shollallohu alaihi wa sallam atas <br />
sesuatu maka hal tersebut menunjukkan atas bolehnya perbuatan itu dari sisi <br />
yang beliau setujui, baik berupa perkataan ataupun perbuatan. <br />
<br />
Contoh persetujuan beliau atas perkataan : persetujuan beliau terhadap <br />
seorang budak wanita yang beliau bertanya kepadanya : "Dimana Alloh?" ia <br />
berkata : "Di atas langit". <br />
<br />
Contoh persetujuan beliau atas perbuatan adalah : persetujuan beliau <br />
terhadap orang yang ikut berperang yang membaca Al-Qur'an dalam sholatnya <br />
untuk teman-temannya kemudian ia mengakhirinya dengan bacaan: " ﻪـﱠ ﻠﻟﺍ ﻮﻫ ﹾ ﻞﹸ ﻗ<br />
ﺪـ ﺣﹶﺃ" [QS. Al-Ikhlash : 1], maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata : <br />
"bertanyalah kepadanya, kenapa ia melakukannya?" kemudian para shohabat <br />
menanyainya, maka ia menjawab : "karena dalam ayat tersebut ada sifat Ar-<br />
Rohman dan aku senang membacanya" Lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam <br />
berkata : "kabarkan kepadanya bahwa Alloh mencintainya". <br />
<br />
Contoh yang lain : persetujuan beliau terhadap orang-orang Habasyah <br />
yang bermain-main di masjid, dengan tujuan man-ta'lif mereka kepada Islam. <br />
<br />
Adapun perbuatan-perbuatan yang terjadi di zaman beliau shollallohu <br />
alaihi wa sallam dan tidak diketahuinya maka hal tersebut tidak dinisbatkan <br />
kepada beliau, tetapi hal itu sebagai hujjah atas taqrir Alloh terhadap <br />
perbuatan tersebut, dan oleh karena itu para sahabat rodhiyallohu anhum <br />
berdalil atas bolehnya melakukan 'azl dengan pendiaman Alloh terhadap <br />
mereka atas hal itu. Jabir rodhiyallohu anhu berkata : <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
95 <br />
ﹸﻛ ﻨ ﻧ ﺎ ﻌ ِ ﺰ ﹸﻝ ﻭ ﹾ ﻟﺍ ﹸﻘ ﺮ ﹸ ﻥﺁ ﻳ ﻨ ِ ﺰ ﹸﻝ <br />
<br />
"Dahulu kami melakukan 'azl sedangkan Al-Qur'an sedang diturunkan" <br />
[Muttafaqun alaihi]. <br />
<br />
Muslim menambahkan : berkata Sufyan : Seandainya sesuatu itu dilarang <br />
maka Al-Qur'an sungguh akan melarang kami melakukannya. <br />
<br />
Dan yang menunjukkan bahwa pendiaman Alloh (terhadap suatu <br />
perbuatan) merupakan hujjah adalah perbuatan-perbuatan mungkar yang <br />
disembunyikan oleh orang-orang munafiq, Alloh ta'ala menjelaskannya dan <br />
mengingkarinya, maka ini menunjukkan bahwa apa yang didiamkan oleh Alloh <br />
hukumnya adalah boleh. <br />
<br />
Pembagian khobar ditinjau dari sisi kepada siapa penyandarannya : <br />
<br />
Khobar ditinjau dari penyandarannya dibagi menjadi tiga bagian : marfu', <br />
mauquf, dan maqtu'. <br />
<br />
1. Marfu' ( ﻉﻮـﻓﺮﳌﺍ): Apa yang disandarkan kepada Nabi shollallohu alaihi wa <br />
sallam secara hakiki atau secara hukum. <br />
<br />
Marfu' secara hakiki adalah : sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam, <br />
perbuatan dan taqrirnya/persetujuannya. <br />
<br />
Marfu' secara hukum adalah : apa yang disandarkan kepada sunnah beliau <br />
shollallohu alaihi wa sallam, zamannya, dan yang semisalnya yang tidak <br />
menunjukkan secara langsung dari beliau. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
96 <br />
Dan di antaranya adalah perkataan sahabat : "kami diperintahkan" atau <br />
"kami dilarang" atau yang semisalnya. Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas <br />
rodhiyallohu anhuma : <br />
<br />
ِﺾِ ﺋﺎ ﺤﹾ ﻟﺍ ﻦﻋ ﻒﱢ ﻔ ﺧ ﻪ ﻧﹶﺃ ﺎﱠ ﻟِﺇ ِ ﺖ ﻴ ﺒﹾ ﻟﺎِﺑ ﻢِ ﻫِ ﺪ ﻬﻋ ﺮِ ﺧﺁ ﹶ ﻥﻮﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ ﺱﺎ ﻨﻟﺍ ﺮِ ﻣﹸﺃ <br />
<br />
"Telah diperintahkan kepada manusia agar mengakhiri ibadah hajinya <br />
(dengan thowaf, pent) di Baitulloh, namun diberi kelonggaran bagi wanita <br />
haidh." <br />
<br />
Dan perkataan Ummu Athiyah : <br />
<br />
ﺎ ﻨ ﻴﹶ ﻠﻋ ﻡ ﺰ ﻌﻳ ﻢﹶ ﻟﻭ ِ ﺰِ ﺋﺎ ﻨ ﺠﹾ ﻟﺍ ِ ﻉﺎ ﺒ ﺗﺍ ﻦﻋ ﺎ ﻨﻴِ ﻬﻧ <br />
<br />
"Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, namun tidak dikeraskan atas kami" <br />
<br />
2. Mauquf (ﻑﻮﻗﻮﳌﺍ): apa-apa yang disandarkan kepada shohabat dan tidak tetap <br />
baginya hukum marfu'. Dan ini merupakan hujjah berdasarkan pendapat yang <br />
rojih, kecuali jika menyelisihi nash atau perkataan shohabat yang lain, jika <br />
menyelisihi nash maka diambil nashnya, dan jika menyelisihi perkataan <br />
shohabat yang lain maka diambil yang rojih di antara keduanya. <br />
<br />
Shohabat adalah : orang yang berkumpul bersama Nabi shollallohu alaihi <br />
wa sallam dalam keadaan beriman kepada beliau dan meninggal dalam <br />
keadaan beriman. <br />
<br />
3. Maqtu' ( ﻉﻮـﻄﻘﳌﺍ): apa-apa yang disandarkan kepada tabi'in dan yang setelah <br />
mereka. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
97 <br />
Tabi'in adalah : orang yang berkumpul bersama shohabat dalam keadaan <br />
beriman kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dan meninggal dalam <br />
keadaan beriman. <br />
<br />
Pembagian khobar ditinjau dari jalan-jalannya : <br />
<br />
Khobar ditinjau dari jalan-jalannya dibagi menjadi : mutawatir dan ahad. <br />
<br />
1. Mutawatir : apa-apa yang diriwayatkan oleh banyak rowi, yang secara <br />
adat mustahil bagi mereka bersepakat dengan sengaja dalam kebohongan dan <br />
menyandarkannya kepada sesuatu yang dapat dirasakan. <br />
<br />
Contohnya adalah sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﻣ ﻦ ﹶﻛ ﹶ ﺬ ﺏ ﻋ ﹶﻠ ﻣ ﻲ ﺘ ﻌ ﻤ ﹶﻓ ﹰ ﺍﺪ ﹾﻠ ﻴ ﺘ ﺒ ﻮ ﹾﺃ ﻣ ﹾﻘ ﻌ ﺪ ﻩ ِﻣ ﻦ ﻨﻟﺍ ِ ﺭﺎ <br />
<br />
"Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka ambillah <br />
tempat duduknya di neraka." <br />
<br />
2. Ahad : apa-apa yang selain mutawatir (yakni tidak sampai derajat <br />
mutawatir, pent). <br />
<br />
Dan dari segi tingkatannya hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian : <br />
shohih, hasan, dan dho'if. <br />
<br />
Shohih : apa yang dinukil oleh rowi yang 'adl, sempurna <br />
dhobit/hapalannya, dengan sanad yang bersambung, terlepas dari sifat syadz <br />
dan 'illah yang merusak. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
98 <br />
Hasan : apa yang dinukil oleh rowi yang 'adl, dhobitnya ringan, dengan <br />
sanad yang bersambung, terlepas dari sifat syadz dan 'illah yang merusak. <br />
Dan bisa naik ke derajat shohih jika jalannya berbilang (lebih dari satu, pent) <br />
dan dinamakan shohih li ghoirihi. <br />
<br />
Dho'if : yang tidak memenuhi syarat hadits shohih dan hasan. <br />
<br />
Dan bisa naik ke derajat hasan jika jalannya berbilang (yakni jika <br />
kedhoifannya muhtamal/ ringan, pent), yang saling menguatkan satu sama <br />
lain dan dinamakan hasan li ghoirihi. <br />
<br />
Dan semua jenis hadits ini merupakan hujjah kecuali hadits dho'if, maka <br />
ia bukan hujjah akan tetapi tidak mengapa menyebutkannya sebagai <br />
syawahid dan yang semisalnya. <br />
<br />
BENTUK-BENTUK PENYAMPAIAN : <br />
<br />
Dalam hadits terdapat pengambilan dan penyampaian. <br />
<br />
Pengambilan (ﻞﻤﺤﺘﻟﺍ): mengambil hadits dari orang lain. <br />
<br />
Penyampaian (ﺀﺍﺩﻷﺍ): menyampaikan hadits kepada orang lain. <br />
<br />
Penyampaian memiliki bentuk-bentuk, di antaranya : <br />
<br />
1. Haddatsani (ﲏﺛﺪـ ـﺣ) / "telah menceritakan kepadaku": yang syaikhnya <br />
membacakan hadits kepadanya. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
99 <br />
2. Akhbaroni (ﱐﱪــﺧﺃ) / "telah mengabarkan kepadaku": yang syaikhnya <br />
membacakan hadits kepadanya, atau dia yang membacakan kepada <br />
syaikhnya. <br />
<br />
3. Akhbaroni ijazatan ( ﱐﱪـﺧﺃ ﺓﺯﺎـﺟﺇ ) / "telah mengabarkan kepadaku dengan <br />
ijazah" atau ajaza li ( ﺯﺎﺟﺃ ﱄ ) / "telah memberikan kepadaku ijazah " : yang <br />
meriwayatkan dengan ijazah (tertulis, pent) tanpa membacakan. <br />
<br />
Dan ijazah : izin yang diberikan syaikh kepada muridnya untuk <br />
meriwayatkan darinya apa-apa yang telah diriwayatkannya, walaupun <br />
bukan dengan jalan pembacaan. <br />
<br />
4. 'An'anah (ﺔﻨﻌﻨﻌﻟﺍ): meriwayatkan hadits dengan lafadz 'an (ﻦﻋ) / "dari". <br />
<br />
Dan hukum 'an'anah adalah bersambung sanadnya, kecuali dari orang yang <br />
ma'ruf dengan sifat tadlis, maka sanadnya tidak dihukumi bersambung <br />
kecuali ia menegaskan dengan lafadz tahdits. <br />
<br />
Dan pembahasan tentang masalah hadits dan riwayatnya banyak jenisnya <br />
dalam ilmu mustholah, dan yang telah kami isyaratkan sudah mencukupi <br />
insyaAlloh ta'ala. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
100 <br />
ِ ﻹﺍ ﺟ ﻤ ﻉﺎ <br />
IJMA' <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Ijma' secara bahasa : (ﻕﺎﻔﺗﻻﺍﻭ ﻡﺰﻌﻟﺍ) Niat yang kuat dan Kesepakatan. <br />
<br />
Dan secara istilah : <br />
<br />
ﻠﻋ ﻢﹼ ﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﹼ ﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﺔﻣﻷﺍ ﻩﺬﻫ ﻱﺪﻬﺘﳎ ﻕﺎﻔﺗﺍ ﻲﻋﺮﺷ ﻢﻜﺣ ﻰ <br />
<br />
"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu <br />
'alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar'i." <br />
<br />
Maka keluar dari perkataan kami : ( ﻕﺎـﻔﺗﺍ) "kesepakatan" : adanya khilaf <br />
walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma'. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ) ﻱﺪـﻬﺘﳎ ( "Para mujtahid" : Orang awam <br />
dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak <br />
dianggap. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ( ﻩﺬـﻫ ﺔـﻣﻷﺍ ) "Ummat ini" : Ijma' selain <br />
mereka (ummat Islam), maka ijma' selain mereka tidak dianggap. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ( ﺪﻌﺑ ﱯﻨﻟﺍ ﻰﹼ ﻠﺻ ﷲﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﹼ ﻠﺳﻭ ) "Setelah wafatnya <br />
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : Kesepakatan mereka pada zaman Nabi <br />
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak dianggap sebagai ijma' dari segi <br />
keberadaannya sebagai dalil, karena dalil dihasilkan dari sunnah nabi Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
101 <br />
Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir <br />
(persetujuan), oleh karena itu jika seorang shahabat berkata : "Dahulu kami <br />
melakukan", atau "Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi <br />
Shallallahu 'alaihi wa sallam ", maka hal itu marfu' secara hukum, tidak <br />
dinukil sebagai ijma'. <br />
<br />
Dan keluar dari perkataan kami : ( ﻰﻠﻋ ﻢﻜﺣ ﻲﻋﺮـﺷ ) "terhadap hukum syar'i" : <br />
Kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu <br />
tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah ijma' adalah seperti <br />
dalil dari dalil-dalil syar'i. <br />
<br />
Ijma merupakan hujjah, dengan dalil-dalil diantaranya : <br />
<br />
1. Firman Allah : <br />
<br />
ﻭ ِ ﺱﺎ ﻨﻟﺍ ﻰﹶ ﻠﻋ َ ﺀﺍ ﺪ ﻬﺷ ﺍﻮ ﻧﻮﹸ ﻜ ﺘِﻟ ﹰﺎﻄ ﺳﻭ ﹰ ﺔ ﻣﹸﺃ ﻢﹸ ﻛﺎ ﻨﹾ ﻠ ﻌ ﺟ ﻚِ ﻟﹶ ﺬﹶﻛ <br />
<br />
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat <br />
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." <br />
[QS. Al-Baqoroh : 143] <br />
<br />
Maka firmanNya : "Saksi atas manusia", mencakup persaksian terhadap <br />
perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan mereka, dan <br />
seorang saksi perkataannya diterima. <br />
<br />
2. Firman Allah : <br />
<br />
ﻰﹶ ﻟِﺇ ﻩﻭ ﺩ ﺮﹶﻓ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﻲِﻓ ﻢ ﺘ ﻋ ﺯﺎ ﻨﺗ ﹾ ﻥِ ﺈﹶﻓ ِ ﻝﻮ ﺳ ﺮﻟﺍﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
102 <br />
"Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan <br />
Rasul-Nya." [QS. An-Nisa' : 59] <br />
<br />
Menunjukkan atas bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati adalah <br />
benar. <br />
<br />
3. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: <br />
<br />
ﹶﻻ ﺗ ﺠ ﺘ ِﻤ ﻊ ﹸﺃ ﻣ ِﺘ ﻲ ﻋ ﹶﻠ ﺿ ﻰ ﹶﻼ ﹶﻟ ٍﺔ <br />
<br />
"Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan" <br />
<br />
4. Kami mengatakan : Ijma' umat atas sesuatu bisa jadi benar dan bisa jadi <br />
salah, jika benar maka ia adalah hujjah, dan jika salah maka bagaimana <br />
mungkin umat yang merupakan umat yang paling mulia disisi Allah sejak <br />
zaman Nabinya sampai hari kiamat bersepakat terhadap suatu perkara yang <br />
batil yang tidak diridhoi oleh Allah? Ini merupakan suatu kemustahilan yang <br />
paling besar. <br />
<br />
MACAM-MACAM IJMA' : <br />
<br />
Ijma' ada dua macam : Qoth'i dan Dzonni. <br />
<br />
1. Ijma' Qoth'i : Ijma' yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini <br />
dengan pasti, seperti ijma' atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya <br />
zina. Ijma' jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan <br />
keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika <br />
ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
103 <br />
2. Ijma' Dzonni : Ijma' yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan <br />
dipelajari (tatabbu' & istiqro'). Dan para ulama telah berselisih tentang <br />
kemungkinan tetapnya ijma' jenis ini, dan perkataan yang paling rojih dalam <br />
masalah ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan <br />
dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah : "Dan ijma' yang bisa diterima dengan pasti <br />
adalah ijma'nya as-salafush-sholeh, karena yang setelah mereka banyak <br />
terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar." <br />
<br />
Ketahuilah bahwasanya umat ini tidak mungkin bersepakat untuk <br />
menyelisihi suatu dalil yang shohih dan shorih serta tidak mansukh karena <br />
umat ini tidaklah bersepakat kecuali diatas kebenaran. Dan jika engkau <br />
mendapati suatu ijma' yang menurutmu menyelisihi kebenaran, maka <br />
perhatikanlah! Mungkin dalilnya yang tidak shohih atau tidak shorih atau <br />
mansukh atau masalah tersebut merupakan masalah yang diperselisihkan <br />
yang kamu tidak mengetahuinya. <br />
<br />
SYARAT-SYARAT IJMA' : <br />
<br />
Ijma' memiliki syarat-syarat, diantaranya : <br />
<br />
1. Tetap melalui jalan yang shohih, yaitu dengan kemasyhurannya <br />
dikalangan 'ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan <br />
luas pengetahuannya. <br />
<br />
2. Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului <br />
oleh hal itu maka bukanlah ijma' karena perkataan tidak batal dengan <br />
kematian yang mengucapkannya. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
104 <br />
Maka ijma' tidak bisa membatalkan khilaf yang ada sebelumnya, akan <br />
tetapi ijma' bisa mencegah terjadinya khilaf. Ini merupakan pendapat yang <br />
rojih karena kuatnya pendalilannya. Dan dikatakan : tidak disyaratkan yang <br />
demikian, maka bisa ditetapkan atas salah satu pendapat yang ada <br />
sebelumnya pada masa berikutnya, kemudian ia menjadi hujjah bagi ummat <br />
yang setelahnya. Dan menurut pendapat jumhur, tidak disyaratkan berlalunya <br />
zaman orang-orang yang bersepakat, maka ijma' ditetapkan dari ahlinya <br />
(mujtahidin) hanya dengan kesepakatan mereka (pada saat itu juga, pent) <br />
dan tidak boleh bagi mereka atau yang selain mereka menyelisihinya setelah <br />
itu, karena dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ijma' adalah hujjah, tidak <br />
ada padanya pensyaratan berlalunya zaman terjadinya ijma' tersebut. Karena <br />
ijma' dihasilkan pada saat terjadinya kesepakatan mereka, maka apa yang <br />
bisa membatalkannya? <br />
<br />
Dan jika sebagian mujtahid mengatakan sesuatu perkataan atau <br />
mengerjakan suatu pekerjaan dan hal itu masyhur di kalangan ahlul Ijtihad <br />
dan tidak ada yang mengingkarinya dengan adanya kemampuan mereka untuk <br />
mengingkari hal tersebut, maka dikatakan : hal tersebut menjadi ijma', dan <br />
dikatakan : hal tersebut menjadi hujjah bukan ijma', dan dikatakan : bukan <br />
ijma' dan bukan pula hujjah, dan dikatakan : jika masanya telah berlalu <br />
sebelum adanya pengingkaran maka hal itu merupakan ijma', karena diam <br />
mereka (mujtahidin) secara terus-menerus sampai berlalunya masa padahal <br />
mereka memiliki kemampuan untuk mengingkari merupakan dalil atas <br />
kesepakatan mereka, dan ini merupakan pendapat yang paling dekat kepada <br />
kebenaran. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
105 <br />
ِ ﻘﻟﺍ ﻴ ﺱﺎ <br />
Qiyas <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Qiyas secara bahasa : Pengukuran (ﺮﻳﺪﻘﺘﻟﺍ) dan Penyamaan (ﺓﺍﻭﺎﺴﳌﺍ). <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ ﺔﻌﻣﺎﺟ ﺔﱠ ﻠﻌﻟ ﻢﻜﺣ ﰲ ﻞﺻﺄﺑ ﻉﺮﻓ ﺔﻳﻮﺴﺗ <br />
<br />
"Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum <br />
dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya." <br />
<br />
Cabang (ﻉﺮﻔﻟﺍ) : yang diqiyaskan (ﺲﻴﻘﳌﺍ). <br />
<br />
Pokok/ashl (ﻞﺻﻷﺍ) : yang diqiyaskan kepadanya ( ﺲﻴﻘﳌﺍ ﻪﻴﻠﻋ ). <br />
<br />
Hukum (ﻢﻜﳊﺍ) : <br />
<br />
ﺎﻫﲑﻏ ﻭﺃ ،ﺩﺎﺴﻓ ﻭﺃ ،ﺔﺤﺻ ﻭﺃ ،ﱘﺮﲢ ﻭﺃ ،ﺏﻮﺟﻭ ﻦﻣ ﻲﻋﺮﺸﻟﺍ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ ﻩﺎﻀﺘﻗﺍ ﺎﻣ <br />
<br />
"Apa yang menjadi konsekuensi dalil syar'i dari yang wajib atau harom, <br />
sah atau rusak, atau yang selainnya." <br />
<br />
Sebab/'illah (ﺔﻠﻌﻟﺍ) : <br />
<br />
ﻞﺻﻷﺍ ﻢﻜﺣ ﻪﺒﺒﺴﺑ ﺖﺒﺛ ﻱﺬﻟﺍ ﲎﻌﳌﺍ <br />
<br />
"Sebuah makna dimana hukum ashl ditetapkan dengan sebab tersebut." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
106 <br />
Ini merupakan empat rukun qiyas, dan qiyas merupakan salah satu dalil <br />
yang hukum-hukum syar'i ditetapkan dengannya. <br />
<br />
Dan sungguh al-Kitab, as-Sunnah dan perkataan sahabat telah menunjuk-<br />
kan dianggapnya qiyas sebagai dalil syar'i. Adapun dalil-dalil dari al-Kitab : <br />
<br />
1. Firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﱠ ﻠﻟﺍ ﻥﺍ ﺰﻴِ ﻤﹾ ﻟﺍﻭ ﻖ ﺤﹾ ﻟﺎِﺑ ﺏﺎ ﺘِ ﻜﹾ ﻟﺍ ﹶ ﻝ ﺰ ﻧﹶﺃ ﻱِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﻪ <br />
<br />
"Allah-lah yang menurunkan al-Kitab dengan (membawa) kebenaran dan <br />
(menurunkan) mizan." [QS. Asy-Syuuro : 17] <br />
<br />
Mizan/timbangan ( ﻥﺍ ﺰـﻴِ ﻤﹾ ﻟﺍَ ) adalah sesuatu yang perkara-perkara ditimbang <br />
dengannya dan diqiyaskan dengannya. <br />
<br />
2. Firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﻩ ﺪﻴِ ﻌﻧ ٍ ﻖﹾ ﻠ ﺧ ﹶ ﻝ ﻭﹶﺃ ﺎ ﻧﹾ ﺃ ﺪﺑ ﺎ ﻤﹶﻛ <br />
<br />
"Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami <br />
akan mengulanginya" [QS. Al-Anbiya : 104] <br />
<br />
ﺡﺎ ﻳ ﺮﻟﺍ ﹶ ﻞ ﺳ ﺭﹶﺃ ﻱِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﻪﱠ ﻠﻟﺍﻭ ﺪـ ﻌﺑ ﺽ ﺭﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ِ ﻪِﺑ ﺎ ﻨ ﻴ ﻴ ﺣﹶ ﺄﹶﻓ ٍ ﺖ ﻴﻣ ٍ ﺪﹶ ﻠﺑ ﻰﹶ ﻟِﺇ ﻩﺎ ﻨﹾ ﻘ ﺴﹶﻓ ﹰ ﺎﺑﺎ ﺤﺳ ﲑِ ﺜ ﺘﹶﻓ <br />
ﺭﻮﺸ ﻨﻟﺍ ﻚِ ﻟﹶ ﺬﹶﻛ ﺎ ﻬِ ﺗ ﻮﻣ <br />
<br />
"Dan Allah-lah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan <br />
awan, maka Kami halau awan itu kesuatu negeri yang mati lalu Kami <br />
hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan <br />
itu." [QS. Fathir : 9] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
107 <br />
Alloh ta'ala menyerupakan pengulangan penciptaan dengan <br />
permulaannya, dan menyerupakan menghidupkan yang mati dengan <br />
menghidupkan bumi, ini adalah qiyas. <br />
<br />
Di antara dalil-dalil sunnah : <br />
<br />
1. Sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam kepada seorang wanita yang <br />
bertanya kepadanya tentang berpuasa untuk ibunya setelah meninggal : <br />
<br />
ﺎ ﻬ ﻨﻋ ِ ﻚِ ﻟﹶﺫ ﻱ ﺩ ﺆﻳ ﹶ ﻥﺎﹶ ﻛﹶﺃ ِ ﻪﻴِ ﺘ ﻴ ﻀﹶ ﻘﹶﻓ ﻦ ﻳﺩ ِ ﻚ ﻣﹸﺃ ﻰﹶ ﻠﻋ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ ﻮﹶﻟ ِ ﺖ ﻳﹶ ﺃ ﺭﹶﺃ ؟ ﹶ ﻗ ﹶ ﻝﺎـﹶ ﻗ ﻢـ ﻌﻧ ﺖﹶ ﻟﺎ<br />
ِ ﻚ ﻣﹸﺃ ﻦﻋ ﻲِ ﻣﻮ ﺼﹶﻓ <br />
<br />
"Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang lalu kamu <br />
membayar-nya? Apakah hutang tersebut tertunaikan untuknya?" Dia <br />
menjawab : "Ya". Beliau bersabda : "Maka berpuasalah untuk ibumu." <br />
<br />
2. Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam <br />
lalu ia berkata : <br />
<br />
ﺩ ﻮ ﺳﹶﺃ ﻡﺎﹶ ﻠﹸ ﻏ ﻲِﻟ ﺪِ ﻟﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﹶ ﻝﻮ ﺳﺭ ﺎﻳ ! ٍ ﻞِ ﺑِﺇ ﻦِﻣ ﻚﹶﻟ ﹾ ﻞﻫ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻘﹶﻓ ؟ ﺎـ ﻬ ﻧﺍ ﻮﹾ ﻟﹶﺃ ﺎﻣ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﻢ ﻌﻧ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ <br />
ﹶ ﺄﹶﻓ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﻢ ﻌﻧ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﻕ ﺭ ﻭﹶﺃ ﻦِﻣ ﺎ ﻬﻴِﻓ ﹾ ﻞﻫ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﺮ ﻤﺣ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﻚِ ﻟﹶﺫ ﻰﻧ ؟ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﻕ ﺮِﻋ ﻪ ﻋ ﺰﻧ ﻪﱠ ﻠ ﻌﹶﻟ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ <br />
ﻪ ﻋ ﺰﻧ ﺍﹶ ﺬﻫ ﻚ ﻨ ﺑﺍ ﱠ ﻞ ﻌﹶ ﻠﹶﻓ <br />
<br />
"Wahai Rosullulloh! Telah dilahirkan untukku seorang anak laki-laki yang <br />
berkulit hitam." Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata: "Apakah <br />
kamu memiliki unta? Ia menjawab: "Ya", Nabi berkata: "Apa saja warnanya?" <br />
Ia menjawab: "Merah", Nabi berkata: "Apakah ada yang berwarna keabu-Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
108 <br />
abuan?" Ia menjawab: "Ya", Nabi berkata: "Mengapa demikian?" Ia menjawab: <br />
"Mungkin uratnya ada yang salah" Nabi berkata: "Mungkin juga anakmu ini <br />
terjadi kesalahan urat". <br />
<br />
Demikian ini seluruh contoh yang ada dalam kitab dan sunnah sebagai <br />
dalil atas kebenaran qiyas karena di dalamnya ada penganggapan sesuatu <br />
sama dengan yang semisalnya. <br />
<br />
Dan di antara dalil dari perkataan sahabat : Apa yang datang dari Amirul <br />
Mu'minin Umar bin Al-Khoththob dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy'ari <br />
dalam hal pemutusan hukum, ia berkata : <br />
<br />
ﺲﻳﺎﻗ ﰒ ،ﺔﻨﺳ ﻻﻭ ﻥﺁﺮﻗ ﰲ ﺲﻴﻟ ﺎﳑ ﻚﻴﻠﻋ ﺩﺭﻭ ﺎﳑ ،ﻚﻴﻠﻋ ﱃﺩﺃ ﺎﻤﻴﻓ ﻢﻬﻔﻟﺍ ﻢﻬﻔﻟﺍ ﰒ<br />
ﺗ ﺎﻤﻴﻓ ﺪﻤﻋﺍ ﰒ ،ﻝﺎﺜﻣﻷﺍ ﻑﺮﻋﺍﻭ ،ﻙﺪﻨﻋ ﺭﻮﻣﻷﺍ ﺎﻬﻬﺒـﺷﺃﻭ ،ﷲﺍ ﱃﺇ ﺎﻬـﺒﺣﺃ ﱃﺇ ﻯﺮ<br />
ﻖﳊﺎﺑ <br />
<br />
"Kemudian fahamilah, fahamilah terhadap apa yang diajukan kepadamu, <br />
kepada apa yang datang kepadamu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan as-<br />
Sunnah, kemudian qiyaskanlah perkara-perkara yang terjadi padamu tersebut <br />
dan ketahuilah persamaan-persamaannya, kemudian sandarkanlah pendapatmu <br />
itu kepada apa yang paling dicintai Alloh dan paling menyerupai kebenaran." <br />
<br />
Ibnul Qoyyim berkata : "dan ini adalah surat (dari Umar, pent) yang mulia <br />
yang telah diterima oleh para 'ulama". <br />
<br />
Dan Al-Muzani meriwayatkan bahwa para ahli fiqih sejak zaman sahabat <br />
sampai zaman beliau telah bersepakat bahwa penyamaan dengan yang benar Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
109 <br />
adalah benar dan penyamaan dengan yang bathil adalah bathil, dan mereka <br />
menggunakan qiyas-qiyas dalam fiqh dalam seluruh hukum-hukum. <br />
<br />
SYARAT-SYARAT QIYAS : <br />
<br />
Qiyas memiliki syarat-syarat di antaranya : <br />
<br />
1. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak <br />
dianggap qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma' atau perkataan <br />
shohabat jika kita mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan <br />
qiyas yang bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dinamakan <br />
sebagai anggapan yang rusak ( ﺪﺳﺎﻓ ﺭﺎﺒﺘﻋﻻﺍ ). <br />
<br />
Contohnya : dikatakan : bahwa wanita rosyidah (baligh, berakal, dan bisa <br />
mengurus diri sendiri, pent) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, <br />
diqiyaskan kepada sahnya ia berjual-beli tanpa wali. <br />
<br />
Ini adalah qiyas yang rusak karena menyelisihi nash, yaitu sabda Nabi <br />
shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﹶﻻ ِﻧ ﹶﻜ ﺡﺎ ِﺇ ﱠﻻ ِﺑ ﻮ ِﻟ ﻲ <br />
<br />
"Tidak ada nikah kecuali dengan wali." <br />
<br />
2. Hukum ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma'. Jika hukum ashl-nya <br />
itu tetap dengan qiyas maka tidak sah mengqiyaskan dengannya, akan tetapi <br />
diqiyaskan dengan ashl yang pertama, karena kembali kepada ashl tersebut <br />
adalah lebih utama dan juga karena mengqiyaskan cabang kepada cabang <br />
lainnya yang dijadikan ashl kadang-kadang tidak shohih. Dan karena Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
110 <br />
mengqiyaskan kepada cabang, kemudian mengqiyaskan cabang kepada ashl; <br />
menjadi panjang tanpa ada faidah. <br />
<br />
Contohnya : dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras, <br />
dan berlaku pada beras diqiyaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini <br />
tidak benar, akan tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan <br />
dengan gandum, agar diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash. <br />
<br />
3. Pada hukum ashl terdapat 'illah (sebab) yang diketahui, agar <br />
memungkinkan untuk dijama' antara ashl dan cabang padanya. Jika hukum <br />
ashl-nya adalah perkara yang murni ta'abbudi (peribadatan yang tidak <br />
diketahui 'illah-nya, pent), maka tidak sah mengqiyaskan kepadanya. <br />
<br />
Contohnya : dikatakan daging burung unta dapat membatalkan wudhu <br />
diqiyaskan dengan daging unta karena kesamaan burung unta dengan unta, <br />
maka dikatakan qiyas seperti ini adalah tidak benar karena hukum ashl-nya <br />
tidak memiliki 'illah yang diketahui, akan tetapi perkara ini adalah murni <br />
ta'abbudi berdasarkan pendapat yang masyhur (yakni dalam madzhab al-<br />
Imam Ahmad rohimahulloh, pent). <br />
<br />
4. 'Illah-nya mencakup makna yang sesuai dengan hukumnya, yang penetapan <br />
'illah tersebut diketahui dengan kaidah-kaidah syar'i, seperti 'illah <br />
memabukkan pada khomer. <br />
<br />
Jika maknanya merupakan sifat yang paten (tetap) yang tidak ada <br />
kesesuaian/hubungan dengan hukumnya, maka tidak sah menentukan 'illah <br />
dengannya, seperti hitam dan putih. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
111 <br />
Contohnya : Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma : bahwa Bariroh <br />
diberi pilihan tentang suaminya ketika ia dimerdekakan, Ibnu Abbas berkata : <br />
"suaminya ketika itu adalah seorang budak berkulit hitam". <br />
<br />
Perkataan beliau "hitam" merupakan sifat yang tetap yang tidak ada <br />
hubungannya dengan hukum, oleh karena itu berlaku hukum memilih bagi <br />
seorang budak wanita jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami <br />
seorang budak walaupun suaminya itu berkulit putih, dan hukum tersebut <br />
tidak berlaku jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang <br />
yang merdeka walaupun suaminya itu berkulit hitam. <br />
<br />
5. 'Illah tersebut ada pada cabang sebagaimana 'illah tersebut juga ada dalam <br />
ashl, seperti menyakiti orang tua dengan memukul diqiyaskan dengan <br />
mengatakan "uf"/"ah". Jika 'illah (pada ashl, pent) tidak terdapat pada <br />
cabangnya maka qiyas tersebut tidak sah. <br />
<br />
Contohnya : dikatakan 'illah dalam pengharoman riba pada gandum <br />
adalah karena ia ditakar, kemudian dikatakan berlaku riba pada apel dengan <br />
diqiyaskan pada gandum, maka qiyas seperti ini tidak benar, karena 'illah <br />
(pada ashl-nya, pent) tidak terdapat pada cabangnya, yakni apel tidak <br />
ditakar. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
112 <br />
JENIS-JENIS QIYAS ( ﻡﺎﺴﻗﺃ ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ ) <br />
<br />
Qiyas terbagi menjadi Qiyas Jali ( ﻲﻠﺟ) dan Qiyas Khofi ( ﻲﻔﺧ). <br />
<br />
1. Qiyas jali (jelas) adalah : yang tetap 'illahnya dengan nash atau ijma' atau <br />
dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya. <br />
<br />
Contoh yang 'illah-nya tetap dengan nash : Mengqiyaskan larangan <br />
istijmar (bersuci dengan batu atau yang semisalnya, pent) dengan darah najis <br />
yang beku dengan larangan istijmar dengan kotoran hewan, maka 'illah dari <br />
hukum ashl-nya tetap dengan nash ketika Ibnu Mas'ud rodhiyallohu anhu <br />
datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan dua batu dan sebuah <br />
kotoran hewan agar beliau beristinja' dengannya, kemudian beliau mengambil <br />
dua batu tersebut dan melempar kotoran hewan tersebut dan mengatakan : <br />
"Ini kotor ( ﺍﺬﻫ ﺲﻛﺭ )", dan (ﺲﻛﺮﻟﺍ) adalah najis (ﺲﺠﻨﻟﺍ). <br />
<br />
Contoh yang 'illah-nya tetap dengan ijma' : Nabi shollallohu alaihi wa <br />
sallam melarang seorang qodhi (hakim) memutuskan perkara dalam keadaan <br />
marah. <br />
<br />
Maka qiyas dilarangnya qodhi yang menahan kencing dari memutuskan <br />
perkara, terhadap larangan qodhi yang sedang marah dari memutuskan <br />
perkara merupakan qiyas jali karena 'illah ashl-nya tetap dengan ijma' yaitu <br />
adanya gangguan pikiran dan sibuknya hati. <br />
<br />
Contoh yang dipastikan 'illah-nya dengan menafikan perbedaan antara <br />
ashl dan cabangnya : Qiyas diharamkannya menghabiskan harta anak yatim <br />
dengan membeli pakaian, terhadap pengharoman menghabiskannya dengan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
113 <br />
membeli makanan karena kepastian tidak adanya perbedaan antara <br />
keduanya. <br />
<br />
2. Qiyas khofi (samar) adalah : yang 'illah-nya tetap dengan istimbath <br />
(penggalian hukum) dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara <br />
ashl dengan cabang. <br />
<br />
Contohnya : mengqiyaskan tumbuh-tumbuhan dengan gandum dalam <br />
pengharaman riba dengan 'illah sama-sama ditakar, maka penetapan 'illah <br />
dengan takaran tidak tetap dengan nash, tidak pula dengan ijma' dan tidak <br />
dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya. Bahkan <br />
memungkinkan untuk dibedakan antara keduanya, yaitu bahwa gandum <br />
dimakan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan. <br />
<br />
QIYAS ASY-SYABH / KEMIRIPAN ( ﺱﺎﻴﻗ ﻪﺒﺸﻟﺍ ) <br />
<br />
Di antara Qiyas ada yang dinamakan dengan "Qiyas asy-Syabh" yaitu suatu <br />
cabang diragukan antara dua ashl yang berbeda hukumnya, dan pada cabang <br />
tersebut terdapat kemiripan dengan masing-masing dari kedua ashl tersebut, <br />
maka cabang tersebut digabungkan dengan salah satu dari kedua ashl <br />
tersebut yang lebih banyak kemiripannya. <br />
<br />
Contohnya : apakah seorang budak bisa memiliki dalam keadaan ia <br />
dimiliki dengan diqiyaskan kepada orang merdeka? atau dia tidak bisa <br />
memiliki dengan diqiyaskan kepada binatang ternak? <br />
<br />
Jika kita memperhatikan dua ashl ini, orang yang merdeka dan binatang <br />
ternak, kita dapati bahwa budak diragukan antara keduanya. Dari sisi bahwa Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
114 <br />
ia adalah seorang manusia yang berakal, ia diberi ganjaran, diberi siksaan, <br />
menikah dan menceraikan, yang ini mirip dengan orang merdeka. Dari sisi <br />
bahwa ia diperjual belikan, digadaikan, diwaqafkan, dihadiahkan, dijadikan <br />
sebagai warisan, tidak ditinggalkan begitu saja, dijaminkan dengan harga dan <br />
bisa digunakan, yang hal ini mirip dengan binatang ternak. Dan kami telah <br />
mendapatkan bahwa budak dari sisi penggunaan harta lebih mirip dengan <br />
binatang ternak maka hukumnya digabungkan dengannya. <br />
<br />
Jenis qiyas ini adalah lemah jika tidak ada antara cabang dan ashl-nya <br />
'illah yang sesuai, hanya saja ia memiliki kemiripan dengan ashl-nya dalam <br />
kebanyakan hukumnya dengan keadaan diselisihi oleh ashl yang lain. <br />
<br />
QIYAS AL-'AKS/ KEBALIKAN ( ﺱﺎﻴﻗ ﺲﻜﻌﻟﺍ ) <br />
<br />
Di antara qiyas ada yang dinamakan dengan "Qiyas al-'Aks", yaitu : <br />
penetapan lawan hukum ashl untuk cabangnya, karena adanya lawan dari <br />
'illah hukum ashl pada cabang tersebut. <br />
<br />
Dan mereka (para ulama ahli ushul, pent) memberi contoh dengan sabda <br />
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
" ﺔﻗﺪﺻ ﻢﻛﺪﺣﺃ ﻊﻀﺑ ﰲﻭ ." ﺍﻮﻟﺎﻗ : ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ! ﺎﻬﻴﻓ ﻪﻟ ﻥﻮﻜﻳﻭ ﻪﺗﻮﻬﺷ ﺎﻧﺪﺣﺃ ﰐﺄﻳﺃ<br />
ﻝﺎﻗ ؟ﺮﺟﺃ " : ﰲ ﺎﻬﻌـﺿﻭ ﺍﺫﺇ ﻚﻟﺬـﻜﻓ ؟ﺭﺯﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻥﺎﻛﺃ ﻡﺍﺮﺣ ﰲ ﺎﻬﻌﺿﻭ ﻮﻟ ﻢﺘﻳﺃﺭﺃ<br />
ﺮﺟﺃ ﻪﻟ ﻥﺎﻛ ﻝﻼﳊﺍ " <br />
<br />
"Dan pada persetubuhan salah seorang di antara kalian bernilai <br />
shodaqoh." Para sahabat berkata : "Wahai Rosululloh, apakah salah seorang <br />
dari kami menyalurkan syahwatnya lalu ia mendapat pahala karenanya?" Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
115 <br />
Rosululloh berkata : "Bagaimana menurut kalian jika ia menyalurkannya <br />
kepada yang harom, bukankah ia akan mendapat dosa? Demikian pula jika ia <br />
menyalurkannya kepada yang halal, maka ia akan mendapat pahala." <br />
<br />
Nabi shollallohu alaihi wa sallam menetapkan untuk cabang yaitu <br />
persetubuhan yang halal sebagai pembatal hukum ashl yaitu persetubuhan <br />
yang haram, karena adanya pembatal 'illah hukum ashl pada cabang tersebut, <br />
ditetapkan pahala untuk cabangnya karena ia adalah persetubuhan yang <br />
halal, sebagaimana pada ashl-nya ditetapkan dosa karena ia adalah <br />
persetubuhan yang haram. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
116 <br />
ﺘﻟﺍ ﻌ ﺭﺎ ﺽ <br />
TA'ARUDH <br />
<br />
Definisinya : <br />
<br />
Ta'arudh secara bahasa : Saling berhadapan ( ﻞـﺑﺎﻘﺘﻟﺍ) dan saling menghalangi <br />
(ﻊﻧﺎﻤﺘﻟﺍ). <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﺮﺧﻵﺍ ﺎﳘﺪﺣﺃ ﻒﻟﺎﳜ ﺚﻴﲝ ﲔﻠﻴﻟﺪﻟﺍ ﻞﺑﺎﻘﺗ <br />
<br />
"Saling berhadapannya dua dalil dari sisi salah satunya menyelisihi yang lain." <br />
<br />
Pembagian ta'arudh ada empat : <br />
<br />
Yang pertama : terjadi pada dua dalil yang umum, padanya ada empat <br />
kondisi : <br />
<br />
1. Mungkin umtuk dijama' antara keduanya, dari sisi masing-masing dalil <br />
tersebut bisa dibawa pada kondisi yang tidak bertentangan dengan yang lain, <br />
maka harus dijama'. <br />
<br />
Misalnya : Firman Alloh ta'ala kepada Nabi-Nya shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ٍ ﻢﻴِ ﻘ ﺘ ﺴﻣ ٍ ﻁﺍ ﺮِﺻ ﻰﹶ ﻟِﺇ ﻱِ ﺪ ﻬ ﺘﹶﻟ ﻚ ﻧِ ﺇﻭ <br />
<br />
"Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan <br />
yang lurus." [QS. Asy-Syuuro' : 52] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
117 <br />
Dan firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺖ ﺒ ﺒ ﺣﹶﺃ ﻦﻣ ﻱِ ﺪ ﻬﺗ ﻻ ﻚ ﻧِﺇ <br />
<br />
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang <br />
yang kamu kasihi." [QS. Al-Qoshosh : 56] <br />
<br />
Dan jama' antara keduanya adalah bahwa ayat yang pertama maksudnya <br />
adalah hidayatud dalalah (atau yang disebut hidayatul irsyad atau hidayatul <br />
bayan, pent) kepada al-haq, dan sifat ini tetap bagi Rosul shollallohu alaihi <br />
wa sallam. <br />
<br />
Dan ayat yang kedua maksudnya adalah hidayatut taufiq untuk beramal, <br />
hidayatut taufiq ini di tangan Alloh ta'ala sedangkan Rosululloh shollallohu <br />
alaihi wa sallam dan yang selainnya tidak memilikinya. <br />
<br />
2. Jika tidak mungkin untuk dijama', maka dalil yang datang belakangan <br />
menjadi nasikh (yang menghapus hukum sebelumnya, pent) jika tarikhnya <br />
diketahui, sehingga dalil nasikh tersebut diamalkan sedangkan dalil yang <br />
datang lebih dulu (mansukh) tidak diamalkan. <br />
<br />
Misalnya : Firman Alloh ta'ala tentang puasa : <br />
<br />
ﻢﹸ ﻜﹶﻟ ﺮ ﻴ ﺧ ﺍﻮ ﻣﻮ ﺼﺗ ﹾ ﻥﹶ ﺃﻭ ﻪﹶﻟ ﺮ ﻴ ﺧ ﻮ ﻬﹶﻓ ﹰ ﺍﺮ ﻴ ﺧ ﻉ ﻮﹶ ﻄﺗ ﻦ ﻤﹶﻓ <br />
<br />
"Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka <br />
itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu <br />
mengetahui." [QS. Al-Baqoroh : 184] <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
118 <br />
Ayat ini memberi faidah bolehnya memilih antara makan dan puasa <br />
dengan tarjih agar berpuasa. <br />
<br />
Dan firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺮ ﺧﹸﺃ ٍ ﻡﺎ ﻳﹶﺃ ﻦِﻣ ﹲ ﺓ ﺪِ ﻌﹶﻓ ٍ ﺮﹶ ﻔﺳ ﻰﹶ ﻠﻋ ﻭﹶﺃ ﹰ ﺎﻀﻳِ ﺮﻣ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ ﻦ ﻣﻭ ﻪ ﻤ ﺼ ﻴﹾ ﻠﹶﻓ ﺮ ﻬ ﺸﻟﺍ ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﺪِ ﻬﺷ ﻦ ﻤﹶﻓ <br />
<br />
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) <br />
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa <br />
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya <br />
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." <br />
[QS. Al-Baqoroh : 185] <br />
<br />
Menunjukkan bahwa puasa harus dilakukan bagi orang yang tidak sakit <br />
dan musafir dan mengqodho' sebagai kewajiban bagi keduanya (orang sakit <br />
dan musafir), akan tetapi ayat ini datang belakangan setelah ayat yang <br />
pertama tadi, sehingga ayat yang kedua adalah sebagai nasikh bagi ayat yang <br />
pertama sebagaimana yang demikian ditunjukkan oleh hadits Salamah bin al-<br />
Akwa' yang tetap dalam ash-Shohihain (shohih al-Bukhori dan Muslim, pent) <br />
dan yang selain keduanya. <br />
<br />
3. Jika tidak diketahui tarikh-nya, maka diamalkan dengan yang rojih, jika <br />
ada dalil yang merojihkan. <br />
<br />
Misalnya : Sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﺄﺿﻮﺘﻴﻠﻓ ﻩﺮﻛﺫ ﺲﻣ ﻦﻣ <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
119 <br />
"Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia <br />
berwudhu." <br />
Dan beliau shollallohu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang <br />
yang menyentuh kemaluannya, apakah ia harus berwudhu? Beliau menjawab : <br />
<br />
ﻚﻨﻣ ﺔﻌﻀﺑ ﻮﻫ ﺎﳕﺇ ﻻ <br />
<br />
"Tidak, sesungguhnya (kemaluannya) itu adalah bagian dari tubuhmu". <br />
<br />
Maka dirojihkan dalil yang pertama karena pendapat ini lebih hati-hati <br />
dan juga karena hadits yang pertama tadi jalannya lebih banyak dan yang <br />
menshohihkannya juga lebih banyak, dan juga karena hadits pertama tadi <br />
memindahkan dari hukum asal, padanya terdapat tambahan ilmu. <br />
<br />
4. Jika tidak ada dalil yang merojihkan, maka wajib untuk tawaqquf <br />
(didiamkan), tetapi tidak didapatkan padanya contoh yang shohih. <br />
<br />
Yang kedua : Ta'arudh terjadi antara dua dalil yang khusus, dalam keadaan <br />
ini juga ada empat kondisi. <br />
<br />
1. Mungkin untuk dijama' antara keduanya, maka wajib dijama'. <br />
<br />
Misalnya : hadits Jabir rodhiyallohu anhu tentang sifat haji Nabi <br />
shollallohu alaihi wa sallam, bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam sholat <br />
dhuhur pada hari an-Nahr (idul adha, pent) di Mekkah[1], dan hadits Ibnu <br />
Umar rodhiyallohu anhuma bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam sholat <br />
dhuhur di Mina, maka dijama' antara keduanya bahwa beliau sholat dhuhur di Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
120 <br />
Mekkah dan ketika keluar ke Mina beliau mengulangnya (sebagai tathowwu', <br />
pent) dengan para sahabat yang ada di sana. <br />
<br />
2. Jika tidak memungkinkan untuk dijama', maka dalil yang kedua (yang <br />
datangnya belakangan, pent) adalah sebagai nasikh jika diketahui tarikhnya. <br />
<br />
Misalnya : firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﺎـ ﻤِﻣ ﻚ ﻨﻴِ ﻤﻳ ﺖﹶ ﻜﹶ ﻠﻣ ﺎ ﻣﻭ ﻦ ﻫ ﺭﻮ ﺟﹸﺃ ﺖ ﻴ ﺗﺁ ﻲِ ﺗﺎﱠ ﻠﻟﺍ ﻚ ﺟﺍ ﻭ ﺯﹶﺃ ﻚﹶﻟ ﺎ ﻨﹾ ﻠﹶ ﻠ ﺣﹶﺃ ﺎ ﻧِﺇ ﻲِ ﺒ ﻨﻟﺍ ﺎﻬ ﻳﹶﺃ ﺎﻳ<br />
ﻭ ﻚ ﻤﻋ ِ ﺕﺎ ﻨ ﺑﻭ ﻚ ﻴﹶ ﻠﻋ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ َ ﺀﺎﹶ ﻓﹶﺃ ﻚِ ﺗﺎ ﻤﻋ ِ ﺕﺎ ﻨﺑ <br />
<br />
"Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu <br />
yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki <br />
yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan <br />
Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-<br />
laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu." [QS <br />
Al-Ahzab : 50] <br />
<br />
Dan firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﹶﺃ ﻮﹶ ﻟﻭ ٍ ﺝﺍ ﻭ ﺯﹶﺃ ﻦِﻣ ﻦِ ﻬِﺑ ﹶ ﻝ ﺪ ﺒﺗ ﹾ ﻥﹶﺃ ﻻﻭ ﺪ ﻌﺑ ﻦِﻣ ُ ﺀﺎ ﺴ ﻨﻟﺍ ﻚﹶﻟ ﱡ ﻞِ ﺤﻳ ﻻ ﻦ ﻬ ﻨ ﺴﺣ ﻚ ﺒ ﺠﻋ <br />
<br />
"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan <br />
tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), <br />
meskipun kecantikannya menarik hatimu" [QS Al-Ahzab : 52] <br />
<br />
Maka ayat yang kedua adalah sebagai nasikh bagi ayat yang pertama <br />
menurut salah satu pendapat. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
121 <br />
<br />
3. Jika tidak memungkinkan untuk di-naskh, maka diamalkan dengan yang <br />
rojih jika ada dalil yang merojihkan. <br />
<br />
Misalnya : hadits Maimunah, bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam <br />
menikahinya ketika ia dalam keadaan halal (setelah selesai ihrom, pent). Dan <br />
hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam menikahi <br />
Maimunah dalam keadaan ia sedang ihrom. <br />
<br />
Maka yang rojih adalah hadits yang pertama, karena Maimunah adalah <br />
pelaku kisah tersebut dan ia lebih mengetahui tentang kisahnya, dan juga <br />
karena hadits Maimunah tersebut dikuatkan dengan hadits Abu Rofi' <br />
rodhiyallohu anhu : bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam menikahinya <br />
(Maimunah) ketika dalam keadaan halal, ia (Abu Rofi') berkata : <br />
<br />
ﹸ ﻛﻭ ﺎﻤ ﻬ ﻨ ﻴﺑ ﹶ ﻝﻮ ﺳ ﺮﻟﺍ ﺖﻨ <br />
<br />
"Ketika itu aku adalah perantara antara keduanya." <br />
<br />
4. Jika tidak ada dalil yang merojihkan, maka wajib ditawaqqufkan <br />
(didiamkan) dan tidak ada pada keadaan ini contoh yang shohih. <br />
<br />
Yang ketiga : ta'arudh terjadi antara dalil yang umum dan dalil yang khusus, <br />
maka dalil yang umum dikhususkan dengan dalil yang khusus. <br />
<br />
Misalnya : sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ِﻓ ﻴ ﻤ ﺳ ﺎ ﹶﻘ ِﺖ ﺴﻟﺍ ﻤ ُ ﺀﺎ ﻌﻟﺍ ﺸ ﺮ <br />
<br />
"(Pertanian) yang diairi dengan hujan (zakatnya adalah) sepersepuluh." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
122 <br />
Dan sabda beliau : <br />
<br />
ﹶﻟ ﻴ ﺲ ِﻓ ﻴ ﻤ ﺩ ﺎ ﻭ ﹶﻥ ﺧ ﻤ ﺴ ِﺔ ﹶﺃ ﻭ ﺳ ٍ ﻖ ﺻ ﺪ ﹶ ﻗ ﹲﺔ <br />
<br />
"Tidak ada zakat pada (hasil pertanian) yang di bawah lima wisq". <br />
<br />
Maka hadits yang pertama dikhususkan dengan hadits yang kedua dan <br />
tidak diwajibkan zakat kecuali pada apa-apa yang sampai lima wisq. <br />
<br />
Yang keempat : ta'arudh terjadi antara 2 nash, yang salah satunya lebih <br />
umum daripada yang lain dari satu sisi, dan lebih khusus dari sisi lain. <br />
<br />
1. Salah satu dalil bertindak sebagai pengkhusus dari keumuman salah satu <br />
dari kedua dalil tersebut, maka dikhususkan dengannya. <br />
<br />
Contohnya : firman Alloh ta'ala : <br />
<br />
ﹰ ﺍﺮ ﺸ ﻋﻭ ٍ ﺮ ﻬ ﺷﹶﺃ ﹶ ﺔ ﻌ ﺑ ﺭﹶﺃ ﻦِ ﻬِ ﺴﹸ ﻔ ﻧﹶ ﺄِﺑ ﻦ ﺼ ﺑ ﺮ ﺘﻳ ﹰﺎﺟﺍ ﻭ ﺯﹶﺃ ﹶ ﻥﻭ ﺭﹶ ﺬ ﻳﻭ ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﹶ ﻥ ﻮﱠ ﻓ ﻮ ﺘﻳ ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ <br />
<br />
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan <br />
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) <br />
empat bulan sepuluh hari." [QS. al-Baqoroh : 234] <br />
<br />
Dan Firman-Nya: <br />
<br />
ﻦ ﻬﹶ ﻠ ﻤﺣ ﻦ ﻌ ﻀﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ ﻦ ﻬﹸ ﻠ ﺟﹶﺃ ِ ﻝﺎ ﻤ ﺣﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ﺕﻻﻭﹸ ﺃﻭ <br />
<br />
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu 'iddah mereka itu ialah <br />
sampai mereka melahirkan kandungannya." [QS. ath-Tholaq : 4] <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
123 <br />
Ayat yang pertama bersifat khusus pada wanita yang ditinggal mati <br />
suaminya, dan bersifat umum pada wanita hamil dan yang selainnya. Ayat <br />
yang kedua bersifat khusus pada wanita hamil dan bersifat umum pada <br />
wanita yang ditinggal mati suaminya dan yang selainnya. Akan tetapi dalil <br />
menunjukkan pengkhususan keumuman ayat pertama dengan ayat kedua, <br />
yang demikian karena Subai'ah al-Aslamiyyah melahirkan semalam setelah <br />
kematian suaminya, maka Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam <br />
mengizinkannya untuk menikah lagi. Dengan ini, maka masa 'iddah wanita <br />
hamil adalah sampai ia melahirkan, baik ia adalah wanita yang ditinggal mati <br />
suaminya atau yang selainnya. <br />
<br />
2. Jika tidak ada dalil yang bertindak sebagai pengkhusus dari keumuman <br />
salah satu dari kedua dalil tersebut, maka diamalkan dalil yang rojih. <br />
<br />
Contohnya : sabda beliau sholallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ِ ﻦ ﻴ ﺘ ﻌﹾ ﻛﺭ ﻲﱢ ﻠ ﺼﻳ ﻰ ﺘﺣ ﺲِ ﻠ ﺠﻳ ﺎﹶ ﻠﹶﻓ ﺪِ ﺠ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ ﻢﹸ ﻛ ﺪ ﺣﹶﺃ ﹶ ﻞ ﺧﺩ ﺍﹶ ﺫِﺇ <br />
<br />
"Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, janganlah ia duduk <br />
sebelum ia sholat 2 roka'at." <br />
<br />
Dan sabda beliau : <br />
<br />
ﺲ ﻤ ﺸﻟﺍ ﺏ ﺮ ﻐﺗ ﻰ ﺘﺣ ِ ﺮ ﺼ ﻌﹾ ﻟﺍ ﺪ ﻌﺑ ﹶ ﺓﺎﹶ ﻠﺻ ﺎﹶ ﻟﻭ ﺲ ﻤ ﺸﻟﺍ ﻊﹸ ﻠﹾ ﻄﺗ ﻰ ﺘﺣ ِ ﺢﺒﺼﻟﺍ ﺪ ﻌﺑ ﹶ ﺓﺎﹶ ﻠﺻ ﺎﹶﻟ <br />
<br />
"Tidak ada sholat setelah sholat shubuh sampai terbitnya matahari, dan <br />
tidak ada sholat setelah sholat ashar sampai terbenamnya matahari." <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
124 <br />
Hadits yang pertama bersifat khusus pada tahiyyatul masjid dan bersifat <br />
umum dari sisi waktunya. Dan dalil yang kedua bersifat khusus pada waktu <br />
dan bersifat umum dari sisi jenis sholatnya, mencakup tahiyyatul masjid dan <br />
yang selainnya. Akan tetapi yang rojih adalah mengkhususkan keumumam <br />
hadits kedua dengan hadits pertama, maka boleh sholat tahiyyatul masjid <br />
pada waktu-waktu yang dilarang padanya untuk sholat secara umum, dan <br />
hanya saja kami merojihkan yang demikian karena pengkhususan keumuman <br />
hadits kedua telah tetap pada selain tahiyyatul masjid, seperti meng-qodho' <br />
sholat fardhu dan mengulang seholat jama'ah, sehingga menjadi lemahlah <br />
keumumannya. <br />
<br />
3. Dan jika tidak ada dalil dan tidak pula murojjih (dalil yang merojihkan) <br />
untuk mengkhususkan keumuman salah satu dari keduanya, maka wajib untuk <br />
mengamalkan kedua dalil tersebut pada apa-apa yang tidak terjadi <br />
pertentangan di dalamnya, dan tawaqquf (diam) pada bentuk yang kedua <br />
dalil tersebut saling bertentangan padanya. <br />
<br />
Akan tetapi tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash-nash pada <br />
satu masalah dari sisi yang tidak mungkin untuk di-jama', atau di-naskh, atau <br />
ditarjih; karena nash-nash tidaklah saling membatalkan, dan Rosululloh <br />
shollallohu alaihi wa sallam telah menjelaskan dan menyampaikan, akan <br />
tetapi terkadang yang demikian terjadi pada pendapat seorang mujtahid yang <br />
disebabkan keterbatasannya. Wallohu A'lam. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
125 <br />
ﺘﻟﺍ ﺮ ِﺗ ﻴ ﺐ ﺑ ﻴ ﻦ َ ﻷﺍ ِﺩ ﱠﻟ ِﺔ <br />
URUTAN DI ANTARA DALIL-DALIL <br />
<br />
Jika dalil-dalil yang telah lalu (al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma', dan Qiyas) <br />
sepakat atas suatu hukum atau salah satu dalil tersebut menyendiri tanpa ada <br />
yang menyelisihinya maka wajib untuk menetapkan hukumnya. Dan jika <br />
terjadi ta'arudh dan mungkin untuk dijama' maka wajib untuk dijama', <br />
seandainya tidak mungkin untuk dijama' maka dilakukan naskh jika telah <br />
sempurna syarat-syarat naskh tersebut. <br />
<br />
Dan jika tidak mungkin untuk dilakukannya naskh, maka wajib untuk <br />
ditarjih. <br />
<br />
Maka lebih diutamakan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah : <br />
<br />
Nash daripada dzohir. <br />
<br />
Dzohir daripada mu'awwal. <br />
<br />
Manthuq (yang tersurat) daripada mafhum (yang tersirat). <br />
<br />
Mutsbit (yang menetapkan) daripada nafi (yang meniadakan). <br />
<br />
Yang memindahkan dari hukum asal ( ﻞﻗﺎﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻞﺻﻷﺍ ) daripada yang tetap di <br />
atas hukum asal tersebut ( ﻲﻘﺒﳌﺍ ﻰﻠﻋ ﻞﺻﻷﺍ ), karena pada yang memindahkan dari <br />
hukum asal terdapat tambahan ilmu. <br />
<br />
Keumuman yang mahfudz (yakni yang tidak terkhususkan) daripada yang <br />
tidak mahfudz. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
126 <br />
Dalil yang memiliki sifat untuk diterima lebih banyak daripada dalil yang <br />
memiliki sifat untuk diterima kurang darinya. <br />
<br />
Pelaku kejadian daripada yang selainnya. <br />
<br />
Dan didahulukan dalam ijma' : qoth'i daripada dzonni. <br />
<br />
Dan didahulukan dalam qiyas : jali daripada khofi. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
127 <br />
ِ ﺘﹾ ﻔ ﻤـﻟﺍ ِ ﺘﹾ ﻔ ﺘ ﺴ ﻤـﻟﺍﻭ ﻲ ﻲ <br />
MUFTI DAN MUSTAFTI <br />
<br />
Mufti (ﱵﻔﳌﺍ) : <br />
<br />
ﹸ ﳌﺍ ﺨ ِﺒ ﺮ ﻋ ﻦ ﺣ ﹾﻜ ٍﻢ ﺷ ﺮ ِﻋ ٍﻲ <br />
<br />
"Orang yang mengabarkan/memberitahu suatu hukum syar'i." <br />
<br />
Mustafti (ﱵﻔﺘﺴﳌﺍ) : <br />
<br />
ﺴﻟﺍ ِ ﺋﺎ ﹸﻞ ﻋ ﻦ ﺣ ﹾﻜ ٍﻢ ﺷ ﺮ ِﻋ ٍﻲ <br />
<br />
"Orang yang bertanya tentang suatu hukum syar'i." <br />
<br />
SYARAT-SYARAT FATWA : <br />
<br />
Disyaratkan untuk bolehnya seseorang berfatwa dengan syarat: <br />
<br />
1. Seorang Mufti mengetahui tentang suatu hukum dengan yakin atau dzonn <br />
rojih (persangkaan kuat), dan jika ia tidak mengetahui maka wajib <br />
baginya untuk tawaqquf. <br />
<br />
2. Pertanyaan digambarkan dengan sempurna (jelas), agar lebih kokoh <br />
dalam menghukuminya, karena "ﻩﺭﻮﺼﺗ ﻦﻋ ﻉﺮﻓ ﺀﻲﺸﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻢﻜﳊﺍ" (penentuan hukum <br />
atas sesuatu merupakan cabang dari penggambarannya). <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
128 <br />
Jika makna perkataan mustafti masih rancu bagi mufti maka ia <br />
bertanya kepada mustafti tentang pertanyaannya itu, jika pertanyaannya <br />
butuh untuk dirinci maka mufti minta agar pertanyaannya dirinci, atau ia <br />
yang menyebutkan jawabannya secara rinci. Jika ia ditanya tentang <br />
seseorang laki-laki yang mati meninggalkan anak perempuan, saudara <br />
laki-laki dan 'am syaqiq (paman/saudara laki-laki dari ayah yang se-ayah <br />
dan se-ibu, pent), maka mufti bertanya tentang saudara laki-laki <br />
tersebut, apakah ia se-ibu saja (Akh li Umm, pent) atau tidak? atau ia <br />
merinci dalam jawabannya; jika se-ibu saja maka tidak mendapat apa-<br />
apa, dan sisanya setelah bagian anak perempuan adalah untuk paman, <br />
dan jika saudara laki-laki tersebut tidak hanya se-ibu saja (yakni Akh <br />
Syaqiiq atau Akh li Abb, pent), maka sisa warisan setelah bagian anak <br />
perempuan adalah untuk saudara laki-laki tersebut. <br />
<br />
3. Seorang mufti dalam keadaan tenang sehingga ia mampu menggambarkan <br />
masalah dan menerapkannya pada dalil-dalil syar'i, maka janganlah <br />
seorang berfatwa dalam keadaan pikirannya sedang sibuk dengan marah, <br />
sedih, bosan atau yang selainnya. <br />
<br />
DISYARATKAN DALAM WAJIBNYA BERFATWA DENGAN SYARAT-SYARAT : <br />
<br />
1. Telah terjadinya kejadian yang ditanyakan tersebut, jika belum terjadi <br />
maka tidak wajib untuk berfatwa dikarenakan tidak mendesak, kecuali <br />
jika maksud penanya adalah untuk belajar maka tidak boleh bagi mufti <br />
untuk menyembunyikan ilmu, bahkan ia menjawabnya kapanpun penanya <br />
bertanya pada setiap keadaan. <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
129 <br />
2. Dia tidak mengetahui kondisi penanya bahwa maksudnya bertanya adalah <br />
untuk berlebih-lebihan, atau mencari-cari rukhshoh, atau untuk <br />
mempertentangkan antara pendapat para 'ulama yang satu dengan yang <br />
lain, atau yang selainnya dari maksud-maksud yang buruk. Jika ia <br />
mengetahui hal tersebut dari kondisi penanya, maka ia tidak wajib <br />
berfatwa. <br />
<br />
3. Fatwa tersebut tidak menimbulkan mudhorot yang lebih besar, jika <br />
dengan fatwa tersebut akan timbul mudhorot yang lebih besar, maka ia <br />
wajib diam untuk menolak mafsadat yang lebih besar dengan yang lebih <br />
ringan. <br />
<br />
YANG DIHARUSKAN BAGI MUSTAFTI: <br />
<br />
Diharuskan 2 perkara bagi Mustafti: <br />
<br />
Yang pertama : ia menginginkan kebenaran dari pertanyaannya tersebut <br />
dan beramal dengannya, bukan untuk mencari-cari rukhshoh dan <br />
menyudutkan mufti, dan yang selain itu dari niat-niat yang buruk. <br />
<br />
Yang kedua : ia tidak meminta fatwa kecuali dari orang yang tahu, atau <br />
yang ia duga kuat bahwa orang itu mampu berfatwa. <br />
<br />
Dan selayaknya ia untuk memilih di antara 2 orang mufti yang lebih <br />
berilmu dan lebih waro', dan dikatakan : yang demikian adalah wajib. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
130 <br />
ِ ﻹﺍ ﺟ ِﺘ ﻬ ﺩﺎ <br />
IJTIHAD <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Ijtihad secara bahasa : <br />
<br />
ﺑ ﹾ ﺬ ﹸﻝ ﹾ ﻟﺍ ﺠ ﻬ ِﺪ ِﻟ ِﺈ ﺩ ﺭ ِ ﻙﺍ ﹶﺃ ﻣ ٍﺮ ﺷ ّ ٍ ﻕﺎ <br />
<br />
"Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang <br />
berat." <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﺑ ﹾ ﺬ ﹸﻝ ﹾ ﻟﺍ ﺠ ﻬ ِﺪ ِﻟ ِﺈ ﺩ ﺭ ِ ﻙﺍ ﺣ ﹾﻜ ٍﻢ ﺷ ﺮ ِﻋ ٍﻲ <br />
<br />
"Mengerahkan kesungguhan untuk mengetahui suatu hukum syar'i." <br />
<br />
Mujtahid : <br />
<br />
ﻣ ﻦ ﺑ ﹶ ﺬ ﹶﻝ ﺟ ﻬ ﺪ ﻩ ِﻟ ﹶ ﺬ ِﻟ ﻚ <br />
<br />
"Orang yang mengerahkan kesungguhannya untuk hal tersebut." <br />
<br />
Syarat-syarat Ijtihad: <br />
<br />
Ijtihad memiliki syarat-syarat, di antaranya : <br />
<br />
1. Ia mengetahui dalil-dalil syar'i yang dibutuhkan dalam ijtihadnya, seperti <br />
ayat-ayat hukum dan hadits-haditsnya. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
131 <br />
2. Ia mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan keshohihan hadits dan <br />
kedho'ifannya, seperti mengetahui sanad-sanadnya dan para perowinya <br />
dan lain-lain. <br />
<br />
3. Ia mengetahui nasikh dan mansukh dan tempat-tempat terjadinya ijma', <br />
sehingga ia tidak menghukumi dengan suatu hukum yang sudah mansukh <br />
atau menyelisihi ijma'. <br />
<br />
4. Ia mengetahui dalil-dalil yang diperselisihkan hukumnya dari <br />
pengkhususan, atau taqyid, atau yang semisalnya, sehingga ia tidak <br />
menghukumi dengan yang menyelisihi hal tersebut. <br />
<br />
5. Ia mengetahui bahasa ('Arab, pent), dan ushul fiqih yang berhubungan <br />
dengan penunjukkan-penunjukkan lafadz, seperti umum, khusus, <br />
muthlaq, muqoyyad, mujmal, mubayyan, dan yang semisal itu, sehingga <br />
ia menghukumi dengan apa yang menjadi konseskuensi penunjukkan-<br />
penunjukkan tersebut. <br />
<br />
6. Ia memiliki kemampuan untuk kokoh dalam menggali hukum-hukum (ber-<br />
istimbath) dari dalil-dalilnya. <br />
<br />
Dan ijtihad terkadang terbagi-bagi, terkadang pada satu bab dari bab-bab <br />
ilmu, atau pada satu permasalahan dari masalah-masalahnya. <br />
<br />
YANG HARUS DILAKUKAN SEORANG MUJTAHID: <br />
<br />
Seorang mujtahid harus mengerahkan kesungguhannya dalam mencari <br />
yang benar, kemudian menghukumi dengan apa yang nampak baginya, jika ia <br />
benar maka ia akan mendapat 2 ganjaran; ganjaran atas ijtihadnya dan <br />
ganjaran atas mendapatkan yang benar, karena dalam mendapatkan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
132 <br />
kebenaran berarti ia telah menampakkan yang benar dan mengamalkannya. <br />
Dan jika ia salah maka ia mendapat satu ganjaran dan kesalahannya <br />
diampuni, berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﺮﺟﺃ ﻪﻠﻓ ﺄﻄﺧﺃ ﰒ ،ﺪﻬﺘﺟﺎﻓ ﻢﻜﺣ ﺍﺫﺇﻭ ،ﻥﺍﺮﺟﺃ ﻪﻠﻓ ﺏﺎﺻﺃ ﰒ ،ﺪﻬﺘﺟﺎﻓ ﻢﻛﺎﳊﺍ ﻢﻜﺣ ﺍﺫﺇ <br />
<br />
"Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan berijtihad lalu benar, maka <br />
ia mendapat dua ganjaran. Dan jika ia menghukumi dan berijtihad lalu salah, <br />
maka ia mendapat satu ganjaran." <br />
<br />
Dan jika hukum tersebut belum nampak baginya, maka ia wajib untuk <br />
tawaqquf dan boleh baginya untuk bertaqlid ketika itu karena darurat. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
133 <br />
ﹾ ﻘ ﺘﻟﺍ ِﻠ ْ ـ ﺪﻴ <br />
TAQLID <br />
<br />
DEFINISINYA : <br />
<br />
Secara bahasa : <br />
<br />
ﺓﺩﻼﻘﻟﺎﻛ ﻪﺑ ﹰﺎﻄﻴﳏ ﻖﻨﻌﻟﺍ ﰲ ﺀﻲﺸﻟﺍ ﻊﺿﻭ <br />
<br />
"Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang." <br />
<br />
Secara istilah : <br />
<br />
ﺔﺠﺣ ﻪﻟﻮﻗ ﺲﻴﻟ ﻦﻣ ﻉﺎﺒﺗﺍ <br />
<br />
"Mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah." <br />
<br />
Keluar dari perkataan kami : ( ﺔـﺠﺣ ﻪـﻟﻮﻗ ﺲﻴـﻟ ﻦﻣ) "orang yang perkataannya <br />
bukan hujjah" : ittiba' (mengikuti) Nabi sholallohu alaihi wa sallam, <br />
mengikuti ahlul ijma', dan mengikuti shahabat jika kita katakan bahwa <br />
perkataan shahabat tersebut adalah hujjah, maka mengikuti salah satu dari <br />
hal tersebut tidaklah dinamakan taqlid, karena hal ini merupakan ittiba' <br />
kepada hujjah. Akan tetapi terkadang disebut sebagai taqlid dari sisi majaz <br />
dan perluasan bahasa. <br />
<br />
TEMPAT-TEMPAT TERJADINYA TAQLID (ﺪﻴﻠﻘﺘﻟﺍ ﻊﺿﺍﻮﻣ): <br />
<br />
Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat : Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
134 <br />
Yang pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang <br />
tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent) <br />
dengan kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan <br />
firman Alloh sholallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﺗ ﻻ ﻢ ﺘ ﻨﹸﻛ ﹾ ﻥِﺇ ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬﻟﺍ ﹶ ﻞ ﻫﹶﺃ ﺍﻮﻟﹶ ﺄ ﺳﺎﹶﻓ ﹶ ﻥﻮ ﻤﹶ ﻠﻌ <br />
<br />
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika <br />
kamu tidak mengetahui." [QS. an-Nahl : 43] <br />
<br />
Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni 'ulama, pent) yang ia dapati <br />
lebih utama dalam ilmu dan waro'(kehati-hatian)nya, jika hal ini sama pada <br />
dua orang ('ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara <br />
keduanya. <br />
<br />
Yang kedua : terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus <br />
segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan <br />
penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian 'ulama mensyaratkan <br />
untuk bolehnya taqlid : hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam <br />
ushuluddin (pokok agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk <br />
meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan <br />
taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan). <br />
<br />
Dan yang rojih (kuat) adalah bahwa yang demikian bukanlah syarat, <br />
berdasarkan keumuman firman Alloh sholallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﹶ ﻥﻮ ﻤﹶ ﻠ ﻌﺗ ﻻ ﻢ ﺘ ﻨﹸﻛ ﹾ ﻥِﺇ ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬﻟﺍ ﹶ ﻞ ﻫﹶﺃ ﺍﻮﻟﹶ ﺄ ﺳﺎﹶﻓ <br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
135 <br />
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika <br />
kamu tidak mengetahui." [QS. an-Nahl : 43] <br />
<br />
Ayat ini adalah dalam konteks penetapan kerosulan yang merupakan <br />
ushuluddin, dan karena orang awam tidak mampu untuk mengetahui (yakni <br />
ber-istimbath dan istidlal, pent) kebenaran dengan dalil-dalinya Maka jika ia <br />
memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah tersisa (baginya) <br />
kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh sholallohu alaihi wa sallam : <br />
<br />
ﻢ ﺘ ﻌﹶ ﻄ ﺘ ﺳﺍ ﺎﻣ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺍﻮﹸ ﻘ ﺗﺎﹶﻓ <br />
<br />
"Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian." [QS. at-Taghobun : 16] <br />
<br />
JENIS-JENIS TAQLID : <br />
<br />
Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus. <br />
<br />
1. Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu <br />
yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1<br />
dan azimah-azimahnya2<br />
dalam <br />
semua urusan agamanya. <br />
<br />
Dan para 'ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara <br />
mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan <br />
(menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak <br />
<br />
1<br />
Rukhshoh (ﺔﺼﺧﺮﻟﺍ) : (ﹰ ﺎﻌﺠﻄﻀﻣ ﻭﺃ ﹰ ﺍﺪﻋﺎﻗ ﺓﻼﺼﻟﺎﻛ ﺭﺬﻌﻟﺍ ﺔﻟﺎﺣ ﺹﻮﺼﳋ ﻲﻋﺮﺷ ﻞﻴﻟﺪﺑ ﺖﺒﺛ ﺎﻣ) "Apa-apa yang <br />
tetap dengan dalil syar'i yang khusus pada kondisi adanya udzur; seperti sholat sambil <br />
duduk atau berbaring". <br />
Pent<br />
<br />
<br />
2<br />
Azimah (ﺔﳝﺰﻌﻟﺍ): ( ﺖﺒﺛ ﺎﻣ ﹰ ﺎﻤﺋﺎﻗ ﺓﻼﺼﻟﺎﻛ ﺭﺬﻌﻟﺍ ﺔﻟﺎﺣ ﲑﻐﻟ ﹰ ﺎﻋﺮﺷ ) "Apa-apa yang tetap/berlaku secara <br />
syar'i, bukan dalam kondisi adanya udzur; seperti sholat sambil berdiri. <br />
pent<br />
Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
136 <br />
mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat <br />
haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang <br />
mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam. <br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya dalam <br />
pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala <br />
perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma' dan tentang <br />
kebolehannya masih dipertanyakan." <br />
<br />
Beliau juga berkata : "Barangsiapa memegang suatu madzhab <br />
tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid <br />
kepada 'ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan <br />
dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar'i yang menunjukkan <br />
halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang <br />
mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar'i, dan <br />
ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang <br />
mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik <br />
dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia <br />
melihat salah seorang 'ulama yang berpendapat adalah lebih 'aalim (tahu) <br />
tentang masalah tersebut daripada 'ulama yang lain, yang mana 'ulama <br />
tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang <br />
dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain <br />
yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah <br />
menegaskan akan hal tersebut. <br />
<br />
2. Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam <br />
kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk <br />
mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau <br />
ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
137 <br />
FATWA SEORANG MUQOLLID (ORANG YANG BERTAQLID): <br />
<br />
Alloh sholallohu alaihi wa sallam berfirman: <br />
<br />
ﹶ ﻥﻮ ﻤﹶ ﻠ ﻌﺗ ﻻ ﻢ ﺘ ﻨﹸﻛ ﹾ ﻥِﺇ ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬﻟﺍ ﹶ ﻞ ﻫﹶﺃ ﺍﻮﻟﹶ ﺄ ﺳﺎﹶﻓ <br />
<br />
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬﻟﺍ ﹶ ﻞ ﻫﹶﺃ) <br />
jika kamu tidak mengetahui." [QS. an-Nahl : 43] <br />
<br />
Dan ahludz dzikr ( ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬـﻟﺍ ﹶ ﻞـ ﻫﹶﺃ) mereka adalah ahlul ilmi, dan muqollid <br />
bukanlah termasuk ahlul ilmi yang diikuti, akan tetapi ia hanya mengikuti <br />
orang lain. <br />
<br />
Abu Umar Ibnu Abdil Barr dan yang selainnya berkata: "Manusia telah ber-<br />
ijma' bahwa muqollid tidak terhitung sebagai ahli ilmu, dan bahwa ilmu <br />
adalah mengetahui kebenaran dengan dalilnya." Ibnul Qoyyim berkata: "Yang <br />
demikian sebagaimana dikatakan oleh Abu Umar, karena manusia tidak <br />
berbeda pendapat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang dihasilkan dari dalil. <br />
Adapun jika tanpa dalil, maka ini adalah taqlid." Kemudian setelah itu Ibnul <br />
Qoyyim menyebutkan 3 pendapat tentang bolehnya fatwa dengan taqlid: <br />
<br />
Yang pertama: tidak boleh berfatwa dengan taqlid karena taqlid <br />
bukanlah ilmu, dan berfatwa tanpa ilmu adalah harom. Ini merupakan <br />
pendapat kebanyakan al-Ash`haab (yakni 'ulama Hanabilah, pent) dan <br />
kebanyakan (jumhur) Syafi'iyyah. <br />
<br />
Yang kedua : bahwa hal tersebut boleh dalam masalah yang berkaitan <br />
dengan dirinya sendiri, dan seseorang tidak boleh taqlid dalam masalah yang <br />
ia berfatwa dengannya kepada orang lain. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
138 <br />
Yang ketiga : bahwa hal tersebut boleh ketika ada hajat (keperluan) dan <br />
tidak adanya seorang 'aalim mujtahid, pendapat ini merupakan pendapat <br />
yang paling benar dan pendapat ini dilakukan. Selesai perkataannya (Ibnul <br />
Qoyyim, pent). <br />
<br />
Dan dengan ini maka sempurnalah apa yang kami ingin menulisnya dalam <br />
kesempatan yang singkat ini, kita memohon kepada Alloh agar memberikan <br />
kepada kita petunjuk dalam perkataan dan perbuatan, dan menutup amal-<br />
amal kita dengan kesuksesan, sesungguhnya ia Maha Memberi dan Maha <br />
Pemurah, sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad dan <br />
keluarganya. <br />
<br />
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ ﻪﻘﻔﻟﺍ ) <br />
<br />
139 <br />
MAROJI' <br />
<br />
<br />
1. al-Qomus al-Muhith : al-Fairuz Abadi. <br />
<br />
2. al-Kaukabul Munir syarh Mukhtashor at-Tahrir : al-Futuhi. <br />
<br />
3. Minhaajul Ushul dan Syarahnya : matan oleh al-Baidhowi, pensyarahnya <br />
majhul bagi kami. <br />
<br />
4. Syarhu Jam'il Jawami' wa Hasyiyatuhu : Syarah oleh al-Muhli dan <br />
Hasyiyah oleh al-Bunani. <br />
<br />
5. Roudhotun Nadzir dan syarahnya : pokok-nya oleh al-Muwaffiq, dan <br />
syarah oleh Abdul Qodir bin Badron. <br />
<br />
6. Hushulul Ma'mul min 'Ilmil Ushul : Muhammad Shiddiq. <br />
<br />
7. al-Madkhol ila Madzhabi Ahmad ibni Hanbal : Abdul Qodir bin Badron. <br />
<br />
8. Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul : asy-Syaukani. <br />
<br />
9. Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah : penyusun : Abdurrahman bin <br />
Qosim. <br />
<br />
10. al-Muswaddah fi Ushulil Fiqh : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ayah dan <br />
kakeknya. <br />
<br />
11. Zaadul Ma'ad : Ibnul Qoyyim. <br />
<br />
12. I'lamul Muwaqqi'in : Ibnul Qoyyim.tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-86719330460895385102010-12-31T20:00:00.001-08:002010-12-31T20:00:26.327-08:00Objek Pembahasan Ilmu Ushul FiqhObjek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh<br />
Objek pembahasan dari Ushul fiqh meliputi tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad<br />
<br />
Sesuai dengan keterangan tentang pengertian Ilmu Ushul Fiqh di depan, maka yang menjadi obyek pembahasannya, meliputi : <br />
<br />
Pembahasan tentang dalil.<br />
Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul Fiqh adalah secara global. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat<br />
masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak dibahas satu<br />
persatu dalil bagi setiap perbuatan.Pembahasan tentang hukum<br />
Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap<br />
perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang<br />
menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum ’alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum<br />
bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.Pembahasan<br />
tentang kaidah.<br />
Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-<br />
macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.Pembahasan tentang ijtihad<br />
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-<br />
tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.<br />
_tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-57169739156849701682010-12-31T19:59:00.000-08:002010-12-31T19:59:34.356-08:00FIQIH ZAKAT SARI PENTING KITAB DR. YUSUF AL-QARADHAWYFIQIH ZAKAT <br />
SARI PENTING KITAB DR. YUSUF AL-QARADHAWY<br />
<br />
PENDAHULUAN <br />
<br />
Pemberdayaan ekonomi Ummat Islam melalui pelaksanaan ibadah zakat masih banyak menemui hambatan <br />
yang bersumber terutama dari kalangan Ummat Islam itu sendiri. Kesadaran pelaksanaan zakat masih di kalangan <br />
Ummat Islam masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah yang satu ini, <br />
khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya seperti sholat dan puasa. Kurangnya pemahaman <br />
tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariah Islam menyebabkan <br />
pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal tersebut pada gilirannya <br />
mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pembudayaan <br />
ibadah zakat secara kolektif agar pelaksanaan ibadah harta ini menjadi lebih efektif dan efisien. <br />
Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemasyarakatkan ibadah zakat yang dituntunkan oleh Syariah Islam <br />
perlu ditingkatkan. Salah satu karya besar mengenai zakat yang menjadi rujukan luas saat ini adalah Kitab Fikih <br />
Zakat, yang ditulis oleh Dr. Yusuf Qaradhawy, salah seorang Ulama Besar Mesir yang sangat terkenal karena <br />
perhatiannya yang besar terhadap perkembangan sosial dan ekonomi Ummat Islam pada abad 21 ini. <br />
Tulisan ini merupakan ringkasan selektif terhadap bab-bab dari kitab tersebut, yang sengaja dipilihkan untuk <br />
konsumsi kalangan masyarakat yang bergerak disektor industri dan jasa. Tulisan ini, pada awalnya dipostingkan <br />
secara berkala pada forum diskusi Isnet (Islamic Network), jaringan diskusi Islam melalui jaringan internet, pada <br />
akhir 1993. Agar dapat lebih banyak pemanfaataannya maka risalah kecil ini disusun sebagai langkah awal <br />
memahami zakat itu sendiri, sekaligus untuk mendorong keinginan untuk mengkajnya lebih jauh melalui kitab <br />
aslinya. <br />
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada beliau. Dan semoga pula <br />
risalah ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah yang menjadikan kita <br />
semua sebagai hamba-Nya yang bertaqwa, amiin. <br />
<br />
<br />
<br />
Bogor, Mei 1997 <br />
Lukman Mohammad Baga Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________2 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
<br />
Surat Al-Lail <br />
Bismillahirrahmanirrahiim <br />
Sesunguhnya usaha kamu memang berbeda-beda <br />
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa <br />
dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga) <br />
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah <br />
Dan adapun orang)orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, <br />
serta mendustakan pahala yang terbaik <br />
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar <br />
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa <br />
<br />
Surat ini merupakan surat-surat pertama Makiyyah, mengandung dua perumpamaan yang memberikan suatu isyarah <br />
akan sikap Islam terhadap harta dan orang kaya; dan menjelaskan pula contoh akhlaq yang diperintahkan Islam dan <br />
yang akan mendapatkan ridha Allah SWT. <br />
Golongan pertama adalah golongan yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertaqwa dan membenarkan <br />
adanya pahala terbaik (syurga). Terhadap golongan ini Allah memujinya dan menyiapkan baginya jalan yang <br />
mudah. <br />
Jadi memberi adalah salah satu sifat yang disejajarkan dengan taqwa dan membenarkan kalimat terbaik. Quran <br />
memutlakan sifatnya dengan memberi dan tidak menyatakan apa yang diberikan, berapa yang diberikan dan <br />
macam apa yang diberikan, karena maksud utamanya adalah jiwanya itu adalah jiwa yang dermawan, mulia dan <br />
pemberi, bukannya jiwa yang hina dan tidak mau memberi. <br />
Jiwa pemberi adalah jiwa yang bermanfaat dan jiwa yang baik, yang tabiatnya senantiasa mau berlaku baik dan <br />
memberikan kebaikan kepada orang lain. Ia memberikan yang terbaik, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, <br />
sehingga ia menyerupai sebuah sungai yang dimanfaatkan oleh manusia dengan meminumnya dan untuk diberikan <br />
kepada hewan ternak dan tanaman. Demikian pula dengan orang yang penuh keberkatan dimanfaatkan dimanapun <br />
ia berada, sehingga sebagai pembalasannya terhadap jiwanya yang mudah memberi itu, Allah SWT akan <br />
memudahkan masuk ke dalam syurga. <br />
Sebagai tandingan golongan ini, golongan yang dicela Allah dan memudahkannya masuk ke dalam neraka, karena ia <br />
sifatnya bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala terbaik (syurga). Inilah golongan yang <br />
tercela karena kekikirannya terhadap hartanya dan menganggap dirinya cukup, tidak memerlukan pertolongan Allah <br />
dan pertolongan manusia serta membohongkan apa yang dijanjikan Allah SWT, yaitu akibat yang baik bagi <br />
orang-orang yang benar imannya. <br />
Maka, Allah memperingatkan dengan neraka yang menyala-nyala, <br />
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, <br />
Yang mendustkan kebenaran dan berpaling dari iman. <br />
Dan kelak akak dijauhkan orang yang bertaqwa dari neraka itu. <br />
Yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya, <br />
Padahal tidak seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. <br />
Tetapi dia memberikan itu itu semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya <br />
Yang Maha Tinggi. <br />
Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan. <br />
<br />
<br />
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________3 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
ISLAM DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN <br />
Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan <br />
agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan <br />
penerapan. Semenjak fajarnya baru menyigsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah sosial <br />
penanggulangan kemiskinan. Adakalanya Quran merumuskannya dengan kata-kata "memberi makan dan mengajak <br />
memberi makan orang miskin" atau dengan "mengeluarkan sebahagian rezeki yang diberikan Allah", "memberikan <br />
hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan", "membayar zakat" dan rumusan lainnya. <br />
Memberi makan orang miskin yang meliputi juga memberi pakaian, perumahan dan kebutuhan-kebuthan <br />
pokoknya adalah merupakan realisasi dari keimananan seseorang (lihat surat Al Mudatsir, Al Haqqah). Quran tidak <br />
hanya menghimbau untuk memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan mengancam bila mereka dibiarkan <br />
terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang Mu'min mendorong pula orang lain memperhatikan <br />
orang-orang miskin dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta <br />
pantas menerima hukuman Allah di akhirat. <br />
Tangkap dan borgol mereka, kemudian lemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala, dan belit dengan <br />
rantai tujuh puluh hasta ! Mengapa mereka dihukum dan disiksa secara terang-terangan itu? Oleh karena <br />
mereka ingkar kepada Allah yang Maha Besar dan tidak menyuruh memberi makan orang-orang miskin. (QS <br />
69:30-34) <br />
Dalam surat Al Fajr, Allah membentak orang-orang Jahiliah yang mengatakan bahwa agama mereka justru <br />
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berasal dari nenek moyang mereka, Ibrahim; <br />
"Tidak, tetapi kalian tidak tidak menghormati anak yatim dan tidak saling mendorong memberi makan orang <br />
miskin. (QS 89:17-18) <br />
Demikian pula pada surat Al Maun dimana dikatakan; orang yang mengusir anak yatim dan tidak mendorong <br />
memberi makan orang miskin" dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama. Orang yang tidak pernah <br />
menghimbau orang lain untuk memberi makan orang miskin biasanya tidak pernah pula memberi makan orang <br />
miskin tersebut. Tuhan mengungkapkan dalam bentuk sindiran dengan tujuan apabila seseorang tidak mampu <br />
memenuhi harapan orang miskin, maka ia harus meminta orang lain melakukannya. <br />
Selanjutnya dalam surat Adz Dzariyat : 19-20 "Dalam kekayaan mereka tersedia hak peminta-minta dan <br />
orang-orang yang hidup berkekurangan" <br />
Digambarkan disini orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadarai sepenuhnya bahwa kekayaan <br />
mereka bukanlah milik sendiri yang dapat mereka perlakukan semau mereka, tetapi menyadari bahwa di dalamnya <br />
terdapat hak-hak orang lain yang butuh. Dan hak itu bukan pula merupakan hadiah atau sumbangan karena <br />
kemurahan hati mereka, tetapi sudah merupakan hak orang-orang tsb. Penerima tidak bisa merasa rendah dan <br />
pemberi tidak bisa merasa lebih tinggi. Lihat pula surat Al Ma'arif (QS 70:19-25). <br />
Ayat-ayat di atas diturunkan di Makkah, sementara zakat diwajibkan di Madinah. Dengan demikian, sejak <br />
saat-saat awal kurun Makkah, Islam telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang-orang Islam bahwa ada hak-<br />
hak orang yang berkekurangan dalam harta mereka. Hak yang harus dikeluarkan, tidak hanya berupa sedekah sunnat <br />
yang mereka berikan atau tidak diberikan sekehendak mereka sendiri. Kata zakat sendiri sudah digunakan dalam <br />
ayat-ayat Makiyah seperti pada surat : Ar Rum:38-39, An Naml:1-3, Luqman:4, Al Mu'minun:4, Al A'raf:156-157, <br />
dan Fushshilat : 6-7. Walau Al Quran sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makiah, namun demikian zakat itu <br />
sendiri baru diwajibkan di Madinah. Zakat yang turun dalam ayat-ayat Makiah tidak sama dengan zakat yang <br />
diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan <br />
membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolanya. <br />
<br />
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________4 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
ZAKAT PADA PERIODE MADINAH <br />
<br />
Berbeda dengan ayat-ayat Al Qur'an yang turun di Makkah, ayat-ayat yang turun di Madinah sudah <br />
menjelaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas. Salah <br />
satu surat yang terakhir turun adalah surat At Taubah yang juga merupakan salah satu surat dalam Quran yang <br />
menumpahkan perhatian besar pada zakat. Coba kita perhatikan ayat-ayat surat At Taubah di bawah ini yang tidak <br />
lepas dari masalah zakat : <br />
a. Dalam ayat permulaan surat itu Allah memrintahkan agar orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian <br />
damai itu dibunuh. Tetapi jika mereka (1) bertaubat, (2) mendirikan shalat wajib, dan (3) membayar zakat, <br />
maka berilah mereka kebebasan (QS 9:5). <br />
b. Enam ayat setelah ayat diatas Allah berfirman :"...jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan membayar <br />
zakat, barulah mereka teman kalian seagama...." (QS 9:11) <br />
c. Allah juga merestui orang-orang yang menyemarakan masjid; yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah <br />
dan hari kemudian, mendirikan sholat, membayar zakat (QS 9:18) <br />
d. Allah mengancam dengan azab yang pedih kepada orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak <br />
menafkahkannya di jalan Allah (QS 9:34-35) <br />
e. Dalam surat ini juga terdapat penjelasan tentang sasaran-sasaran penerima zakat, yang sekaligus menampik <br />
orang-orang yang rakus yang ludahnya meleleh melihat kekayaan zakat tanpa hak. (QS 9:60). <br />
f. Allah menjelaskan pula bahwa zakat merupakan salah satu institusi seorang Mu'min (QS 9:71) yang <br />
membedakannya dari orang munafik (yang menggenggam tangan mereka/kikir, QS 9:67). <br />
g. Allah memberikan instruksi kepada Rasul-Nya dan semua orang yang bertugas memimpin ummat setelah <br />
beliau untuk memungut zakat (QS 9:103) <br />
Khuz min amwalihim shadaqah....(Pungutlah zakat dari kekayaan mereka....). <br />
Kata "min" berarti sebagian dari harta, bukan seluruh kekayaan. <br />
Kata "amwalihim" dalam bentuk jamak yang berarti : harta-harta kekayaan mereka, yaitu meliputi berbagai <br />
jenis kekayaan. <br />
Kata shodaqah dalam ayat ini oleh kebanyakan ulama salaf maupun khalaf ditafsirkan sebagai zakat dengan <br />
dasar hadits dan riwayat shahabat. <br />
Kesimpulan yang dapat ditarik berkaitan dengan zakat ini, bahwa seseorang: tanpa mengeluarkan zakat <br />
1. belum dianggap sah masuk barisan orang-orang yang bertaqwa. <br />
2. tidak dapat dibedakan dari orang-orang musyrik <br />
3. tidak bisa dibedakan dengan orang-orang munafik yang kikir. <br />
4. tidak akan mendapatkan rahmat Allah (QS 7:156) <br />
5. tidak berhak mendapat pertolongan dari Allah, Rasulnya dan orang-orang yang beriman (QS 5:55-56) <br />
6. tidak bisa memperoleh pembelaan dari Allah (QS 22:40-41) <br />
<br />
<br />
<br />
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________5 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM <br />
<br />
Berdasarkan sejumlah hadits dan laporan para shahabat, diketahui bahwa urutan rukun Islam setelah shalat <br />
lima waktu (setelah Isra dan Mi'raj) adalah puasa (diwajibkan pada tahun 2 H) yang bersamaan dengan zakat fitrah. <br />
Baru kemudian perintah diwajibkannya zakat kekayaan. Namun demikian Yusuf Al-Qaradhawy menegaskan bahwa <br />
zakat adalah rukun Islam ketiga berdasarkan banyak hadits shahih, misalnya hadits peristiwa Jibril ketika mengajukan <br />
pertanyaan kepada Rasulullah : "Apakah itu Islam ?" Nabi menjawab :"Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak ada <br />
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan <br />
Ramadhan, dan naik haji bagi yang mampu melaksanakannya" (Bukhari Muslim) <br />
Urutan ini tidak terlepas dari pentingnya kewajiban zakat (setelah shalat), dipuji orang yang melaksanakannya <br />
dan diancam orang yang meninggalkannya dengan berbagai upaya dan cara. <br />
Peringatan keras terhadap orang yang tidak membayar zakat tidak hanya berupa hukuman yang sangat pedih <br />
di akhirat (misalnya QS 9:34-35; 3:180, dan hadits shahih) juga terdapat hukuman di dunia. Hadits shahih <br />
menjelaskan bahwa : <br />
• Orang yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau panjang <br />
• Bila zakat bercampur dengan kekayaan lain, maka kekayaan itu akan binasa <br />
• Pembangkang zakat dapat dihukum dengan denda bahkan dapat diperangi dan dibunuh. Hal ini dilakukan <br />
oleh Abu Bakar ketika setelah Rasulullah wafat dimana banyak suku Arab yang membangkang tidak mau <br />
membayar zakat dan hanya mau mengerjakan sholat. <br />
Pernyataan Abu Bakar : "Demi Allah, saya akan memerangi siapapun yang membeda-bedakan zakat dari <br />
shalat,...." <br />
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dimengerti bahwa zakat adalah asasi sekali dalam Islam, dan dapat <br />
dikatakan bahwa orang yang mengingkari zakat itu wajib adalah kafir dan sudah keluar dari Islam (murtad). <br />
Adapun beberapa perbedaan mendasar antara zakat dalam Islam dengan zakat dalam agama-agama lain <br />
menurut pengamatan Yusuf Al-Qaradhawy sbb : <br />
1. Zakat dalam Islam bukan sekedar suatu kebajikan yang tidak mengikat, tapi merupakan salah satu <br />
fondamen Islam yang utama dan mutlak harus dilaksanakan. <br />
2. Zakat dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya. Hak itu <br />
ditetapkan oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya, yaitu Allah SWT. <br />
3. Zakat merupakan "kewajiban yang sudah ditentukan" yang oleh agama sudah ditetapkan nisab, besar, <br />
batas-batas, syarat-syarat waktu dan cara pembayarannya. <br />
4. Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggungjawab <br />
memungutnya dan mendistribusikannya oleh pemerintah. <br />
5. Negara berwenang menghukum siapa saja yang tidak membayar kewajibannya, baik berupa denda, dan dapat <br />
dinyatakan perang atau dibunuh. <br />
6. Bila negara lalai menjalankan atau masyarakat segan melakukannya, maka bagaimanapun zakat bagi seorang <br />
Muslim adalah ibadat untuk mendekatkan diri kepada Allah serta membersihkan diri dan kekayaannya. <br />
7. Penggunaan zakat tidak diserahkan kepada penguasa atau pemuka agama (seperti dalam agama Yahudi), tetapi <br />
harus dikeluarkan sesuai dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan Al Quran. Pengalaman menunjukan <br />
bahwa yang terpenting bukanlah memungutnya tetapi adalah masalah pendistribusiannya. <br />
8. Zakat bukan sekedar bantuan sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan penderitaannya, tapi <br />
bertujuan untuk menaggulangi kemiskinan, agar orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________6 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
mencari pangkal penyebab kemiskinan itu dan mengusahakan agar orang miskin itu mampu memperbaiki <br />
sendiri kehidupan mereka. <br />
9. Berdasarkan sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Quran dan Sunnah, zakat juga mencakup tujuan <br />
spiritual, moral. sosial dan politik, dimana zakat dikeluarkan buat orang-orang mualaf, budak-budak, orang <br />
yang berhutang, dan buat perjuangan, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada <br />
zakat dalam agama-agama lain. <br />
Sebelum membahas masalah jenis zakat yang wajib zakat, ada baiknya kalau kaji melompat dulu ke <br />
pembahasan Bagian VI, yaitu: "Tujuan Zakat dan Dampaknya dalam Kehidupan Pribadi dan Masyarakat. <br />
Diharapkan dengan memahami tujuan-tujuan zakat ini, akan semakin terangsanglah kita untuk lebih mengetahui <br />
masalah zakat ini dan tentu saja untuk mengamalkannya. Tu;isan ini akan mengupas dampak zakat dalam kehidupan <br />
pribadi, yang akan disambung dengan dampak zakat dalam kehidupan bermasyarakat. <br />
Tujuan zakat dan dampaknya bagi pribadi dapat dipisahkan antara pribadi si PEMBERI dan si PENERIMA. <br />
Zakat bukan bertujuan sekedar untuk memenuhi baitul maal dan menolong orang yang lemah dari kejatuhan <br />
yang semakin parah. Tapi tujuan utamanya adalah agar manusia lebih tinggi nilainya daripada harta, sehingga <br />
manusi menjadi tuannya harta bukan menjadikan budaknya. Dengan demikian kepentingan tujuan zakat terhadap si <br />
pemberi sama dengan kepentingannya terhadap si penerima. <br />
Beberapa tujuan dan dampak zakat bagi si PEMBERI adalah: <br />
1. Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir. <br />
Zakat yang dikeluarkan karena ketaatan pada Allah akan mensucikannya jiwa (9:103) dari segala kotoran dan <br />
dosa, dan terutama kotornya sifat kikir. <br />
Penyakit kikir ini telah menjadi tabiat manusia (17:100; 70:19), yang juga diperingatkan Rasulullah SAW <br />
sebagai penyakit yang dapat merusak manusia (HR Thabrani), dan penyakit yang dapat memutuskan tali <br />
persaudaraan (HR Abu Daud dan Nasai). Sehingga alangkah berbahagianya orang yang bisa menghilangkan <br />
kekikiran. "Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang <br />
beruntung" (59:9; 64:16). <br />
Zakat yang mensucikan dari sifat kikir ditentukan oleh kemurahannya dan kegembiraan ketika mengeluarkan <br />
harta semata karena Allah. Zakat yang mensucikan jiwa juga berfungsi membebaskan jiwa manusia dari <br />
ketergantungan dan ketundukan terhadap harta benda dan dari kecelakaan menyembah harta. <br />
2. Zakat mendidik berinfak dan memberi. <br />
Berinfak dan memberi adalah suatu akhlaq yang sangat dipuji dalam Al Qur'an, yang selalu dikaitkan dengan <br />
keimanan dan ketaqwaan (2:1-3; 42:36-38; 3:134; 3:17; 51:15-19; 92:1-21) <br />
Orang yang terdidik untuk siap menginfakan harta sebagai bukti kasih sayang kepada saudaranya dalam <br />
rangka kemaslahatan ummat, tentunya akan sangat jauh sekali dari keinginan mengambil harta orang lain <br />
dengan merampas dan mencuri (juga korupsi). <br />
3. Berakhlaq dengan Akhlaq Allah <br />
Apabila manusia telah suci dari kikir dan bakhil, dan sudah siap memberi dan berinfak, maka ia telah <br />
mendekatkan akhlaqnya dengan Akhlaq Allah yang Maha Pengash, Maha Penyayang dan Maha Pemberi. <br />
4. Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah. <br />
5. Zakat mengobati hati dari cinta dunia. <br />
Tnggelam kepada kecintaan dunia dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada <br />
akhirat. Adalah suatu lingkaran yang tak berujung; Usaha mendapatkan harta ----> mendapatkan kekuasaan ---<br />
-> mendapatkan kelezatan ----> lebih berusaha mendapatkan harta, dst. Syariat Islam memutuskan lingkaran <br />
tsb dengan mewajibkan zakat, sehingga terhalanglah nafsu dari lingkaran syetan itu. Bila Allah mengaruniai Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________7 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
harta dengan disertai ujian/fitnah (21:35; 64:15; 89:15) maka zakat melatih si Muslim untuk menandingi fitnah <br />
harta dan fitnah dunia tsb. <br />
6. Zakat mengembangkan kekayaan bathin <br />
Pengamalan zakat mendorong manusia untuk menghilangkan egoisme, menghilangkan kelemahan jiwanya, <br />
sebaliknya menimbulkan jiwa besar dan menyuburkan perasaan optimisme. <br />
7. Zakat menarik rasa simpati/cinta <br />
Zakat akan menimbulkan rasa cinta kasih orang-orang yang lemah dan miskin kepada orang yang kaya. Zakat <br />
melunturkan rasa iri dengki pada si miskin yang dapat mengancam si kaya dengan munculnya rasa simpati dan <br />
doa ikhlas si miskin atas si kaya. <br />
8. Zakat mensucikan harta dari bercampurnya dengan hak orang lain (Tapi zakat tidak bisa mensucikan harta <br />
yang diperoleh dengan jalan haram). <br />
9. Zakat mengembangkan dan memberkahkan harta. <br />
Allah akan menggantinya dengan berlipat ganda (34:39; 2:268; dll). Sehingga tidak ada rasa khawatir bahwa <br />
harta akan berkurang dengan zakat. <br />
<br />
Adapun tujuan dan dampak zakat bagi si penerima: <br />
1. Zakat akan membebaskan si penerima dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup tentram dan dapat <br />
meningkatkan khusyu ibadat kepada Tuhannya. <br />
Sesungguhnya Islam membenci kefakiran dan menghendaki manusia meningkat dari memikirkan kebutuhan <br />
materi saja kepada sesuatu yang lebih besar dan lebih pantas akan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia sebagai <br />
khalifah Allah di muka bumi. <br />
2. Zakat menghilangkan sifat dengki dan benci. <br />
Sifat hasad dan dengki akan menghancurkan keseimbangan pribadi, jasamani dan ruhaniah seseorang. Sifat <br />
ini akan melemahkan bahkan memandulkan produktifitas. Islam tidak memerangi penyakit ini dengan semata-<br />
mata nasihat dan petunjuk, akan tetapi mencoba mencabut akarnya dari masyarakat melalui mekanisme zakat, <br />
dan menggantikannya dengan persaudaraan yang saling memperhatikan satu sama lain. <br />
<br />
Berikut ini merupakan kelanjutan dari pembahasan "Tujuan Zakat dan Dampaknya" yang kali ini difokuskan <br />
dalam kehidupan masyarakat. <br />
Zakat didasarkan pada delapan asnafnya yang tersebut dalam QS 9:60 memperjelas kedudukan dan fungsinya <br />
dalam masyarakat yaitu terkait dengan : <br />
1. Tanggung jawab sosial (dalam hal penanggulangan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan fisik minimum (KFM), <br />
penyediaan lapangan kerja dan juga asuransi sosial (dalam hal adanya bencana alam dll). <br />
2. Perekonomian, yaitu dengan mengalihkan harta yang tersimpan dan tidak produktif menjadi beredar dan <br />
produktif di kalangan masyarakat. Misalnya halnya harta anak yatim; "Usahakanlah harta anak yaitm itu <br />
sehingga tidak habis oleh zakat" (Hadits). <br />
3. Tegaknya jiwa ummat, yaitu melalui tiga prinsip : <br />
a. Menyempurnakan kemerdekaan setiap individu (fi riqob) <br />
b. Membangkitkan semangat beramal sholih yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Misalnya <br />
berhutang demi kemaslahatan masyarakat ditutupi oleh zakat. Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________8 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
c. Memelihara dan mempertahankan akidah (fi sabilillah) <br />
Beberapa problematika masyarakat yang disorot oleh Yusuf Al-Qaradhawy dimana zakat seharusnya dapat <br />
banyak berperan adalah sbb: <br />
1. Problematika Perbedaan Kaya-Miskin. <br />
Zakat bertujuan untuk meluaskan kaidah pemilikan dan memperbanyak jumlah pemilik harta (..."Supaya harta <br />
itu jangan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu", QS 59:7). <br />
Islam mengakui adanya perbedaan pemilikan berdasarkan perbedaan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki <br />
manusia. Namun Islam tidak menghendaki adanya jurang perbedaan yang semakin lebar, sebaliknya Islam <br />
mengatur agar perbedaan yang ada mengantarkan masyarakat dalam kehidupan yang harmonis, yang kaya <br />
membantu yang miskin dari segi harta, yang miskin membantu yang kaya dari segi lainnya. <br />
2. Problematika Meminta-minta. <br />
Islam mendidik ummatnya untuk tidak meminta-minta, dimana hal ini akan menjadi suatu yang haram bila <br />
dijumpai si peminta tsb dalam kondisi berkecukupan (ukuran cukup menurut hadits adalah mencukupi untuk <br />
makan pagi dan sore). Disisi lain Islam berusaha mengobati orang yang meminta karena kebutuhan yang <br />
mendesak, yaitu dengan dua cara; <br />
(1) menyediakan lapangan pekerjaan, alat dan ketrampilan bagi orang yang mampu bekerja, dan <br />
(2) jaminan kehidupan bagi orang yang tidak sanggup bekerja. <br />
3. Problematika Dengki dan Rusaknya Hubungan dengan Sesama. <br />
Persaudaraan adalah tujuan Islam yang asasi, dan setiap ada sengketa hendaknya ada yang berusaha <br />
mendamaikan (49:9-10). Rintangan dana dalam proses pendamaian tsb seharusnya dapat dibayarkan melalui <br />
zakat, sehingga orang yang tidak kaya pun dapat berinisiatif sebagai juru damai. <br />
4. Problematika Bencana <br />
Orang kaya pun suatu saat bisa menjadi fakir karena adanya bencana. Islam melalui mekanisme zakat <br />
seharusnya memeberikan pengamanan bagi ummat yang terkena bencana (sistem asuransi Islam), sehingga <br />
mereka dapat kembali pada suatu tingkat kehidupan yang layak. <br />
5. Problematika Membujang <br />
Banyak orang membujang dikarenakan ketidakmampuan dalam hal harta untuk menikah. Islam menganjurkan <br />
ummatnya berkawin yang juga merupakan benteng kesucian. Mekanisme zakat dapat berperan untuk <br />
memenuhi kebutuhan tsb. <br />
6. Problematikan Pengungsi <br />
Rumah tempat berteduh juga merupakan kebutuhan primer disamping makanan dan pakaian. Zakat <br />
seharusnya menjadi unsur penolong pertama dalam menangani masalah pengungsi ini. <br />
Demikian intisari pembahasan Tujuan Zakat dan Dampaknya dalam Kehidupan Pribadi dan Masyarakat. <br />
Begitu banyak kemaslahatan masyarakat yang bisa diwujudkan dengan harta zakat zakat, namun apa daya <br />
pelaksanaan kewajiban zakat ini masih sangat minim di kalangan ummat Islam. Dua hal yang menyebabkannya : <br />
pertama, karena ketidaktahuan ummat mengenai mekanisme zakat ini; dan yang kedua adalah kelemahan ummat <br />
dalam mengelolanya. Insya Allah, untuk lebih memelek-zakatkan kita dalam hal berzakat, posting berikutnya akan <br />
menyangkut pembahasan "Kekayaan yang Wajib Dizakati". <br />
<br />
<br />
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________9 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
KEKAYAAN YANG WAJIB ZAKAT <br />
<br />
Pengertian Kekayaan <br />
Quran tidak memberikan ketegasan tentang jenis kekayaan yang wajib zakat, dan syarat-syarat apa yang mesti <br />
dipenuhi, dan berapa besar yang harus dizakatkan. Persoalan tsb diserahkan kepada Sunnah Nabi. <br />
Memang terdapat beberapa jenis kekayaan yang disebutkan Quran seperti: emas dan perak (9:34); tanaman <br />
dan buah-buahan (6:141); penghasilan dari usaha yang baik (2:267); dan barang tambang (2:267). Namun demikian, <br />
lebih daripada itu Quran hanya merumuskannya dengan rumusan yanga umum yaitu "kekayaan" ("Pungutlah <br />
olehmu zakat dari kekayaan mereka,....." QS 9:103). <br />
Kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat yaitu : dipunyai dan bisa diambil <br />
manfaatnya. Inilah definisi yang paling benar menurut Yusuf Al-Qaradhawy dari beragam definisi yang dijumpai. <br />
Terdapat 6 syarat untuk suatu kekayaan terkena wajib zakat: <br />
1. Milik penuh <br />
2. Berkembang <br />
3. Cukup senisab <br />
4. Lebih dari kebutuhan biasa <br />
5. Bebas dari hutang <br />
6. Berlalu setahun <br />
<br />
Syarat Pertama : Milik Penuh <br />
Kekayaan pada dasarnya adalah milik Allah. Yang dimaksud pemilikan disini hanyalah penyimpanan, <br />
pemakaian, dan pemberian wewenang yang diberikan Allah kepada manusia, sehingga sesorang lebih berhak <br />
menggunakan dan mengambil manfaatnya daripada orang lain. <br />
Istilah "milik penuh" maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di dalam <br />
kekuasaannya. Dengan kata lain, kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang <br />
lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dinikmatinya. <br />
Konsekwensi dari syarat ini tidak wajib zakat bagi : <br />
• Kekayaan yang tidak mempunyai pemilik tertentu <br />
• Tanah waqaf dan sejenisnya <br />
• Harta haram. Karena sesungguhnya harta tersebut tidak syah menjadi milik seseorang <br />
• Harta pinjaman. Dalam hal ini wajib zakat lebih dekat kepada sang pemberi hutang (kecuali bila hutang tsb <br />
tidak diharapkan kembali). Bagi orang yang meminjam dapat dikenakan kewajiban zakat apabila dia tidak <br />
mau atau mengundur-undurkan pembayaran dari harta tsb, sementara dia terus mengambil manfaat dari harta <br />
tsb. Dengan kata lain orang yang meminjam telah memperlakukan dirinya sebagai "si pemilik penuh". <br />
• Simpanan pegawai yang dipegang pemerintah (seperti dana pensiun). Harta ini baru akan menjadi milik penuh <br />
di masa yad, sehingga baru terhitung wajib zakat pada saat itu. <br />
<br />
Syarat Kedua : Berkembang <br />
Pengertian berkembang yaitu harta tsb senantiasa bertambah baik secara konkrit (ternak dll) dan tidak secara <br />
konkrit (yang berpotensi berkembang, seperti uang apabila diinvestasikan). <br />
Nabi tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi seperti rumah kediaman, Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________10 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
perkakas kerja, perabot rumah tangga, binatang penarik, dll. Karena semuanya tidak termasuk kekayaan yang <br />
berkembang atau mempunyai potensi untuk berkembang. Dengan alasan ini pula disepakati bahwa hasil pertanian <br />
dan buah-buahan tidak dikeluarkan zakatnya berkali-kali walaupun telah disimpan bertahun-tahun. <br />
Dengan syarat ini pula, maka jenis harta yang wajib zakat tidak terbatas pada apa yang sering diungkapkan <br />
sebahagian ulama yaitu hanya 8 jenis harta (unta, lembu, kambing, gandum, biji gandum, kurma, emas, dan perak). <br />
Semua kekayaan yang berkembang merupakan subjek zakat. <br />
<br />
Syarat Ketiga: Cukup Senisab <br />
Disyaratkannya nisab memungkinkan orang yang mengeluarkan zakat sudah terlebih dahulu berada dalam kondisi <br />
berkecukupan. Tidaklah mungkin syariat membebani zakat pada orang yang mempunyai sedikit harta dimana dia <br />
sendiri masih sangat membutuhkan harta tsb. Dengan demikian pendapat yang mengatakan hasil pertanian tidak ada <br />
nisabnya menjadi tertolak. (Besarnya nisab untuk masing-masing jenis kekayaan dijelaskan pada bab lain). <br />
<br />
Syarat Keempat: Lebih dari Kebutuhan Biasa <br />
Kebutuhan adalah merupakan persoalan pribadi yang tidak bisa dijadikan patokan besar-kecilnya. Adapun <br />
sesuatu kelebihan dari kebutuhan itu adalah bagian harta yang bisa ditawarkan atau diinvestasikan yang dengan itulah <br />
pertumbuhan/ perkembangan harta dapat terjadi. <br />
Kebutuhan harus dibedakan dengan keinginan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan rutin, yaitu <br />
sesuatu yang betul-betul diperlukan untuk kelestarian hidup; seperti halnya belanja sehari-hari, rumah kediaman, <br />
pakaian, dan senjata untuk mempertahankan diri, peralatan kerja, perabotan rumah tangga, hewan tunggangan, dan <br />
buku-buku ilmu pengetahuan untuk kepentingan keluarga (karena kebodohan dapat berarti kehancuran). <br />
Kebutuhan ini berbeda-beda dengan berubahnya zaman, situasi dan kondisi, juga besarnya tanggungan <br />
dalam keluarga yang berbeda-beda. Persoalan ini sebaiknya diserahkan kepada penilaian para ahli dan ketetapan <br />
yang berwewenang. <br />
Zakat dikenakan bila harta telah lebih dari kebutuhan rutin. Sesuai dengan ayat 2:219 ("sesuatu yang lebih <br />
dari kebutuhan...") dan juga hadits "zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya", dan hadits-hadits lainnya. <br />
<br />
Syarat ke lima: Bebas dari Hutang <br />
Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat haruslah lebih dari kebutuhan primer, dan cukup <br />
pula senisab yang sudah bebas dari hutang. Bila jumlah hutang akan mengurangi harta menjadi kurang senisab, maka <br />
zakat tidaklah wajib. <br />
Jumhur ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat. Namun apabila hutang itu <br />
ditangguhkan pembayarannya (tidak harus sekarang juga dibayarkan), maka tidaklah lepas wajib zakat (seperti <br />
halnya hutang karena meng-kredit sesuatu). <br />
<br />
Syarat ke enam: Berlalu Setahun <br />
Maksudnya bahwa pemilikan yang berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan <br />
Qomariyah. Menurut Yusuf Al-Qaradhawy, persyaratan setahun ini hanyalah buat barang yang dapat dimasukkan <br />
ke dalam istilah "zakat modal" seperti: ternak, uang, harta benda dagang, dll. Adapun hasil pertanian, buah-buahan, <br />
madu, logam mulia (barang tambang), harta karun, dll yang sejenis semuanya termasuk ke dalam istilah "zakat <br />
pendapatan" dan tidak dipersyaratkan satu tahun (maksudnya harus dikeluarkan ketika diperoleh). <br />
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para shahabat dan tabi'in mengenai persyaratan "berlalu setahun" Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________11 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
ini. Dimana apa pendapat yang mengatakan bahwa zakat wajib dikeluarkan begitu diperoleh bila sampai senisab, <br />
baik karena sendiri maupun karena tambahan dari yang sudah ada, tanpa mempersyaratkan satu tahun. Perbedaan ini <br />
dikarenakan "tidak adanya satu hadits yang tegas" mengenai persyaratan ini. (Pembahasan lebih jauh mengenai hal <br />
ini Insya Allah akain kita jumpai pada pembahasan zakat profesi/ pendapatan). <br />
Namun demikian sesuatu yang tidak diperselisihkan sejak dulu adalah bahwa zakat kekayaan yang termasuk <br />
zakat modal di atas hanya diwajibkan satu kali dalam setahun. <br />
<br />
KEKAYAAN YANG WAJIB ZAKAT <br />
<br />
Pembahasan berikut ini adalah tentang "Kekayaan yang Wajib Zakat dan Besar Zakatnya". Cukup <br />
banyak dan detail yang dibahas beliau (hal 167-501) yang mencakup : <br />
1. Zakat binatang ternak <br />
2. Zakat emas dan perak / zakat uang <br />
3. Zakat kekayaan dagang <br />
4. Zakat pertanian <br />
5. Zakat madu dan produksi hewani <br />
6. Zakat barang tambang dan hasil laut <br />
7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll <br />
8. Zakat pencarian dan profesi <br />
9. Zakat saham dan obligasi <br />
<br />
Namun demikian mengingat keterbatasan saya, saya hanya akan membahas yang penting bagi kita pada <br />
umumnya untuk mengetahuinya yaitu nomor 2 dan 8 saja. <br />
<br />
ZAKAT EMAS DAN PERAK <br />
Pembahasan mengenai zakat emas dan perak (E&P) perlu dibedakan antara E&P sebagai perhiasan atau E&P <br />
sebagai uang (alat tukar). Sebagai perhiasan E&P juga dapat dibedakan antara perhiasan wanita dan perhiasan <br />
lainnya (ukiran, souvenir, perhiasan pria dll). Dangkalnya pemahaman fungsi E&P sebagai alat tukar atau mata uang <br />
menyebabkan banyaknya simpanan uang di kalangan ummat Islam tidak tertunaikan zakatnya. <br />
I. Emas dan Perak sebagai Uang <br />
E&P telah sejak lama juga pada zaman Rasulullah digunakan sebagai alat tukar (uang), yaitu uang emas <br />
(dinar) dan uang perak (dirham). Kedua mata uang ini mereka peroleh dari kerajaan-kerajaan tetanggan yang besar, <br />
dinar banyak digunakan penduduk kerajaan Romawi Bizantinum sedangkan dirham pada kerajaan Persia. <br />
Adapun ayat 34-35 surat At Taubah : ..."Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak <br />
menafkahkannya pada jalan Allah,....", ayat ini condong pada maksud e&p dalam artian uang karena ia <br />
merupakan sesuatu yang dapat diinfakkan dan alat yang dipakai langsung untuk itu. Ancaman Allah dijumpai <br />
dalam dua hal yaitu; penyimpanannya, dan tidak diinfakkannya pada jalan Allah. Ini dianggap tidak "tidak berzakat". <br />
Beberapa hadits juga menjelaskan dengan makna yang sama. <br />
<br />
Hikmah Wajib Zakat Uang <br />
Sesungguhnya kepentingan uang adalah untuk bergerak dan beredar, maka dimanfaatkanlah oleh orang-orang <br />
yang mengedarkannya. Sebaliknya penyimpanan dan pemendamannya akan menyebabkan tidak lakunya pekerjaan-<br />
pekerjaan, merajalelanya pengangguran, matinya pasar-pasar, dan mundurnya kegiatan perekonomian secara umum. Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________12 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
Oleh karenanya pewajiban zakat bagi pemilik uang (yang sudah sampai nisab) baik yang dikembangkan maupun <br />
tidak adalah merupakan langkah kongkrit yang patut diteladani. <br />
Hadits Nabi memerintahkan perniagaan harta anak yatim sehingga tidak habis begitu saja dimakan zakat. <br />
<br />
Besarnya Zakat Uang <br />
Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal besarnya zakat uang ini yaitu 2.5 persen. Yusuf Al-<br />
Qaradhawy juga membantah keras beberapa peneliti dewasa ini yang menganjurkan agar besar zakat ini ditambah <br />
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangaan keadaan. Alasan yang dikemukakan antara lain : Hal tsb bertentangan <br />
dengan nash yang jelas; bertentangan dengan ijmak ulama; bahwa zakat adalah kewajiban, karena itu harus <br />
mempunyai sifat yang tetap, kekal dan utuh; adapun kebutuhan dana bagi negara dewasa ini dapat diatasi dengan <br />
pengadaan pajak lain disamping zakat. <br />
<br />
Nisab Uang <br />
Melalui pembahasan yang panjang dan nyelimet bagi saya (karena banyak menggunakan satuan-satuan yang <br />
saya nggak faham, dan juga kaidah-kaidah ushul fiqh) maka saya langsung saja lompat pada kesimpulan dari <br />
penelitian Yusuf Al-Qaradhawy mengenai ketentuan nisab uang ini, yaitu 85 gram emas dan 200 gram perak. <br />
Adapun nisab untuk uang kertas dan surat-surat berharga lain ditetapkan setara dengan 85 gram emas, dengan <br />
pertimbangan nilai emas jauh lebih stabil dari pada perak. <br />
Menutup pembahasan zakat uang ini, Yusuf Al-Qaradhawy mengingatkan kembali bahwa setiap uang milik <br />
penuh yang sudah sampai senisab, bebas dari hutang, dan merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, maka <br />
wajiblah zakatnya 2.5 persen, yaitu sekali dalam setahun. Mengenai kapan harus dikeluarkan, apakah di awal atau <br />
akhir tahun atau pada saat diterima, Insya Allah akan dibahas dalam pembahasan "zakat pencarian/profesi". <br />
<br />
II. Zakat Emas dan Perak yang Non Uang <br />
Manusia sering menggunakan E&P selain untuk perhiasan yang diperbolehkan oleh syara' juga untuk <br />
perhiasan yang tidak diperbolehkan. Perhiasan yang dihalalkan adalah untuk kaum wanita dalam batas yang tidak <br />
berlebihan, dan juga perak untuk pria. Adapun banyak penggunaan E&P di kalangan masyarakat yang tidak <br />
dibenarkan oleh syara' yaitu berupa barang seperti; bejana-bejana, patung dan benda seni lainnya, dll, yang pada <br />
hakekatnya E&P tsb adalah berupa simpanan yang tidak beredar di kalangan masyarakat. <br />
Perhiasan yang tidak wajib dizakati adalah perhiasan yang dipakai dan dimanfaatkan. Adapun yang <br />
dijadikan sebagai benda simpanan, maka hal itu wajib dizakati. Karena pada hakekatnya simpanan E&P ini <br />
mempunyai potensi untuk dikembangkan (lihat lagi posting syarat harta yang wajib zakat). <br />
Setelah menempuh analisis yang panjang, maka untuk mudahnya saya sampaikan saja kesimpulan yang <br />
ditarik Yusuf Al-Qaradhawy untuk masalah ini : <br />
1. Kekayaan dari E&P yang digunakan sebagai simpanan adalah wajib dikeluarkan zakatnya. <br />
2. Jika kekayaan E&P tersebut untuk dipakai seseorang, maka hukumnya dilihat pada macam penggunaannya; <br />
jika penggunaannya bersifat haram seperti untuk bejana-bejana emas atau perak, patung-patung maka wajib <br />
dikeluarkan zakatnya. <br />
3. Diantara pemakaian perhiasan yang diharamkan adalah yang ada unsur berlebih-lebihan dan menyolok oleh <br />
seorang perempuan. <br />
4. Jika perhiasan tsb digunakan untuk hal yang mubah seperti perhiasan perempuan yang tidak berlebih-lebihan, <br />
serta cincin perak untuk laki-laki, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena perhiasan tsb merupakan <br />
harta yang tidak berkembang (tidak memenuhi syarat harta yang wajib zakat), dan juga merupakan salah satu Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________13 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
di antara kebutuhan-kebutuhan manusia. <br />
5. Tidak ada perbedaan antara perhiasan mubah tersebut dimiliki oleh seseorang untuk dipakainya sendiri atau <br />
dipinjamkan kepada orang lain. <br />
6. Yang wajib dizakati dari perhiasan yang tidak dibenarkan syara' (bejana, patung dll) adalah sebesar ukuran <br />
mata uang dan dikeluarkan zakatnya sebanyak 2.5 % setiap tahun dengan hartanya yang lain jika memiliki. <br />
7. Hal ini dengan syarat telah mencapai nisab atau bersama dengan hartanya yang lain memenuhi nisab, yaitu 85 <br />
gram emas, yaitu nilainya dan bukan ukurannya (Perhatian : Nilai dan Ukuran itu berbeda, sekedar contoh <br />
nih, sebuah patung emas atau perak bisa mempunyai nilai jual berlipat-lipat dari harga emas/perak bahan baku <br />
pembuatannya). <br />
<br />
ZAKAT PENCARIAN DAN PROFESI <br />
<br />
Bagian ini memasuki pembahasan ZAKAT PENCARIAN atau PROFESI. Topik ini merupakan salah <br />
satu topik yang sangat penting bagi kita yang memiliki suatu pekerjaan atau profesi tertentu. <br />
Topik ini sebenarnya bukan sudah hal yang baru di kalangan ahli fiqih zakat. Tapi apa yang diungkapkan <br />
oleh Yusuf Al-Qaradhawy mengenai topik ini adalah ijtihad beliau dalam rangka menentukan hukum yang jelas <br />
mengenai kedudukan harta pencarian dan profesi, yaitu melalui studi perbandingan dan penelitian yang sangat dalam <br />
terhadap pendapat-pendapat yang ada mengenai masalah ini sejak zaman sahabat hingga zaman sekarang. Dengan <br />
demikian ijtihad beliau adalah ijtihad yang mempunyai dasar pijakan yang kuat. <br />
Untuk menghilangkan keragu-raguan kita selama ini terhadap harta yang kita peroleh melalu profesi kita : <br />
Apakah itu terkait dengan kewajiban zakat ? Bila ya, berapa besarnya ? Berapa nisabnya ? Bagaimana cara <br />
pembayarannya ? dll, maka sepatutnya kita dapat mengikuti apa yang dikemukakan beliau dalam bab ini. Oleh <br />
karena itu topik ini akan disampaikan secara lebih detil. <br />
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok dewasa ini adalah apa yang diperoleh dari pencarian <br />
atau profesi, baik suatu pencarian yang tergantung oleh orang lain seperti pegawai (negeri atau swasta), atau <br />
pencarian tidak tergantung kepada pihak lain (professional), seperti halnya dokter, advokat, penjahit, seniman, dll. <br />
Jenis pekerjaan ini mendatangkan penghasilan baik berupa gaji, upah ataupun honorarium. <br />
Perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal mewajibkan zakat terhadap harta pencarian dan profesi <br />
ini sudah berlangsung sejak lama. Adapun beberapa ulama modern saat ini telah beranggapan bahwa upaya <br />
menemukan hukum pasti zakat harta jenis ini adalah sangat mendesak, dikarenakan inilah jenis penghasilan yang <br />
paling banyak dijumpai saat ini. Bila tidak ini berarti kita telah melepaskan kebanyakan orang dari kewajiban zakat <br />
yang telah dinyatakan jelas kewajibannya secara umum dalam Al Quran dan Sunnah ("Hai orang-orang yang <br />
beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian", 2:267). <br />
<br />
Pandangan Fikih tentang Pencarian dan Profesi (P&P) <br />
Zakat harta P&P memang tidak ditemukan contohnya dalam hadits, namun dengan menggunakan kaidah <br />
ushul fikih dapatlah harta P&P digolongkan kepada "harta penghasilan", yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang <br />
Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Harta penghasilan itu sendiri dapat dibedakan <br />
menjadi : <br />
(1) Penghasilan yang berkembang dari kekayaan lain, misalnya uang hasil menjual poduksi pertanian yang sudah <br />
dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% yang tentunya uang hasil penjualan tersebut tidak perlu dizakatkan pada <br />
tahun yang sama karena kekayaan asalnya (produksi pertanian tsb) sudah dizakatkan. Ini untuk mencegah <br />
terjadinya apa yang disebut double zakat. Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________14 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
(2) Penghasilan yang berasal karena penyebab bebas, seperti gaji, upah, honor, investasi modal dll (Insya Allah, <br />
pembahasan kita akan berkisar pada jenis harta penghasilan yang kedua ini). Karena harta yang diterima ini <br />
belum pernah sekalipun dizakatkan, dan mugnkin tidak akan pernah sama sekali bila harus menunggu setahun <br />
dulu. <br />
Perbedaan yang menyolok dalam pandangan fikih tentang harta penghasilan ini, terutama berkaitan dengan <br />
adanya konsep "berlaku setahun" yang dianggap sebagai salah satu syarat dari harta yang wajib zakat (lihat pula <br />
posting sebelumnya mengenai syarat harta yang wajib zakat). <br />
Sebagian pendapat mengungkapkan syarat ini berlaku untuk semua jenis harta, tapi sebagian lainnya <br />
mengungkapkan syarat ini tidak berlaku untuk seluruh jenis harta, terutama tidak berlaku untuk jenis harta <br />
penghasilan. selama diberlakukan juga ketentuan berlaku setahun itu untuk jenis harta penghasilan, maka akan sulit <br />
untuk melaksanakan kewajiban zakat untuk harta penghasilan ini. <br />
Kelompok terakhir ini berpendapat, bahwa zakat penghasilan ini wajib dikeluarkan zakatnya langsung ketika <br />
diterima tanpa menunggu waktu satu tahun. Diantara kelompok terakhir ini adalah: Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, <br />
Muawiyyah, dll, juga Umar bin Abdul Aziz. <br />
Pendapat mana yang lebih kuat tentang kedudukan zakat P&P ini ? Oleh karenanya Yusuf Al-Qaradhawy <br />
menelaah kembali hadits-hadits tentang ketentuan setahun ini dimana dijumpai ketentuan tersebut ditetapkan berdasar <br />
empat hadits dari empat shahabat, yaitu: Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah ra. Diantaranya berbunyi sbb: <br />
Hadits dari Ali ra. dari Nabi SAW: “Bila engkau mempunyai 200 dirham dan sudah mencapai waktu setahun, <br />
maka zakatnya adalah 5 dirham,...... “ <br />
Hadits dari Aisyah ra, Rasulullah pernah bersabda : “Tidak ada zakat pada suatu harta sampai lewat <br />
setahun”. <br />
Tetapi ternyata hadits-hadits itu mempunyai kelemahan-kelemahan dalam sanadnya sehingga tidak bisa untuk <br />
dijadikan landasan hukum yang kuat (hadits shahih), apalagi untuk dikenakan pada jenis "harta penghasilan" karena <br />
akan bentrok dengan apa yang pernah dilakukan oleh beberapa shahabat. Adanya perbedaan pendapat di kalangan <br />
para shahabat tentang persyaratan setahun untuk zakat penghasilan juga mendukung ketidak shahihan hadits-hadits <br />
tsb. <br />
Bila benar hadits-hadits tersebut berasal dari Nabi SAW, maka tentulah pengertian yang dapat diterima adalah <br />
: "harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya tidak wajib lagi zakat sampai setahun berikutnya". zakat <br />
adalah tahunan. <br />
Beberapa riwayat sahabat seperti Ibnu Mas'ud, menceritakan bagaimana harta penghasilan langsung <br />
dikeluarkan zakatnya ketika diterima tanpa menunggu setahun. Sehingga menjadi semakin jelas bahwa masa <br />
setahun tidak merupakan syarat, tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat. <br />
Setelah mengadakan studi perbandingan dan penelitian yang mendalam terhadap nash-nash yang berhubungan <br />
dengan status zakat untuk bermacam-macam jenis kekayaan, juga dengan memperhatikan hikmah dan maksud <br />
PEMBUAT SYARIAT yang telah mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada <br />
masa sekarang ini, maka Yusuf Al-Qaradhawy berpendapat bahwa harta hasil usaha seperti: gaji pegawai, upah <br />
karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat, penjahit, seniman, dllnya wajib terkena zakat dan dikeluarkan <br />
zakatnya pada waktu diterima. <br />
Sebagai penjelasan dari pendapat beliau terhadap masalah yang sensitif ini, Yusuf Al-Qaradhawy <br />
mengemukakan beberapa butir alasan yang dikuatkan dengan dalil. <br />
Pembahasan ini adalah kelanjutan dari pembahasan zakat pencarian dan profesi. Point-point di bawah ini <br />
adalah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Yusuf Al-Qaradhawy untuk menguatkan pendapat beliau bahwa harta <br />
pencarian dan profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima. <br />
1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai <br />
tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum syara' yang berlaku umum bagi Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________15 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
ummat. <br />
2. Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan; sebagian mempersyaratkan <br />
adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkannya yang berarti wajib dikeluarkan <br />
zakatnya pada saat harta penghasilan tersebut diterima seorang Muslim. Oleh karenanya persoalan tersebut <br />
dikembalikan kepada nash-nash yang lain dan kaedah-kaedah yang lebih umum. <br />
3. Ketiadaan nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat mazhab-mazhab <br />
berselisih pendapat tajam sekali, yang bila dijajagi lebih jauh justru menimbulkan berpuluh-puluh persoalan <br />
baru yang semakin merumitkan, yang seringkali hanya berdasarkan dugaan-dugaan dan tidak lagi didasarkan <br />
pada nash yang jelas dan kuat. Semuanya membuat Yusuf Al-Qaradhawy menilai bahwa adalah tidak <br />
mungkin syariat yang sederhana yang berbicara untuk seluruh ummat manusia membawa persoalan-<br />
persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh ummat. <br />
4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada <br />
nash yang berlaku umum dan tegas. karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik dari quran maupun sunnah <br />
datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun. <br />
Misalnya : "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian" (2:267). Kata "ma <br />
kasabtum" merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan atau pekerjaan <br />
dan profesi. Para ulama fikih berpegang pada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat <br />
perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai landasan zakat pencarian dan <br />
profesi. Bila para ulama fikih talah menetapkan setahun sebagai syarat wajib zakat perdagangan (maaf, zakat <br />
perdagangan tidak saya tayangkan dalam serial ini), karena antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan <br />
tidak dipisahkan, sementara laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji <br />
atau sebangsanya yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti. <br />
5. Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka yang tidak <br />
menjadikan satu tahun sebagai syarat harta penghasilan untuk wajib zakat, Qias yang benar juga <br />
mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim diqiaskan dengan <br />
kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. <br />
6. Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti membebaskan sekian banyak <br />
pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas pendapatan mereka yang besar, <br />
karena mereka itu akan menjadi dua golongan saja : yang menginvestasikan pendapatan mereka terlebih <br />
dahulu, dan yang berfoya-foya dan menghamburkan semua penghasilannya sehingga tidak mencapai masa <br />
wajib zakatnya. Itu berarti zakat hanya dibebankan pada orang-orang yang hemat saja, yang membelanjakan <br />
kekayaan seperlunya, yang mempunyai simpanan sehingga mencapai masa zakatnya. Hal ini jauh sekali dari <br />
maksud kedatangan syariat yang adil dan bijak, dimana hal ini justru memperingan beban orang-orang <br />
pemboros dan memperberat orang-orang yang hidup sederhana. <br />
7. Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang <br />
tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat islam mewajibkan zakat. Misalnya seorang petani menanam <br />
tanaman pada tanah sewaan (maaf lagi, zakat pertanian juga tidak bisa ditayangkan), hasilnya dikenakan zakat <br />
sebanyak 10% atau 5%, sedangkan pemilik tanah yang dalam satu jam kadang-kadang memperoleh beratus-<br />
ratus dinar berupa uang sewa tanah tersebut tidak dikenakan zakat berdasarkan fatwa-fatwa dalama mazhab-<br />
mazhab yang ada, dikarenakan adanya persyaratan setahun bagi penghasilan tersebut sedangkan jumlah itu <br />
jarang bisa terjadi di akhir tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur, advokat, pemilik mobil <br />
angkutan, pemilik hotel, dll. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang terlalu mengagungkan pendapat-<br />
pendapat fikih yang tidak terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para ulama. Kita tidak yakin bila <br />
mereka hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan `apa yang kita saksikan, apakah mereka akan meralat <br />
ijtihad mereka dalam banyak masalah. <br />
8. Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang-<br />
orang yang berhak lainnya. Ini akan menambah besar perbendaharaan zakat dan juga memudahkan Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________16 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
pemiliknya dalam mengeluarkan zakatnya. Cara yang dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan <br />
"Penahanan pada Sumber" sudah dipraktekan oleh Ibn Mas'ud, Mu'awiyah dan juga Umar bin Abdul Aziz <br />
yaitu dengan memotong gaji para tentara dan orang-orang yang di bawah kekuasaan negara saat itu. <br />
9. Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai <br />
kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim. Pembebasan <br />
jenis-jenis penghasilan yang berkembang sekarang ini dari zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti <br />
membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan rezeki <br />
pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan <br />
kemampuan berusaha. <br />
10. Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan lebih menguntungkan dari segi administrasi baik bagi <br />
orang yang mengeluarkan maupun pihak amil yang memungut zakat. Persyaratan satu tahun bagi zakat <br />
penghasilan, menyebabkan setiap orang harus menentukan jatuh tempo pengeluaran setiap jumlah <br />
kekayaannya yang diterimanya. Ini berarti bahwa seseorang Muslim bisa mempunyai berpuluh-puluh masa <br />
tempo masing-masing kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali dilakukan, <br />
dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang yang dengan demikian zakat tidak bisa <br />
terpungut dan sulit dilaksanakan (Nantikan pula posting "Cara Membayar Zakat"). <br />
<br />
Demikian alasan yang dikemukakan beliau. Kalau ada yang mau protes silahkan, tapi jangan ke saya lho. Bila <br />
ada yang setuju dengan pendapat Yusuf Al-Qaradhawy ini, maka silahkan mulai mengeluarkan zakat saat ini juga, <br />
baik dari stipend yang diperoleh, honor, dll. Mari ber Fastabikhul Khairat dalam berzakat. <br />
Pembahasan berikut ini adalah bagian akhir dari kaji kita mengenai zakat pencarian dan profesi, yaitu <br />
membahas ukuran nisab dan besarnya zakat serta cara pembayaran yang mungkin dilakukan oleh kita para <br />
professional. <br />
Penghasilan dari profesi itu sendiri tidaklah selalu mudah diperoleh seperti halnya para dokter, banyak pula <br />
diantaranya yang diperoleh dengan susah payah, misalnya penjahit, supir, dll, sehingga perlu diketahui pula nisab dan <br />
besar zakatnya. <br />
<br />
NISAB DAN BESARNYA ZAKAT PENCARIAN DAN PROFESI <br />
Seteleh menetapkan harta penghasilan dari pencarian dan profesi adalah wajib zakat, yusuf Al-Qaradhawy <br />
menjelaskan pula berapa besar nisab buat jenis harta ini, yaitu 85 GRAM EMAS seperti hal besarnya nisab uang <br />
(yang telah kita kaji sebelumnya). Demikian pula dengan besarnya zakat adalah seperempatpuluh (2.5%) sesuai <br />
dengan keumumman nash yang mewajibkan zakat uang sebesar itu. <br />
Maka tinggal satu persoalan lagi !!! <br />
Orang-orang yang memiliki profesi itu menerima pendapatan mereka tidak teratur, bisa setiap hari seperti <br />
dokter, atau pada saat-saat tertentu seperti seorang advokat, kontraktor dan penjahit, atau secara regular mingguan <br />
atau bulanan seperti kebanyakan para pegawai (seperti kita yang anggota korpri-)). <br />
Bila nisab di atas ditetapkan untuk setiap kali upah, gaji yang diterima, berarti kita akan membebaskan <br />
kebanyakan golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup nisab dari <br />
kewajiban zakat. Sedangkan bila seluruh gaji itu dalam satu waktu tertentu itu dikumpulkan akan cukup <br />
senisab bahkan akan mencapai beberapa nisab. <br />
Adapun waktu penyatuan dari penghasilan itu yang dimungkinkan dan dibenarkan oleh syariat itu adalah <br />
satu tahun. Dimana zakat dibayarkan setahun sekali. Fakta juga menunjukkan bahwa pemerintah mengatur gaji <br />
pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan per bulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. <br />
Jangan lupa bahwa yang diukur nisabnya adalah penghasilan bersih, yaitu penghasilan yang telah dikurangi Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________17 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
dengan kebutuhan biaya hidup terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut tanggungannya (lihat posting syarat <br />
harta yang wajib zakat), dan juga setelah dikurangi untuk pembayaran hutang (ini hutang bukan karena kredit barang <br />
mewah lho, tapi karena untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer seperti halnya bayar kredit rumah BTN, hutang <br />
nunggak bayaran sekolah anak, dll). <br />
Bila penghasilan bersih itu dikumpulkan dalam setahun atau kurang dalam setahun dan telah mencapai nisab, <br />
maka wajib zakat dikeluarkan 2.5% nya. Bila seseorang telah mengeluarkan zakatnya langsung ketika menerima <br />
penghasilan tsb (karena yakin dalam waktu setahun penghasilan bersihnya akan lebih dari senisab), maka tidak wajib <br />
lagi bagi dia mengeluarkannya di akhir tahun (karena akan berakibat double zakat). Selanjutnya orang tsb harus <br />
membayar zakat dari penghasilan tsb pada tahun kedua dalam bentuk kekayaan yang berbeda-beda. <br />
• Bila kelebihan itu disimpan dalam bentuk uang, emas dan perak, maka kaji kita akan kembali pada <br />
pembahasan mengenai zakat uang, emas dan perak. <br />
• Bila kelebihan itu diinvestasikan (pabrik, gedung, rumah yang disewakan, kendaraan yang disewakan, dll), <br />
kita perlu membahas zakat investasi. <br />
• Bila harta tsb selanjutnya diputar dalam perdagangan maka zakatnya dibahas dalam zakat perdagangan. <br />
• Bila dibelikan saham atau obligasi, maka zakatnya dibahas dalam zakat saham dan obligasi. <br />
• Bila dibelanjakan untuk sesuatu yang dipergunakan sehari-hari atau yang tidak mempunyai potensi <br />
berkembang, maka tidak ada kewajiban zakat lagi pada tempo yang kedua ini. <br />
Demikian saja yang bisa saya sarikan mengenai Zakat Pencarian dan Profesi. Berikut ini cara simple untuk <br />
kalkulasi yang bisa digunakan oleh Ikhwan sekalian. <br />
Penerimaan kotor selama setahun : A <br />
Kebutuhan pokok setahun : B <br />
Hutang-hutang yang dibayar dalam setahun : C <br />
Penghasilan bersih setahun : A-(B+C) = D <br />
Bila D > atau = dengan nilai 85 gram mas, maka wajib zakat yaitu 2.5% X D. <br />
Bila D < nilai 85 gram emas, maka tidak wajib zakat. <br />
Jadi bila kita yakin bahwa perkiraan besarnya D yang kita miliki dalam setahun adalah lebih besar dari 85 <br />
gram emas, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu mengeluarkan zakat langsung ketika diterima. Misalnya dari gaji <br />
bulanan diambil 2.5 % dari D/12 (karena perbulan). <br />
Bila disamping gaji bulanan kita memperoleh tambahan penghasilan lain dari profesi kita, misalnya bagi dosen <br />
universitas negeri yang juga mengajar di universitas swasta. Misalkan memperoleh sebesar E dalam setahun, maka <br />
zakatnya adalah 2.5 % x (D+E), karena seluruh kebutuhan B dan C sudah tercover sebelumnya yang menghasilkan <br />
D. <br />
Perlu diingat bahwa ini hanya zakat kita dari penghasilan pencarian dan profesi. Bentuk-bentuk kekayaan lain <br />
yang kita miliki seperti; peternakan, pertanian, investasi, emas dan perak, uang tabungan, saham, obligasi, <br />
perdagangan dll, juga harus dikeluarkan zakatnya dengan ukuran nisab dan besar zakat yang berbeda satu dengan <br />
lainnya. Dan saya mohon maaf karena tidak bisa membahas semua jenis kekayaan tsb. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________18 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
SASARAN ZAKAT <br />
<br />
Walaupun tidak begitu penting untuk diketahui oleh umumnya kita semua, apa sja sasaran-sasaran zakat <br />
menurut Qur'an, tapi saya akan mensarikan secara singkat untuk memperjelas hal-hal yang mungkin masih rancu di <br />
kalagan ummat Islam. Khususnya bagi Ikhwan yang terlibat atau akan melibatkan diri dalam masalah zakat ini pada <br />
unit-unit zakat di lingkungan kerja, tempat tinggal atau keluarga masing-masing, maka topik ini menjadi penting. <br />
Dapat dikatakan bahwa upaya mendistribusikan zakat adalah jauh lebih sulit dan kompliketed dari pada sekedar <br />
mengumpulkan. Dalam buku Yusuf Al-Qaradhawy topik ini tercakup dalam Bagian IV : Sasaran Zakat yang <br />
diuraikan lebih dari 220 halaman. <br />
Sebagaimana yang diterangkan dalam QS 9:60, sassaran zakat ada 8 golongan : fakir, miskin, amil zakat, <br />
golongan muallaf, memerdekakan budak belian, orang yang berutang, di jalan Allah, dan ibnu sabil. <br />
Sasaran zakat ini sangat penting dalam pandangan Islam, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa <br />
untuk menentukan sasaran zakat ini seakan-akan Allah tidak rela bila Rasulullah SAW menetapkannya sendiri, <br />
sehingga Allah SWT menurunkan ayat 9:60 tsb. <br />
<br />
FAKIR DAN MISKIN <br />
Siapakah yang disebut fakir dan miskin ? <br />
Terdapat beragam definisi mengenai kata fakir dan miskin, tapi secara umum fakir dan miskin itu adalah <br />
mereka yang kebutuhan pokoknya tidak tercukupi sedangkan mereka secara fisik tidak mampu bekerja atau tidak <br />
mampu memperoleh pekerjaan. <br />
Golongan ini dapat dikatakan sebagai inti sasaran zakat (Hadits: ... zakat yang diambil dari orang kaya dan <br />
diberikan kepada orang miskin). <br />
Selanjutnya kita dianjurkan pula untuk lebih memperhatikan orang-orang miskin yang menjaga diri dan <br />
memelihara kehormatan. Sesuai hadits: <br />
"Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap nasi, satu dua <br />
biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, <br />
dan merekapun tidak pergi meminta-minta pada orang" (Bukhari Muslim) <br />
Fakir miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan <br />
kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi <br />
yang tidak mampu lagi bekerja (orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat. <br />
Maka jelaslah bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi maksudnya ialah <br />
memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Allah sebagai khalifah di bumi, dan <br />
layak sebagai Muslim yang telah masuk ke dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat <br />
pilihan dari kalangan manusia. <br />
Tingkat hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan <br />
keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan <br />
keperluan-keperluan pokok lainnya baik untuk diri dan tanggungannya. <br />
Wah, tentunya banyak sekali harta zakat yang harus dikumpulkan, sementara ini ummat Islam, ambil contoh di <br />
Indonesia, masih sangat minim dalam menunaikan kewajiban ini. <br />
<br />
<br />
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________19 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
AMIL ZAKAT <br />
Amil merupakan sasaran berikutnya setelah fakir miskin (9:60). Amil adalah mereka yang melaksanakan <br />
segala kegiatan urusan zakat, dimana Allah menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan. <br />
Dimasukkannya amil sebagai asnaf menunjukkan bahwa zakat dalam islam bukanlah suatu tugas yang <br />
hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara). <br />
Zakat punya anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya. <br />
Syarat Amil (siapa tahu ada Isneter yang tertarik menjadi Amil Professional) : <br />
1. Seorang Muslim <br />
2. Seorang Mukallaf (dewasa dan sehat pikiran) <br />
3. Jujur <br />
4. Memahami Hukum Zakat <br />
5. Berkemampuan untuk melaksanakan tugas <br />
6. Bukan keluarga Nabi (sekarang sudah nggak ada nih) <br />
7. Laki-laki <br />
8. Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka (bukan hamba) <br />
<br />
Tugas Amil : <br />
Semua hal yang berhubungan dengan pengaturan zakat. Amil mengadakan sensus berkaitan dengan: <br />
1. orang yang wajib zakat, <br />
2. macam-macam zakat yang diwajibkan <br />
3. besar harta yang wajib dizakat <br />
4. Mengetahui para mustahik : <br />
- Jumlahnya <br />
- jumlah kebutuhan mereka dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka. <br />
<br />
Berapa besar bagian buat amil ini : <br />
Amil tetap diberi zakat walau ia kaya, karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya bukan <br />
berupa pertolongan bagi yang membutuhkan. Amil itu adalah pegawai, maka hendaklah diberi upah sesuai dengan <br />
pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga berlebihan. Pendapat yang terkuat yang diambil Yusuf Qardawy <br />
adalah pendapat Imam Syafi'i, yaitu maksimal sebesar 1/8 bagian. Kalau upah itu lebih besar dari bagian tersebut, <br />
haruslah diambilkan dari harta diluar zakat, misalnya oleh pemerintah dibayarkan dari sumber pendapatan pemerintah <br />
lainnya. <br />
<br />
GHARIMIN <br />
Gharimin dapat terbagi dua : <br />
A. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah <br />
dlsb). Termasuk didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah. <br />
Beberapa syarat gharimin ini : <br />
1. Hendaknya ia mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya. <br />
2. Orang tsb berhutang dalam melaksanakan ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan syariat. <br />
3. Hutangnya harus dibayar pada waktu itu. Apabila hutangnya diberi tenggang waktu dalam hal ini terdapat <br />
perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah orang yang berhutang ini dapat dikategorikan sebagai <br />
mustahik. Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________20 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
4. Kondisi hutang tsb berakibat sebagai beban yang sangat berat untuk dipikul. <br />
Berapa besar orang yang berhutang harus diberikan ? <br />
Orang yang berhutang karena kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan kebutuhannya. Yaitu untuk <br />
membayar lunas hutangnya. Apabila ternyata ia dibebaskan oleh yang memberi hutang, maka dia harus <br />
mengembalikan bagiannya itu. Karena ia sudah tidak memerlukan lagi (untuk membayar hutang). <br />
Sesungguhnya Islam dengan menutup utang orang yang berhutang berarti telah menempatkan dua tujuan <br />
utama : <br />
1. Mengurangi beban orang yang berutang dimana ia selalu menghadapi kebingungan di waktu malam dan <br />
kehinaan di waktu siang. <br />
2. Memerangi riba. <br />
<br />
B. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain. <br />
Umumnya hal ini dikaitkan dengan usaha untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, namun tidak ada <br />
dalil syara' yang mengkhususkan gharimin hanya pada usaha mendamaikan tsb. Oleh karenanya orang yang <br />
berhutang karena melayani kepentingan masyarakat hendaknya diberi bagian zakat untuk menutupi <br />
hutangnya, walaupun ia orang kaya. <br />
Jadi bagi kita yang mengambil kredit TV misalnya, tentunya tidak termasuk kaum gharimin yang menjadi <br />
sasaran zakat. Karena kita bukannya sengsara karena hutang, tapi justru menikmatinya. <br />
<br />
FISABILILLAH <br />
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai definisi "Fisabilillah" yang menjadi sasaran zakat <br />
dalam ayat 9:60. Apakah harus digunakan definisi dalam arti sempit yaitu "jihad", atau definisi dalam arti luas yaitu <br />
"segala bentuk kebaikan dijalan Allah". <br />
Kesepakatan Madzhab Empat tentang Sasaran Fisabilillah. <br />
1. Jihad secara pasti termasuk dalam ruang lingkup Fisabilillah. <br />
2. Disyariatkan menyerahkan zakat kepada pribadi Mujahid, berbeda dengan menyerahkan zakat untuk keperluan <br />
jihad dan persiapannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka. <br />
3. Tidak diperbolehkan menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan bersama, seperti <br />
mendirikan dam, jembatan, masjid dan sekolah, memperbaiki jalan, mengurus mayat dll. Biaya untuk urusan <br />
ini diserahkan pada kas baitul maal dari hasil pendapatan lain seperti harta fai, pajak, upeti, dlsb. <br />
Namun beberapa ulama lain telah meluaskan arti sabilillah ini seperti : Imam Qaffal, Mazhab Ja'fari, Mazhab <br />
Zaidi, Shadiq Hassan Khan, Ar Razi, Rasyid Ridha dan Syaltut, dll. <br />
Setelah mengkaji perbedaan-perbedaan pendapat ini, dan juga merujuk pengertian kata fisabilillah yang tertera <br />
dalam ayat-ayat Al Qur'an, maka sampailah Yusuf Qardhawi pada kesimpulan sbb : <br />
Pendapat yang dianggap kuat adalah, bahwa makna umum dari sabilillah itu tidak layak dimaksud dalam <br />
ayat ini, karena dengan keumumannya ini meluas pada aspek-aspek yang banyak sekali, tidak terbatas sasarannya <br />
dan apalagi terhadap orang-orangnya. Makna umum ini meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan, dan <br />
sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi : "Sesungguhnya Allah tidak meridhoi hukum Nabi dan hukum lain dalam <br />
masalah sedekah, sehingga Ia menetapkan hukumnya dan membaginya pada delapan bagian". <br />
Seperti halnya sabilillah dengan arti yang umum itu akan meliputi pemberian pada orang-orang fakir, miskin <br />
dan asnaf-asnaf lain, karena itu semua termasuk kebajikan dan ketaatan kepada Allah. Kalau demikian apa Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________21 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
sesungguhnya perbedaan antara sasaran ini dengan sasaran sesudah dan yang sebelumnya ? Sesungguhnya <br />
Kalamullah yang sempurna dan mu'jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya. karenanya pasti <br />
yang dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari sasaran-sasaran lain. <br />
Makna yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan menegakkan kalimat Islam <br />
dimuka bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat allah termasuk sabilillah, <br />
bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya. <br />
Kemudian Yusuf Al-Qaradhawy memperluas arti Jihad ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan <br />
pertempuran dengan senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati <br />
dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam. Contoh : "Mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu <br />
adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri, dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak <br />
dimasukkan dalam ruang lingkup JIHAD. Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan merupakan <br />
masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad <br />
yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran Islam yang murni, mendidik anak-anak <br />
kaum Muslimin dan memeliharanya dari pencangkokan kehancuran fikiran dan akhlaq, serta menjaganya dari <br />
racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang <br />
disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan. <br />
Sebaliknya tidak semua peperangan termasuk kategori sabilillah, yaitu peperangan yang ditujukan untuk selain <br />
membela agama Allah, seperti halnya perang yang sekedar membela kesukuan, kebangasaan, atau membela <br />
kedudukan. <br />
Kemana dipergunakan Bagian Sabilillah di zaman sekarang ? <br />
- Membebaskan Negara Islam dari hukum orang kafir <br />
- Bekerja mengembalikan Hukum Islam termasuk Jihad Fisabi-lillah, diantaranya melalui pendirian pusat <br />
kegiatan Islam yang mendidik pemuda Muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah dari <br />
kekufuran dan mempersiapkan diri untuk membela Islam dari musuh-musuhnya. Mendirikan percetakan surat <br />
khabar untuk menandingi berita-berita yang merusak dan menyesatkan ummat. Dll. <br />
Demikian saja yang dapat dibahas dari 8 golongan sasaran zakat. Berikut ini adalah kesimpulan dari <br />
pembahasan mengenai persoalan distribusi zakat yang diperoleh, apakah harus dibagi sama rata ke 8 golongan tsb, <br />
atau bisa ada kebijakan lain. Setelah mendalami perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini, <br />
akhirnya Yusuf Al-Qaradhawy berkesimpulan sbb: <br />
1. Harta zakat yang terkumpul mestilah dibagikan pada semua mustahik, apabila harta itu banyak dan semua <br />
sasaran ada, kebutuhannya sama atau hampir sama. Tidak boleh ada satu sasaranpun yang boleh dihalangi <br />
untuk mendapatkan, apabila itu merupakan haknya serta benar-benar dibutuhkan. Dan ini hanya berlaku bagi <br />
Imam atau Hakim agama yang mengumpulkan zakat dan membagikannya pada mustahik. <br />
2. Ketika diperkirakan ada dalam kenyataannya semua (delapan) mustahik itu, maka tidak wajib <br />
mempersamakan antara semua sasaran dalam pemberiannya. Itu semua hanya tergantung pada jumlah dan <br />
pada kebutuhannya. Sebab terkadang ada pada suatu daerah seribu orang fakir, sementara dari orang yang <br />
berhutang atau ibnu sabil hanya sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin pembagian untuk sepuluh orang <br />
harus sama dengan orang yang seribu ? Karenanya kita melihat, yang paling tepat dalam masalah ini adalah <br />
pendapat Imam Malik dan yang sebelumnya, yaitu Ibnu Syihab, yang mendahulukan sasaran yang paling <br />
banyak jumlahnya dan kebutuhannya dengan bagian yang besar. <br />
3. Diperbolehkan memberikan semua zakat, tertuju pada sebagian sasaran tertentu saja, untuk mewujudkan <br />
kemaslahatan yang sesuai dengan syara' - yang meminta pengkhususan itu - sebagaimana halnya ketika ia <br />
memberikan zakat kepada salah satu sasaran saja, iapun tidak diwajibkan menyamaratakan pemberian itu pada <br />
individu yang diberinya. Akan tetapi boleh melebihkan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan <br />
kebutuhan. Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________22 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
4. Hendaknya golongan fakir dan miskin adalah sasaran pertama yang harus menerima zakat, karena memberi <br />
kecukupan kepada mereka, merupakan tujuan utama dari zakat, sehingga Rasulullah saw tidak menerangkan <br />
dalam hadis Muadz dan juga hadis lain selain sasaran ini: " Zakat itu diambil dari orang yang kaya dan <br />
diberikan pada orang fakir". Hal ini dikarenakan sasaran ini membutuhkan perhatian yang khusus. Tidak <br />
dibenarkan misalnya seseorang hakim mengambil harta zakat kemudian dibelanjakan untuk tentara, dan <br />
membiarkan golongan yang lemah yang membutuhkan dari golongan fakir miskin. <br />
5. Hendaknya mengambil pendapat madzhab Syafii dalam menentukan batas yang paling tinggi yang diberikan <br />
kepada petugas yang menerima dan membagikan zakat itu, yaitu 1/8 dari hasil zakat, tidak boleh lebih dari <br />
itu. <br />
6. Apabila harta zakat itu sedikit, seperti harta perorangan yang tidak begitu besar, maka dalam keadaan demikian <br />
itu zakat diberikan pada satu sasaran saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh an-Nakha'i dan Abu Tsaur, <br />
bahkan diberikan pada satu individu, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hanifah, agar pemberian itu dapat <br />
mencukupi kebutuhan si mustahik. Karena membagikannya harta yang sedikit, untuk sasaran yang banyak <br />
atau orang yang banyak dari satu sasaran, sama dengan menghilangkan kegunaan yang diharapkan dari zakat <br />
itu sendiri. Hal ini lebih baik daripada memberi kepada orang banyak, masing-masing beberapa dirham. <br />
Pemberian itu tidak menyembuhkan dan tidak mencukupi. <br />
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________23 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
<br />
CARA MEMBAYAR ZAKAT <br />
<br />
Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam pembayaran zakat, maka pada Bagian V, Yusuf Al-Qaradhawy <br />
membahas secara khusus Cara Membayar Zakat yang mencakup bab-bab : <br />
1. Hubungan pemerintah dengan zakat <br />
2. Kedudukan niat dengan zakat <br />
3. Menyerahkan harga zakat (bukan barangnya seperti halnya zakat fitrah) <br />
4. Memindahkan zakat ke tempat bukan zakat tersebut dikumpulkan <br />
5. Mempercepat mengeluarkan zakat dan mengakhirkan <br />
6. Pembahasan lain di sekitar pembayaran zakat. <br />
<br />
HUBUNGAN PEMERINTAH DENGAN ZAKAT <br />
Hubungan pemerintah dengan zakat sangatlah erat, karena berdasarkan yang telah dicontohkan Rasulullah <br />
SAW bahwa pemerintah mempunyai otoritas untuk memungut dan mendistribusikan zakat dikalangan ummat Islam. <br />
Banyak para shahabat yang mendapat tugas khusus dari Rasulullah sebagai petugas zakat untuk tiap-tiap kaum dan <br />
suku bangsa yang telah masuk Islam, yaitu petugas yang memungut zakat dari orang kaya dan mendistribusikannya <br />
kepada mustahiknya. Demikian pula halnya dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin. <br />
Atas dasar ini para ulama berpendapat : Wajib bagi pemerintah untuk menugaskan petugas zakat ini, karena di <br />
antara manusia itu ada yang memiliki harta akan tetapi tidak mengetahui apa yang wajib baginya; ada pula yang kikir <br />
sehingga wajib diutus orang untuk mengambil zakat daripadanya. Adapun petugas tersebut hendaklah petugas yang <br />
Muslim dan yang dijamin tidak akan berbuat zalim terhadap harta zakat yang dikumpulkan. Masyarakat <br />
berkewajiban membantu para penguasa dalam melancarkan urusan ini, dalam rangka memperkokoh bangunan Islam <br />
dan memperkuat baitul-maal kaum Muslimin. <br />
Adapun rahasia di balik itu semua adalah sbb : <br />
1. Agar dapat terciptanya jaminan bagi si fakir akan haknya untuk tidak diabaikan begitu saja oleh orang kaya. <br />
2. Si fakir meminta kepada pemerintah, bukan dari pribadi-orang kaya, untuk memelihara kehormatan mereka, <br />
serta memelihara perasaan dan tidak melukai hatinya dari gunjingan dan kata-kata yang menyakitkan. <br />
3. Dengan tidak memberikan urusan ini pada pribadi-pribadi lebih memungkinkan distribusi zakat yang lebih <br />
tepat, tidak terkonsentrasi pada sebagian fakir miskin sedangkan sebagian lain terlantarkan. <br />
4. Ada beberapa sasaran zakat yang berhubungan dengan kemaslahatan kaum Muslimin bersama, sehingga baik <br />
pengumpulannya maupun pendistribusiannya tidak bisa dilakukan secara perorangan. Misalnya dalam <br />
mengorganisasikan jihad fi sabilillah, mempersiapkan para da'i untuk menyampaikan risalah Islam, dll. <br />
5. Sesungguhnya Islam adalah agama dan pemerintahan. Untuk tegaknya pemerintahan ini dibutuhkan harta <br />
yang dengan itu dilaksanakan syariat. <br />
Baitul-mal Zakat <br />
Dikarenakan zakat mempunyai aturan khusus, penghasilan dan pengeluaran serta sasaran yang tertentu, maka <br />
walaupun dikelola oleh pemerintah, mekanisme zakat ini tidak boleh disatukan dengan program pemerintah <br />
lainnya yang bersifat umum. Oleh karenanya kaum Muslimin sejak dulu membutuhkan baitul mal khusus untuk <br />
zakat, disamping adanya baitul-mal lainnya yaitu : baitul-mal pajak dan upeti; baitul-mal untuk ghanimah dan rikaz; <br />
dan baitul-mal untuk barang yang tidak bertuan. <br />
Para fuqaha telah membagi harta yang wajib zakat atas : harta zahir dan harta batin. Harta zahir adalah harta <br />
yang dimungkinkan orang lain mengetahui secara persis seperti; peternakan, pertanian. Sedangkan harta batin adalah Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________24 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
sebaliknya yang hanya dapat diketahui oleh pemiliknya, seperti simpanan uang, dll. <br />
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama, mengenai apakah zakat dari kedua jenis harta ini harus <br />
diserahkan kepada pemerintah. Ada yang mengatakan harus keduanya, tapi ada yang mengatakan cukup zakat harta <br />
zahir saja, sedangkan zakat harta batin diserahkan kepada individu untuk mendistribusikannya secara langsung. <br />
Pendapat pertama merujuk apa yang dilakukan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, sedangkan pendapat kedua meruju <br />
apa yang dilakukan oleh Usman bin Affan, dimana saat itu harta kaum Muslimin telah bertambah banyak dan ia <br />
melihat kemaslahatan untuk menyerahkan pengeluaran zakat harta batin itu kepada pemiliknya, berdasarkan ijma' <br />
sahabat, sehingga masing-masing pemilik harta tsb seolah-olah menjadi wakil dari penguasa. <br />
Diantara perbedaan pendapat yang ada dikalangan ulama maupun mazhab yang ada, Yusuf Qardhawi <br />
menarik benang merah dalam dua point yaitu : <br />
1. Bahwa di antara hak penguasa adalah menuntut rakyatnya untuk mengeluarkan zakat, dalam harta apapun <br />
juga, baik harta zahir maupun harta batin, dan terutama bila si penguasa mengetahui keadaan rakyat negaranya <br />
bermalas-malasan dalam mengeluarkan zakat, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah. <br />
Perbedaan pendapat di atas muncul pada kondisi si penguasa tidak memintanya. Adapun jika si penguasa <br />
meminta, maka zakat harus diserahkan, berdasarkan ijma' ulama. <br />
2. Apabila Imam atau penguasa membiarkan urusan zakat dan tidak memintanya, maka tidaklah gugur <br />
tanggungjawab zakat dari pemilik harta. Ini adalah masalah yang qath'i/pasti, yang tidak ada perbedaan <br />
pendapat di dalamnya. Wajib bagi si pemilik harta untuk mengeluarkan sendiri kepada mustahiknya, karena <br />
zakat merupakan ibadah dan kewajiban agama yang bersifat pasti. <br />
Dari sini jelaslah bahwa yang menjadi pokok, adalah : penguasa itulah yang mengumpulkan zakat harta, baik <br />
harta zahir maupun batin. Adapun bila terasa sulit mengumpulkan harta batin, maka itu dapat diberikan kebebasan <br />
kepada si pemilik untuk mengeluarkan zakatnya sendiri. Namun apabila rakyat tidak melaksanakan kewajibannya, <br />
maka hendaklah penguasa sendirilah yang mengumpulkan, sebagaimana pada asalnya. <br />
Beberapa ulama modern dalam masalah perzakatan cenderung untuk mengandalkan peranan pemerintah dalam <br />
pengumpulan zakat dikarenakan dewasa ini : <br />
1. Telah banyak orang yang meninggalkan kewajiban zakat atas semua jenis hartanya, baik yang zahir maupun <br />
yang batin. Hendaklah para penguasa mengambilnya secara paksa. <br />
2. Secara umum jenis-jenis harta yang ada sekarang ini adalah harta zahir, yang bisa diketahui oleh orang lain <br />
selain pemiliknya sendiri (misalnya simpanan di Bank sudah dapat diketahui pihak lain dengan mudah). <br />
Dengan metode Qias terhadap suatu hal yang pernah dilakukan Rasulullah, Yusuf Al-Qaradhawy berpendapat <br />
ada baiknya bila ketentuan zakat sebesar 1/4 atau 1/3 bagiannya diserahkan atas kesadaran pemilik harta untuk <br />
membagikannya sendiri berdasarkan sepengetahuan dan pilihan mereka baik untuk kalangan kerabat maupun <br />
tetangga yang tersembunyi. <br />
Adapun penguasa yang diperbolehkan memungut zakat adalah penguasa yang beragama Islam, yang beriman <br />
dan berpegang teguh kepada ajaran Islam yang mereka rela Islam sebagai suatu hukum, dan bahkan mereka berjihad <br />
di dalamnya. <br />
Selanjutnya terdapat pula perbedaan untuk pemerintahan Islam yang adil dan yang zhalim. Jika pemerintahan <br />
Islam itu berlaku zalim, maka ada yang tetap membolehkan secara mutlaq, ada yang melarang secara mutlaq, dan ada <br />
yang melihat sejauh mana tingkat kezalimannya. <br />
Setelah membandingkan berbagai pendapat tsb, Yusuf Al-Qaradhawy mengambil pendapat terkuat, bahwa <br />
adalah sah menyerahkan kepada penguasa zalim, apabila mereka mengambilnya sesuai dengan persyaratan zakat. Si <br />
Muslim tidak diperintahkan untuk mengeluarkannya kembali dalam bentuk apapun, kecuali si penguasa <br />
mengambilnya bukan dengan nama zakat. <br />
Yusuf Al-Qaradhawy memilih untuk menyerahkan zakat pada penguasa jika si penguasa masih Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________25 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
menyampaikan pada mustahiknya dan mengeluarkannya tepat pada sasaran yang sesuai dengan perintah syara', <br />
walaupun ia berlaku zalim dalam urusan-urusan lain. Apabila ia tidak menempatkan zakat tepat pada sasarannya, <br />
maka janganlah diserahkan padanya, kecuali kalau ia meminta, maka tidak diperkenankan menolaknya, berdasarkan <br />
hadits-hadits dan fatwa-fatwa sahabat yang mengungkapkan penyerahan zakat pada penguasa, walaupun mereka <br />
zalim. <br />
Sekian dulu Ikhwan sekalian. Perlukah kita mengutarakan niat kita setiap membayar zakat ? Bolehkah zakat <br />
kita dihargakan ? dan bolehkah zakat kita dikirimkan ke tempat lain sementara sekeliling kita masih ada yang <br />
membutuhkan ? Saksikanlah pentayangan berikutnya, Insya Allah. <br />
<br />
KEDUDUKAN NIAT DALAM ZAKAT <br />
Niat adalah yang membedakan antara ibadah dan pengabdian dengan yang lain. Dengan demikian niat <br />
disyaratkan dalam membayar zakat. Yang dimaksudkan disini adalah si muzakki (pembayar zakat) meyakini <br />
bahwa apa yang dikeluarkan tersebut adalah zakat hartanya, atau zakat harta orang yang dikeluarkan melalui <br />
dia (seperti harta anak yatim dan harta orang gila). Tempat niat adalah hati; karena tempat semua yang diitikadkan <br />
itu adalah hati. <br />
Seandainya ada penguasa yang mengambil harta seseorang secara paksa dengan niat untuk mengambil <br />
zakatnya (yang memang dibenarkan secara hukum) tapi seseorang (yang memang enggan membayar) tidak <br />
meniatkan bahwa harta yang telah diambil itu adalah zakat, maka secara perundangan zakat, kewajiban zakat orang <br />
tsb telah gugur dalam artian dia tidak diwajibkan lagi berzakat, tapi dari segi pahala disisi Allah, orang tsb tidak <br />
mendapatkan apa-apa. <br />
Kapankah kita meniatkan zakat harta kita, apakah pada saat kita memisahkan harta untuk zakat, atau pada <br />
saat memberikannya kepada mustahik. Para ulama berbeda pendapat disini dimana ada pula yang mengharuskan <br />
kedua-duanya. Namun Yusuf Al-Qaradhawy menyokong pendapat yang tidak mempersulit yaitu cukuplah bagi si <br />
Muslim berniat secara umum saja pada waktu memisahkan zakat dari hartanya, sehingga tidak perlu lagi bagi dia <br />
meniatkan setiap kali dia memberikan kepada setiap mustahik yang menerima zakatnya. <br />
<br />
MENYERAHKAN HARGA ZAKAT <br />
Apakah boleh kita menghargakan zakat kita ? Karena Rasulullah memerintahkan untuk mengambil biji-<br />
bijian dari biji-bijian, unta dari unta, selain itu dikhawatirkan harga yang digunakan tidak memihak kepada hak fakir <br />
miskin. Sebagian ulama mengatakan bahwa zakat harus diserahkan sesuai dengan bentuk hartanya namun ulama lain <br />
memperbolehkan zakat tersebut dihargakan, seperti yang pernah dilakukan sahabat. <br />
Setelah mengkaji kemaslahatannya, Yusuf Al-Qaradhawy akhirnya menyokong pendapat yang <br />
memperbolehkan, yaitu dengan syarat bahwa adalah terlarang mengeluarkan harga zakat tanpa ada kebutuhan dan <br />
tanpa ada kemaslahatan yang jelas (untuk semua pihak baik sipemberi, amil, maupun mustahik). <br />
<br />
MEMINDAHKAN ZAKAT KE TEMPAT BUKAN PENGHASIL ZAKAT <br />
Sebagaimana Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin contohkan, yaitu dengan mengutus petugas-petugas zakat <br />
ke setiap daerah/negeri, untuk memungut zakat dari orang-orang kaya dan memberikannya kepada yang miskin di <br />
antara mereka, maka hendaklah zakat itu didistribusikan pada tempat dimana zakat tersebut dikumpulkan. <br />
Pemindahan zakat dari suatu daerah ke daerah lain, dalam keadaan penduduk di daerah asal masih membutuhkannya, <br />
adalah menodai hikmat zakat yang diwajibkan karenanya. Setiap kaum lebih berhak terhadap zakatnya, sehingga <br />
mereka berkecukupan dengannya. <br />
Dalam hal ini ulama bersepakat, bahwa zakat itu harus dibagikan di daerah dimana zakat itu dikumpulkan. <br />
Jika penduduk setempat tidak lagi membutuhkan zakat, maka zakat itu boleh dipindahkan ke penduduk lain. Namun Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________26 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
demikian dalam kondisi tertentu, untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih baik, penguasa yang adil atau <br />
berdasarkan hasil musyawarah, diperbolehkan memindahkan zakat ke tempat lain yang lebih membutuhkan, <br />
walaupun di daerah asal masih membutuhkannya. <br />
Demikian pula seorang Muslim, apabila ia mengeluarkan sendiri zakatnya, ia diperbolehkan pula untuk <br />
mengirimkan zakatnya ke tempat lain karena adanya kemaslahatan yang dianggap kuat (misalnya dikirimkan kepada <br />
kerabatnya di kampung). <br />
<br />
MEMPERCEPAT MENGELUARKAN ZAKAT DAN MENGAKHIRKANNYA <br />
Bersegera dalam mengeluarkan zakat adalah suatu kebaikan yang sesuai pula dengan perintah Allah: <br />
"Bersegeralah kamu sekalian pada amal perbuatan yang akan menyebabkan kamu mendapat ampunan dari Tuhanmu <br />
dan syurga" (3:133). Apalagi dikuatirkan kewajiban zakat ini akan dikalahkan oleh sifat kikir dan hawa nafsu. <br />
Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa harta zakat itu terbagi dua; yang disyaratkan setahun, dan <br />
yang dikeluarkan pada saat diterima. Untuk yang terakhir, jelas kiranya, zakat dikeluarkan sesegera mungkin. Tapi <br />
apakah demikian pula untuk jenis harta yang pertama, seperti peternakan, emas, perak, dll? <br />
Sebagian besar fuqaha berpendapat untuk jenis harta yang pertama sbb: apabila telah terdapat sebab wajib <br />
zakat, yaitu nisab yang sempurna, maka boleh mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum datang waktu setahun, <br />
bahkan diperbolehkan mendahulukan untuk masa dua tahun atau lebih. <br />
Adapun mengakhirkan zakat adalah tidak boleh, kecuali ada kemaslahatan yang ingin dicapai, misalnya <br />
karena menunggu orang yang lebih membutuhkan, atau menunggu kerabat yang membutuhkan, atau jumlah yang <br />
dikeluarkan masih sedikit sehingga tidak akan bermanfaat banyak bagi mustahik, dll. Akan tetapi dia bertanggung <br />
jawab apabila hartanya rusak atau hilang dalam masa menunggu tsb. <br />
Selanjutnya kewajiban tidak gugur bila terlewat satu tahun atau beberapa tahun (tidak ada pemutihan zakat). <br />
Demikian pula zakat tidak gugur dengan sebab matinya si pemilik harta. Karena zakat bukanlah ibadah badan, tapi <br />
ibadah harta yang terkait dengan hak orang lain. <br />
<br />
BERBAGAI PEMBAHASAN DI SEKITAR PEMBAYARAN ZAKAT <br />
Apakah boleh mewakilkan dalam mengeluarkan zakat ? <br />
Boleh. Namun demikian hendaklah tidak mewakilkannya pada orang yang bukan Muslim, kecuali karena <br />
sesuatu kebutuhan, dengan syarat orang itu terpercaya dan dapat menyampaikan sesuai dengan kehendak <br />
orang yang mewakilkan. <br />
Menampakkan zakat ketika mengeluarkan ? <br />
Yang utama dalam berzakat adalah menampakkannya pada waktu mengeluarkan, agar dilihat dan diikuti orang <br />
dan agar tidak ada penilaian buruk atas orang itu. Ini termasuk syiar islam. Seperti halnya shalat fardhu <br />
yang disunatkan menampakkannya, dan sesungguhnya yang disunatkan menyembunyikannya itu adalah shalat <br />
sunnat dan puasa sunat, juga sedekah sunat tentunya. <br />
Apakah si Fakir perlu diberitahu bahwa pemberian itu adalah zakat ? <br />
Tidak harus memberitahukan kepada si fakir ketika menyerahkan zakat atau sesudahnya, karena mungkin akan <br />
menyakiti hatinya. <br />
. Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________27 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
<br />
KEWAJIBAN LAIN DI LUAR ZAKAT <br />
<br />
Berikut ini secara sangat ringkas disarikan Bagian VIII dari buku Fikih Zakat karya Yusuf Al-Qaradhawy. <br />
Bab inilah yang akhirnya menyimpulkan bahwa zakat itu hanya kewajiban minimal dari harta seorang Muslim, atau <br />
menurut Ustadz Didin Hafidhuddin (penterjemah buku ini) zakat adalah batas kekikiran seorang muslim. <br />
Sehingga adalah salah kaprah bila dikatakan orang yang berzakat adalah orang yang dermawan, karena <br />
sesungguhnya dia baru terlepas dari batas kekikirannya <br />
Umumnya para ahli fikih berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban atas harta. Barangsiapa <br />
telah berzakat, maka bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya. Dan ia pun tidak punya kewajiban lagi, bila <br />
zakat tekah ditunaikan, kecuali sedekah sunat. Inilah pendapat yang termasyhur di kalangan para ahli fikih periode <br />
muta'akhirin. <br />
Namun demikian golongan lainnya sejak zaman sahabat sampai masa tabi'in berpendapat bahwa dalam harta <br />
ada kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Pendapat tsb datang dari Umar, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu <br />
Hurairah, dll shahabat dan para tabiin. <br />
Dalil-dalil yang mereka gunakan antara lain : <br />
1. QS 2:177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tenang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan <br />
mensejajarkan : *** (a) pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, <br />
orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya,*** dengan (b) Iman kepada Allah, hari <br />
kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dll. <br />
Point-point dalam group (a) di atas : (1) bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang fardhu, <br />
karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu dan (2) bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan <br />
tersendiri juga. <br />
2. Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib <br />
karena perintah itu dikaitkan dengan iman, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah. <br />
3. Ayat Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan, <br />
seperti halnya dalam surat Al Maun, dimana Allah mangaggap celaka bagi orang enggan menolong dengan <br />
barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat ria (yang dalam beberapa hadits selanjutnya <br />
diterangkan Al'Maun tsb walaupun hanya berupa timba, dandang, atau kampak). <br />
4. Dll. <br />
Yusuf Al-Qaradhawy sendiri termasuk orang yang menegaskan bahwa masih ada kewajiban lain terhadap <br />
harta kita diluar zakat. Hal mana dibutuhkan untuk merealisasikan sifat sayang-menyayangi, tolong-menolong, <br />
setia kawan, dan berbuat baik yang diperintahkan oleh Quran dan Hadits. Agar warga masyarakat dapat memperoleh <br />
tingkat hidup yang layak. <br />
Apabila hasil zakat dan pendapatan negara lainnya mencukupi untuk menutupi kebutuhan mereka, maka Allah <br />
SWT tidak menuntut hak yang lain dari orang Mu'min untuk para fakir miskin. Tetapi apabila itu tidak mencukupi, <br />
maka wajib kepada mereka yang kaya untuk menjamin kebutuhan mereka, baik dalam hubungan kerabat dekat, <br />
tetangga dan hubungan-hubungan lainnya. Apabila sebagian mereka telah menunaikan kewajiban ini atas dorongan <br />
iman mereka, maka gugurlah dosa dari yang lain (Jadi dapat diartikan sebagai fardhu kifayah). Tapi kalau kewajiban <br />
ini tidak tertunaikan, maka pemerintah atas nama Islam diwajibkan turun tangan untuk menanggulangi keperluan <br />
fakir miskin ini yang diminta dari mereka yang kaya. <br />
<br />
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________28 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
<br />
ZAKAT DAN PAJAK <br />
Zakat dan pajak, meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya <br />
mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta <br />
kadarnya, disamping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Sesungguhnya ummat Islam dapat <br />
melihat bahwa zakat tetap menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan hasil pemikiran keuangan dan <br />
perpajakan zaman modern, baik dari segi prinsip maupun hukum-hukumnya. <br />
Untuk Bagian terakhir ini Yusuf Al-Qaradhawy menjelaskan sangat detil dalam 8 bab : <br />
1. Hakekat pajak dan zakat <br />
2. Asas teori kewajiban pajak dan zakat <br />
3. Objek pajak dan zakat <br />
4. Prinsip keadilan pajak dan zakat <br />
5. Tarip tetap dan bertingkat pada pajak dan zakat <br />
6. Jaminan pajak dan zakat <br />
7. Pelaksanaan pajak disamping zakat <br />
8. Apakah membayar pajak mencakup kewajiban zakat <br />
<br />
HAKIKAT PAJAK DAN ZAKAT <br />
Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai <br />
dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-<br />
pengeluaran umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain <br />
yang ingin dicapai negara. <br />
Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi <br />
mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat <br />
Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya. <br />
Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak : <br />
1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan <br />
2. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat) <br />
3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi. <br />
4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan. <br />
<br />
Adapun segi perbedaannya : <br />
1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat : suci, tumbuh. Pajak <br />
(dharaba) : upeti. <br />
<br />
2. Mengenai hakikat dan tujuannya <br />
Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah. <br />
<br />
3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya. <br />
Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi <br />
oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah. <br />
<br />
4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya <br />
Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah. <br />
<br />
5. Mengenai pengeluarannya Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________29 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara. <br />
<br />
6. Hubungannya dengan penguasa <br />
Hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan <br />
Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri. <br />
<br />
7. Maksud dan tujuan <br />
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. <br />
<br />
Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa "zakat adalah ibadat dan pajak sekaligus". Karena <br />
sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara <br />
memintanya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk <br />
membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat. <br />
Apa yang coba diterangkan dalam masalah perpajakan dewasa ini telah dilaksanakan Islam jauh sebelumnya. <br />
Inilah syariat yang berasal dari Pembuat Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku <br />
Yusuf Al-Qaradhawy yang mengupas hal tsb. <br />
<br />
PRINSIP KEADILAN ANTARA PAJAK DAN ZAKAT <br />
Para ahli ekonomi keuangan menyerukan agar dalam masalah perpajakan hendaknt tetap memegang prinsip <br />
dan kaedah yang dapat menghalangi timbulnya penipuan dan kecurangan sehingga menepati prinsip keadilan, <br />
disamping itu dapat mencapai sasaran yang tepat dengan tidak memberatkan pihak wajib pajak disatu segi dan pihak <br />
pelaksana administrasi keuangan di sisi lain. Hal ini ternyata sudah diterapkan Islam dalam mekanisme zakat jauh <br />
sebelumnya. <br />
Dikenal empat prinsip yang mesti diperhatikan dalam soal perpajakan, yaitu : keadilan, kepastian, kelayakan <br />
dan ekonomis. <br />
Tentang Keadilan <br />
Ini merupakan prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak yang dikenakan pada masyarakat. <br />
Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, dimana Islam menuntutnya dalam segala hal. Prinsip keadilan ini dijumpai <br />
pada : <br />
1. Sama rata dalam kewajiban zakat <br />
Setiap Muslim yang mempunyai satu nisab zakat adalah wajib zakat tanpa memandang bangsa, warna kulit, <br />
keturunan atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang diperintah, pemimpin <br />
agama, pemimpin negara, semua sama. <br />
2. Membebaskan harta yang kurang dari nisab <br />
3. Larangan berzakat dua kali <br />
Banyak hadits yang menerangkan larangan ini. Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama : "Larangan <br />
Pajak Double". <br />
4. Besar zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan. <br />
Semakin mudah memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada yang 10% dan 5%. <br />
Prinsip ini masih belum begitu dihiraukan oleh para ahli keuangan. <br />
5. Memperhatikan kondisi dalam pembayaran <br />
Dengan juga memperhatikan besarnya pendapatan, beban keluarga, hutang-hutang yang dimiliki, dipungut <br />
dari pendapatan bersih, dll. Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________30 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
6. Keadilan dalam praktek <br />
Islam memberikan perhatian istimewa dan hati-hati terhadap pelaksana pemungut zakat (amil), yaitu dengan <br />
persyaratan yang tinggi untuk menjadi amil, dan posisi yang mulia bagi mereka, seperti hadits sbb : "Orang <br />
yang bekerja memungut sedekah dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah" (Hadits <br />
shahih). <br />
<br />
Tentang Kepastian <br />
Pengetahuan para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah pasti, tak boleh ada keraguan <br />
sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak apapun sangat membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam <br />
distribusi beban pajak. Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Dalam mekanisme zakat <br />
tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas. <br />
Tentang Kelayakan <br />
Kesimpulan prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku sopan terhadap mereka, sehingga <br />
dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang <br />
kurang baik. <br />
Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian seperti halnya : <br />
* Perintah untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan melarang memungut yang <br />
terbaik, misalnya ternak. <br />
* Nabi menyuuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman dan buah-buahan. <br />
* Bolehnya menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi, misalnya ketika terjadi wabah <br />
kelaparan. <br />
* Dll. <br />
Tentang Faktor Ekonomis <br />
Yang dimaksudkan disini adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak dan menjauhi berbagai <br />
pemborosan. Jangan sampai bagian besar dari pajak yang terkumpul hanya habis terserap oleh petugas pajak. <br />
Islam sangat melarang pemborosan kepada harta pribadi seseorang, apalagi terhadap harta kepunyaan umum <br />
terutama lagi terhadap harta zakat. Diceritakan, bagaimana para petugas zakat berangkat untk mengumpulkan zakat, <br />
yang lalu dibagikan kepada yang berhak, sehingga ketika mereka pulang pun mereka tidak membawa apa-apa lagi. <br />
Jatah untuk para amilpun di batasi (maksimal 1/8 bagian). <br />
<br />
APAKAH PAJAK DIWAJIBKAN DI SAMPING ZAKAT ? <br />
Apabila Islam telah mewajibkan zakat sebagai hak yang dimaklumi atas harta kaum Muslimin dan <br />
menjadikannya sebagai pajak yang dikelola oleh pemerintah Islam, maka bolehkah pemerintah Islam mewajibkan <br />
kepada orang kaya pajak-pajak lain disamping zakat untuk melaksanakan kepentingan ummat dan menutupi <br />
pembiayaan umum negara ? Jawabnya boleh tapi dengan syarat. <br />
Dalil-dalil yang memperbolehkan adanya kewajiban pajak disamping zakat <br />
1. Karena jaminan/solidaritas sosial merupakan suatu kewajiban. Hal ini sudah kita kupas pada bagian yang <br />
membahas adanya kewajiban lain di luar zakat. <br />
2. Sasaran zakat itu terbatas sedangkan pembiayaan negara itu banyak sekali. <br />
Zakat harus digunakan pada sasaran yang ditentukan oleh syariah dan menempati fungsinya yang utama dalam <br />
menegakkan solidaritas sosial. Zakat tidak digunakan untuk pembangunan jalan, jembatan dll. Bila Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________31 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
pemerintahan Islam dulu memperoleh pemasukan dari Kharaj (rampasan perang) untuk membiayai keperluan-<br />
keperluan tsb, maka untuk saat ini Yusuf Al-Qaradhawy menyokong pendapat para ulama yang berpendapat <br />
bahwa pemerintah dapat memungut kewajiban pajak dari orang-orang kaya. <br />
3. Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara' yang memperbolehkan. Misalnya kaidah "Maslahih Mursalah" <br />
(atas dasar kepentingan). Kas yang kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya <br />
ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak <br />
dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh. <br />
4. Adanya perintah Jihad dengan harta <br />
Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan dalam Al <br />
Quran 9:41, 49:51, 61:11, dll. Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain <br />
di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang <br />
yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini. <br />
5. Kerugian yang dibalas dengan keuntungan <br />
Sesungguhnya kekayaan yang diperoleh dengan pajak akan digunakan untuk segala keperluan umum yang <br />
manfaatnya kembali kepada masyarakat seperti; pertahanan dan keamanan, hukum, pendidikan, kesehatan, <br />
pengangkutan, dll. <br />
<br />
Syarat-syarat diperbolehkannya pajak di luar zakat <br />
Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya harus memenuhi syarat-syarat sbb: <br />
1. Harta itu benar-benar dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Tidak diperbolehkan memungut sesuatu dari rakyat <br />
selagi dalam baitul-mal masih terdapat kekayaan. <br />
<br />
2. Adanya pembagian pajak yang adil. <br />
Pengertian adil tidak harus sama rata bebannya. <br />
<br />
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan ummat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. <br />
Pajak bukan upeti untuk para raja dalam rangka memuaskan hawa nafsu, kepentingan pribadi dan keluarga <br />
mereka, atau kesenangan para pengikut mereka, tetapi harus dikembalikan untuk kepentingan masyarakat luas. <br />
<br />
4. Adanya persetujuan para ahli dan cendikia. <br />
Pemerintah tidak bertindak sendirian dalam hal mewajibkan pajak, menentukan besarnya serta memungutnya <br />
tanpa adanya persetujuan dari hasil musyawarah para ahli atau cendikia dari kalangan masyarakat (dewan <br />
perwakilan rakyat). <br />
<br />
Ternyata pajak sangat dimungkinkan keberadaanya di luar kewajiban zakat. Dengan demikian diskusi di isnet <br />
tahun-tahun yang lalu yang ingin memperbesar persentase zakat untuk mengimbangi besarnya pengeluaran <br />
pemerintah adalah tidak beralasan. Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap (lihat posting-posting sebelumnya). <br />
Tinggal satu posting lagi untuk mengakhiri pembahasan Pajak dan Zakat. <br />
Terdapat beberapa pendapat yang mencoba mengawinkan antara zakat dan pajak, dan memungkinkan <br />
adanya substitusi antara pajak dan zakat. Sehingga bagi kita yang telah rajin membayar pajak tidak perlu lagi <br />
membayar zakat, benarkah ? Hal ini diulas panjang lebar oleh Yusuf Al-Qaradhawy di bagian akhir buku beliau. <br />
<br />
APAKAH CUKUP MEMBAYAR PAJAK SAJA TANPA MEMBAYAR ZAKAT <br />
Itu adalah suatu pertanyaan yang sering muncul diantara kita. Yang saat ini merasakan terbebani dua Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________32 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
kewajiban sekaligus. <br />
Namun setelah mengkaji beberapa perbedaan antara pajak dan zakat maka dapat dimengerti bahwa zakat <br />
tidak dapat digantikan oleh pajak, walaupun sasaran zakat dapat dipenuhi sepenuhnya oleh pengeluaran dari pajak. <br />
Zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung <br />
seorang hamba dengan khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah <br />
mekanisme yang unik Islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya. Maka apapun <br />
yang diambil negara dalam konteks bukan zakat tidak bisa diniatkan oleh seorang Muslim sebagai zakat hartanya. <br />
Demikian pula setiap pribadi Muslim wajib melaksanakannya walaupun dalam kondisi pemerintah tidak <br />
memerlukannya atau tidak mewajibkannya lagi. <br />
Adalah suatu hal yang sangat berbahaya, bila kita diperbolehkan untuk mengganti zakat dengan pungutan-<br />
pungutan lainnya, niscaya hukum wajib zakat akan hilang dan sedikit demi sedikit akan sirna dari kehidupan setiap <br />
orang, seperti hal telah lenyapnya zakat dari undang-undang pemerintahan saat ini. <br />
Sesungguhnya zakat tidak dapat dicukupi oleh pajak. Inilah pendapat yang akan menyelamatkan agama <br />
seorang Muslim, yang akan melestarikan kewajiban tersebut dan mengekalkan hubungan antara kaum Muslimin <br />
melalui zakat, sehingga zakat tidak dapt diganti dengan nama pajak dan tak dapat dihilangkan begitu saja. <br />
Benar orang Islam itu dibebani kesulitan dalam menanggung beban harta yang sebagian ini tidak dapat <br />
dipikulnya. Akan tetapi ini adalah kewajiban iman dan tuntutan Islam, khususnya dalam masa-masa cobaan (fitnah) <br />
yang membuat bimbang orang-orang penyantun dan orang yang memegang agama seperti orang yang menggenggam <br />
bara api. <br />
Akhirnya kaum Muslimin berkewajiban untuk bekerja dan berjuang untuk memperbaiki penyimpangan-<br />
penyimpangan, meluruskan peraturan yang bengkok dan mengembalikannya pada jalan yang lurus dalam hukum <br />
Islam. Tanpa usaha tersebut orang Muslim akan dirugikan oleh harta, jiwa dan sosial, karena ia akan hidup dalam <br />
masyarakat yang membuatnya hidup terbelakang tanpa ada yang menolongnya, dan diam tanpa berbuat apa-apa. <br />
Dan ini merupakan cobaan umum dalam segala sektor kehidupan yang dituntut oleh Islam terhadap putera-puteri <br />
Islam agar tetap berpegang teguh pada syariat Islam, bukan hanya dalam soal zakat saja. <br />
<br />
ZAKAT DALAM ISLAM ADALAH SISTEM BARU DAN UNIK <br />
Dari celah-celah seluruh bagian dan bab pada buku ini jelaslah kepada kita bahwa zakat diwajibkan mula-<br />
mula di Madinah dan diterangkan batas-batas serta hukumnya, zakat adalah suatu sistem baru yang unik dalam <br />
sejarah kemanusiaan. Suatu sistem yang belum pernah ada pada agama-agama samawi juga dalam peraturan-<br />
peraturan manusia. Zakat mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus. <br />
Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan. Sebagai <br />
sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena <br />
pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan <br />
membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Akhirnya <br />
sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam <br />
mendekatkan diri kepada Allah. <br />
Zakat itu sendiri menjadi bukti bahwa ajaran Islam itu dari Allah SWT. Suatu sistem yang adil, yang tidak <br />
mungkin dihasilkan oleh Rasulullah Muhammad SAW yang ummi. <br />
Inilah zakat yang disyariatkan Islam meskipun banyak kaum Muslimin pada masa akhir-akhir ini tidak <br />
mengetahui hakikatnya dan mereka melalaikan membayarnya, kecuali mereka yang disayangi Tuhannya dan <br />
jumlahnya sedikit. <br />
Banyak pendapat baik yang dari kalangan Muslim maupun non Muslim, yang mengagumi indahnya <br />
konsepsi zakat sebagai pemecahan problematika sosial. <br />
Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan kewajiban ini dengan baik, tentu di kalangan mereka tidak Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________33 <br />
____________________________________________________________________________________________ <br />
akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara. Akan tetapi kebanyakan dari mereka telah melalaikan <br />
kewajiban ini, mereka mengkhianati agama dan ummatnya, akibatnya nasib Ummat Islam sekarang ini lebih buruk <br />
dalam kehidupan ekonomi dan politiknya dari seluruh bangsa-bangsa lain di dunia ini. <br />
Kekayaan, kebesaran dan kemuliaan Ummat Islam telah sirna. Kini mereka menjadi tanggungan penganut <br />
agama lain, sehingga pendidikan anak-anaknya pun diserahkan ke sekolah-sekolah missi kristen atau missi atheis. <br />
Bila mereka ditanya mengapa tidak mendirikan sendiri sekolah itu, mereka berkata: "kami tidak mempunyai biaya <br />
untuk mendirikannya. Maka sebanarnya mereka tidak memperoleh dari agama; akal fikiran, cita-cita dan ghairah <br />
yang dengan itu mereka dapat melakukannya. Mereka menyaksikan para penganut agama lain yang berkorban untuk <br />
mendirikan sekolah-sekolah, organisasi-organisasi sosial dan politik, padahal tidak disuruh oleh agama mereka, tapi <br />
mereka diharuskan oleh akal fikiran dan ghairahnya terhadap agama dan kaumnya. Tapi pada kaum Muslimin <br />
ghairah itu telah tidak ada. Mereka rela menjadi beban dan tanggungan orang. Mereka telah meninggalkan <br />
agamanya sendiri, akibatnya mereka kehilangan dunianya sesuai dengan firman Allah : "Dan janganlah kamu seperti <br />
orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah <br />
orang-orang yang fasik" (59:9). <br />
Yang menjadi kewajiban bagi para da'i saat ini ialah mulai mengadakan usaha membina mereka yang masih <br />
ada rasa keagamaannya dengan mendirikan organisasi pengumpulan zakat. Zakat yang dapat digunakan untuk <br />
konsolidasi ummat, memberantas kemiskinan, memperlancar aktivitas da'wah menahan agresi dari kaum kuffar. Bila <br />
seluruh kaum Muslimin menunaikan zakat dan digunakan secara teratur, maka Islam akan mampu untuk <br />
mengembalikan kejayaannya. <br />
Ikhwan para isneter sekalian. Demikian berakhirlah Serial Mengaji Zakat. Tidak akan ada ujian tertulis dari <br />
Ustadz Yusuf. Tapi Allah akan menguji kita secara praktek. Setelah lebih jauh memahami kewajiban zakat, Insya <br />
Allah kita akan menjadi pionir-pionir Muslim yang dengan sikap taat melaksanakan perintah ini. <br />
Lebih jauh lagi, bisakah kita berbuat sesuatu untuk meluaskan gerakan zakat ini, dengan menyadarkan <br />
orang-orang di sekitar kita; keluarga, teman sejawat, tetangga dll. Hal ini sangat mendesak. Memasyarakatkan <br />
kewajiban zakat bukan lagi sekedar tanggung jawab para ulama dan mubaligh, tapi adalah tanggung jawab kita <br />
semua yang telah mengetahui dan menjalankan kepada mereka yang belum mengetahui dan menjalankannya. <br />
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk ummat. Banyak kerja dalam masalah perzakatan ini yang menunggu <br />
sambutan Ikhwan sekalian. Menjajagi, merumuskan dan membuat pola mekanisme pengumpulan dan <br />
pendistribusian zakat yang effisien dan effektif, yaitu pola yang akan diterapkan dalam skala kecil maupun besar; <br />
membuat panduan yang lengkap dan jelas dalam perhitungan zakat; juga yang tidak kalah pentingnya merangsang <br />
pengajian-pengajian zakat dimana saja agar ummat Islam dimana saja senantiasa termotivasi dalam menjalankan <br />
rukun Islam ketiga ini, dll. <br />
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua, dan meridhoi aktivitas kita. Amiin. <br />
<br />
<br />
Wassalamu'alaikum Wr Wb <br />
Abu Azka, Lukman Mohammad Baga <br />
Dept. of Agr. Economics and Business, Massey University <br />
Palmerston North, New Zealandtantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-28631367164333256412010-12-31T19:56:00.001-08:002010-12-31T19:56:14.383-08:00Aliran-Aliran dalam Ilmu Ushul FiqhPerbedaan pendapat yang sering terjadi diantara para ulama dalam hal penetapan istilah untuk suatu pengertian penting. <br />
<br />
Dalam membahas Ilmu Ushul Fiqh, para ulama tidak selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu pengertian dan<br />
dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran<br />
Mutakallimin dan Aliran Hanafiyah. <br />
<br />
<br />
<br />
1. Aliran Mutakallimin <br />
<br />
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam yakni<br />
menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan nash) maupun 'aqliy (dengan akal fikiran) tanpa<br />
terikat dengan hukum furu' yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-hukum furu’<br />
tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golongan Mu'tazilah, Malikiyah, dan Syafi'iyah. <br />
<br />
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu : <br />
<br />
Kitab Al-Mu'tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu’taziliy asy-Syafi’iy (wafat pada tahun 463<br />
Hijriyah). Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma’aliy Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi’iy yang terkenal<br />
dengan nama Imam Al-Huramain ( wafat pada tahun 487 Hijriyah). Kitab AI Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin<br />
Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi ’ iy ( wafat pada tahun 505 Hijriyah). Dari tiga kitab tersebut yang dapat ditemui hanyalah kitab Al<br />
Musht.shfa, sedangkan dua kitab lainnya hanya dapat dijumpai nukilan-nukilannya dalam kitab yang disusun oleh para ulama berikut,<br />
seperti nukilan kitab dari Al Burhan oleh A1 Asnawiy dalam kitab Syahrul Minhaj . <br />
<br />
Kitab-kitab yang datang berikutnya yakni kitab Al Mahshul disusun oleh Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar Raziy Asy Syafi’iy (wafat<br />
pada tahun 606 Hijriyah). Kitab ini merupakan ringkasan dari tiga kitab yang disebutkan di atas.<br />
<br />
Kemudian kitab AI Mahshul ini diringkas lagi oleh dua orang yaitu : <br />
<br />
Tajjuddin Muhammad bin Hasan Al Armawiy (wafat pada tahun 656 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Al Hashil. Mahmud bin<br />
Abu Bakar A1 Armawiy (wafat pada tahun 672 Hijriyah) dalam kitabnya yang berjudul At Tahshil. Kemudian A1 Qadliy Abdullah bin<br />
Umar Al Badlawiy (wafat pada tahun 675 Hijriyah) menyusun kitab Minhajul Wu.shul ila ’Ilmil Ushul yang isinya disarikan dari kitab At<br />
Tahshil. Akan tetapi karena terlalu ringkasnya isi kitab tersebut, maka sulit untuk dapat dipahami. Hal inj mendorong para ulama<br />
berikutnya untuk menjelaskannya. Di antara mereka yaitu Abdur Rahim bin Hasan AJ Asnawiy Asy Syafi’iy (wafat pada tahun 772<br />
Hjjriyah) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan isi kitab MinhajuI WushuI ila ’Ilmil Ushul tersebut. <br />
<br />
Selain kitab Al Mashul yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab Al Mu tamad, Al Burhan dan Al Mushtashfa, masih ada kitab yang<br />
juga merupakan ringkasan dari tiga kitab tersebut, yaitu kitab AI Ihkam fi Ushulil Ahkam, disusun oleh AbduI Hasan Aliy yang terkenal<br />
dengan nama Saifuddin Al Amidiy Asy Syafi’iy (wafat pada tahun 631 Hijriyah). Kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam ini kemudian diringkas<br />
oleh Abu Amr Utsman bin Umar yang terkenal dengan nama Ibnul Hajib AI Malikiy (wafat pada tahun 646 Hijriyah) dalam kitabnya<br />
yang diberi nama Muntahal Su ’li wal Amal fi .Ilmil Ushul wal Jidal. Kemudian kitab itu beliau ringkas lagi dalam sebuah kitab, dengan<br />
nama Mukhtasharul Muntaha. Kitab ini mirip dengan kitab Minhajul Wulshul ila I.lmil Ushul, sulit difahami karena ringkasnya. Hal ini<br />
mengundang minat para ulama berikutnya untuk menjelaskannya. Di antara mereka ialah ’ AdldIuddin ’Abdur Rahman bin Ahmad Al<br />
Ajjiy (wafat tahun 756 Hijriyah) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan kitab Mukhtasharul Muntaha tersebut.<br />
<br />
2. Aliran Hanafiyah. <br />
<br />
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam (madzhab)<br />
mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu ’ yang diterima dari imam-imam mereka.<br />
Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah<br />
sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu’ tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian<br />
antara kaidah dengan hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka.<br />
<br />
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu : kitab yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin’ Aliy yang terkenal dengan<br />
sebutan Al Jashshash (wafat pada tahun 380 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Abu Zaid ’ Ubaidillah bin ’Umar Al Qadliy Ad Dabusiy<br />
(wafat pada tahun 430 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As Sarkhasiy (wafat pada tahun<br />
483 Hijriyah). Kitab yang disebut terakhir ini diberi penjelasan oleh Alauddin Abdul ’Aziz bin Ahmad Al Bukhariy (wafat pada tahun<br />
730 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Kasyful Asrar .Dan juga kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini ialah kitab yang disusun<br />
oleh Hafidhuddin ’Abdullah bin Ahmad An Nasafiy (wafat pada tahun 790 Hijriyah) yang berjudul ’Al Manar, dan syarahnya yang<br />
terbaik yaitu Misykatul Anwar.<br />
<br />
Dalam abad itu muncul para ulama yang dalam pembahasannya memadukan antara dua aliran tersebut di atas, yakni dalam<br />
menetapkan kaidah, memperhatikan alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan hukum-hukum<br />
furu’. Di antara mereka itu ialah : Mudhafaruddin Ahmad bin ’Aliy As Sya’atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan<br />
menulis kitab Badi’un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam<br />
yang ditulis oleh Al Amidiy; dan Syadrusiy Syari’ah ’Ubaidillah bin Mas’ud Al Bukhariy Al Hanafiy (wafat pada tahun 747 Hijriyah)<br />
menyusun kitab Tanqihul Ushul yang kemudian diberikan penjelasan-penjelasan dalam kitabnya yang berjudul At Taudlih . Kitab<br />
tersebut merupakan ringkasan kitab yang disusun oleh A1 Bazdawiy, kitab AI Mahshul oleh Ar Raziy dan kitab Mukhtasharul<br />
Muntaha oleh Ibnul Hajib. Demikian pula termasuk ulama yang memadukan dua aliran tersebut di atas, yaitu Tajuddin ’Abdul Wahhab<br />
bin’ Aliy As Subkiy Asy Syafi’iy (wafat pada tahun 771 Hijriyah) dengan menyusun kitab Jam’ul Jawami’ dan Kamaluddin Muhammad’Abdul Wahid yang terkenal dengan Ibnul Humam (wafat pada tahun 861 Hijriyah) dengan menyusun kitab yang diberi nama At Tahrir.<br />
<br />
Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibiy (<br />
wafat pada tahun 760 Hijriyah) telah menyusun sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1 Muwafaqat. Dalam kitab tersebut<br />
selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. <br />
<br />
Kemudian perlu pula diketahui kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang disusun oleh para ulama pada masa belakangan ini, antara lain: kitab<br />
Irsyadul Fuhul i/a Tahqiqi/ Haq min ’I/mil Ushu/ oleh Imam Muhammad bin’ A1iy Asy Syaukaniy (wafat pada tahun 1255 Hijriyah),<br />
kitab Tashilu/ Wushu/ i/a ’Ilmi/ Ushu/ oleh Syaikh Muhammad ’Abdur Rahman A1 Mihlawiy (wafat pada tahun 1920 Hijriyah); kitab<br />
Ushu/u/ Fiqh oleh Syaikh Muhammad A1 Khudlariy Bak (wafat pada tahun 1345 Hijriyah/ 1927 Masehi) dan kitab-kitab Ilmu Ushul<br />
Fiqh yang lain.<br />
<br />
_tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-54546583267840463742010-12-31T19:55:00.001-08:002010-12-31T19:55:07.829-08:00QAWA‘ ID AL-FIQH: THE LEGAL MAXIMS OF I S LAMIC LAWQAWA‘ ID AL-FIQH: <br />
THE LEGAL MAXIMS OF I S LAMIC LAW <br />
<br />
Mohammad Hashim Kamali <br />
<br />
This essay provides a brief introduction to legal maxims, an evidently important chapter of the juristic literature <br />
of Islam, that is particularly useful in depicting a general picture of the nature, goals and objectives of the <br />
Shari‘ah. Yet, for reasons that will presently be explained, legal maxims represent a latent development in the <br />
history of Islamic legal thought. A brief explanation of the background history of legal maxims will be followed <br />
by a discussion of developments in three other related areas. We will discuss briefly the dawabit (lit. controlling <br />
rules), which are abstractions of the rules of fiqh (Islamic jurisprudence) on specific themes. We will then move <br />
onto a discussion of the nazariyyah al-fiqhiyyah, or the general theories of fiqh, which attempt to embrace a wider <br />
scope. The final area of interest in this connection is the furuq, or the distinctions and contrasts, which may be <br />
said to be a comparative study of the similarities and differences of the legal maxims and the substantive <br />
themes with which they are concerned. <br />
<br />
Legal maxims (qawa‘id al-kulliyah al-fiqhiyyah) are theoretical abstractions, usually in the form of short epithetical <br />
statements, that are expressive, often in a few words, of the goals and objectives of the Shari‘ah. This is so <br />
much so that many ‘ulama (scholars) have treated them as a branch of the maqasid (goals and objectives) <br />
literature. The legal maxims of fiqh are statements of principles that are derived from the detailed reading of the <br />
rules of fiqh on various themes. The fiqh has generally been developed by individual jurists in relation to <br />
particular themes and issues in the course of history and differs, in this sense, from modern statutory rules <br />
which are concise and devoid of detail. The detailed expositions of fiqh enabled the jurists, at a later stage of <br />
development, to reduce them into abstract statements of principles. Legal maxims represent, in many ways, the <br />
apex of cumulative progress, which could not have been expected to take place at the formative stages of the <br />
development of fiqh. The actual wordings of the maxims are occasionally taken from the Qur’an or Ahadith but <br />
are more often the work of leading jurists and mujtahids that have subsequently been refined by others <br />
throughout the ages. It has often been a matter of currency and usage that the wordings of certain maxims are <br />
taken to greater refinement and perfection. <br />
<br />
The science of legal maxims is different from the science of usul al-fiqh (methodology in Islamic jurisprudence) <br />
in that the maxims are based on the fiqh itself. Usul al-fiqh is concerned with the methodology of legal reasoning <br />
and the rules of interpretation, the meaning and implication of commands and prohibitions, and so forth. A <br />
maxim is defined as “a general rule which applies to all of its related particulars”.<br />
1 A legal maxim is reflective of <br />
a consolidated reading of the fiqh and it is in this sense different from what is known as ad-dabitah (a controller) <br />
which is somewhat limited in scope and controls the particulars of a single theme or chapter of fiqh. Dabitah is <br />
thus confined to individual topics such as cleanliness (taharah), maintenance (nafaqh), paternity and fosterage (ar-<br />
ridaa’), and as such does not apply to other subjects. An example of a dabitah is the statement: “Marriage does <br />
not carry suspension”; and with reference to cleanliness: “When the water reaches two feet, it does not carry <br />
dirt”.<br />
2 An example of a legal maxim is the statement: “The affairs of the imam concerning his people are <br />
judged by reference to maslahah” (Amr al-Imami fi shu’un ar-ra‘iyyati manutun bil-maslahah). The theme here is more <br />
general without any specification of the affairs of the people or the activities of the imam. Having drawn a The Association of Muslim Lawyers <br />
Page 2 of 7 <br />
distinction between dabitah and qa‘idah, we note, however, that legal maxims also vary concerning the level of <br />
abstraction and the scope that they cover. Some legal maxims are of general application, whereas others might <br />
apply to a particular area of fiqh, such as ‘ibadah (worship), mu‘amalah (transactions), contracts, litigation and <br />
court proceedings. Some of the more specific maxims may qualify as a dabitah rather than as a maxim proper, as <br />
the distinction between them is not always clear and regularly observed. Ibn Juzay al-Maliki’s, Al-Qawanin al-<br />
Fiqhiyyah has identified and discussed a large number of dawabit in relation to particular themes and chapters of <br />
fiqh. <br />
<br />
The most comprehensive and broadly based of all maxims are known as “al-qawa‘id al-fiqhiyyah al-asliyyah”, or <br />
the normative legal maxims, and they apply to the entire range of fiqh without any specification. The madhahib <br />
are generally in agreement over them. Maxims such as “Harm must be eliminated” (Ad-dararu yuzal) and “Acts <br />
are judged by the intention behind them” (Al-umuru bi-maqasidiha) belong to this category of maxims. <br />
<br />
The early ‘ulama have singled out about five of these to say that they grasp between them the essence of the <br />
Shari‘ah as a whole, and the rest are simply an elaboration of these. The other three of the normative legal <br />
maxims are: <br />
- “Certainty is not overruled by doubt” (Al-yaqinu la yazulu bish-shakk). <br />
- “Hardship begets facility” (Al-mashaqqatu tujlab at-taysir). <br />
- “Custom is the basis of judgement” (Al-‘addatu muhakkamatun) <br />
<br />
The first of these has been supplemented by a number of other maxims such as “The norm (of Shari‘ah) is that <br />
of non-liability” (Al-aslu baraa’ah ad-dhimmah). This is an equivalent to what is generally known as the <br />
presumption of innocence, although the maxim is perhaps more general. The primary expression implies that it <br />
relates principally to criminal procedure, whereas the non-liability maxim extends to civil litigation and to <br />
religious matters generally. The normative state, or the state of certainty for that matter, is that people are not <br />
liable, unless it is proven that they are, and until this proof is forthcoming, to attribute guilt to anyone is treated <br />
as doubtful. Certainty can, in other words, only be overruled by certainty, not by doubt. Another <br />
supplementary maxim here is the norm that presumes the continued validity of the status quo ante, until we <br />
know there is a change. “The norm is that the status quo remains as it was before” (Al-aslu baqaa’u ma kaana ‘ala <br />
ma kaana) unless it is proven to have changed. An example of this is the wife’s right to maintenance that the <br />
Shari‘ah has determined; when she claims that her husband failed to maintain her, her claim will command <br />
credibility. For the norm here is her continued entitlement to maintenance for as long as she remains married <br />
to him. Similarly when one of the contracting parties claims that the contract was concluded under duress and <br />
the other denies this, this later claim will be upheld because the absence of duress is the normal state or status <br />
quo, which can only be rebutted by evidence.<br />
3 According to yet another maxim, “The norm in regard to things <br />
is that of permissibility” (Al-aslu fil-ashyaa’ al-Ibahah). Permissibility in other words is the natural state and will <br />
therefore prevail until there is evidence to warrant a departure from that position. This maxim is based on a <br />
general reading of the relevant evidence in the Qur’an and Sunnah. Thus when we read in the Qur’an that God <br />
“has created all that is in the earth for your benefit” (2:29), and also the hadith that states: “whatever God has made <br />
halal is halal and whatever He has rendered as haram is haram, and all that over which He has remained silent is <br />
forgiven”, the conclusion is drawn that we are allowed to utilise the resources of the earth for our benefit, and <br />
that unless something is specifically declared forbidden, it is presumed to be permissible. <br />
<br />
It is stated in the Mejelle that legal maxims are designed to facilitate a better understanding of the Shari‘ah and <br />
the judge may not base his judgement on them unless the maxim in question is derived from the Qur’an or <br />
Ahadith or supported by other evidence.<br />
4 This is in contrast, however, with the view of Shihab al-Din al-Qarafi <br />
who held that a judicial decision is reversible if it violates a generally accepted maxim.<br />
5 The ‘ulama have <br />
generally considered the maxims of fiqh to be significantly conducive to ijtihad, and they may naturally be <br />
utilised by the mujtahid and judge as persuasive evidence. It is just that they are broad guidelines, whereas <br />
judicial orders need to be founded in specific evidence that is directly relevant to the subject of adjudication. <br />
Since most of the legal maxims are expounded in the form of generalised statements, they hardly apply in an <br />
exclusive sense and often admit exceptions and particularisation. Instances of this had often been noted by the <br />
jurists, especially in cases when a particular legal maxim had failed to apply to a situation that evidently fell <br />
within its ambit. They then attempted to formulate a subsidiary maxim to cover that particular case. <br />
<br />
Legal maxims were developed gradually and the history of their development in a general sense is parallel with <br />
that of the fiqh itself. More specifically, however, these were developed mainly during the era of imitation <br />
(taqlid), as they are in the nature of extraction (takhrij) of guidelines from the detailed literature of fiqh that were <br />
contributed during the first three centuries of Islamic scholarship, known as the era of ijtihad.<br />
6 Some of the The Association of Muslim Lawyers <br />
Page 3 of 7 <br />
most important of the maxims are basically a reiteration of either the Qur’an or the Ahadith. One of the five <br />
maxims noted above has been derived from the hadith that “harm may neither be inflicted nor reciprocated in <br />
Islam” <br />
(la darara wa la dirara fil-Islam). Some of the variant renderings of the maxim Ad-dararu yuzal read as <br />
follows: “Harm must be eliminated but not by means of another harm” (Ad-dararu yuzalu wa lakin la bi-darar); <br />
and “Harm is not eliminated by another harm” (Ad-dararu la yuzalu bid-darar). The hadith under discussion has <br />
provided the basis of numerous other maxims on the subject of darar, including for example, “A specific harm <br />
is tolerated in order to prevent a more general one” (Yutahammal ad-darar al-khaas li-daf’al-darar al ‘aam), “Harm <br />
is eliminated to the extent that is possible”(Ad-dararu yudfa‘u bi-qadr al-imkaan) and “A greater harm is eliminated <br />
by means of a lesser harm” (Yuzal ad-darar al-ashaddu bid-darar al-akhaff).<br />
7 <br />
<br />
A practical manifestation of the maxim “Harm must be eliminated” is the validation of the option of defect <br />
(khiyar al-‘ayb) in Islamic law, which is designed to protect the buyer against harm. Thus when A buys a car and <br />
then discovers that it is substantially defective, he has the option to revoke the contract. For there is a legal <br />
presumption under the Shari‘ah that the buyer concluded the contract on condition that the object of sale was <br />
not defective. <br />
<br />
The hadith under discussion has also been used as a basic authority for a number of legal maxims on the subject <br />
of necessity (darurah), and I refer here to only two. The first of these proclaims: “Necessity makes the unlawful <br />
lawful”(Ad-daruratu tubiyh al-mahzurah). It is on this basis that the jurists validate demolition of an intervening <br />
house to prevent the spread of fire to adjacent buildings, just as they validate dumping of the cargo of an <br />
overloaded ship to prevent the danger (or darar) to the life of its passengers. The second maxim on necessity <br />
declares: “Necessity is measured in accordance with its true proportions” (Ad-daruratu tuqdaru bi-qadriha). Thus, <br />
if the court orders the sale of assets of a negligent debtor to pay his creditors, it must begin with the sale of his <br />
movable goods if this would suffice to clear the debt, before selling his real property.<br />
8 <br />
<br />
The maxim “Hardship begets facility” is, in turn, a rewording of the Qur’anic verses that state: “God intends for <br />
you ease and He does not intend to put you in hardship” (2:185), and “God does not intend to inflict hardship on you” (5:6), <br />
purporting to a theme that also occurs in a number of ahadith. The jurists have used this evidence in support of <br />
the many concessions that are granted to the disabled and the sick in the sphere of religious duties as well as <br />
civil transactions. With reference to the option of stipulation (khiyaar ash-shart), for example, there is a hadith <br />
that validates such an option for three days, that is, if the buyer wishes to reserve for himself this amount of <br />
time before ratifying a sale. The jurists have then reasoned that this period may be extended to weeks or even <br />
months depending on the type of goods that are bought and the need of the buyer who may need a longer <br />
period for investigation. <br />
<br />
The maxim “Acts are judged by the intention behind them” is also a rephrasing of the renowned hadith that <br />
states: “Acts are valued in accordance with their underlying intention” (Innama al-a‘maalu bin-niyyah). This is a <br />
comprehensive maxim that has implications that the ‘ulama have discussed in various areas, including <br />
devotional matters, commercial transactions and crimes. The element of intent often plays a crucial role in <br />
differentiating, for example, a murder from erroneous killing, theft from inculpable appropriation of property, <br />
and the figurative words that a husband may utter to conclude the occurrence or otherwise of a divorce. <br />
<br />
The maxim “Custom is the basis of judgement” is again based on a statement of the Companion, Abdullah ibn <br />
Mas‘ud, that “what the Muslims deem to be good is good in the eyes of God”. The court is accordingly <br />
authorised to base its judgement on custom in matters that are not regulated by the text, provided that the <br />
custom at issue is current, predominant among people, and is not in conflict with the principles of the Shari‘ah. <br />
Several other subsidiary maxims have been derived from this, including the one that proclaims: “What is <br />
determined by custom is tantamount to a contractual stipulation” (Al-ma‘rufu ‘urfan kal-mashrutu shartan). Thus, <br />
when the contract does not regulate a matter that is otherwise regulated by custom, the customary rule would <br />
be presumed to apply. Similarly when someone rents a car, he should use it according to what is customary and <br />
familiar, a condition that is presumed to apply even if not stated in the contract. <br />
<br />
The maxim “Profit follows responsibility” (Al-kharaju bid-daman) is a direct rendering of a hadith in identical <br />
words. Thus, the yields of trees, animals, etc., belong to those who are responsible for their upkeep and <br />
maintenance. Suppose that A buys a machine which yields profit, where A then returns the machine to the <br />
seller, does A have to return the profit he made with that machine to the seller? By applying the legal maxim <br />
before us, we say that A may keep the profit as the machine was his responsibility during the interval just as he <br />
would have been responsible for its destruction and loss before returning it to the seller. <br />
The Association of Muslim Lawyers <br />
Page 4 of 7 <br />
The maxim “(A ruling of) Ijtihad is not reversed by its equivalent” <br />
(Al-ijtihadu la yunqadu bi-mithlih) has, in turn, <br />
been attributed to a statement of the Caliph ‘Umar ibn al-Khattab which is also upheld by the consensus of the <br />
Companions. Suppose that a judge has adjudicated a dispute on the basis of his own ijtihad, in the absence of a <br />
clear text to determine the issue, and then he retires. If another judge, whether of the same rank or at the <br />
appellate level, looks into the case and his ijtihad leads him to a different conclusion on the same issue, then <br />
provided that the initial decision does not violate any of the rules that govern the propriety of ijtihad, a mere <br />
difference of opinion on the part of the new judge, or a similar ijtihad that he might have attempted, does not <br />
affect the authority of the initial ijtihad. This is so because one ruling of ijtihad is not reversible by another ruling <br />
of ijtihad. <br />
<br />
Historically, the Hanafi jurists were the first to formulate legal maxims. An early Iraqi jurist, Sufyan ibn Tahir <br />
ad-Dabbas, collated the first seventeen maxims, and Abul Hassan al-Karkhi (d.340) increased this to thirty-nine. <br />
Some of the early maxims that were compiled include the following: “The norm is that the affairs of the <br />
Muslims are presumed to be upright and good unless the opposite emerges to be the case”. This means that <br />
acts, transactions and relations among people should not be given a negative interpretation that verges on <br />
suspicion and mistrust, unless there is evidence to suggest the opposite. Another maxim states: “Question and <br />
answer proceed on that which is widespread and common and not on what is unfamiliar and rare”. Again, if we <br />
were to interpret a speech and enquire into its implications, we should proceed on what would be commonly <br />
understood as opposed to what might be said to be a rare understanding and interpretation. We read in another <br />
maxim: “Prevention of evil takes priority over the attraction of benefit” (Dur’ al-masaalihi awla min jalb al-<br />
manaafi‘). The earliest collections of maxims also included the five leading maxims that were discussed above.<br />
9 <br />
One of the early collections was that of al-Karkhi, which was not very highly refined as it included statements <br />
that were expressive of an idea but not necessarily in the eloquent style that is typically associated with <br />
maxims.<br />
10 Many scholars from various schools added to these over time and the total number of qawa‘id and <br />
dawabit eventually exceeded twelve hundred. After the Hanafis, the Shafi‘is, then the Hanbalis, and following <br />
them the Malikis - as az-Zarqa has noted - added their contributions to the literature on legal maxims. The <br />
leading Shafi‘i scholar, ‘Izz ad-Din ‘Abd as-Salam’s (d. 660H), Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam is noted as <br />
one of the salient contributions to this field, as is ‘Abd ar-Rahman ibn Rajab al-Hanbali’s (d.795) work Al-<br />
Qawa‘id. Both have been highly acclaimed. Yet in terms of conciseness and style, the Mejelle collection, written <br />
in the 1870s, represents the most advanced stage in the compilation of legal maxims.<br />
11 <br />
<br />
The development of this branch of fiqh is in many ways related to the general awareness of the ‘ulama that the <br />
fiqh literature is of a piecemeal and fragmented style, which, somewhat like Roman juristic writings, is on the <br />
whole issue-oriented and short of theoretical exposition of the governing principles. This is, in turn, attributed <br />
to the history of the development of fiqh, where private jurists made their contributions independent of any <br />
government and institutions that might have exerted an unifying influence. They often wrote in response to <br />
issues as and when encountered, and we consequently note that theoretical abstraction was not a well-<br />
developed feature of their work. The legal maxims filled that gap to some extent and provided a set of general <br />
guidelines for an otherwise diverse discipline that combined an impressive variety of schools and influences <br />
into its fold. <br />
<br />
Islamic jurisprudence is also textualist, in that it is guided by the textual injunctions of the Qur’an and Sunnah. In <br />
developing the law, the jurists have shown a tendency to confine the range of their expectations to the given <br />
terms of the text. Theoretical generalisations of ideas were viewed with caution vis-à-vis the overriding authority <br />
of the text and attention was focused on the correct interpretation of the text rather than developing general <br />
theories. <br />
<br />
Questions are being asked to this day whether Islamic law has a constitutional theory, a theory of contract, or a <br />
theory of ownership. It is only in recent times that Muslim scholars began to write concise and self-contained <br />
expositions of the law in these areas, as I shall presently explain. <br />
<br />
A genre of literature known as al-ashbah wan-naza’ir (similitude and resemblance), that was devoted to legal <br />
maxims, emerged in the writings of the ‘ulama well after the formation of the madhahib. The term evidently <br />
originated in the famous letter of the Caliph ‘Umar al-Khattab, addressed to a judge, Abu Musa al-Ash‘ari of <br />
Basrah, in which he was instructed to “ascertain similitudes and resemblances and adduce matters analogous in <br />
giving judgement”. Later, Taj ad-Din as-Subki, who wrote a most important work on legal maxims, chose the <br />
term ‘al-ashbah wan-naza’ir’ as the title of his book. Jalal ad-Din as-Suyuti (d.911) and Zayn al-‘Abidin Ibn <br />
Nujayam al-Hanafi (d.972) also wrote works that closely resemble one another, both bearing the title Al-Ashbah <br />
wan-Naza’ir. They relied mainly on as-Subki’s writings, with certain modifications that were reflective, perhaps, The Association of Muslim Lawyers <br />
Page 5 of 7 <br />
of their respective scholastic orientations. As-Suyuti often identified the source evidence from which maxims <br />
were derived and added illustrations and analysis. Some of the leading maxims that As-Suyuti recorded were: <br />
“Private authority is stronger than public authority” (Al-wilayah al-khaasah aqwa min al-wilaayah al-‘aammah), <br />
which means that the authority, for example, of the parent and guardian over the child, is stronger than that of <br />
the ruler and the judge; “No speech is attributed to one who has remained silent” (La yunsabu lis-saakiti qawl); <br />
and “The attachment follows the principal” (At-taabi‘u taabi‘), which obviously means, in reference to, for <br />
example, contracts and transactions, that things that belong to one another may not be separated. Thus, for <br />
example, one should not sell a yet-to-be-born animal separately from it’s mother, or a living room separate <br />
from the house. <br />
<br />
Ibn Nujaym divided the legal maxims into two normative categories: leading maxims and subsidiary maxims. <br />
He only placed six under the former and seventeen under the latter, but discussed a number of others in his <br />
detailed elaboration and analysis. The sixth leading maxim of Ibn Nujaym, that he added to the familiar five, as <br />
noted above, states: “No spiritual reward accrues without intention” <br />
(La thawaaba illa bin-niyyah), which is why <br />
the ritual prayer, and most other acts of devotion, are preceded by a statement of intention (niyyah). The twelfth <br />
century author, Abu Sa‘id al-Khadimi compiled 154 maxims in his work entitled Majma‘ al-Haqaa’iq.<br />
12 <br />
<br />
Despite the general tendency in legal maxims to be inter-scholastic, jurists and schools are not unanimous on <br />
all of the maxims and there are some on which the madhahib have disagreed.<br />
13 The difference between the <br />
schools in this area is, however, not very wide. The Ja‘fari School of the Shi‘ah have their own collections of <br />
legal maxims, but apart from some differences in style, the thematic arrangement in their collections closely <br />
resembles those of their Sunni counterparts. The first Shi‘i work on maxims was that of ‘Allamah al-Hilli <br />
(d.726H) entitled Al-Qawa‘id, followed by ash-Shahid al-Awwal Jamal al-Din al-‘Amili's (d. 786) Al-Qawa‘id wal-<br />
Fawa’id that contained over three hundred maxims, and many more works that elaborated and enhanced the <br />
earlier ones. The more recent work of Muhammad al-Husayn Kashif al-Ghita’, bearing the title Tahrir al-Mujalla, <br />
is an abridgement and commentary of the first ninety-nine articles of the Ottoman Mejelle. He selected forty-<br />
five as being the most important in the range, and the rest he found to be overlapping and convergent or <br />
obscure, but he added eighty-two others to make up a total of one hundred and twenty-seven maxims of <br />
current application and relevance, especially to transactions and contracts. However, al-Ghita’ went on to say <br />
that “if we were to recount all the maxims that are referred to in the various chapters of fiqh, we can add up to <br />
five hundred more”.<br />
14 <br />
<br />
Two other related developments that are of interest have taken two different directions. One of these is the <br />
furuq literature, which as the word indicates, highlights differences between similar concepts or those that have <br />
an aspect in common. The attempt to highlight the differences also extended to the maxims themselves, in that <br />
the furuq literature specified the differences between some of the maxims that resembled one another but could <br />
be subtly distinguished in some respect. The Maliki jurist Shihab ad-Din al-Qarafi’s Kitab al-Furuq (in four <br />
volumes) discusses five hundred and forty-eight maxims, and two hundred and seventy-four distinctions and <br />
differences (furuq) between similar themes and ideas. Occasionally the word qa‘idah is used in reference to what <br />
is a dabitah or even a specific ruling of fiqh. Examples of the furuq include the distinctions between hire (ijara’) <br />
and sale, between custody (hadanah) and guardianship (wilayah), between testimony (shahadah) and narration <br />
(riwayah), and between verbal custom (al-‘urf al-qawali) and actual custom (al-‘urf al-fi‘li). These are often <br />
expressed in rule-like statements that generally resemble dabitah in their application to specific themes only, but <br />
are named al-furuq as they usually compare similar themes and highlight the differences between them. Al-<br />
Qarafi’s approach represented a new development in the qawa‘id literature. He also discussed legal maxims in <br />
his other works, narnely, Ad-Dhakhirah and (more specifically) Al-Ihkamu fi Tamyiz al-Fatawa ‘anil-Ahkam. The <br />
title itself is, it may be noted, a furuq oriented title referring to differences between fatawa and judicial <br />
decisions.<br />
15 Ibn ash-Shat Qasim bin ‘Abd Allah al-Ansari’s (d.723) work, Idrar ash-Shuruq ‘ala Anwar al-Furuq is <br />
also a work on furuq, and smaller works of a similar kind were also written by some Shafi‘i scholars.<br />
16 <br />
<br />
The next development that may briefly be explained is relatively recent and appears in the modern writings of <br />
fiqh under the general designation of an-nazariyyah al-fiqhiyyah, or legal theories of fiqh. Nazariyyah in this context <br />
implies a self-contained and comprehensive treatment of an important area of law, such as nazariyyah al-‘aqd <br />
(theory of contract), nazariyyah al-milkiyyah (theory of ownership), nazariyyah ad-darurah (theory of necessity) and <br />
so forth. This level of theoretical development marks a departure from the earlier style of juristic writing in fiqh <br />
literature where topics are poorly classified and themes pertaining to a particular area are scattered in different <br />
places. The nazariyyah literature seeks to overcome that and offers systematic treatment of its subject matter <br />
that aims to be self-contained and convenient to use. <br />
The Association of Muslim Lawyers <br />
Page 6 of 7 <br />
The nazariyyah literature draws upon the combined resources of fiqh in all areas, including the qawa‘id, the <br />
dawabit and the furuq. Yet the nazariyyah are usually not expected to reproduce the detailed formulation of these <br />
related branches, as theory oriented works generally seek to be concise, clear of repetition and unnecessary <br />
detail. The nazariyyah also incorporate new methods of research and writing, which are more effective and less <br />
time-consuming. <br />
<br />
The nazariyyah literature is not merely confined to improved methods and forms of writing but often seeks to <br />
advance some of the substantive aspects of the fiqh doctrines. With regard to the law of contract for example, <br />
‘Abd ar-Razzaq as-Sanhuri has observed that the fiqh literature in this area is focused on the detailed exposition <br />
of a number of nominate contracts and treats each contract separately. The Hanafi jurist, al-Kasani, has thus <br />
dealt with nineteen nominate contracts, many of which have aspects in common and, of course, they also differ <br />
in other respects. A perusal of the relevant literature on fiqh contracts, As-Sanhuri notes, leaves the reader <br />
askance as to: (a) whether these could all be consolidated in order to highlight the features they all have in <br />
common; (b) whether the fiqh validates contracts other than these; and (c) whether the fiqh recognises the basic <br />
freedom of contract, merely on the basis of an agreement that does not violate morality and public interest?17 <br />
Questions of this nature are likely to receive a better response from the nazariyyah literature, which is better <br />
consolidated and expressive of the common aspects of contracts. <br />
<br />
The nazariyyah literature is not entirely without precedent in the world of fiqh. With reference to the theory of <br />
contract, for example, we may note that significant progress had been made by the Hanbali ‘ulama, Ibn <br />
Taymiyyah (d.728H) and his disciple, Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, whose contributions are widely <br />
acknowledged. Ibn Taymiyyah effectively departed from the earlier strictures over the nominate contracts and <br />
advanced a convincing discourse, through his own reading of the source evidence, that contracts need not be <br />
confined to a particular prototype or number. The essence of all contracts is manifested in the agreement of the <br />
contracting parties, who may create new contracts, within or outside the ones that are already known, provided <br />
that they serve to realise a lawful benefit and do not violate public policy and morals. It may be noted, however, <br />
that Ibn Taymiyyah’s contribution to the theory of contract represented a rather latent development and a <br />
departure in many ways from the majority position on this theme. This is why As-Sanhuri’s critique may still be <br />
considered relevant. Considerable progress has also been made, in the sphere of nazariyyah literature, not only in <br />
As-Sanhuri’s own writings, but by numerous other scholars, both Arab and non-Arab, who have written widely <br />
on contracts and other major themes of fiqh. <br />
<br />
We also note in this context, the emergence of the encyclopaedias of fiqh in the latter part of the twentieth <br />
century. This marks a milestone of development and succeeds in producing consolidated and reliable works of <br />
reference on fiqh, and these efforts are still continuing. Yet, as a distinctive genre of fiqh literature, legal maxims <br />
are likely to remain an influential area of the legacy of fiqh. This is perhaps borne out by the fact that the <br />
Turkish ‘ulama who drafted the Ottoman Mejelle articles in 1850, decided to begin their impressive and, in many <br />
ways, original work on the Islamic law of transactions with a collection of the most important of these maxims. <br />
<br />
Mohammad Hashim Kamali is Professor of Law at the International Islamic University, Malaysia. He is author of <br />
numerous articles published in learned journals and many works, including Principles of Islamic Jurisprudence, Punishment in <br />
Islamic Law and Freedom of Expression in Islam. <br />
<br />
References <br />
1 Cf. Mahmassani, Subhi, Falasafat at-Tashri‘ fil-Islam: The Philosophy of Jurisprudence in Islam, Eng. Trans. Farhat I. Ziadeh, E.J. Brill, <br />
Lieden 1961, p. 151; Az-Zarqa’, Shaykh Muhammad, Sharh al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah, 3rd ed., Dar al-Qalam, Damascus <br />
1414/1993, p. 33. <br />
2 Cf. As-Sabuni, ‘Abd ar-Rahman, et al, Al-Madkhal al-Fiqhi wa Tarik at-Tashri’ al-Islami, Maktabah Wahbah, Cairo 1402/1982, p. <br />
389. <br />
3 Ibid., p. 407. <br />
4 Cf. Mahmassani, ibid, p. 152; Az-Zarqa’, ibid, p. 34. <br />
5 <br />
Al-Qarafi, Shihab ad-Din, Kitab al-Furuq, Matha’ah Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, Cairo 1346H, Vol. IV, p. 40; see also <br />
‘Atiyyah, Jamal ad-Din, At-Tanzir al-Fiqhi, Doha 1407/1987, p. 208. <br />
6 Cf. As-Sabuni, ibid., p. 398. <br />
7 Ibid., p. 380.<br />
<br />
<br />
8 Ibid., p. 400. <br />
9 Cf. ‘Attiyah, ibid., p. 81; As-Sabuni, ibid., p. 387 <br />
10 See for details Az-Zarqa’, ibid., pp. 38-39. <br />
11 Ibid., p. 43. <br />
12 Cf. Az-Zarqa’, ibid., pp. 39-40. <br />
13 Cf. Abu Sulayman, ‘Abd al-Wahhab, “An-Nazariyyah wal-Qawa‘id fil-Fiqh al-Islami” in Mujallah Jamai‘ah al-Malik ‘Abdal-‘Aziz, <br />
No.2, May 1978, p. 53. The Association of Muslim Lawyers <br />
Page 7 of 7 <br />
14 Kashif al-Ghita’, Muhammad al-Hussain, Tahrir al-Mujallah, p. 63; ‘Attiyah, ibid., p. 75; As-Sabuni, ibid., p. 395. <br />
15 Cf. Az-Zarqa’, ibid., pp. 42-43; As-Sabuni, ibid., p. 393. <br />
16 See for further details ‘Attiyah, ibid., pp. 131-132. <br />
17 As-Sanhuri, ‘Abd ar-Razzaq, Masadir al-Haqq fil-Fiqh al-Islami, Ma‘had al-Buhuth wad-Dirasah al-‘Arabivyah, Cairo 1967, Vol. I, <br />
p. 78; see also As-Sabuni, ibid., p. 380. tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-84760895490931987982010-12-31T19:51:00.000-08:002010-12-31T19:51:23.390-08:00STUDIES IN USUL UL FIQHSTUDIES IN <br />
USUL UL FIQH <br />
IYAD HILAL <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Every Muslim is recommended to take this self-study course. If understood correctly a pass mark is awarded. In addition, If you <br />
check out the Islamic Truth website at the above address a distinction is awarded. In the event of working towards establishing <br />
Allah(swt) deen (Al-Khilafah) your award will be towards paradise. Well worth achieving. <br />
<br />
www.islamic-truth.fsnet.co.uk Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
<br />
<br />
About the Author <br />
<br />
<br />
Lyad Hilal has a Masters Degree in Fiqh and Its methodology. He has authored numerous <br />
books: <br />
<br />
<br />
<br />
· Treaties in Islam (Arabic) <br />
· Gull Crisis (Arabic) <br />
· Palestinian Quest (Arabic) <br />
· Masiahah in islamic Activities (Arabic) <br />
· Muslims in the West (English) <br />
<br />
He has contributed many articles to various publications and journals in the United States and <br />
abroad, both in Arabic and English. <br />
<br />
<br />
lyad Hilal has organized and participated in numerous seminars addressing a variety of topics. <br />
His lectures and discussions are available on audiotapes, as are his books, through the Islamic <br />
Cultural Workshop. <br />
<br />
Note: <br />
There have been some additions added to this course document where the Islamic Truth <br />
Group had felt it appropriate. The Group had been established in 1999 to increase Islamic <br />
knowledge so that Muslims become Allah(swt) viceroys on earth, by carrying the correct Islamic <br />
Aqeeda, Usul Ul Fiqh & Shari’ah, to take part in the establishment of a true Islamic State (Al-<br />
Khilafah) that Muslims are working for right now. You are urged to form Groups that follow the <br />
correct Islamic methodology, that of Muhammad (saaw) and spread decisive Dawa that brings <br />
to light the truth to mankind. Muslims have forgotten the true essence of Islam, and are <br />
transgressing towards the hell fire at high speed. Lets work to put our brothers, sisters, fathers <br />
and mothers back on the correct path that leads to success in this temporary life and hereafter – <br />
Inshallah! <br />
<br />
To all Muslims, you are the future government of the Islamic state. A state that will encompass <br />
the world. The Governmental structure will require the best among you who hold firm to the <br />
Islamic belief and deep understanding of the Islamic economic, social, political, judicial and <br />
administrational systems that encompass ISLAM as a political world power. Our goal as <br />
Muslims is to rule the world by Islam for the pleasure of Allah(swt). It is Allah(swt) who <br />
commands us to establish his deen to be dominant over all other man-made deens and <br />
religions. Al-Khilafah will take care of the affairs of Muslims and non-Muslim worldwide, <br />
protecting there religion, property, money and lives - ultimately to please Allah(swt) by <br />
implementing true political ISLAM. <br />
<br />
Send an email to islam@islamic-truth.fsnet.co.uk for further advice and guidance. <br />
<br />
Lets work together to bring Al-Khilafah back into the international arena. This will benefit <br />
everyone. <br />
<br />
COURSE CONTENTS <br />
<br />
<br />
TIME LINE 6 <br />
INTRODUCTION 8 <br />
1.0 BASIC TERMS IN ISLAMIC JURISPRUDENCE 10 <br />
1.1 Fiqh BASIC TERMS IN ISLAMIC JURISPRUDENCE 10 <br />
1.2 Usul al Fiqh 10 <br />
1.3 Shariah 11 <br />
1.4 Hukm Sharii 11 <br />
1.4.1 Types of Hukm Sharii 12 <br />
1.5 The Application of Shariah 13 <br />
2.0 DALEEL 15 <br />
2.1 Structure of a Daleel 15 <br />
2.1.1 Riwayah 16 <br />
2.1.2 Dalalah 16 <br />
3.0 QURAN 20 <br />
4.0 SUNNAH 22 <br />
4.1 Types of Sunnah 23 <br />
1. Actions as Part of Prophet (saaw)’s Nature 23 <br />
2. Actions Specifically for the Prophet (saaw) 23 <br />
3. Actions of the Prophet (saaw) Carrying Legislative Consequences. 24 <br />
4.2 Basic Terms in Hadith: 27 <br />
4.2.1 Types of Hadith 27 <br />
4.3 Reconciling a Perceived Conflict Between two or more Ahadith 29 <br />
5.0 RELATIONSHIP BETWEEN QURAN AND SUNNAH 32 <br />
5.1 The Application of Sunnah 34 <br />
6.0 RELATIONSHIP BETWEEN QURAN AND SUNNAH 36 <br />
6.1 Quran 36 <br />
6.2 Sunnah 36 <br />
6.3 Ijma 37 <br />
6.3.1 Ijma al Ummah 37 <br />
6.3.2 Ijma al Mujtahideen 39 <br />
6.3.3 Ijma ahlel Bayt 40 <br />
6.3.5 Ijma as Sahabah 43 <br />
<br />
www.islamic-truth.fsnet.co.uk <br />
6.3.6 Daleel Indicating the Authority of Ijma as Sahabah 43 <br />
6.3.7 Who is the Sahabi? 45 <br />
6.4 Qlyas 45 <br />
6.4.1 Daleel indicating the authority of Qiyas 46 <br />
7.0 SOURCES OF HUKM SHARII NOT AGREED UPON BY ALL THE ULEMA 47 <br />
7.1 Istlhsan 47 <br />
7.1.1 Types of Istihsan: 47 <br />
7.2 Maslaha at Mursalah 49 <br />
7.2.1 Types of Maslaha al Mursalah 49 <br />
7.3 Laws Revealed before Islam 51 <br />
6.0 IJTIHAD 53 <br />
8.1 Qualifications for performing ljtihad 53 <br />
8.2 Types of Mujtahld 54 <br />
8.3 Reasons for differences of opinion among the Mujtahideen 55 <br />
8.3.1 Differences in the Legislative Sources 55 <br />
8.3.2 Differences in interpreting the text itself 56 <br />
8.3.3 Differences in Methodology of Usul-Fiqh 56 <br />
8.3.4 Differences in Understanding the Arabic Language 57 <br />
9.0 A BRIEF OVERVIEW OF SOME SCHOOLS OF THOUGHT 60 <br />
9.1 Era of the Prophet (saaw) 60 <br />
9.2 Era of the Sahabah (raa) 61 <br />
9.2.1 Why was there Difference of Opinion amongst the Sahabah (raa)? 65 <br />
9.3 Era of the Tabi’een 65 <br />
9.3.1 AhIul Hadith & Ahiul Ra’ee 66 <br />
9.4 Madhab of Imam Abu Hanlfah (ra) 68 <br />
9.4.1 Books and Students from the Madhab of Imam Abu Hanifah 68 <br />
9.5 Madhab of Imam Malik (ra) 69 <br />
9.5.1 Books and Students from the Madhab Imam Malik 71 <br />
9.6 Madhab of Imam Shafii 71 <br />
9.6.1 Books and Students from the Madhab of Imam Shafii 73 <br />
9.7 Madhab of Imam Ahmad ibn Hanbal 73 <br />
9.71 Imam Ahmad and ‘IIm~uI-Ka!aam 74 <br />
9.72 Students from the Madhab of Imam Hanbal 76 <br />
9.72.1 Ibn Taymiyyah 76 <br />
9.8 Madhab of Ibn Hazm 76 <br />
9.9 IntroductIon to Madhab of Imam Zaid and Imam Jafar 77 <br />
9.9.1 Madhab of Imam Zaid 78 <br />
9.9.2 Madhab of Imam Jafar 80 <br />
10.0 DO WE NEED A NEW SCHOOL OR MADHAB? 84 <br />
11.0 TAQLEED 87 <br />
11.1 Daleel for performing TaqIeed: 87 <br />
11.2 MuslIms Must Ask for Daleel 88 <br />
11.3 Taqleed is not practiced in the Aqeedah (Belief) 88 <br />
11.4 Muqalid Shifting from One Opinion to Another 88 <br />
12.1.1 Forms of Wahi’y (Revelation) 90 <br />
12.1.2 Differences Between the Revelation of Quran and Sunnah 92 <br />
12.2 Role of Aqi 93 <br />
12.3 Does the Shariah Apply on Non-Muslims? 96 <br />
12.4 Is Prophet Mohammad (saaw) a Mujtahid? 96 <br />
12.6 Need for an American Fiqh? 100 <br />
12.7 Alinority Fiqh 103 <br />
CONCLUSION 104 <br />
GLOSSARY 106 <br />
<br />
Time Line <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
7 <br />
<br />
Time Line (Text Version) <br />
<br />
<br />
Birth of Muhammad (saaw) (570) 500C.E. <br />
Khalifah Abu Bakr (ra) (632-634) <br />
Khalifah Umar ibn al Khattab (634-644) <br />
Khallfah Uthman bin Affan (644-656) <br />
Khallfah All bin Abi Talib (656-661) <br />
<br />
Ibn lshaq (708-774) <br />
Khaiifah Umar bin Abdui Aziz (d. 720) <br />
Khalifah Harun al Rasheed (786-809) <br />
<br />
Saiah al-Din aI-Ayyubi (1169-1193) <br />
Imam Nawawi (1233-1277) <br />
Ibn Al-Qayyim Al Jawziyyah (d.1350) <br />
Ibn Kathir (1300-1373) <br />
<br />
Imam Zaid bin All (700-742) Imam Jafar (700-768) <br />
Imam Abu Hanifah (700-768) <br />
Imam Mailk (713-797) <br />
Imam Shafii (767-820) <br />
Imam Ahmed ibn Hanbai (781-856) <br />
Imam ibn Hazm (994-1064) <br />
<br />
Ibn Taymlyyah (1263-1328) <br />
Imam Shawkanee (d. 1873) <br />
<br />
Khalifah Abdul Hamld 11(1876-1909) <br />
<br />
The Dissolution of the Islamic State (d. 1924) <br />
<br />
Imminent Return of Al-Khilafah (200?) <br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
8 <br />
<br />
Introduction <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Today have I perfected your Deen, completed my favor upon you, <br />
And have chosen for you Islam as your Deen. (Al Ma’ida: 3) <br />
<br />
<br />
In this Ayah, as well as many others, Allah (swt) reminds the Muslim Ummah of the value <br />
and regard that He (swt) has for the Message of Islam. This Message is unique in <br />
comparison to the previous Messages in several ways. <br />
<br />
It is the last and final Message for humanity from Allah (swt). The followers of this <br />
Message have the honour of implementing and carrying it to other nations without the <br />
presence of their Messenger (Muhammad (saaw)). <br />
<br />
In contrast, the Ummahs before the Message of Muhammad (saaw) were led by their <br />
respective Prophet or Messenger. This honour manifests itself in Allah’s (swt) promise <br />
that the Muslim Ummah would be the first to enter Paradise. Therefore, the people who <br />
have entered this Deen are truly the fortunate ones. <br />
<br />
The Muslim Ummah earned this honour by realizing the necessity of implementing and <br />
maintaining Islam. They were its guardians even when they were under the brutal <br />
occupation of <br />
the Mongols. In fact, during the occupation they were able to dramatically influence the <br />
occupiers with the Islamic ideology. This unprecedented event exemplifies the trust and <br />
the clear-cut understanding of!slam that Muslims possessed. What other nation was able <br />
to influence and change its conquerors, such that they would start carrying the Deen of <br />
the conquered? <br />
<br />
It is with a feeling of regret and sorrow that today we witness Muslims, either leaving or <br />
only partially accepting Islam. Muslims have tried to mix its thoughts and values with that <br />
of other ideologies. It’s laws are partially implemented along with those of other <br />
ideologies. Islam for the most part is generally known by its rituals to its followers and <br />
thus they convey it to other nations as such. <br />
<br />
However, this Deen is still alive and intact in the Quran and Sunnah. It is from these two <br />
sources that we will explain, the nature of Islam and fundamental elements associated <br />
with its foundation of law (Usul al Fiqh), Insha’Allah. <br />
<br />
Islam was not revealed all at once, and is notjust a set of “do’s” and “don’ts” like any <br />
constitution or legal document. In contrast, Islam offered solutions to the day to day <br />
problems as they were encountered by the Prophet (saaw) and the Sahabah (raa). <br />
<br />
Islam provided a definite and clear vision to the Prophet <br />
(saaw) on how to live up to its ideology. Islam did not only provide and explain its values Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
9 <br />
and thoughts; moreover, it provides a comprehensive set of legal laws regarding all <br />
facets of human existence. The implementation of these laws brought unheralded <br />
tranquillity and justice in the society. <br />
and unparalleled ideas, values, thoughts, guidelines, and laws which Prophet <br />
Mohammed (saaw) expressed or applied during his (saaw) life. <br />
<br />
The Aqeedah of Islam surpasses the ‘Aqeedah’ of capitalism! democracy, in that it <br />
makes the human being subservient to his Creator rather than to his own desires. The <br />
simplicity of Islam frees the human being from slavery to anything other than Allah <br />
(swt).The Aqeedah of Islam orients a persons thinking to seek the pleasure of Allah (swt) <br />
as opposed to self benefit and material pleasure. <br />
<br />
The laws of Islam are of the same nature as it’s Aqeedah. In that, they are both revealed <br />
by Allah (swt). The laws neither favor the working nor the elite class in the society. These <br />
are qualities of man-made laws which the Shariah transcends. Consequently, no Muslim, <br />
whether rich or poor, would feel any hesitation or regret in implementing the Islamic laws. <br />
<br />
However, presently, hesitation and skepticism are prevalent at the Ummah level. We will <br />
examine and reflect on one of the major causes of such a decadent attitude, i.e. the lack <br />
of a cohesive understanding of issues surrounding Fiqh (Islamic Laws). <br />
<br />
It is with this purpose of developing a cohesive understanding of Usul al Fiqh that we <br />
have put forward this effort. <br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
10 <br />
1.0 BASIC TERMS IN ISLAMIC JURISPRUDENCE <br />
<br />
<br />
1.1 Fiqh BASIC TERMS IN ISLAMIC JURISPRUDENCE <br />
<br />
Linguistically, Fiqh implies having knowledge in depth. As a juristic term, Fiqh has two <br />
meanings: <br />
<br />
A. Having the knowledge of the rulings of Shariah (Islamic Law) which are extracted <br />
from the legislative sources. As an example, a Faqih would know the ruling for <br />
the issue of abortion; in addition, he would know how and from where this ruling <br />
was extracted. <br />
B. All the Islamic laws. This definition is synonymous to the term Shariah. <br />
<br />
1.2 Usul al Fiqh <br />
<br />
Usul al Fiqh is the collection of principles pertaining to the methodology for the extraction <br />
of Fiqh. The concept of Usul al Fiqh is comparable to adhering to a methodology when <br />
conducting a scientific experiment. Similarly, adhering to a methodology in deriving Fiqh <br />
(rulings) is referred to as Usul al Fiqh. This methodology provides a way for a person to <br />
derive Islamic rulings from the legislative sources in Islam. <br />
<br />
The collection of principles related to Usul al Fiqh are many. A few examples of these <br />
rules are discussed in the following section. <br />
<br />
A. Legislative Sources <br />
<br />
Adopting specific sources to derive laws is a major subject in Usul al Fiqh. The <br />
Quran, Sunnah, Ijma as Sahabah (consensus of the companions), and Qiyas <br />
(analogical deduction) are four sources in Islam, which are accepted by almost all <br />
of the scholars. However, there are other additional sources such as Maslaha al <br />
Mursalah (benefit) or Ijma al Ummah (consensus of the Ummah), which are not <br />
widely accepted. <br />
<br />
B. Arabic Language <br />
<br />
Within the Arabic language, there are rules for understanding the structure of an <br />
Ayah or Hadith. The rules of grammar in the Arabic language define the meaning <br />
of the Ayah or Hadith. Therefore, understanding the rules of grammar and their <br />
application is one use of the Arabic language in Usul al Fiqh. <br />
<br />
C. Interpreting the text of Quran and Sunnah <br />
<br />
Unless the text of the Quran and Sunnah is correctly understood, no ruling can <br />
be deduced from it. The linguistic structure of the text in Quran and Sunnah <br />
varies from one style to another. Some examples of these linguistic styles are: <br />
Thanniy (speculative text), Qatai (definitive text), Amm (general text), Khass <br />
(specific text), Haqiqi (literal text), and Majaazi (metaphorical text). The rules to <br />
distinguish and difl’erentiate between these styles is an important subject in Usul <br />
al Fiqh. Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
11 <br />
<br />
Another essential aspect involved in interpreting the text of the Quran and Sunnah are <br />
issues surrounding abrogation of rulings from the Quran and Sunnah. The study of <br />
abrogation involves issues such as, what constitutes abrogation, how to understand it in <br />
relation to other Ayahs or Ahadith, and how to reconcile these differences. <br />
<br />
Some Muslims claim there is no need for Usul al Fiqh, thinking one can directly go to the <br />
text of the Quran and Sunnah and derive laws. Such a claim really illustrates the <br />
ignorance in understanding Islam. It is impossible to derive laws without being equipped <br />
with the necessary tools. These tools enable us to understand the text of the Quran and <br />
Sunnah, and without understanding the text, one would not be able to extract laws. <br />
<br />
As an example, without being aware of the rules of Arabic grammar for interpreting the <br />
text of Quran and Sunnah, one would not be able to differentiate whether the command <br />
in the Ayah or Hadith for a certain action is Haram (forbidden) or Makruh (undesirable). <br />
Therefore, Usul al Fiqh is a definite prerequisite to derive rulings. <br />
<br />
Since rulings are deriv I based on Usul al Fiqh, a variation in Usul al Fiqh may result in <br />
different rulings. This is one of the reasons that there might exist more than one ruling on <br />
some issues. <br />
<br />
The end product of Usul al Fiqh is Shariah (or Fiqh). The difference between Usul al Fiqh <br />
and Shariah is that the latter is concerned with the rulings related to our actions, and Usul <br />
al Fiqh is concerned with the methodology applied to deduce such rulings. <br />
<br />
1.3 Shariah <br />
<br />
The linguistic meaning of the word Shariah is a non-exhaustive source of water from <br />
which people satisfy their thirst. Thus, the linguistic significance of Shariah is that the <br />
Islamic laws are effectively a source of guidance. As water is the fundamental basis for <br />
life, the Islamic laws are an essential source for guiding human life. <br />
<br />
Shariah is composed of all the laws derived from the legislative sources of Islam. These <br />
laws are not just limited to areas covering marriage or divorce; rather, the Islamic laws <br />
cover every action performed by an individual or a society. The term Shariah is also a <br />
synonym for Fiqh. <br />
<br />
<br />
1.4 Hukm Sharii <br />
<br />
The text of both Quran and Sunnah address many topics such as, stories of previous <br />
Ummahs, the Day of Judgment, and others. However, the text which specifically <br />
addresses our actions of what to do or what not to do is referred to as Hukm Sharii. <br />
<br />
The term Hukm Sharii, in Arabic, means the address of the Legislator related to our <br />
actions. Islam addresses all of our actions, whether they are permitted or not. <br />
Accordingly, all of our actions have to be guided by the Hukm Sharii. Allah (swt) says: <br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
12 <br />
<br />
<br />
‘Who so rules not according to what Allah has sent down ... they are the disbelieves ... <br />
they are the wron~doers ... they are the trans~ressors.’ <br />
(Al-Maldah: 44-47) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
“It is not for any bellevlnq man or woman, when Allah and <br />
His Messenger have decided a matter, to have any choice for <br />
themselves in their affairs. For whosoever against Allah(swt) and <br />
his Messenger has gone astray into mainifest error.” (Al-Ahzab: 36) <br />
<br />
<br />
1.4.1 Types of Hukm Sharii <br />
<br />
Many Muslims are too quick to conclude that something is either Haram(prohibited) or <br />
Fard (compulsory) after a quick reading of an Ayah or a Hadith. Not all commands in the <br />
legislative sources are Fard or Haram. The rules which are used to differentiate the types <br />
of Hukm Sharii are again related to Usul al Fiqh. <br />
<br />
In reality, the Hukm Sharii can be understood in five general ways. <br />
<br />
A. Fard (compulsory): <br />
<br />
If the request to do an action is decisive (Talab Jazim) then it is a Fard or Wajib; <br />
both have the same meaning. A person who complies with a Fard will be <br />
rewarded,while one who disobeys will be punished. <br />
<br />
Example: Performing and establishing Salat, paying Zakah. <br />
<br />
<br />
B Haram (prohibited) <br />
<br />
If the instruction is connected with a decisive command of refraining from an <br />
action then it is Haram or Mahthur. If the Haram is committed, then the person <br />
will be punished, but if the Haram action is avoided, the person will be rewarded. <br />
<br />
Example: dealing with Riba, gambling, promoting nationalism or democracy, etc. <br />
<br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
13 <br />
<br />
C. Mandub, Sunnah or Nafilah (recommended) <br />
<br />
If the instruction to do an action is not firm, then it is considered Mandub, The <br />
one who performs it is praised and rewarded; however, the one who abstains <br />
from it is neither blamed nor punished. <br />
<br />
Example: Attending to the sick, giving alms to the poor, fasting Mondays and <br />
Thirsdays. <br />
<br />
<br />
<br />
D. Makruh (disliked): <br />
<br />
If the instruction of refraining from an action is not firm, then it is considered <br />
Makruh. The one who abstains is praised and rewarded while the one who does <br />
it is neither punished nor blamed. <br />
<br />
Example: performing Salat between Fajr Salat and sunrise, eating garlic before <br />
going to the Masjid for Salat, etc. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
F. Muhbah (permissible) <br />
<br />
If the choice to do or not to do an action is left up to the person, then the action is <br />
called Mubah. One will neither be rewarded nor punished for an action falling <br />
under this category. <br />
<br />
Example: Eating lamb or chicken, marrying up to four wives, etc. <br />
<br />
<br />
Some of the Hukm Sharii such as Fard are divided into sub-categories. For example, <br />
Fard is divided into Fard al Ayn and Fard al Kifaya. Faid al Ayn is obligatory on every <br />
single Muslim, such as praying live times a day; whereas, Fard al Kifaya is obligatory on <br />
the whole Ummah, until part of the Ummah fulfills the Fard, such as the burial of a de-<br />
ceased Muslim. If a portion of the Ummah fulfilled this task, then this relieves the duty <br />
from the rest of the Muslims. Some of the other types of l-Iukm Sharii are also further <br />
sub-divided. <br />
<br />
<br />
1.5 The Application of Shariah <br />
<br />
The Shariah is not only limited to areas covering divorce or marriage. It covers the <br />
relationship between Man and Allah (swt), Man and Himself, and Man and Man. In <br />
addition, to the method for applying these rules, implementing any rule requires having <br />
the knowledge of the situation, the rule, and the method. <br />
<br />
As an example, there is a general principal in Islam that a thief’s hand should be cut off. <br />
However, if the individual steals food while hungry, then this general principal is not <br />
applied in this particular situation. Consequently, the knowledge of how and when to <br />
apply a rule is obligatory. Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
14 <br />
<br />
A misapplication of the Shariah is applying the Islamic laws related to Hudud <br />
(punishment) while at the same time implementing an economic system based on <br />
capitalism. Islamic laws related to punishment were revealed to protect the society in <br />
which Islam is being applied. <br />
<br />
How can the Islamic laws related to punishment be applied concurrently with capitalism, <br />
which thrives on exploiting the masses? How can any one justify the Islamic punishment <br />
of cutting the hand of a thief while the thief is under the oppression of capitalism? <br />
<br />
The punishment of cutting off the hand of the thief is based upon protecting the society <br />
where the Islamic System is in application, a system which functions to see to it that the <br />
basic needs of every individual in the State are met. <br />
<br />
The Shariah should not be viewed as a burden or an obstacle in our lives; but rather, as <br />
a mercy from Allah (swt). These laws must be understood as a part of the Deen (a <br />
comprehensive way of life) revealed by the Creator. This Deen, Islam, requires a <br />
conviction that Islam is the only solution to our problems; it came from Allah (swt), Who <br />
created us and thus knows what is best for us. <br />
<br />
There is no reason for us not to obey any ruling from Allah (swt). As mentioned earlier, <br />
the Islamic laws are Just because they are from Allah (swt), in contrast to the oppressive <br />
man-made laws. Consequently, we should feel proud, happy, and grateful that Allah (swt) <br />
has shown us the only correct way to obey Him (swt). <br />
<br />
Islam is a complete and thoroughly integrated unit that cannot be implemented partially. <br />
The implementation of the Islamic rules related to the economy necessitate the <br />
implementation of the rules of Zakah, Nafaqah, and Al-Jizyah, which in turn means the <br />
implementation of the economic system. <br />
<br />
The execution of the economic system requires the implementation of the Ibadaah, social <br />
system, rules related to the People of the Book, Islamic foreign policy, and rules related <br />
to the Khalifah all together. The Islamic system is inter-connected; one part helps the <br />
implementation of the other part. <br />
<br />
Implementing only some parts of Islam, and leaving others, results in chaos, as is evident <br />
today. For instance, Allah (swt) has permitted divorce to solve a problem, but today <br />
divorce itself is a problem rather than a solution due to the misapplication of this <br />
particular solution and Islam in general. <br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
15 <br />
<br />
2.0 DALEEL <br />
<br />
<br />
Linguistically, Daleel means a proof, indication, or an evidence. As a term, Daleel means <br />
the source or evidence for a thought, concept, or a ruling. Any law or ruling must have a <br />
Daleel, which can be from Quran, Sunnah, or a source, which Quran and Sunnah <br />
directed us to adopt. These sources will be discussed later in the book. Any ruling from <br />
the text of either the Quran or Sunnah is considered a Daleel. <br />
<br />
For example, the Quran states: <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
‘Let there arise out of you a group of people Inviting to all that is <br />
good (Islam) and enjoining what is right and forbidding what is <br />
wrong.’ (Al Imran:104) <br />
<br />
This Ayah is considered a Daleel for the obligation of establishing a Hizb (party or group) <br />
calling for Islam and enjoining what is Maruf (good) and forbidding what is Munkar (bad). <br />
<br />
An example of a Daleel from the Sunnah is the prohibition to the call for nationalism. The <br />
Prophet (saaw) said about all types of Asabiyah (nationalism, racism, tribalism): <br />
<br />
<br />
<br />
“Leave it, it is rotten.” (Bukhari and Muslim) <br />
<br />
<br />
2.1 Structure of a Daleel <br />
<br />
As mentioned earlier, a Daleel is an evidence for an opinion, concept, ruling, or a thought <br />
from Islam. There are two aspects related to any Daieel, Riwayah (reportage) and <br />
Dalalah (meaning). <br />
<br />
The Riwayah covers issues related to how the information was relayed to us, which <br />
includes the number and the integrity of reporters. <br />
<br />
The DalaJah is related to the meaning of the text in the Daleel. There are also two terms <br />
used in connection with Riwayah and Dalalah, Qatai and Thanniy. <br />
<br />
Qatai is defined as being conclusive or decisive, while Thanniy is the opposite of Qatai <br />
and means non-definite or indecisive. Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
16 <br />
<br />
<br />
2.1.1 Riwayah <br />
<br />
Any Ayah from the Quran or Hadith Mutawatir is considered Qatai (conclusive) in its <br />
Riwayah (report). <br />
<br />
The Qatai in Riwayah implies that the evidence is authentic without any shadow of doubt. <br />
This authenticity is established based on the methodology of transmission. <br />
<br />
The methodology by which Quran was transmitted to us precludes any possibility of <br />
fabrication. The report was transmitted generation by generation in exactly the same <br />
manner. It is impossible for an entire generation to fabricate, erase, or add contents to <br />
the Quran. It is inconceivable to believe that every single individual in that generation as-<br />
sembled together and agreed to add or delete parts of the Quran. Everyone in that <br />
generation was reciting the same contents of the Quran, thus authentifyng its contents. <br />
<br />
Hadith Mutawatir was not transmitted generation by generation, but rather by a large <br />
number of people. Due to the large number of people reporting the Daleel, and their <br />
diversity of residence, their established reliability and conviction, it is inconceivable that <br />
this Daleel could be wrong. <br />
<br />
Any report of information other than through the Quran or Hadith Mutawatir, such as <br />
Hadith Ahad, is considered Thanniy (non-definite), meaning that there is a minute <br />
possibility that the Daleel could contain error. <br />
<br />
To summarize: <br />
<br />
<br />
2.1.2 Dalalah <br />
<br />
The second aspect of the Daleel is the Dalalah (meaning). If the text of Quran, Hadith <br />
Mutawatir or Hadith Ahad is clear, specific, and has only one meaning, then it is <br />
considered Qatai. The text of a Qatai Daleel has to have only one meaning and cannot <br />
be open to any other interpretation. If the text is open to more than one interpretation, <br />
then it is considered Thanniy. Since interpretations are due to the Arabic language, any <br />
interpretation has to be justified through the Arabic language. <br />
<br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
17 <br />
<br />
<br />
To summarize: <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
A1. Example of Quran with a Qatai (conclusive) meaning: <br />
<br />
<br />
<br />
‘What your wives leave, your share is a half, if they leave no chlld.’ (An Nisa:12) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
18 <br />
‘Those who accuse chaste women of zinna (adultery) and fail to bring four <br />
witnesses (to prove it) flog them eighty strips.’ (An Nur: 4) <br />
<br />
This quantative aspect of these rulings, namely one half and eighty are clear and <br />
therefore cannot be open to any other interpretations. <br />
<br />
<br />
A2. Example of Hadith Mutawatir with Qatal (conclusive) meaning: <br />
<br />
<br />
“Whosoever lies about me (Prophet Muhammad (saaw)) deliberately, let him take <br />
his place in the Hell fire” <br />
<br />
<br />
This Mutawatir Hadith is very clear in its subject; thus there is only one understanding <br />
from the text, that whoever lies about what Prophet (saaw) said intentionally, he will go to <br />
hellfire. <br />
<br />
<br />
<br />
A3. Example of Hadith Ahad with Qatai (conclusive) meaning: <br />
<br />
It is reported from a non-Mutawatir Hadith that the Prophet (saaw) fasted 6 days in <br />
Shawwal. The conclusive meanings from this Hadith are the following: <br />
<br />
a) Permissibility of fasting 6 days in Shawwal. <br />
<br />
b) Except on the first day, since it is the day of Eid, and it is Haram to fast on Eid. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
B1. Example of Quranic Ayah with a Thanniy (non-definite) meaning: <br />
<br />
In Surah al Maid’a Ayah 6, Allah (swt) says if you la masturn the women it breaks the <br />
wudhu. The word Ia mastum has been interpreted as having two meanings: <br />
<br />
a) Touching. <br />
<br />
b) Sexual Intercourse. <br />
<br />
Thus the Ayah has a Thanniy Dalalah, i.e. it could mean touching women breaks the <br />
Wudhu, or sexual intercourse with a woman breaks the Wudhu. <br />
<br />
B2. Example of Hadith Mutawatir with a Thanniy (non-definite) meaning: <br />
<br />
It was reported that the Prophet (saaw) used to take off his Ihram in a specific manner. <br />
However, when the Sahabah (raa) told the Prophet (saaw) that they took it off in a <br />
manner different from the way he (saaw) took it ofI~ the Prophet (saaw) approved of their <br />
actions. <br />
<br />
Though this incident is Mutawatir, the rules to take off ones Ihram are many. <br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
19 <br />
<br />
<br />
B3. Example of a Hadith Ahad with a Thanniy (non-definite) meaning: <br />
<br />
It is reported from a non-Mutawatir Hadith that the Prophet (saaw) fasted 6 days in <br />
Shawwal. The non-definite meanings of this Hadith are: <br />
<br />
a) Whether the six days of fasting are consecutive or not? <br />
<br />
b) Fasting in which part of Shawwal? <br />
<br />
So far we have discussed the Qatai and Thanniy aspects of both Riwayah and Dalalah <br />
separately. However, the method to determine whether the Daleel (both in Riwayah and <br />
Dalalah) is Qatai (conclusive) or Thanniy (non-definite) is the following: <br />
<br />
1. QataiRiwayah + Qatai Dalalah = Qatai Daleel <br />
2. ThanniyRiwayah + Qatai Dalalah = Thanniy Daleel <br />
3. Thanniy Riwayah + Thanniy Daialah = Thanniy Daleel <br />
4. Qatai Riwayah + Thanniy Dalalah = Thanniy Daleel <br />
<br />
Any idea, thought, or concept related to the Aqeedah has to be based upon a Qatai <br />
Daleel. As an example, the concept that Angels exists is based upon a Qatai Daleel not <br />
Thanniy. Also, in Usul a! Fiqh, to establish a source for extracting rulings, the source <br />
must be based upon a Qatai Daleel as well. <br />
<br />
As an example, to consider Ijma as Sahabah (consensus of the companions) as a source <br />
of rulings, the Daleel to prove the authority of Ijma as Sahabah has to be Qatai both in <br />
Riwayah and Dalalah, though a ruling can be derived from either a Qatai or Thanniy <br />
Daleel. <br />
<br />
One might wonder why understanding the text of Quran and Sunnah is so <br />
complicated? <br />
<br />
By examining the text of Quran and Sunnah one can see that it is limited in its volume. <br />
With its limited text one can generate rulings to any problems affecting us anywhere and <br />
anytime until the Day of Judgment. <br />
<br />
It is a miracle from Allah (swt) that the text of the Quran and Sunnah have the ability to <br />
express numerous rulings from a single Ayah and Hadith; whereas, the ability to <br />
understand many meanings from a single text cannot he found in any other legal text in <br />
the world! <br />
The challenge is for Muslims in each generation to try to understand the text and relate it <br />
to their lives since the Quran and Sunnah are relevant to all times and places. <br />
<br />
Besides the point mentioned above, we have to realize that there are rules and <br />
guidelines related to understanding and deriving laws from the Quran and Sunnah. No <br />
one, without being acquainted with these rules (Arabic language, rules which differentiate <br />
one type of text from another, etc.), can understand the text of Quran and Sunnah. <br />
<br />
Even to understand man-made constitutions, one has to spend a few years studying and <br />
understanding the text. So, how can we expect an individual who is unfamiliar with the <br />
Usul al Fiqh to open up the Quran and Sunnah and start extracting laws from it? Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
20 <br />
<br />
<br />
<br />
3.0 QURAN <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Quran is derived from the word Qara’a, which means to read or recite. Therefore, Quran <br />
linguistically means the book that has been read or recited. <br />
<br />
As a term, Quran is Allah’s (swt) miraculous speech revealed unto Muhammad (saaw) in <br />
Arabic and transferred to us by Tawatur method. The recitation of Quran is considered as <br />
an Ib’adah (act of worship). By Allah’s (swt) speech it is meant that the Quran is the exact <br />
words of Allah (swt). It was revealed to Muhammad (saaw) as it exists today. By <br />
miraculous it is meant that no one can produce something similar to it. <br />
<br />
The term “in Arabic” refers to the language of the Quran, not to its scope or its ideas <br />
because Quran addresses all Arabs and non-Arabs. The rules of Quran are universal <br />
and not restricted to one ethnic group or a specific area or time. <br />
<br />
By Tawatur method it is meant that it was conveyed to us by a group of people for whom <br />
it is impossible to lie or conspire to fabricate a lie. The Quran was transferred to us <br />
through an entire generation, not just by a group, to its successors, until it reached the <br />
present generation, without any interval in this transference. <br />
<br />
Reciting Quran in Arabic by itself, without even comprehending its meaning is considered <br />
an Iba’adah. In this regard, Quran is different from Hadith, which cannot be recited as an <br />
act of Iba’adah. However, thinking about the meanings of both the Quran and Hadith is <br />
considered an Iba’adah. <br />
<br />
During the time of the Prophet (saaw), the text of the Quran was preserved in memory <br />
and also inscripted on flat stones, wood, and bones. Initially Khalifah Abu Bakr (ra) <br />
collected the Quran soon after the battle of Yamamah due to the martyrdom of many <br />
memorizers of the Quran. Zayd bin Thabit (ra), the scribe of the Prophet (saaw), was <br />
employed in the task of compiling the text. <br />
<br />
During the time of the Prophet (saaw), Muslims used to recite the Quran in different <br />
ways, which were taught by the Prophet (saaw) himself. When the Sahabah (raa) <br />
emigrated to the conquered lands the Muslims in those areas recited the way that Sahabi <br />
(ra) recited. Consequently, there were some arguments as to which method of recitation <br />
was correct. <br />
<br />
Khalifah Uthman (ra) realized this problem and feared that the fate of the Quran would go <br />
the same way and be lost or corrupted as were earlier books of the revelation. In order to <br />
remove this danger, Khalifah Uthman (ra) adopted one way of recitation and made seven <br />
copies. These seven copies were sent to different areas; the master copy was kept in <br />
Medinah. All other copies existing at the time were destroyed. <br />
<br />
The Quran was revealed with the words and its meaning intact; whereas, the Sunnah <br />
was revealed in meaning and the Prophet (saaw) expressed this meaning using his own <br />
words. The Quran was revealed in two distinct periods of the Prophet~s (saaw) Dawah, <br />
in Mecca and Medinah. Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
21 <br />
<br />
A Surah is considered to be Makki if its revelation had begun in Mecca even if it contains <br />
Ayahs that were revealed in Medinah. The distinction between the Makki and Madani <br />
parts of the Quran is based on the information provided mainly by the Sahabah (raa). Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
22 <br />
<br />
4.0 Sunnah <br />
<br />
<br />
<br />
Sunnah, linguistically, means a path or a way. As ajuristic term “Sunnah” has different <br />
meanings to various disciplines of the Islamic culture. <br />
<br />
q To the Ulema of Hadith: <br />
<br />
Sunnah refers to all that is narrated from the Prophet (saaw), his acts, his sayings, <br />
whatever he has tacitly approved, and all the reports which describe his physical <br />
attributes and character. <br />
<br />
q To the Ulema of Fiqh ( Jurisprudence): <br />
<br />
Sunnah refers to the category of Mandub or Nafilah. In this sense, Sunnah is used <br />
synonymously with Mandub. As an example, praying extra prayers or fasting extra days <br />
other than in Ramadhan is Mandub or Nauilah. <br />
<br />
<br />
q To the Ulema of Usul al Fiqh: <br />
<br />
Sunnah refers to another source of Shariah along with the Quran. Thus, in the usage of <br />
Usul al Fiqh, one might say that fasting days other than in Ramadhan is from Sunnah, <br />
denoting that this ruling has been validated by the Sunnah. <br />
<br />
Mandub, meaning a recommended act. In Usul a! Fiqh it is a source for extracting <br />
rulings, and it establishes the following types of Hukm Sharii <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
23 <br />
<br />
4.1 Types of Sunnah <br />
<br />
A. Qawli (verbal): consists of the sayings o( the Prophet (saaw) on any subject. <br />
<br />
Example: “He who cheats is not one of us.” <br />
<br />
B. Taqriri (Approval): consists of the approval of the Prophet (saaw). If something <br />
was done in front of him (saaw) and he (saaw) didn’t disapprove of it, then it is <br />
considered an approval. As an example, the Prophet (saaw) approved the way <br />
women prayed in the mosque, separate from men, but in the same room. <br />
<br />
<br />
C. Faili (Actions):consists of the Prophet (saaw)’s deeds and practices, such as the <br />
way he (saaw) used to pray or perform Hajj. <br />
<br />
The following paragraphs address the actions of the Prophet (saaw) and their legislative <br />
impact. The actions of the Messenger (saaw) can be divided into three parts. The first <br />
section consists of those actions, which were natural to him as a human being, secondly <br />
actions that were specific to him as a Prophet (saaw), and thirdly, actions which carry <br />
legislative impact. <br />
1. Actions as Part of Prophet (saaw)’s Nature <br />
<br />
These actions include the way he stood, sat, ate, or drank. For example it is reported that <br />
when he (saaw) walked and wanted to turn his head to another direction, he (saaw) <br />
would turn his entire body. This type of action has no legislative impact, except in certain <br />
cases where he (saaw) recommended doing a particular action. Then such an action <br />
would be considered Mandub. <br />
<br />
For example, there is a Hadith telling a Sahabi to eat with his right hand which shifts the <br />
action, initially falling under a mubah (permissible) category, to a Mandub <br />
(recommended) category. The Sunnah also excludes specialized and technical <br />
knowledge, such as medicine and agriculture because it is not held to be part of the <br />
function of Prophethood. <br />
2. Actions Specifically for the Prophet (saaw) <br />
<br />
Allah (swt) has sent the Messenger (saaw) with rules that are specifically related to him <br />
(saaw) only. Some examples of these rules are: <br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
24 <br />
<br />
<br />
Whoever performs any of these actions is sinning because these actions are exclusively <br />
for the Prophet (saaw). <br />
<br />
<br />
3. Actions of the Prophet (saaw) Carrying Legislative Consequences. <br />
<br />
The kinds of actions which carry a legislative consequences are of three types: <br />
<br />
A. The action of the Messenger of Allah (saaw) which provides <br />
an explanation for a text. <br />
<br />
If this explanation was for a rule or text that was obligatory, then the explanation also <br />
becomes obligatory. If the explanation was for a rule that was Mandub, then the <br />
explanation also becomes Man dub. Generally speaking, the explanation takes the same <br />
status as the rule. Some examples will clarify this principle. <br />
<br />
The Quran obligates the establishment of the Salat. Any explanation of performing the <br />
Salat by the Messenger (saaw) is thus also an obligation. For example, he (saaw) recited <br />
Surah Fatihah while standing, and always recited the Surah during each Rakah. Except <br />
for people who are excused due to physical disabilities, reciting Surah-Fatihah must be <br />
done while standing in Fard prayers. <br />
<br />
Allah (swt) ordered the Messenger (saaw) to rule the people with what was revealed to <br />
him (saaw). Thus, the way the Messenger (saaw) ruled the people (by Islam) is an <br />
obligation. Some argue that the Messenger (saaw) did not leave details about the ruling, <br />
rather he (saaw) left general outlines, and that it is left to our intellect to innovate and <br />
initiate new forms of ruling. Many Muslims believe this point and are using democracy <br />
and parliamentary processes to rule the Muslims. <br />
<br />
However, since any order that is addressed to the Messenger (saaw) is also addressed <br />
to all Muslims, the order to rule by the revelation is an order to all Muslims. The Quran <br />
warns us that those who do not rule by Islam are either Zhalim, Fasiq, or Kafirs. When <br />
we study the Seerah, we find an abundance of details related to ruling by Islam. For ex-<br />
ample, the Messenger’s (saaw) saying that: <br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
25 <br />
<br />
<br />
“The children of Israel were sent Prophets. Every time a Prophet died or was killed, <br />
another Prophet would succeed him. However, there will be no Prophet after me <br />
and there will be Khulufa and they will be many. So the Sahabah asked,’what <br />
should we do? He said, fulfill the Ba’ayah to the first and then the one who <br />
succeeds him and give them there rights for Allah (swt) will hold them accountable <br />
for their responsibilities.” (Muslim) <br />
<br />
<br />
In addition, the Prophet (saaw) said that there should be only one Khalifah; <br />
<br />
<br />
“If the Ba’ayah is given to two Khalilah’s, then kill the latter one” (Muslim) <br />
<br />
<br />
He (saaw) also told us that whoever backs away from his Bay’ah, Allah (swt) will be <br />
angry with him. The Seerah also defines the pillars of the State’s ruling system - it being <br />
made up of the Head of State, Delegates and Executive Representatives of the Head of <br />
State, Governors, Provincial governors, Amir of Jihad, Judges of the Judicial Branch, The <br />
Majlis of the Ummah (Consultation Assembly), and the Administrative Council. <br />
<br />
Since these aspects were detailed as an explanation of the order to rule by Islam, this <br />
explanation takes the same status as the order and is thereby mandatory for us to <br />
implement. This explanation should re lute any claim by any person that utilizing a <br />
democratic, parliamentary, republican, monarchical, or dictatorial method of ruling is <br />
within the boundaries of Islam. <br />
<br />
Allah (swt) ordered the Messenger (saaw) to carry the Islamic Dawah. Allah (swt) says: <br />
<br />
<br />
“<br />
Say (o Muhammad): this Is my way (sabeel), I and whoever follows me call and <br />
invite to Allah ...”, (Yusuf 108) <br />
<br />
and He (swt) also says: <br />
<br />
<br />
“invite to the way of your Lord with hlkmah, and a magnitizing speech <br />
(maw’ithatul-hasanah), and debate with them with what Is better (ahsan).” (An-Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
26 <br />
NahI: 125) <br />
<br />
<br />
These Ayahs obligate us to carry the Islamic Dawah the way the Messenger (saaw) did. <br />
The Messenger of Allah (saaw) performed the Dawah as a part of a group or party. He <br />
(saaw) did not compromise any rule or letter in Islam, he (saaw) never adopted the <br />
principle of “If you can’t beat them, join them.” <br />
<br />
The Messenger (saaw) and his Companions (raa), confronted the Meccan society, <br />
attacking their Aqeedah (beliefs), laws, rulers and concepts, always proposing Islam as <br />
the only alternitive. <br />
<br />
This group never engaged in any material struggle such as in terrorist actions, military <br />
actions, or sports training. Their struggle involved a political struggle with the leaders of <br />
the Meccan society like Abu JahI, Abu Lahab, and Walid bin al-Mughirah and the <br />
ideological struggle of addressing the practices of cheating in the scales, burying the <br />
daughters alive, worshipping idols, etc. Consequently, carrying the Islamic Dawah today <br />
cannot be done but with this same prototype in mind. <br />
<br />
Unfortunately, many movements are trying to patch and mend the illegal Kufr regimes <br />
that are ruling over them, and others have joined the cabinets of these regimes, or have <br />
participated in the system. These actions are invalid since the actions of the Messenger <br />
(saaw) in explaining the Dawah are the only actions that are binding on the Muslims, <br />
based on the principle that if the rule is an obligation, then the explanation of the rule is <br />
also an obligation. <br />
<br />
<br />
B. The actions of the Prophet (saaw), which fall under the category of <br />
Mandub or Nafilah. <br />
<br />
Examples of such actions are fasting 6 days during the month of Shawwal, making <br />
special Dhikr on occasions, and praying Sunnah Salat. <br />
<br />
Following the Uswah (example) of the Messenger (saaw) means to perform the action in <br />
the same way he (saaw) performed it. So, if he (saaw) did an action as Mandub then we <br />
must follow him (saaw) in doing that action as Mandub. If the action is done as a Fard, <br />
then the emulation of that action has to be done as a Fard. <br />
<br />
We cannot switch and do any action that he (saaw) did as a Fard and make it into a <br />
Sunnah, and conversely, we cannot change a Sunnah to a Fard. There are, however, <br />
some who feel that actions falling under this category are Fard (mandatory). This opinion <br />
is arrived at without a deep and comprehensive study of all of the evidences and Daleel. <br />
<br />
<br />
<br />
C. The actions of the Prophet (saaw) which fall under the category of Mubah. <br />
<br />
Since these actions are permissible, they result in neither attaining the pleasure nor <br />
displeasure of Allah (swt). <br />
<br />
An example of such an action is the time duration of ten years for the treaty of <br />
Hudaibyah. The ten years is not a fixed or set limit for treaties to be signed by the <br />
Khalifah. Consequenstly, it is Mubah for the Khalifah to sign a treaty for five or fifteen <br />
years. Another example is digging the ditch in the Battle of the Ditch. This tactic was Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
27 <br />
used to defend Medinah. So today, digging the ditch does not have to be done. <br />
<br />
4.2 Basic Terms in Hadith: <br />
<br />
<br />
<br />
The report of Hadith Qudsi can begin in one of two ways: <br />
<br />
<br />
a. The Prophet (saaw) says reporting from Allah (swt)... <br />
b. Allah (swt) has said as reported by his Messenger (saaw)... <br />
<br />
4.2.1 Types of Hadith <br />
<br />
Different types of Ahadith exist due to the method of transmission, number of reporters in <br />
each class, and the authenticity of the Hadith. <br />
<br />
<br />
<br />
Mutawatir/Tawatur: a Daleel transmitted by an in-definite number of people. Due to the <br />
large number of people reporting the Daleel and their diversity of residence, reliability, Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
28 <br />
and conviction, it is inconceivable that this Daleel could be fabricated. <br />
<br />
The minimum number of transmitters which are required to classify a Daleel as Mutawatir <br />
is generally five. However, some scholars may have a more stringent criteria. The <br />
character of the reporters narrating Mutawatir Ahadith has to be noble. <br />
<br />
Ahad: Riwayah Ahad is a number less than the Mutawatir. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Mashoor: A Hadith reported by at least three individuals in every class (Sahabah, <br />
Tabi’een, etc.) <br />
<br />
Aziz: A Hadith reported by at least two individuals in every class. <br />
<br />
Gharib: A Hadith reported by only one individual in one or more classes <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sahih: <br />
<br />
A Hadith narrated by an Adl (not known for misconduct) and Dabeth (maintains accuracy <br />
of the report) person from another person of similar qualities until the end of the report. <br />
The report should also exclude any Shuthuth (disagreement with other credible <br />
reporters). <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
29 <br />
<br />
Hasan: <br />
<br />
Has two definitions: <br />
<br />
1) A Hadith which meets the requirements of Sahih to a lesser degree. <br />
2) A Hadith which is acceptable by the majority of the Fuqaha. <br />
<br />
<br />
Dai’f: <br />
A Hadith not meeting the requirement of either the Sahih or the Hasan Hadith. It can be <br />
one of the following: <br />
<br />
Mualaq: <br />
A Hadith which is missing one or more reporters either at the beginning of the Isnad, in <br />
the middle or in the end. <br />
<br />
Mu’addal: <br />
A Hadith which is missing two or more consecutive reporters. <br />
<br />
Munqati: <br />
A Hadith which has interruption in the class. <br />
<br />
Ash-Shaath: <br />
A Hadith in which one credible reporter reports something that disagrees with other <br />
credible reporters. <br />
<br />
Muallal: <br />
A Hadith whose Sanad seems to be fine, but due to some reasons discovered by <br />
scholars, it is discredited. <br />
<br />
Munkar: <br />
A Hadith in which uncredible reporters convey a message which is in disagreement with <br />
what was reported by credible report-ers. <br />
<br />
Mawd’u: <br />
A fabricated Hadith. <br />
<br />
<br />
4.3 Reconciling a Perceived Conflict Between two or more Ahadith <br />
<br />
Some have raised the point that there often appears to be two conflicting Ahadith on an <br />
issue. As a result, they have reached to the conclusion that we have to reject both of <br />
these seemingly conflicting Ahadith and others have even declared that the entire <br />
Sunnah must be rejected. Both of these approaches are completely wrong and absurd. <br />
However, one may wonder what should be done if there seems to be a conflict between <br />
two Ahadith? <br />
<br />
Firstly, there can be no conflict whatsoever between the sayings and/or actions of the <br />
Messenger (saaw), except in cases of abrogation. The Messenger (saaw) said: <br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
30 <br />
<br />
‘I used to prohibit you from visiting the graveyards, now go and visit them’ <br />
(Muslim, Abu Daoud, An-Nisai and Al-Hakim). <br />
<br />
In this Hadith the Prophet (saaw) used to prohibit Muslims from visiting the graveyards, <br />
however this rule is abrogated by the last phrase of the Hadith. <br />
<br />
The rejection of the Sunnah cannot be claimed due to the cases of abrogation because <br />
the concept of abrogation is part of Islam. Also, in cases where abrogation occurs in the <br />
Quran, the Ayah is not abrogated, rather the rule which is extracted from the Ayah is <br />
abrogated. Consequently, one cannot delete an Ayah from the Quran because its rule is <br />
abrogated. <br />
<br />
Secondly, sometimes the Sahabah (faa) reported a variety of actions by the Prophet <br />
(saaw). For example there are reports that he (saaw) made Salat with his (saaw) hands <br />
on his (saaw) chest, and others said his (saaw) hands were on the midsection. This <br />
doesn’t indicate a conflict, rather, it illustrates that he (saaw) was seen doing both and <br />
that either action is permissible during the Salat. <br />
<br />
Thirdly, if there is a seeming conflict between the speech and action of the Messenger <br />
(saaw), then this action is specifically for him (saaw), while the text or the statement is for <br />
the Muslims. An example of this is that he (saaw) used to continously fast day and night, <br />
while he (saaw) prohibited the Sahabah (raa) from this practice. <br />
<br />
Examples of some Ahadith in which there seems to be a conflict. <br />
<br />
Regarding seeking the help of non-Muslims, we find the following Ahadith: <br />
<br />
In one situation Aisha (ra) reported that when the Prophet (saaw) was on his (saaw) way <br />
to the battle of Badr, a very well known courogeous man joined him at a place called <br />
Harratul Wabra. So the Sahabah (raa) were very pleased to see him. When the man saw <br />
the Prophet (saaw), he said “ I have come to fight with you and to get a share of the war <br />
booty. “So the Prophet (saaw) asked him, “do you believe in Allah (swt) and His Messen-<br />
ger (saaw).” The man replied, “no .“ The Prophet (saaw) told him to return back since we <br />
(the Muslims) do not seek help from the Mushriks. The Prophet (saaw) proceeded on his <br />
way to Badr until he reached Al-Shajara. The man came again and told the Prophet <br />
(saaw) what he had told him (saaw) earlier,The Prophet (saaw) asked him the same <br />
question he (saaw) had asked the man before and then told him to return back since he <br />
(saaw) does not seek help from the Mushriks. As a result, the man turned back. The man <br />
joined the Prophet (saaw) again at Baida ‘ah. So the Prophet (saaw) asked him again ‘do <br />
you believe in Allah (swt) and His Messenger (saaw).’ The man replied, ‘Yes.’ Then the <br />
Prophet (saaw) told him to hurry up and go fight.” (Muslim & Ahmad) <br />
<br />
In another occasion,” it is reported that the Prophet (saaw) was on his (saaw) way to the <br />
battle of Uhud until he reached Thanniyatul Wada ‘a. Here, he (saaw) met a regiment <br />
and asked, who are they? The Sahabah (raa) told him (saaw), they were from Banu <br />
Qaynuqa ‘a, the faction of Abdullah Bin Salaani. So the Prophet (saaw) asked them, will <br />
you become Muslims? They declined the offer, As a result, the Prophet (saaw) ordered <br />
them to leave saying “we do not seek help from the Mushriks.” Thus, they became <br />
Muslims. “(Al Baihaqi). <br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
31 <br />
<br />
In other situations, the Messenger (saaw) sought the help of a Jewish individual of <br />
Khayhar and even allowed a Mushrik to fight with him (saaw). These Ahadith were used <br />
to justify the presence of the American troops in Saudi Arabia during the Gulf war. <br />
<br />
However, they have been mis-quoted and misused. By scrutinizing these Ahadith, one <br />
can see that the Messenger of Allah (saaw) used to sometimes allow only non-Muslims <br />
to fight with him (saaw) as individuals. While, he (saaw) refused the help of non-Muslim <br />
groups or institutions under their own banner. If a group comes to fight under their own <br />
banner, such as under the American flag, their assistance cannot be accepted by <br />
Muslims. <br />
<br />
Muammar Qaddafi exploits the idea of contradiction in the Hadith to reject the entire <br />
Sunnah. He claims that Ali bin Abi Talib (ra) was told by the Messenger of Allah (saaw) <br />
that he (ra) would be one of the people of Paradise. <br />
<br />
He also uses another Hadith that says that if two Muslims meet each other with swords <br />
drawn, then both of them are in the fire. Since Ali (ra) met Mu’awiyyah in battle, Qaddafi <br />
argues, this Hadith would apply to Ali (ra) and thereby contradict the glad tidings given to <br />
Ali (ra) about being from the people of the Paradise. Based on this supposed <br />
contradiction, Qaddafi rejected the entire Sunnah. <br />
<br />
In fact, Qaddafi took this second Hadith out of context. The second Hadith is talking <br />
about two groups fighting out of Fitnah or Kufr, such as fighting for the sake of <br />
nationalism. While, Ali (ra) was fighting for Islam. The Quran tells us that if two groups <br />
are fighting, then make peace between them, and if one group continues to overstep the <br />
bounds, then it orders all parties to band together to deal with the rebel group. <br />
<br />
Since Ali (ra) was the legitimate Khalifah and Mu’awiyyah (ra) rebelled, Ali (ra) negotiated <br />
with Mu’awiyyah (ra) and then fought him to stop the rebellion. Ali (ra) was acting on a <br />
Hukm Sharii and this cannot be viewed by anyone as an act that put Ali (ra) in the fire. <br />
<br />
Consequently, there is absolutely no contradiction in these two Ahadith. There is no <br />
contradiction or conflict between any two Hadith except in cases of abrogation, in which <br />
the ruling from the latest Hadith is taken Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
32 <br />
<br />
5.0 RELATIONSHIP BETWEEN QURAN AND SUNNAH <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Allah (swt) says in the Quran; <br />
<br />
<br />
<br />
“He who obeys the Messenger has obeyed Allah.” (An- Nlsaa: 80) <br />
<br />
<br />
<br />
“And Know, by your Lord, they would never believe until they refer to you <br />
in the issues and disputes that are between them” (An-Nlsaa: 65) <br />
<br />
<br />
He does not speak of his own desires and whims, Indeed he Is <br />
inspired by Wahy (revelation). (An-Najm: 3) <br />
<br />
<br />
What the Messenger has given you then take It, and what he prohibits <br />
then abstain from it. (Al-Hashr: 7) <br />
<br />
<br />
“And We have revealed to you (0 Muhammad) the Dhikr, for you to <br />
explain It to the people.” (An-NahI: 44) <br />
<br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
33 <br />
<br />
<br />
<br />
“Say(O Muhammad): If you love Allah then follow me, and Allah <br />
will love you.” (Al-Imran: 31) <br />
<br />
<br />
The Messenger of Allah (saaw) said: <br />
<br />
<br />
“One of you who while reclining on his chiar is quoted a Hadith from me, <br />
and he says to the person who quoted the hadith, ‘we have the book <br />
of Allah (Quran), so what we find in it from what is halal we will take <br />
it as Halal, and what we find in it that is Haram, we will treat it as <br />
Haram.” [ The Prophet (saaw) continued…] But whatever the <br />
Messenger of Allah has made Haram, it is like the thing which <br />
Allah has made Haram.” <br />
<br />
<br />
“One of you who while reclining says. ‘this is the book of <br />
Allah (Quran). what is in it from that whch is halal, we will <br />
use it as Halal, and what is in it from the Haram, <br />
we wiIl take as Haram.’ But whoever delivers from <br />
me a Hadith and he lies in it, he has told a lie on Allah <br />
and his Messenger...” (Both of the above mentioned <br />
Ahadith are reported in many sayings by Abu <br />
Daoud, Ahmad and many others.) <br />
<br />
These Ayah and Hadith establish without any doubt that both the Quran and Sunnah are <br />
from Allah (swt) and consequently both are sources for legislation. The Sunnah is a very <br />
fundamental element in Islam and knowing the Sunnah is a prerequisite for <br />
understanding and applying the Quran. <br />
<br />
<br />
Studies in Usul ul fiqh - Iyad hilal. Edited for web by The Islamic Truth Group. <br />
34 <br />
5.1 The Application of Sunnah <br />
<br />
The Sunnah can be applied in five ways: <br />
<br />
<br />
A. Sunnah can explain a word, which is not explained in the Quran <br />
<br />
<br />
<br />
For example, the Quran says: “Establish the Salat (AI-Baqarah: 43) <br />
<br />
The Quran does not explain or provide any details regarding the term, “establish the <br />
Salah.” However, the Sunnah explains the details pertaining to the term “Establish the <br />
Salat.” The Messenger of Allah (saaw) says: <br />
<br />
<br />
“pray as you see me praying.” <br />
<br />
<br />
The Messenger (saaw) used to observe people pray and would correct them in the areas <br />
of the Salat where they made mistakes. The issue of explanation and clarification also <br />
extends to the rules of the Hajj, Zakah, Jihad, and others. In summary, the Quran may <br />
mention a term without providing any details, but Sunnah plays the role of explaining <br />
these terms. <br />
<br />
<br />
B. Quran mentions a general term which could be applied to any person, while the <br />
Sunnah further specifies the term and forms another rule. <br />
<br />
For example, the Quran says: <br />
<br />
<br />
<br />
“The man and woman who commit Zinaa, flog each of them with <br />
one hundred lashes.” (An.Nur: 2) <br />
<br />
<br />
This rule can be applied to any male or female who is found guilty of Zinaa. However, the <br />
Messenger (saaw) stoned married men and women who committed Zinaa. Thus, in this <br />
case, he (saaw) singled out the married man and woman and gave them the rule of <br />
stoning to death for Zinaa. <br />
<br />
<br />
C rule may be mentioned in the Qur’an without any restrictions, but the Sunnah <br />
places restrictions on the rule. <br />
<br />
For example, the Quran says: <br />
35 <br />
<br />
“The male and female thief cut their hands.” (al-Ma’ida: 38) <br />
<br />
There is no restriction placed on the rule in the Ayah, which simply states that anyone <br />
found guilty of stealing should have his/her hand cut. However, the Sunnah places <br />
certain restrictions on the application of this punishment. Some of which are that the <br />
stolen property must equal a Nisah, which amounts to one quarter of a Dinar in gold. <br />
Also, the property/wealth must be stolen from a place where such property/wealth is <br />
usally kept. <br />
<br />
It has to be kept under average protection, which is relievent to the people and te <br />
property itself. For example, if the jewerly is left in the open instead of locked up place, <br />
then the one who steals it will have his/her hand cut off, even though the action is still <br />
Haram. Another example is if the sheep or horses are not kept in a barn or stable, then <br />
stealing will not call for the implimentation of Hadd, even though stealing them is Haram. <br />
<br />
D. An original rule in the quran, which is explained, has no restriction nor <br />
exceptions, but the Sunnah adds new items to the original rule. <br />
<br />
<br />
“Forbidden to you is your mothers, daughters, paternal <br />
and maternal aunte, nieces, foster mothers and sisters, <br />
mothers-in-law and step daughter…” (An-Nisaa:23). <br />
<br />
<br />
“No woman can be married to a man who is already married to <br />
her sister or her maternal/paternal aunt.” (Muslim & Bukhari) <br />
<br />
Men are also prohibited from marrying the women who breastfed them. Thus, the <br />
Sunnah adds extra items to the Quranic rule. <br />
<br />
E. A rule originating from the Sunnah and not the Qur’an. <br />
<br />
For example the Messenger (saaw) said: <br />
<br />
<br />
<br />
“People share in 3 things. The water, the graze (kala), and the <br />
fire (inc. power resources).” [Abu Daoud]. <br />
<br />
The Hadith establishes rules related to public ownership of the natural resources in the <br />
Islamic State. The topic of public ownership in the State was never explicitly addressed in <br />
the Qur’an. 36 <br />
<br />
<br />
6.0 RELATIONSHIP BETWEEN QURAN AND SUNNAH <br />
<br />
<br />
As defined earlier, Hukm Sharii are the rulings of Allah (swt) addressing our actions. <br />
These rulings are derived from certain sources. The sources which are used to extract <br />
rulings have to be based on Adilla Qataiya (Decisive evidences). <br />
<br />
As an example, to have Ijma as Sahabah (Consensus of the Companions) as a source to <br />
extract laws, the concept of Ijma as Sahabah must be based upon Qatai Daleel. Thus, <br />
even though not all the laws extracted from Ijma as Sahabah have to be Qatai, the <br />
concept itself must be. <br />
<br />
The four sources of Hukm Sharii, Quran, Sunnah, Ijma as Sahabah, and Qiyas will be <br />
discussed respectively. These sources are agreed upon by the majority of the scholars. <br />
This will be followed by a brief summary of the disputed sources. <br />
<br />
<br />
6.1 Quran <br />
<br />
Muslims follow Prophet Mohammed (saaw) based on his Prophethood. The belief in the <br />
Prophethood means following the Message which the Prophet (saaw) brings. Using <br />
Quran to extract rulings indicates adherence to the Message. There are many Ayah in <br />
the Quran which state that the Quran is a source of ruling, guidance and knowledge. <br />
<br />
<br />
We have sent down to you the book in truth, that you <br />
may rule between men, as guided by Allah, so <br />
be not (used) as an advocate by those who <br />
betray their trust.’ [An-NIsa: 105] <br />
<br />
<br />
6.2 Sunnah <br />
<br />
The Quran explicitly states that Sunnah is a source for Hukm Sharii. <br />
<br />
<br />
“It is not for any beliving man or woman, when Allah and HIs Messenger have decided a <br />
matter, to have any choice for themselves in their affaIrs. For whoever rebels aqalnst <br />
Allah and His Messenger has gone astray into manifest error. [Al. Ahzab: 36] 37 <br />
<br />
“Whatever the Messenger gives you, take it and whatever he forbIds <br />
you of, abstaIn from It;...” [Al Hashr: 36] <br />
<br />
<br />
Furthermore, there are many Ahadith which state that it is obligatory for us to follow the <br />
Prophet (saaw) as a source for rulings. <br />
<br />
Abdul - Aziz reported from Amr bin Amr - the freed slave of Al Mutallib bin Hantab that <br />
the Messenger of Allah (saaw) said: <br />
<br />
<br />
<br />
I have left nothing concerning which Allah has given you an order without giving you that <br />
order; nor have I neglected anything concerning that which He has permited without <br />
giving you that prohibition. (Imam Shafii’s Kitab UI-Urn) <br />
<br />
<br />
Thus, Sunnah is a legislative source along with the Quran, and the Quran cannot be <br />
understood without the application of Sunnah. <br />
<br />
6.3 Ijma <br />
<br />
Ijma is the verbal noun of the Arabic word Ajmaa, which has two mean-ings: 1) to <br />
determine 2) to agree upon something. There are many types of Ijma discussed in the <br />
books of Usul al Fiqh. Some of these being, Ijma al Ummah, Ijma al Mujtahideen, Ijma <br />
ahiel Bayet, Ijma al Madinah and ljma as Sahabah. <br />
6.3.1 Ijma al Ummah <br />
<br />
In the past and present, some Ulema have taken ljma al Ummah as a legislative source <br />
and it has been defined as the agreement of the Ummah of Muhammad (saaw) on a <br />
matter at anytime, past, present, or future. The one Ayah which is most frequently quoted <br />
in support of Ijma al Ummah is in Surah al - Nisa :115 <br />
<br />
<br />
“And anyone who splits off from the Messenger after <br />
the guidance has become clear to him and follows a way <br />
other than the belIevers, We shall leave him in the path he <br />
has chosen and land him In hell - What an evil refuge.” <br />
(An-Nisaa: 115) 38 <br />
<br />
<br />
Some of the Ulema observe that “the way of the believers” in this Ayah refers to their <br />
agreement and the way that they have chosen, in other words, their ljma. Adherence to <br />
the way of the community is thus binding and departure from it is forbidden. Others have <br />
stated that even if the Ayah constitutes an irrefutable proof, it does not have a Qatai (con-<br />
clusive) meaning. <br />
<br />
Secondly, this Ayah refers to the Oneness of Allah and the Prophethood of Muhammad <br />
(saaw). And “Following a path other than that of the believers,” means abandoning <br />
Islam. The Ayah was revealed on the occasion of a Muslim who turned away from Islam. <br />
Thus, the Ayah is not general. Due to these points, utilizing this Ayah as a Daleel for Ijma <br />
al Ummah is invalid. <br />
<br />
The Ahadith which are most frequently quoted in support of Ijma al Ummah are: <br />
<br />
1. <br />
<br />
My Ummah shall never agree on a Dalalah. (lbn Maja) <br />
<br />
2. <br />
My Ummah shall never agree upon al Khata (mistake). <br />
<br />
3. <br />
Allah will not let my Ummah agree upon Dalalah (astray). (Ibn Maja) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
4. <br />
I beseeched Allah Almighty not to bring my Ummah to the point of <br />
agreeing on Dalalali (astray) and He granted me this. (Ibn Maja) <br />
<br />
<br />
<br />
5. <br />
A group of my Ummah shall continue to remain on the right path. <br />
They will be the dominant force and will not be harmed by the <br />
opposition of dissenters. (lbn Maja) <br />
<br />
A source for legislative rulings has to be based on a Qatai Daleel. These Ahadith are <br />
Adila Thanniya (Conjectural evidences). Secondly, these Ahadith cover different topics, <br />
first of which is that the Ummah does not agree upon Dhalalah, which means returning 39 <br />
back from Islam. In fact, these Ahadith justify that the Muslim Ummah, as a whole, will <br />
not revert to Kufr. Furthermore, the Ahadith which mention “Khata” (mistake) are weak <br />
Ahadith. <br />
<br />
Also, if the above mentioned Hadith are taken as a source to justify the honesty of the <br />
Ummah as a whole, these Hadith contradict other Hadith in which the Prophet (saaw) <br />
criticized future generations. As an example, Umran ibnu Haydh reported the Prophet <br />
(saaw) as saying: <br />
<br />
<br />
<br />
“The best of my Ummah are those who lived in my lifetime then <br />
those who lived alter them and those who lived after them. <br />
Then will come a time when people will fabricate stories or <br />
tales without evidence and will cheat and not be trustworthy <br />
nor be faithful and they will appear obese.” <br />
<br />
This is reported in many forms by many scholars such as Bukhari and Ahmad Bin <br />
Hanbal. In another saying, the Prophet (saaw) said: <br />
<br />
<br />
<br />
“Lying will become a common practice. the beliver will be called unbeliever and people <br />
will give false testimonies and will testify before being asked and some people will <br />
become like wolves.” (Tirmidi, Ibn Maja and Ahmad) <br />
<br />
All these sayings contradict the previous sayings if they are taken to prove ljma al <br />
Ummah, because Ijma al Ummah assumes that the Ummah will always agree on good, <br />
whereas, these Ahadith indicate that some parts of the Ummah will go astray. There <br />
cannot be contradiction in the revelation. Thus, Ijma al Ummah can have no value as a <br />
source for Hukm Sharii. <br />
<br />
<br />
6.3.2 Ijma al Mujtahideen <br />
<br />
Ijma al Mujtahideen is defined as a unanimous agreement of the Mujtahideen (those who <br />
exert their efforts to extract the ahkam (rules)) of the Muslim community of any period <br />
following the death of the Prophet (saaw). The proponents of Ijma al Mujtahideen have <br />
used the same Daleel, which is used for Ijma al Ummah. Thus the same arguments <br />
would apply to Ijma al Mujtahideen. <br />
<br />
<br />
40 <br />
<br />
<br />
6.3.3 Ijma ahlel Bayt <br />
<br />
Some Ulema have confined Ijma to the household of Prophet Muhammad (saaw). In <br />
support of their argument, they refer to the following evidence: <br />
<br />
<br />
<br />
“O Wives of the Prophet (saaw) .... Allah wishes to cleanse the people of the <br />
House (of Prophet (saaw)) of Impurities (ar-rijls).” (Al Ahzab : 32-33) <br />
<br />
<br />
The proponents of this type of Ijma have said that when this Ayah was revealed the <br />
Messenger (saaw) took his cloak and covered Imam Ali (ra), Hussein, Hasan and <br />
Fatimah (May Allah be pleased with them) and said: <br />
<br />
<br />
“These are my House:” <br />
<br />
Also, the Ulema have backed their argument from the Sunnah with this saying of the <br />
Prophet (saaw): <br />
<br />
<br />
<br />
“I am leaving amongst you two valuable things (al-thaqalayn), the book of Allah and my <br />
(Utra) family. If you abided by them you will never go astray. In another narration, Fear <br />
Allah when dealing with my family (repeated three times).” (Tirmidi & Ahmad). <br />
<br />
Thus, the claim is made that Allah (swt) has lifted ar-Rijis from the family of the Prophet <br />
(saaw) and that ar-Rijis means mistake. According to their argument, Ahlel Bayt are in <br />
fallible, and thus, their Ijma is a legitimate source of Shariah. <br />
<br />
In response to the Ayah in Surah al-Ahzab, the meaning is not Qatai (decisive). Also, this <br />
Ayah was revealed in regards to the wives of the Prophet (saaw) as well. It is not <br />
exclusive to Fatima (raa), Ali (ra) and their sons (ra). Does this mean that all his (saaw) <br />
wives were infallible? <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
41 <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Based on this argument, they should be. Also, the word “ar-Rijis” mentioned in the Ayah <br />
means the lifting of suspicion or dishonesty and not mistake. The word Rijis has been <br />
mentioned in many Ayahs under the meaning of moral impurities such as: <br />
<br />
<br />
<br />
“Thus Allah lays rijs (shame) upon those who believe not“ <br />
(Al-Anam: 125) <br />
<br />
<br />
<br />
“It Is not for any soul to believe except by the permissIon <br />
of Allah. He has set Rijs (uncleaness) upon those who <br />
have no sense.” (Yusuf. 100) <br />
<br />
Rijis, in these and many other places in the Quranic text, denotes moral impurities. <br />
Removing the Rijis does not in any way mean that they are infallible. <br />
<br />
As for the Hadith, which narrated that the Prophet (saaw) covered, with his (saaw) cloak, <br />
Imam Ali, Fatimah, Hussain and Hasan (raa), and then said, these are my family, it is by <br />
no means an indication that Ahlel Bayt is solely limited to them. The word family in the <br />
Ayah in Surah Ahzab means the wives of the Prophet (saaw) as well. <br />
<br />
This has been backed by a Hadith of Al-Thaqalayn narrated by Zaid Bin Arqam. For <br />
clarification of this Hadith, Hussein (ra) said to Zaid(ra): <br />
<br />
“O Zaid who are his (saaw) family? Are they not his (saaw) wives?” <br />
<br />
He said, <br />
<br />
<br />
“Yes his (saaw) wives are his (saaw) family, but his (saaw) family are those who have <br />
been excluded from accepting Sadaqah (charity).” <br />
<br />
So he inquired, “Who are they?” - Zaid said, “they are the family of Ali the family of Aqil, <br />
the family of Jaafe, “Hussain then asked, “have all these people been excluded from <br />
accepting Sadaqah?” And he replied, “yes.” <br />
<br />
All of this confirms that the mentioned Ayah cannot be taken as an evidence that the <br />
consensus of ahlel bayt and their infallibility is justified. This means that Ahlel Bayt is not <br />
restricted to Fatima, Ali (ra) and their sons only (may Allah (swt) be pleased with all of <br />
them). <br />
42 <br />
6.3.4 Ijma ahlel Medinah <br />
<br />
The Ulema who subscribe to this type of Ijma have restricted it to the people of Medinah. <br />
They base their opinion on the Hadith of the Prophet (saaw): <br />
<br />
<br />
“The Medinah city cleanses all filth (Khabath)’ (Bukhari & Muslim). <br />
<br />
<br />
<br />
The Ulema also claim that Khabath means mistakes and in this case the Hadith would <br />
also indicate that its people are free from mistakes. Since the people are free from <br />
mistakes, it follows that their Ijma is considered valid. <br />
<br />
The complete text of the Hadith is mentioned in Bukhari and Muslim. It relates that a <br />
bedouin gave the pledge of Islam to the Prophet (saaw), he then became sick and said: 0 <br />
Prophet, (saaw) free me from the allegiance I gave to you. The Prophet (saaw) rejected. <br />
The man then asked again and the Prophet (saaw) again rejected, so he left the Prophet <br />
(saaw) and became well. The Prophet (saaw) said: <br />
<br />
<br />
<br />
“The city of Medinah is like the bellows (an <br />
instruement used by a blacksmith for blowing <br />
air into the fire to make the fire burn quickly). It <br />
deanses its filth (Khabath) and its goodness will <br />
shine.” (Bukhari, Muslim & Ahmad Bin Hanbal) <br />
<br />
Any mistake in Ijtihad cannot be considered as Khabath (filth) because there is no reward <br />
in this. <br />
<br />
Khabath (filth) has been forbidden by the Prophet (saaw). In the following sayings of the <br />
Prophet (saaw): <br />
<br />
“The price (money obtained from selling) of a <br />
dog is Khabaith (filth)’ (Muslim). <br />
<br />
<br />
<br />
“The dowry (money taken for Zina) of a whore <br />
or prostitute is Khabaith (filthy).” <br />
(Bukhari & Muslim). <br />
<br />
<br />
“Alcohol is the mother of all Khabaith (filth).” <br />
(An Nisai). <br />
43 <br />
<br />
However, the Mujtahid would be rewarded even if he erred and made an error. For the <br />
Prophet (saaw) said <br />
<br />
“My Ummah is not responsible for three things: <br />
mistakes, forgetfulness, and whatever is done under <br />
duress” (Ibn Maja) <br />
<br />
<br />
So, Khabath cannot be considered as an error and Ijma ahlel Medinah cannot be taken <br />
as infallible. Furthermore, the Hadith used to justify Ijma ahlel Medinah is not Qatai. <br />
<br />
6.3.5 Ijma as Sahabah <br />
<br />
If the Sahabah (raa) after the death of the Prophet (saaw) were to agree unanimously <br />
upon a solution to a problem without any dissent amongst each other, in the absence of a <br />
ruling from the Quran and Sunnah, then this agreement is considered to be a Daleel. <br />
This agreement must have been based upon some teaching of Muhammad (saaw) of <br />
which they all knew, but which did not reach us directly in the form of Hadith. Therefore, <br />
Ijma as Sahabah is an indication of Sunnah itself. <br />
<br />
An example of Ijma as Sahabah is the priority which must be given to the appointment of <br />
a Khalifah for Muslims. The Sunnah of the Prophet (saaw) in forms us that the dead must <br />
be buried quickly and it is forbidden for those responsible for the burial to delay the burial <br />
on account of other things. Yet when the Prophet (saaw) died, the companions delayed <br />
his (saaw) burial until after they had selected a Khalifah from among themselves. <br />
<br />
Before the burial arrangements were completed, the Sahabah (raa) had gathered in the <br />
place of Banu Saida and proceeded to select the Khalifah. After discussion of the matter, <br />
all agreed to give Bay’a (oath of allegiance) to Ahu Bakr (ra), after which they buried the <br />
Prophet (saaw). None of them objected to the delay of the burial. The unanimous agree-<br />
ment of the Sahabah (raa) regarding this action is a Daleel for us about the importance of <br />
appointing the Khalifah for Muslims, even more vital than the burial of the Prophet (saaw) <br />
himself. <br />
<br />
6.3.6 Daleel Indicating the Authority of Ijma as Sahabah <br />
<br />
The Sahabah (raa) were the group who had the best access to the revelation and were <br />
most mindful of holding fast to the revelation in their actions. Their ljma is a proof for the <br />
following two reasons: First, Allah (swt) in the following Ayah praises them as a <br />
community, not just as individuals. 44 <br />
<br />
<br />
“The Vanguard (of Islam)- the first of those who <br />
forsook (their homes) and those who gave them aid <br />
(the Muhajireen and the Ansar) and also those who <br />
follow them in good deeds, Allah is well pleased <br />
with them and they with Allah. And Allah has made <br />
ready with them gardens underneath which rivers <br />
flow and that will be their abode forever eternally, <br />
this their supreme triumph.’ (At - Taubah: 100) <br />
<br />
This compliment is given to the Sahabah (Muhajireen & Ansar) for the sole reason of <br />
having been the Sahabah (raa). However, the compliment for others is due to the fact <br />
that they followed the footsteps of the Sahabah (raa). This means that the original <br />
compliment is for the Sahabah (raa). The followers are not complimented but for <br />
following the Sahabah (raa). <br />
<br />
Therefore, it can be concluded that the meaning of the Ayah is confined to the Sahabah <br />
(raa) only. Any group of people whom Allah (swt) complements in such a manner, the <br />
truthfulness of what they agree on is affirmed. <br />
<br />
Second, doubt in their trust-worthiness leads to doubt in Islam. The Sahabah (raa) were <br />
the generation that transmitted the Quran and narrated the Ahadith. Our entire Deen has <br />
been conveyed to us through the vehicle of this group. This group was the means by <br />
which Allah (swt) chose the Quran to be compiled and preserved. Allah (swt) has <br />
promised to preserve this scripture through them. Allah (swt) say’s, <br />
<br />
<br />
<br />
“Falsehood cannot come at it (Quran) from before <br />
it or from behind It. It is a revelatIon from the Wise, <br />
the Owner of Praise.” (Fussilat: 42) <br />
<br />
The important point to remember is that Ijma as Sahabah is not the personal opinions of <br />
the Sahabah (raa) on any technical issue. Rather, it is their agreement on specific things <br />
with regard to its rule in Islam, an agreement on a Sharii issue. <br />
<br />
The Sahahah (raa) would not agree that a certain thing is Islamically permitted or <br />
forbidden without knowing whether that action was approved or disapproved by the 45 <br />
Prophet (saaw). However, the Hadith in this regard is not narrated to us, instead its rule <br />
is conveyed by the total agreement of the Sahabah (raa). The Ulema are in agreement <br />
that Ijma as Sahabah is a binding proof. <br />
<br />
6.3.7 Who is the Sahabi? <br />
<br />
There are two definitions of the Sahabi: <br />
<br />
1. A Muslim who saw the Prophet (saaw) <br />
2. A Muslim who lived with the Prophet (saaw) for one or two years or participated <br />
in one or two ghazwaat (military expeditions led by the Prophet (saaw)). <br />
<br />
The latter definition was reported by Saed bin Musayeb (ra) and is stronger. <br />
<br />
6.4 Qlyas <br />
<br />
<br />
The linguistic meaning of Qiyas is measurement. As a juristic term Qiyas is the extension <br />
of a Shah ruling from an original case to a new case because of the equivalence of the <br />
causes underlying them (Iila). Example of Qiyas: <br />
<br />
<br />
<br />
“0 you who have attained to faith ! When the <br />
call to prayer is sounded on the day of <br />
congregation (Friday), hasten to the <br />
remembrance of Allah, and leave all worldly <br />
commerce: this Is for your own good, If you <br />
but knew it. And when the prayer is ended, <br />
disperse freely on Earth and seek to obtain <br />
Allah’s bounty; but remember Allah often, so <br />
that you might attain to a happy state!’ (al <br />
Jummah: 9-10) <br />
<br />
The Ayah mentions that, when the call to prayer is given, one should disengage from all <br />
worldly commerce. The Ayah doesn’t mention to stop such acts as eating, resting, or <br />
anything else other than conducting business. The Ayah mentions that when the prayer <br />
is over, disperse and seek Allah’s bounty. This means that there is a reason to leave the <br />
commerce, being that if we do not, then we will be preoccupied and will forget the prayer. <br />
<br />
The application of Qiyas for this example would be for any other activity besides <br />
commerce. This is because the Iilah (missing the Jummah prayer) occurs due to these <br />
activities as well. Therefore, working, playing, eating, etc. are prohibited in the time of <br />
Juma’a because all of these activities prevent Muslims from performing the Juma’a <br />
prayer. 46 <br />
<br />
6.4.1 Daleel indicating the authority of Qiyas <br />
<br />
The Daleel is the Quran and Sunnah because Qiyas is being done on the basis of a Ayah <br />
or Hadith. When a text mentions a reason for a rule, extending this rule to any other issue <br />
having the same reason is considered another application for the text of the Ayah or <br />
Hadith. <br />
<br />
There are specific guidelines and requirements for Qiyas explained in the books of Usul <br />
al Fiqh. One such guideline is that there should be no existing ruling from the Quran, <br />
Sunnah, and Ijma as Sahabah for the new case. <br />
<br />
Example: <br />
<br />
Does a woman have to remove the nail polish before performing Wudhu? <br />
Some people claim that she does not have to remove the nail polish in order to <br />
do Wudhu, and they justify it by doing Qiyas on the performance of Mas-ah <br />
(wiping over the socks). <br />
<br />
Qiyas cannot be performed in this situation because the Ayah regarding Wudhu explicitly <br />
orders to wash all parts of the hands, and polish prevents water from reaching the nails. <br />
In the case of Masah (wiping over the socks), the text is not presented with an lila (legal <br />
reason) and cannot be extended to other things. Thus, Qiyas can not be practiced in this <br />
issue. <br />
<br />
Some of the other requirements for Qiyas are that the original ruling has to be from <br />
Quran, Sunnah, and Ijma as Sahabah, not from another Qiyas. In addition, the texts of <br />
the Quran, Sunnah, and Ijma as Sahabah must contain the justification for the ruling. We <br />
cannot use our AqI (intellect) to come up with a cause (lila). <br />
47 <br />
<br />
7.0 SOURCES OF HUKM SHARII NOT AGREED <br />
UPON BY ALL THE ULEMA <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
7.1 Istlhsan <br />
<br />
<br />
Istihsan literally means to approve or to do something preferable. It is a derivation of <br />
Hasuna which means being good or beautiful. As ajuristic term, Istihsan is defined as <br />
shifting from one Qiyas to another Qiyas due to a reason or suspending a Qiyas for a <br />
reason. A Mujtahid may take into consideration any of these options. <br />
<br />
<br />
7.1.1 Types of Istihsan: <br />
<br />
A. Istihsan by Qiyas - switching from a ruling of Qiyas to an other ruling of Qiyas <br />
due to a stronger reason. <br />
<br />
Example: <br />
<br />
Imagine that Ahmad and Muhammad equally own a car. They sell their car to a <br />
friend, Ali for £1000. Ali pays Muhammad £400 as a first payment. However, <br />
before Muhammad could pay Ahmad his share, the money gets stolen. The <br />
ruling from Qiyas in this situation is that both Ahmad and Muhammad have to <br />
equally share the loss since they are partners <br />
<br />
Example: <br />
<br />
The ruling from Istihsan by Qiyas is that Muhammad should incur the loss and <br />
not Ahmad. The reason is that Muhammad has the option initially to tell Ali to pay <br />
Ahmad by himself. Thus, there is an assumption that Muhammad used this <br />
privilege of collecting Ahmad’s share of the payment even though he had the <br />
option not to. <br />
<br />
B. Istihsan by necessity - shifting to another Qiyas due to necessity. <br />
<br />
Example: <br />
<br />
There is a service offered by a business such as a dry cleaning store, which is a <br />
public service, and another service offered by an employee who is hired <br />
exclusively by someone for a private service such as a computer operator. Both <br />
parties are not liable for any unintentional damages, and this is a ruling from <br />
Qiyas. The ruling from Istihsan due to necessity is that the dry cleaning store <br />
should be liable since it is a public service but not the computer operator since he <br />
is a private employee. The necessity is that if the business is not liable then the <br />
employee hired for the public service may overload himself by taking up other <br />
jobs and may not be able to handle the responsibility. 48 <br />
<br />
<br />
<br />
C. Istihsan by Sunnah - Canceling the Qiyas due to a contradiction caused by the <br />
Hadith <br />
<br />
Example: <br />
<br />
The Prophet (saaw) said he who has Khuzaima as his witness it is enough for <br />
him, meaning that the testimony of that person (Khuzaima) equals the testimony <br />
of two people. While the ruling from Qiyas is to have two witnesses, the Qiyas is <br />
canceled because this was a special situation for Khuzaima by the Prophet <br />
(saaw). <br />
<br />
D. Istihsan by Ijma as Sahabah - canceling a ruling from Qiyas due to a <br />
contradiction caused by the Ijma as Sahabah <br />
<br />
Example: <br />
<br />
Paying a company to manufacture items such as chairs. The ruling from Qiyas is <br />
that it is not allowed because the items under discussion (e.g. chairs) are not <br />
present at the time of the contract. But the ruling from Qiyas is canceled due to <br />
the Ijma as Sahabah. <br />
<br />
The first two types of Istihsan have no valid Daleel for their application. <br />
Technically, the third and fourth are not Istihsan; rather, they are ruling based on <br />
a Daleel from Sunnah and Ijma as Sahabah. <br />
<br />
The proponents of Istihsan use the following Ayah to validate Istihsan: <br />
<br />
<br />
<br />
‘...And give glad tidings to those of My <br />
servants who listen to the word and follow <br />
the best of It. Those are the ones that Allah <br />
has guided and endowed with understanding <br />
.‘ (ai Zumar:18) <br />
<br />
<br />
<br />
‘And follow the best of what has been sent down to you from <br />
your Lord.’ (al Zumar:55) 49 <br />
<br />
These Ayahs do not authorize the use of Istihsan. Rather, the Ayah instructs us to follow <br />
the best statements which were revealed, Quran. This is because the second part of the <br />
Ayah describes those who do as the ones that Allah (swt) has guided. <br />
<br />
Imam Shafii used to say ‘Those who practice Istihsan are the Sharii (legislator), and if <br />
Istihsan is allowed in this Deen then it should be allowed for any intellectual person to <br />
initiate laws for himself” [Al Risalla] <br />
<br />
<br />
7.2 Maslaha at Mursalah <br />
<br />
Literally, Maslaha means benefit or interest. As a juristic term Maslaha Mursalah refers to <br />
accepting public interest in the absence of ruling regarding an issue from the Quran or <br />
Sunnah. <br />
<br />
<br />
7.2.1 Types of Maslaha al Mursalah <br />
<br />
A. Maslalia canceled by the text - Maslaha (interest) which is canceled due to a <br />
ruling from the text. All agree that this kind of Maslaha is invalid. <br />
<br />
Example: <br />
<br />
One of the Khalifahs had marital relations with his wife during the daytime in <br />
Ramadhan. One of the Ulema advised the Khalifah to fast two consecutive <br />
months as Kaffara. Another AIim asked this Alim how he issued this ruling when <br />
the Khalifah first must free one slave, and if he could not, then feed 60 people, <br />
and, if he cannot, then he should fast two consecutive months. <br />
<br />
The Alim answered, that if he had ordered the first two punishments, then it <br />
would have been easy for the Khalifah and he might have done the same act <br />
again. This form of Maslaha is invalid because a ruling on the issue already <br />
exists from Sunnah. The ruling is that if a person breaks his fast in Ramadhan by <br />
having sexual intercourse with his wife, then he has to free a slave. If he can’t, <br />
then feed 60 peopIe. If he can’t, then fast 60 days. This is based on a Hadith <br />
reported by Bukhari, Muslim, Ibn Maja & Abu Daoud. This order cannot be <br />
changed. <br />
<br />
<br />
B. Maslaha approved by the Shanah - Benefit which the Shariah doesn’t forbid. As <br />
an example, allowing people to trade. This trade is for the interest of the people <br />
and Quran allowed us to conduct trade. All agree that this type is valid. <br />
<br />
<br />
C. Adopting Maslaha (benefit) in an action for which there is no ruling from Quran <br />
and Sunnah. <br />
<br />
For example compiling the Quran or canceling the Hudd for stealing during <br />
famine. <br />
<br />
There is no debate amongst the Ulema on the first two types of Maslaha al 50 <br />
Mursalah. But there is disagreement regarding the third type of Maslaha. Some <br />
have accepted it within specific requirements while others have rejected it <br />
outright. <br />
<br />
The Ulema who have accepted Maslaha al Mursalah give the following justifications: <br />
<br />
A. Shariah, in general, came to satisfy the interests of the people in the correct <br />
manner. <br />
<br />
B. Sahabah (raa) agreed through Maslaha (interest) to compile the Quran without <br />
having evidence either in the Quran or in the Sunnah to do so. This is among the <br />
many examples claiming that the Sahaba (raa) compiled the Quran due to its <br />
benefit but without a Daleel. <br />
<br />
Regarding the first justification, it is true that the Shariah in general came for the interest <br />
of the Ummah, but we cannot use this argument as an lila (cause) to justify every ruling. <br />
All the rulings from Quran, Sunnah, ljma as Sahabah and Qiyas are there to satisfy our <br />
needs. In addition, a Muslim obeys and implements the rules as obedience to Allah (swt) <br />
and not because the rulings are easy, hard, or connected with Maslaha (benefit). So we <br />
cannot use the benefit as a justification to legalize any action. There has to be an <br />
evidence allowing such an action. <br />
<br />
Regarding the second justification: By investigating all of these examples it will become <br />
obvious that the Sahabah (raa) understood the evidences thoroughly. The rules of Usul <br />
al Fiqh were not written at the time. The Sahabah (raa) used to extract rulings because of <br />
their ability to understand both the language and text. We do not observe any actions by <br />
them which did not have grounds from the text. <br />
<br />
Regarding the compilation of the Quran, it was not done because of Maslaha. The <br />
Sahabah (raa) understood that they had to do something to preserve the Quran and this <br />
is in compliance with the Ayah: <br />
<br />
‘Lo! We revealed the Reminder, and lo! we verily <br />
are its Guardian.’ (Al-HaIr: 9) <br />
<br />
<br />
In addition to the Ayah there is a Hadith asking Muslims to remove any harm or to avoid <br />
causing any harm. <br />
<br />
<br />
“There is no Harm or Harming” (Bukhari and Muslim), meaning <br />
that harm is not allowed. <br />
<br />
What can be a bigger harm than losing the Quran itself? What Uthman (ra) did by <br />
burning different copies of the Quran and maintaining only one copy fits under the <br />
command of the above mentioned Ayah and Hadith. <br />
<br />
Regarding Umar’s (ra) canceling the Hudd for cutting the hand during famine, it is in <br />
agreement with the requirement for cutting a person’s hand for stealing. One of the <br />
requirements is that if the crime of theft happens during famine, then the Hudd is lifted. 51 <br />
So, Umar (ra) simply implemented the requirement. The Prophet (saaw) said, <br />
<br />
<br />
“no cutting in famine.” <br />
<br />
Also, the Prophet (saaw) instructed us not to apply the Hudd in case of doubt. Above all, <br />
from the definition of Hukm Sharii, we should realize that it is the address of the Sharii, <br />
Allah (swt). Furthermore, it is well established from the Quran that Allah (swt) has <br />
perfected our Deen and chosen Islam as that Deen. This indicates that the Shariah is <br />
perfect. The concept of Maslaha, however, implies that there are some issues without <br />
rulings from Islam, and to fill this vacuum, we have to apply public interest. This concept <br />
is not correct and therefore, this type of Maslaha is invalid. <br />
<br />
7.3 Laws Revealed before Islam <br />
<br />
All Shariah (rulings) and Messages of different Prophets (as) came from one source, <br />
Allah (swt). The different Prophets (as) conveyed the same basic Message: Belief in the <br />
Oneness of Allah and the need for guidance to regulate human conduct. In fact, each <br />
Prophet (as) instructed his followers to believe in Prophet Muhammad (saaw) if they were <br />
to live till his (saaw) time. <br />
<br />
This is not to say that there is no difference between them. Each of the revealed <br />
Messages were addressed to different nations at different points in time. They each have <br />
their distinctive features, which set them apart from the rest. This is evident by different <br />
Messages having different rulings. <br />
<br />
<br />
<br />
‘For those who followed the Jewish Laws We <br />
forbade Every (animal) with undivided hoof. <br />
And we forbade them the fat of the ox and the <br />
sheep, except what adheres to their backs or <br />
their entrails or Is mixed up with a bone.’ <br />
(Al-An’am: 146) <br />
<br />
<br />
‘We ordained therein for them, Life for life, eye <br />
for eye, nose for nose, ear for ear, tooth for tooth <br />
and wounds equal for equal.’ (Al-Malda: 45) 52 <br />
<br />
The rule to be stated here is that the Shariah that were revealed before Islam are not <br />
applicable to the Muslims. Allah (swt) says: <br />
<br />
‘To you we sent scripture in truth abrogating <br />
(Musadiqun) the scripture that <br />
came before it...’ (AI-Maida: 48) <br />
<br />
<br />
The Ulema are in agreement that the Shariah of previous Messages are not to be sought. <br />
The Shariah of Islam is the exclusive source of all laws for Muslims. <br />
<br />
Allah (swt) says: <br />
<br />
‘For everyone one of you we have ordaIned a <br />
divine law and a methodology.’ (aI-Maid’a: 48) <br />
<br />
<br />
Furthermore, it is well known that the Prophet (saaw) did not resort to either the Bible or <br />
the Torah at any time. Once, the Prophet (saaw) saw Umar (ra) reading from the Torah <br />
and he (saaw) stopped him. <br />
<br />
Some people argue that taking a ruling position in Kufr systems is allowed based on the <br />
life of Yusuf (as). This is not allowed because these incidents were before the revelation <br />
of Islam and contradicts what our Prophet (saaw) did in Mecca. <br />
<br />
Thus, it should be clear to us that, as Muslims, we follow only the Shariah brought to us <br />
by Muhammad (saaw). <br />
53 <br />
<br />
6.0 IJTIHAD <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ijtihad is derived from the root word Jahada. Linguistically, it means striving or self <br />
exertion in any activity which entails a measure of hardship. As a juristic term, Ijtihad <br />
means exhausting all of one’s efforts in studying a problem thoroughly and seeking a <br />
solution for it from the sources of Shariah. <br />
<br />
A person who performs Ijtihad is a Mujtahid; whereas, a person who knows the rules of <br />
Shariah in detail, but is unable to extract rules di-rectly from their sources, is not a <br />
Mujtahid but rather a Faqih, Mufti, or a Qaadi. <br />
<br />
The text of Quran and Sunnah which are Qatai (conclusive) in meaning provide only one <br />
understanding. Any Ijtihad on these types of text will render only one meaning. The texts <br />
related to issues such as Riba or murder are clear in their prohibition of these things. No <br />
Mujtahid can claim that Riba or murder is allowed because the text only offers one <br />
meaning. <br />
<br />
The issues related to the Aqeedah are based on Adilla Qataiya (decisive evidences) and <br />
there is only one correct understanding for it, not several. Thus, no Mujtahid can deduce <br />
another Aqeedah of Islam. There is only one correct view in regards to these matters and <br />
anyone who differs from it is a Kafir. <br />
<br />
<br />
8.1 Qualifications for performing ljtihad <br />
<br />
A. The Mujtahid must be a Muslim male or female of sound mind who has attained a <br />
high level of intellectual competence. <br />
<br />
<br />
<br />
B. Since the text of the Quran and Sunnah were revealed in the Arabic language, <br />
Ijtihad can only be performed based on the Arabic text. One must have <br />
knowledge of the Arabic language to the extent that it enables a correct <br />
understanding of the Quran and the Sunnah. A complete command in Arabic is <br />
not a requirement for some kinds of Mujtahideen, but the Mujtahid must, at least, <br />
know the fine points of the language related to the subject at hand. He must also <br />
be able to comprehend the sources accurately and deduce the rule from them. <br />
<br />
<br />
C. The Mujtahid also needs to be knowledgeable of the Quran, the Makki and the <br />
Madini contents of the Quran, the occasion of their revelation (Asbab al Nuzul) <br />
and must have a full grasp of the legal contents of the Quran, but not necessarily <br />
of the narratives and parables of the Quran and its passages relating to the <br />
Hereafter. The knowledge of the Ayat ul Ahkam (verses regarding rules) includes <br />
knowledge of the related commentaries (Tafsir) with special reference to the <br />
Sunnah and the views of the Sahabah (raa) related to the subject at hand. 54 <br />
<br />
D. The Mujtahid must possess an adequate knowledge of the Sunnah, especially <br />
the part relating to his Ijtihad and be familiar with the rulings in the Sunnah. The <br />
Mujtahid must also know the incidents of abrogation in the Sunnah and the <br />
reliability of the narrators of Hadith. <br />
<br />
<br />
<br />
E. He must have knowledge of Usul al Fiqh so that he will be acquainted with the <br />
procedures for extracting the rulings from the text and the implications. <br />
<br />
<br />
<br />
F. The Mujtahid should be aware of the opinions of different Mujtahideen, if any <br />
exists. It is essential for a Mujtahid to be familiar with the Daleels of other <br />
Mujtahideen, on a particular issue as well as how the other Mujtahid understood <br />
the Daleel and the issue. <br />
<br />
<br />
<br />
G. Finally, he must have a comprehensive knowledge of the issue on which Ijtihad is <br />
being performed. To extract any ruling one has to understand the subject <br />
thoroughly. If the Mujtahid doesn’t understand an issue, he is not allowed to do <br />
Ijtihad regardless of where he lives. To understand the issue, the Mujtahid can go <br />
to experts. For instance, there might be an issue in genetic engineering. To <br />
understand the process of genetic engineering, the Mujtahid can go to an expert <br />
in this field. <br />
<br />
Therefore, these criteria are enough to qualify one to do Ijtihad, and it is incorrect to say <br />
that each issue requires the Mujtahid to reside in that environment. The Mujtahid can <br />
reside anywhere and do Ijtihad as long as he is familiar with the issue being dealt with. If <br />
the Mujtahid is not familiar with the issue, he is not allowed to do Ijtihad, even if the issue <br />
occurs in the same environment that the Mujtahid is residing in. <br />
<br />
<br />
8.2 Types of Mujtahld <br />
<br />
<br />
A. Mujtahid Mutlaq [absolute Mujtahid] <br />
<br />
Founders of various schools of Islamic Fiqh such as Abu Hanifah, Shahfii, <br />
Ahmad bin Hanbal, Malik, Jafar and others are considered Mujtahid Mutlaq. <br />
These Mujtahideen set up their own Usul al Fiqh to extract the Ahkam (rules) and <br />
are not restricted by others. <br />
<br />
B. Mujtahid within a Madhab: <br />
<br />
These Mujtahideen follow the Usul al Fiqh set up by the Mujtahid Mutlaq to <br />
extract the ahkam (rules); e.g. Imam Abu Yusuf adhered to Imam Abu Hanifah’s <br />
methodology. <br />
<br />
These Mujtahideen, within a Madhab, generally followed the guidelines of their <br />
respective schools to extract rulings. Nevertheless, they did not consider 55 <br />
themselves bound to follow their Imams in the implementation of particular <br />
issues. This is borne out by the fact that they have held opinions that were <br />
opposed to those of their leading Imams. As a matter of fact, some Mujtahideen <br />
such as Imam Abu Yusuf reached to the level of Mujtahid Mutlaq, but didn’t form <br />
his own Madhab out of respect for Imam Abu Hanifah. <br />
<br />
C. Mujtahid in particular issues only. <br />
<br />
<br />
This Mujtahid would be able to handle one single issue while he may be unable <br />
to handle another. In other words, the Mujtahid would be able to study the <br />
opinion of other jurists and trace their Adilla (evidences) but may be unable to <br />
establish new opinions for new issues. <br />
<br />
<br />
8.3 Reasons for differences of opinion among the Mujtahideen <br />
<br />
The word Madhab means “school of Fiqh”. The following are some of the reasons for the <br />
existence of Madhahib (schools of Fiqh): <br />
<br />
8.3.1 Differences in the Legislative Sources <br />
<br />
<br />
A. Criteria in evaluating the Sunnah <br />
<br />
One Mujtahid may consider a certain Hadith authentic while others may not. This <br />
is due to their differences in the criteria for judging the authenticity of the Hadith. <br />
<br />
Example: <br />
<br />
<br />
Ahadith regarding paying Zakah on women’s jewelry states that a woman came <br />
to the Prophet (saaw) with her daughter and was wearing two bracelets on her <br />
hand. The Prophet (saaw) asked her whether she paid Zakah on the jewelry. She <br />
replied no. The Prophet (saaw) told her, that would you like it if Allah (swt) puts <br />
bracelets of fire in your hand. This Hadith was reported by Amr bin Shuaib. <br />
<br />
Some scholars consider this to be an authentic Hadith, while others consider it a <br />
weak Hadith due to the weakness in the Isnad. The individual who said that there <br />
is no Zakah on jewelry are Aisha, Imam Jabir, Ibn Umar, Imam Malik, Imam <br />
Ahmad and Imam Shafii. <br />
<br />
Furthermore, one Mujtahid may know of a Hadith while another may not. It is due <br />
to this reason that the Mujtahideen used to say to their students, if you find a <br />
Hadith after you lave me, and it contradicts what I have told you, throw away my <br />
understanding and follow the Hadith. <br />
<br />
Example <br />
<br />
It is not permitted for a woman while she is menstruating to perform Tawaaf <br />
(circling around the Ka’aba). Based on this, Umar (ra) used to forbid women from <br />
completing the Hajj even if the menstruating started after leaving Arafat, which is 56 <br />
the most important part of the Hajj. When he (ra) was informed that the Prophet <br />
(saaw) used to allow women to continue performing Hajj under similar situations, <br />
Umar (ra) subsequently lifted the ban, and allowed the woman to complete her <br />
Hajj. <br />
<br />
B. Differences in the Sahabah’s (raa) opinions as individuals <br />
<br />
Some scholars accepted the opinion of one Sahabi as a legislative source, while <br />
others treated the Sahabah (raa) as Mujtahids whose individual opinions were not <br />
legally binding. <br />
<br />
C. Differences in the practice of Qiyas <br />
<br />
Some scholars practiced Qiyas (see section 6.4) while others practiced Istihsan <br />
(see section 7.1) <br />
<br />
D. Differences in Ijma (Consensus of Opinion) <br />
<br />
Some scholars used Ijma as-Sahabah, while others used Ijma Ahlil-Madinah <br />
(People of Madinah), Ijma Al-Mujtahideen, and various other types of Ijma. <br />
<br />
E. Differences in other legislative sources <br />
<br />
Some Scholars used Maslaha Mursalah while others did not. This contributed to <br />
more differences among the scholars. <br />
<br />
<br />
8.3.2 Differences in interpreting the text itself <br />
<br />
<br />
A. Literalists <br />
<br />
Some scholars took the literal understanding of the text, meaning that they took <br />
the text at its surface value, refusing to take deeper understandings. Some of <br />
these scholars were called Zahiris, or those who took only the apparent <br />
meanings of the texts. <br />
<br />
<br />
B. Those who saw hidden meanings in the text <br />
<br />
In addition to the apparent meaning, some Scholars took deeper and implicit <br />
meanings in the texts. <br />
<br />
<br />
8.3.3 Differences in Methodology of Usul-Fiqh <br />
<br />
There were differences in interpreting the forms and types of commands. For example, in <br />
the Hadith regarding the beard, there is a difference of opinion among the Scholars <br />
regarding whether the Hadith indicates Fard, Mandub, or Mubah commands. <br />
<br />
57 <br />
8.3.4 Differences in Understanding the Arabic Language <br />
<br />
This may be due to a different understanding of the Arabic text where it offers more than <br />
one meaning. As an example, Allah (swt) says in the Quran, in translation: <br />
<br />
“The divorced woman should wait for a period <br />
of three Quru’” (Al-Baqarah: 228) <br />
<br />
<br />
Quru’ linguistically, could mean the beginning of the menstruation penod, and it could <br />
also mean the beginning of the purity period. The difference between three Qurus from <br />
the beginning of menstruation and three Quru’s from the beginning of the purity period is <br />
about 7 to 15 days. <br />
<br />
Some scholars say Quru’ means the purity period because of a Hadith in which the <br />
Prophet (saaw) instructed a woman to wait for the purity period. Other Scholars say that <br />
this Hadith is not authentic considered the Quran to mean the beginning of menstruation. <br />
<br />
Besides all of this, one has to remember that the level of understanding of the text and <br />
the depth of thinking varies from one individual to another. These differences are a <br />
natural aspect of Allah’s creation and a mercy from Him (swt). <br />
<br />
It is for these reasons that we have different scholars forming different Schools of Fiqh. <br />
Some of these scholars had students who wrote their understanding of the text and these <br />
writings were considered as their madhahib. These include Abu Hanifah, Malik, Shafii, <br />
Ibn Hanbal, Jafar, and Zaid. Other scholars did not have the opportunity of having stu-<br />
dents write their understanding of the text, and these include Laith, Al Awzaii, and others. <br />
<br />
These examples illustrate that there have always been differences of opinion. The <br />
Sahabah (raa), Tabeyin, and Tabe Tabeyin bear witness to this fact. The Mujtahidun <br />
Mutlaq differed in their methodology, which led to the birth of different schools of Fiqh. <br />
<br />
Although the Mujtahideen were most convinced by the Ijtihad they performed, they <br />
nevertheless recognized the possibility that they could be wrong. Accordingly, the <br />
Mujtahideen have stated that whatever is correct in their work is from Allah (swt) and the <br />
errors are from them-selves. <br />
<br />
However, just because a Mujtahid is wrong, it does not mean that he should be barred <br />
from exercising Ijtihad. On the contrary, the Messenger of Allah (saaw) said, <br />
<br />
<br />
“Whosoever does Ijtihad and errs therein shall have one reward. <br />
And whosoever performs Ijtihad and is correct shall have <br />
a double reward.” (Bukhari & Muslim) <br />
<br />
<br />
There is also a severe punishment for those who do Ijtihad without being qualified to do <br />
so, even if they are right. Allah (swt) says: <br />
58 <br />
<br />
“... pursue not that about which you have no knowledge; <br />
for surely the hearinq, the sIght, the heart, all of those will be <br />
called to account (on the day of judgement.)” (al - lsra: 36) <br />
<br />
<br />
One should not consider another opinion as being unlslamic simply because it is different <br />
from the opinion that he has adopted. Instead, respect must be given to other opinions on <br />
the one condition that they are bascd,on Islamic evidences. There is no need to respect <br />
opinions which are not based upon a Daleel because there is no place in Islam for <br />
these opinions. <br />
<br />
Therefore, it is necessary for every scholar to produce his Daleel in support of an opinion. <br />
This is to instill confidence in Muslims that his opinion is Islamic. Opinions given <br />
without evidence are baseless and should be rejected. <br />
<br />
This view towards other Islamic opinions will ensure the correct Islamic attitude. <br />
However, this measure alone will not provide the total answer to the problems we face <br />
today, especially to the problems of unifying Muslims on certain key issues. There will be <br />
many different opinions as to what the Hukm Sharii is. In many instances this will not be <br />
a problem. However, one can imagine where it is necessary for the Ummah to be united <br />
under one opinion; e.g. sighting the moon, electing the Khalifah, etc. <br />
<br />
<br />
Ijma as Sahabah has established that the Khalifah has the authority to adopt certain rules <br />
and to enact them. The Sharii principle states: <br />
<br />
“The Imam’s decree settles the disagreement”, and <br />
<br />
<br />
<br />
“The Imam’s decree is executed openly and privately?’ <br />
<br />
<br />
All Muslims including the Mujtahideen, have to follow the opinion adopted by the <br />
Khalifah, but, they can maintain their opinion and teach it, while their obedience should <br />
be to the opinion that the Khalifah adopts. <br />
<br />
An example of this is the adoption of an opinion in the distribution of funds by Abu Bakr <br />
(ra) and Umar (ra). When Abu Bakr (ra) was the Khalifah, he paid equal grants to all the <br />
Sahabah (raa). He (ra) did not distinguish between the early Muslims and the new <br />
Muslims. <br />
<br />
When the Islamic State started receiving larger funds through the liberation of various <br />
lands, Abu Bakr (ra)continued to distribute the wealth equally. Umar (ra) and some of the <br />
Sahabah (raa) insisted that the earliest Muslims should be given preference over the <br />
later converts. 59 <br />
<br />
Abu Bakr (ra) told him that he was aware of the differences that Umar (ra) had <br />
mentioned; however, his opinion was that distributing the funds equally was better in the <br />
sight of Allah (swt) than the principle of preference. <br />
<br />
When Umar (ra) became Khalifah, he replaced Abu Bakr’s (ra) adoption of equality with <br />
his principle of preference. Umar (ra) did not like to pay the same amount to those who <br />
fought against the Prophet (saaw) and those who fought with him. Accordingly, he gave a <br />
larger amount to the early Sahabah(raa) who fought in Badr and Uhud and the relatives <br />
of the Prophet (saaw). <br />
<br />
Thus, when Abu Bakr (ra) was the Khalifah, Umar (ra) left his understanding and enacted <br />
the decree of Abu Bakr (ra), as did the judges, governors, and all Muslims. However, <br />
when Umar (ra) became the Khalifah, he obliged the enactment of his opinion and it was <br />
implemented by the others. <br />
<br />
Different opinions should not be viewed as a weakness or a source of disunity. As we <br />
have seen, Muslims have had varying opinions in many issues since the time of the <br />
Messenger of Allah (saaw), as is mentioned in the Hadith of Banu Quraydhah. As long as <br />
the opinion is based on an Islamic evidence, and this opinion does not contradict an <br />
assured law, it should be respected as an Islamic opinion. <br />
<br />
Finally, the way to achieve Islamic unity is not by suppressing different opinions and <br />
calling for the abandonment of madhahib. Rather, it is achieved by Muslims living under <br />
the ideological leadership of Islam where the Khalifah makes the decision of which <br />
opinion to adopt in key issues. <br />
60 <br />
<br />
9.0 A BRIEF OVERVIEW OF SOME SCHOOLS OF THOUGHT <br />
<br />
<br />
In order to conduct a comprehensive study in this issue, we need to first look at the status of <br />
Fiqh during the time of the Prophet (saaw), the era of the Sahabah (raa), and the era of the <br />
generations that followed them, better known as the Tabi’een and the Tabi’ Tabi’een. <br />
<br />
<br />
9.1 Era of the Prophet (saaw) <br />
<br />
The Prophet (saaw) received the revelation from Allah (swt) and delivered it to all people. <br />
The Muslims who used to live close to him (saaw) were the Sahabah (raa). When the <br />
Prophet(saaw) migrated to Madinah they went along with him. The Muslims of Mecca <br />
were the Muhajirun and the Muslims of Madinah were the Ansar. He (saaw) received the <br />
Message from Allah (swt) and was ordered to convey it. Allah (swt) says in the Quran: <br />
<br />
<br />
<br />
“O Messenger, deliver the Message that was sent down to you <br />
from your Rabb, and if you did not do it, you did not <br />
convey His Messaqe...~ (Al-Ma’ida: 67) <br />
<br />
<br />
‘And We sent down to you the Zikr (the Quran), so that you would <br />
explain to mankind, that which was snt down to them’ (An.Nahi: 44) <br />
<br />
<br />
With these Ayah in mind, there are certain points that need to be men-toned: <br />
<br />
1. No one would give a Fatwa in the presence of the Prophet, since they knew that <br />
he (saaw) was the authority. <br />
<br />
2. Sometimes the Prophet would give the Sahabah (raa) an instruction, and the <br />
Sahabah (raa) would understand that instruction in two different ways. Moreover, <br />
the Prophet (saaw) would approve both groups in following their understandings. <br />
For example, the Prophet (saaw) gave the following instruction: <br />
<br />
61 <br />
<br />
<br />
1. “He who believes in Allah and the Day of Judgment should not pray Salatul-<br />
Asr, except in Banu Quraydah” (Bukhari) <br />
<br />
<br />
2. One group of the Sahabah (raa) took the order at face value and journeyed to <br />
the area where Bani Quraydah resided, where they prayed Salatu-Asr. The <br />
second group however, thought about the order and evaluated that the intent <br />
of the order of the Prophet (saaw) was for them to hasten to the area of Bani <br />
Quraydah. So they prayed SalatulAsr, and then rushed to Bani Quraydah. <br />
Both groups of the Sahabah (raa) discussed their different understandings of <br />
the same order of the Prophet (saaw), and referred it back to him(saaw). The <br />
Prophet (saaw) approved both understandings. It is important to note that the <br />
differences did not occur due to an ambiguity in the order, rather it occurred <br />
due to the ability of Arabic language to convey various meanings and <br />
understandings. <br />
<br />
3. If the Sahabah (raa) were traveling, without the Prophet (saaw), they used to <br />
conduct Ijtihad, and then refer back to the Prophet (saaw) when they returned. <br />
For example, one Sahabi (ra) was wounded and was in a state where he <br />
needed to perform Ghusl before he could make Salat. He inquired from the <br />
Sahabah (raa) whether he could do the Tayamum in place of Ghusl (usually <br />
Tayamum replaces the Wudu). He was told that he could not make Tayamum <br />
and so he performed Ghusl and died. When the Prophet (saaw) heard about <br />
this occurrence he (saaw) said, <br />
<br />
<br />
“They killed him..?’ <br />
<br />
Then he (saaw) said: <br />
<br />
<br />
“Shouldn’t they ask if they don’t know...” (Abu Daoud) <br />
<br />
In another example, when Mu’ath ibn Jabl (ra) was being sent as a Wali to Yemen, he <br />
was asked by the Prophet (saaw) “With what will you judge?” He replied “The Quran, <br />
then the Sunnah, then by my Ijtihad.” This Ahadith is considered to be Hasan by most <br />
scholars of Usul-al-Fiqh, while some scholars of Hadith do not consider it Hasan. <br />
<br />
The preceding points illustrate that the Quran and the Sunnah were the only acceptable <br />
reference points for the Sahabah (raa), and that they would refer back to the Prophet <br />
(saaw) in cases of uncertainty. <br />
<br />
9.2 Era of the Sahabah (raa) <br />
<br />
After the death of the Prophet (saaw), the Muslims selected Abu Bakr (ra) as the <br />
Khalifah. One of the first issues he faced was a confusion on the part of Fatimah (ra), <br />
daughter of the Prophet (saaw), on inheriting a piece of land which the Prophet (saaw) <br />
owned. Abu Bakr (ra) quoted the following Hadith which resolved the matter, <br />
62 <br />
<br />
<br />
“We (Prophet’s) do not leave things for inheritance. <br />
Whatever we leave is charity.”(Bukhari & Muslim). <br />
<br />
She (ra) then suggested to Abu Bakr (ra), to let her (ra) supervise the property and to <br />
distribute it the way the Prophet (saaw) used to do. Abu Bakr (ra) refused saying: <br />
<br />
<br />
<br />
“I am not going to quit doing anything the <br />
Messenger (saaw) used to do.” (Bukhari). <br />
<br />
<br />
In another narration, Abu Bakr (ra) said, <br />
<br />
<br />
<br />
“I am in charge after the Messenger (saaw).” <br />
<br />
Thus, Abu Bakr (ra) pointed out to Fatima (ra) that if he (ra) gave her (ra) this authority <br />
then what is the point of having a Khilafah. Moreover, it was not up to her (ra) to act on <br />
behalf of the Khalifah. <br />
<br />
At that time Abu Bakr (ra) gathered the Sahabah (raa) and asked them where are you? <br />
Why are you leaving me? (Abu Bakr (ra) was referring to the Sahabah (raa) leaving for <br />
the newly liberated lands). If you want me to be the Khalifah you cannot just appoint me <br />
and depart. Thus, Abu Bakr (ra) maintained this group of Sahabah (raa) with him (ra). <br />
<br />
During this era, with the death of the Prophet (saaw), the Sahabah (raa) began <br />
performing ljtihad for problems that arose which were not explicitly expressed in the <br />
Quran and Sunnah. The Sahabah (raa) compiled the Quran, and many of them had <br />
already committed the whole Quran to memory. The Ayah of the Quran were also written <br />
on stones, tree barks, or pieces of leather, and were scattered amongst the Sahabah <br />
(raa) in general. <br />
<br />
Additionally, most of the Hadith were not documented, rather they had been committed to <br />
memory. No one single person had memorized the entire Sunnah as they had <br />
memorized the entire Quran. Nonetheless, the Quran and the Sunnah together served as <br />
the reference point for the solutions to the problems that the Sahabah (raa) faced as a <br />
whole. After a while they found that not every single person was capable of <br />
understanding Islam, and so they began a program of educating those Muslims who <br />
were incapable. <br />
<br />
At the time of the death of the Prophet (saaw), the Sahabah (raa) numbered in the <br />
thousands, however only about seven to ten of them used to give Fatwa more than the <br />
others, and were considered practical Fuqahaa or people who were able to give the <br />
Islamic rule in practical, day to day problems. Included in this group were Umar, All, lbn <br />
Umar, Ibn Abbas, lbn Mas’ood, Zaid bin Thabit, and Aisha (raa). In their endeavors to <br />
determine the Hukm Sharil rules for problems, the Sahabah (raa) adhered to the Quran 63 <br />
and Sunnah; however, they still arrived at varying and different opinions. <br />
<br />
For example, in the issue of divorce, Abu Bakr (ra) and Umar bin Al-Khattab (ra) had <br />
different opinions. Umar (ra) was of the opinion that if a man says to his wife “I have <br />
divorced you” three times in one sitting, then the man would have divorced her three <br />
times and could not remarry the woman until she married and was divorced by someone <br />
else. While Abu Bakr (ra) was of the opinion that this would result in only one divorce. <br />
<br />
In another example, Abu Bakr (ra) used to distribute the spoils of war equally amongst <br />
the Sahabah (raa). When, Umar (ra) became the Khalifah, he did not give those who <br />
became Muslim recently and who had fought against the Prophet (saaw) in the early <br />
wars, like Khalid bin Al-Walid (ra), as much as he gave to those who had accompanied <br />
the Prophet (saaw) in those earlier wars. <br />
<br />
The differences amongst the Sahabah (raa) were not only limited to the details of the <br />
Hukm Sharil, they also had differences in certain branches of the Aqeedah. <br />
<br />
However, these difference of opinions may exists in the branches of the Aqeedah, mainly <br />
due to linguistic structure of the Arabic language. Whereas, in the core of the Aqeedah <br />
there is only one correct understanding. <br />
<br />
For example, in an issue related to the Aqeedah there is a difference of opinion regarding <br />
Israa’, Allah (swt) says; <br />
<br />
<br />
<br />
“Glory be to He who took His ‘Abd on the Night Journey (lsraa) <br />
from Masjld Al-Haram to MasJid Al-Aqsaa...’ (BanI-lsrael: 1) <br />
<br />
<br />
Most of the Sahahah (raa) were of the opinion that the physical body of the Prophet <br />
(saaw) made the night journey or the Israa. Aisha (ra) and Mu’awiyah (ra) however were <br />
of the opinion that the physical body of the Prophet (saaw) did not make the journey and <br />
that only his (saaw) spirit made it. Aisha’s (ra) justification was that he (saaw) was not <br />
missed and no one remembers his (saaw) body leaving. <br />
<br />
Another example is where Aisha (ra) was told by a Sahabi (ra) that the deceased person <br />
will be punished because of the wailing and loud crying performed by his family. Aisha <br />
(ra) rejected this claim because she understood that it contradicted the Ayah that says: <br />
<br />
<br />
‘No one will bear the burden of another..’ (Al-Anam: 146) 64 <br />
<br />
<br />
Imam Baghawi in his hook “the Lights of the Sunnah,” remarked that Aba Bakr (ra) used <br />
to look to the Book of Allah (swt) to solve his problems. If he couldn’t find a solution there, <br />
he would go to the Sunnah, and if he could not find it there, he would ask some of the <br />
Fuqahaa among the Sahahah (raa) for their ljtihad in the particular issue. <br />
<br />
Imam Baghawi goes on to say that Umar (ra) used to consult the Sahabah (raa) even <br />
though he was a well known Faqih. <br />
<br />
Even though the Sahabah (raa) disagreed, their disagreement was well within the <br />
guideline of understanding the text and this was considered normal. Imam Muhammad <br />
Abu Zahrah, while discussing the era of the Sahabah (raa), said that it is important to <br />
remove two misconceptions. <br />
<br />
<br />
A. The first is that some people said that the Sahabah (raa) used to disregard the <br />
authentic Hadith and based their judgments on their mind or own rational <br />
thinking. Imam Zahrah said that it should be understood that none of the <br />
Sahabah (raa) left the text for their own rational opinion, rather their opinions <br />
were based and influenced entirely by the texts. He uses an example from the <br />
Khilafah of Umar bin Al Khattab (ra), when he delayed cutting off the hand of the <br />
thief. Some people use this instance as an example that Umar (ra) did this solely <br />
due to his own thinking. <br />
<br />
This claim is incorrect, since there is a Hadith where the Prophet (saaw) said: <br />
“Don’t implement the hudood in the cases of doubt.” There is also another Hadith <br />
in which the Prophet (saaw) states: “There is no cutting in a famine.” And <br />
Medinah was in fact experiencing a famine at the instance when Umar (ra) <br />
postponed implementing the Hud. <br />
<br />
<br />
B. Some tried to classify the Sahabah (raa) into two groups: Those who adhered <br />
strictly to the traditions (Ahiul-Hadith), and those who did not adhere to texts, <br />
called Ahlul-Ra’ee. They claim that the first group did this because they were <br />
Classical Traditionalists, while the second group were Revivalists. <br />
<br />
This claim is incorrect, since both Ahlul-Hadith and Ahlul-Ra’ee adhered to the <br />
text. Imam Zahrah cited the example, which they use, regarding the stray animals <br />
in the State. The Prophet (saaw) said to leave them and they will reach their <br />
owner. But Umar (ra) acted differentiy in this regard. He put them in one place <br />
and allowed the owner to identify them and take them. <br />
<br />
It should be clear that Umar’s action was in line with the Prophet’s (saaw), in that the <br />
objective was to allow the wandering animals to reach their owner. The Prophet’s (saaw) <br />
style or means in solving the problem was to allow the animals to wander. <br />
<br />
However, during Umar’s (ra) time, when the State had expanded to the areas of Sham <br />
and North Africa, the tactic of putting the animals in one location was used to solve the <br />
same problem of returning the stray animals to their owners, and there is no conflict. So <br />
what Umar (ra) did was part of his responsibility which requires adopting some admin-<br />
istrative procedures. These administrative decisions can be changed. <br />
<br />
It should be understood that there is a difference between an administrative order and a 65 <br />
legislative order. Ordering a person to do his Salat if he made a mistake is a legal order, <br />
while tying up a wandering camel is an administrative order. <br />
<br />
<br />
<br />
9.2.1 Why was there Difference of Opinion amongst the Sahabah (raa)? <br />
<br />
The text sometimes could be understood in different ways due to the structure of the <br />
Ayah, and/or the structure of the Arabic language. For example, Allah (swt) says: <br />
<br />
<br />
‘The divorced woman should wait for <br />
3 periods (quru)’ (AI•Baqarah: 228) <br />
<br />
<br />
A. The word Quru in the Arabic language can mean the time when the woman <br />
begins her menstruation, or the post menstruation period. The difference <br />
between 3 cycles beginning with menstruation and 3 cycles beginning with the <br />
purity period is about 7 to 15 days. <br />
<br />
<br />
B. Sometimes a Sahabi would issue a Fatwa without having heard of a Hadith <br />
related to that issue, and which another Sahabi knew. However, these cases <br />
were usually resolved later. <br />
<br />
<br />
C. How they viewed the texts and the methodology of interpretation. An example <br />
deals with the inheritance of the grandfather. Abu Bakr (ra) said that if one dies <br />
leaving a father, brothers, a wife and children, the presence of the father, who is <br />
considered the grandfather of the deceased person’s children, would prevent <br />
other brothers from inheriting the wealth. Umar (ra) said that he would give the <br />
brothers and the grandfather the same amount after discussing this issue with <br />
Zaid bin Thabit (ra) (the foremost Sahabi in the area of inheritance). <br />
<br />
<br />
9.3 Era of the Tabi’een <br />
<br />
When Umar (ra) became the Khalifah, if anyone from the Sahabah (raa) wanted to <br />
migrate to to the newly liberated lands, he would have to take the permission of Umar <br />
(ra). Upon the request, Umar (ra) would grant a leave for a specified number of months <br />
on the condition that they would return. <br />
<br />
When Uthman (ra) became the Khalifah, he allowed the Sahabah (raa) to disperse. The <br />
Sahabah (raa) began leaving Med inah, heading out to regions such as North Africa, <br />
Sham, Kabul, and even Peking, while others went back to Mecca. For instance, lbn <br />
Masud (ra) went to Kufah, Abdur-Rah man bin Awf (ra) reached Peking, while Abdullah <br />
bin Umar (ra) stayed in Madinah. However, for the most part, the two main groups of <br />
Sahabah (raa) were either in Kufah or Madinah. <br />
<br />
Those whom we call the Tabi’een were the followers and companions of a specific 66 <br />
Sahabi. For example, Sa’eed ibnu Musayyib, Nayfeh, and Salem ibn Abduilah bin Umar <br />
are well known Tabi’een who followed Abdullah bin Umar (ra). Most of the Tabi’een were <br />
not Arabs so they learned the Arabic language, and in some cases they learned the lan-<br />
guage better than the Arabs themselves, and became major contributors to Fiqh. <br />
<br />
<br />
9.3.1 AhIul Hadith & Ahiul Ra’ee <br />
<br />
During the days of the Tabi’een, two major methodologies of understanding the text <br />
arose: <br />
<br />
a) Ahlul-Hadith (The People of Hadith) in Madinah. <br />
<br />
b) Ahlul-Ra’ee (The People of Reason) in Kufah. <br />
<br />
<br />
Those who followed Ahlul-Hadith (The People of Hadith) had more Hadith at their <br />
disposal and relied on the Hadith more than on Qiyas, while Ahlul-Ra’ee (The People of <br />
Ra’ee) relied more on Qiyas and the meanings behind the text, but did not at all neglect <br />
the Hadith. Another difference between the two schools is that the Ra’ee (reasoning) in <br />
the School of Ra’ee was based on Qiyas while in Madinah Ra’ee was based more on an <br />
elaboration of the text itself. Ahiul-Hadith (The People of Hadith) <br />
<br />
Ahlul-Hadith (The People of Hladith) in Madinah <br />
<br />
Among the Tabi’een in Madinah were Sa’eed ibnu Musayyib, Zuhri, Yahya, and Rabiah-<br />
ar-Ra’ie, ‘Urwa, Abu Bakr bin ‘Ubaid bin Harith, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, <br />
‘Ubaidullah, Sulayman bin Yassar, Kharija bin Zaid bin Thabit. They took their Fiqh from <br />
Abdullah bin Umar (ra). Sa’eed ibnu Musayyib was known as Al-Jareei (The Outspoken) <br />
or the one who has the guts to make Ijtihad, while Rabiah was called Ar-Ra’ee because <br />
of his common practice of making Ijtihad. <br />
<br />
The populace in Medinah had lived with the Prophet (saaw) and took his (saaw) actions <br />
and sayings in a more practical manner. Thus, Ahlul-Hadith (People of the Hadith) <br />
emerged in Medinah. <br />
<br />
There is also a misconception that Ahlul-Hadith (The People of Hadith) used to only <br />
adhere to the Hadith without performing Ijtihad whatsoever. This claim is false. For <br />
example, Imam Malik bin Anas, who emerged from the School of Medinah, used to do <br />
Ijtihad according to Masalaha Mursalah even more than Abu Hanifah, who emerged from <br />
the School of Kufah. <br />
<br />
Ahlul-Ra’ee (The People of Reason) <br />
<br />
Among the Tabi’een in Kufah were Ash-Sha’bee, Hasan al-Basree, and Ibrahim an-<br />
Nakha’ee, Hammaad, Alqamah bin Qais, Majsood bin Ajdah. These Tabi’een took their <br />
Fiqh from Ali bin Abi Talib (ra) and Abdullah bin Mas’ood (ra). Some of the Tabi’een such <br />
as Ash-Sha’bee were considered Muhadditheen (Scholars of Hadith). <br />
<br />
The populace in Kufah (Iraq) was experiencing many problems such as the fabrication of <br />
Hadith, political turmoil, etc., and the scholars were very careful in collecting Hadith due <br />
to the possibility of fabrication. Due to these problems, they often used reasoning. <br />
Reasoning (Ra’ee) here implies opinion derived from different understandings of the text. 67 <br />
Thus, they came to be known as Ahiel Ra’ee (People of the Reasoning). <br />
<br />
The word Ra’ee linguistically means: opinion. Therefore some people think that the term <br />
Ahlul-Ra’ee (The People of Ra’ee) mean the people who present their opinion. This is a <br />
misconception, to anyone who believes that their opinion was based on their own <br />
desires. The opinion presented by Ahlul-Ra’ee was through their Ijtihad which was based <br />
on the legislative evidences, i.e. Quran and Sunnah. <br />
<br />
<br />
<br />
The Prophet (saaw) said “Allah does not remove the I’lm alter it was given to you, rather <br />
the I’lm would be removed with the death of the ‘Ulema. Then some people, who are <br />
ignorant, will start giving their Ra’ee based on their desires and they are misled and will <br />
lead the Ummah astray.” (Bukhari & Ahmad) <br />
<br />
<br />
He (saaw) also said: “My Ummah will be divided into 70 something sects. The worst <br />
group will be those who will start taking the Deen from their Aql.’ (Al Darami) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
He (saaw) also said: “He who adopts an opinion based on his AqI, he will reserve for <br />
himself a place in the hellfire.” (Bukhari & Muslim) <br />
<br />
<br />
These Ahadith are clearly referring to the person who adopts opinions or gives Fatwa <br />
based on his Aql without any evidence from the Shariah. Ahlul-Ra’ee on the other hand, <br />
were those who exerted their utmost effort in scanning the Islamic texts, and then issued <br />
an opinion. This process is called Ijtihad. <br />
<br />
Some people say that Ahlul-Ra’ee did not utilize Hadith in issuing their opinions. This <br />
claim is false. People like Ash-Sha’bee were recognized Muhaditheen while being from <br />
Kufah and from Ahlul-Ra’ee. <br />
<br />
The main difference between them was that the People of Ra’ee practiced more Qiyas <br />
and Istihsan and they went deeper into the text to extract more rulings than the People of <br />
Hadith. These two main schools influenced many other schools of thought. <br />
68 <br />
<br />
9.4 Madhab of Imam Abu Hanlfah (ra) <br />
<br />
Abu Hanifah al Numan ibn Thabit ibn Zuta (80-150 A.H./700 - 768 A.D.) was born during <br />
the Khilafah of Abdul Malik bin Marwan. Imam Abu Hanifah lived through 52 years of <br />
Ummayyid rule and witnessed the Khilafah of ten Umayyad Khulufa including that of <br />
Umar bin Abdul Aziz who ruled when the Imam was 18 years of age. <br />
<br />
He also saw 18 years of Abbasid rule, including that of Saffah and Mansoor. He realized <br />
that the Ummayyids had no claim on the Khilafah but he did not rebel against them since <br />
they were given the Bay’ah. He also did not speak out against the Abbassids; however, <br />
he started doing so when they started harassing the descendants of Ali (ra). Imam Abu <br />
Hanifah earned the title of Imam ‘Aazam. Imam Shafii used to say: <br />
<br />
“The people in Fiqh are dependent upon Abu Hanifah.” <br />
<br />
<br />
He was born to a well known Persian family in Kufah and spent most of his life there. His <br />
father was a good friend of Ali bin Abi Talib (ra). The two Sahabah (raa) who established <br />
the Kufa School were Ali bin Abi Talib (ra) and Abdullah bin Mas’ood (ra). They taught <br />
Tabi’een like Shurayh, Arqam bin Qais, Masrooq bin al-Ajdah. They in turn taught <br />
Ibrahim An-Nakha’ee, Ash-Sha’bee. These two taught Ham maad Ar-Raawiyyah, who <br />
served as the teacher of Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah studied with Hammaad for 18 <br />
years and took over his study circle (halaqah) after Hammaad’s death in 120 A.H. Abu <br />
Hanifah also studied from Imam Jafar as Sadiq. <br />
<br />
Abu Hanifah’s two most famous students were Muhammad bin al-Hasan, and Qadee <br />
Abu Yusef, who served as Chief Justice in the time of Haroon ar-Rashid and wrote a <br />
book called Al-Kharaj which detailed the Economic system in Islam. Each of Abu <br />
Hanifah’s students developed into Mujtahids of their own right, with the ability of <br />
developing their own Usul ul-Fiqh. However, they kept the Usul of Abu Hanifah and were <br />
considered Mujtahids of the Madhab of Abu Hanifah. <br />
<br />
Abu Hanifah was a trader by profession, specializing in silk. In his early life he studied <br />
‘ilmul Kalaam, but abandoned it afterwards. Once he heard his son Hammaad, debating <br />
in ‘ilmul Kalaam, he discouraged him from doing so. His son asked him why he was <br />
prohibiting him when he himself used to debate in ‘ilmul-Kalaam. <br />
<br />
Abu Hanifah replied that he used to debate in ‘ilmul Kalaam while being afraid that others <br />
would be wrong in an issue. Whereas you are debating with the hope that your opponent <br />
would be wrong in an issue in order to exploit his mistake. He who wants his opponent to <br />
make a mistake in ‘ilmul Kalaam means that he wants him to be a Kafir (‘ilmul Kalaam <br />
deals with the issues of the Aqeedah), and he who wants his opponent to be a Kafir will <br />
become a Kafir before his opponent. So do not debate in ‘ilmul Kalaam. <br />
<br />
9.4.1 Books and Students from the Madhab of Imam Abu Hanifah <br />
<br />
Abu Hanifah wrote many books, and his students also authored many important books <br />
on Islam. The books of Abu Hanifah include Fiqh-ul-Akbar and Al ‘Alim-ul-Muta’allim. <br />
<br />
The books of those who followed his Madhab include, but is not limited to the following; <br />
69 <br />
<br />
<br />
9.5 Madhab of Imam Malik (ra) <br />
<br />
Malik ibn Anas (93 AH- 179 AH) was born and passed away in Medinah. His ancestral <br />
place was Yemen. After the birth of Islam, his ancestors who had become Muslims <br />
migrated to and settled in Medinah. He received his education in Madinah, which was the <br />
highest place of learning in the vast Islamic State and housed most of the distinguished <br />
Sahabah (raa) of the Prophet (saaw). <br />
<br />
He studied under Abdur-Rahman ibn Hormuz, who advised Malik that: <br />
<br />
“The Alim (Scholar) should teach the people to say: ‘I do not know’ Imam Malik followed <br />
and adhered to this advice throughout his life. Once a man attended his Halaqah and <br />
asked him a question to which Imam Malik replied; “I do not know, no one else ever <br />
asked this question... the scholars, from before never discussed such a topic.” <br />
<br />
<br />
Then Imam Malik told the man to come back the following day and he would see If he <br />
would be able to supply the answer. When the man returned the following day, Imam <br />
Malik again told him that he had no answer. The man then told him that he had heard <br />
that Imam Malik was the most knowledgeable man in the world, and so if Imam Malik did <br />
not know, then who else would know. Imam Malik kept with his answer that he did not <br />
know. <br />
<br />
Imam Malik also studied with Ibn Shihaab Az-Zuhri; Naafi’ the ex-slave of Abdullah bin U <br />
mar; Yahyah ibn Saeed; Rabiah ar-Ra’ee; and Jafar As-Sadiq. Imam Malik learned Ar-<br />
Ra’ee from Rabiah and from Yahyah ibn Sa’eed, and he learned Hadith from Naafi’ and <br />
from Ibn Shihaab Az-Zuhri. Therefore, we can say that Imam Malik had studied from both <br />
schools of Hadith and Ra’ee, since Ra’ee was also being taught in Al-Madinah. <br />
<br />
Imam Malik was known for his very sharp memory and quick thinking. He used to think <br />
very hard and carefully to arrive at his opinions and never rushed to issue a Fatwa. Once <br />
someone asked him a question, and another person remarked that the question was very <br />
easy. Imam Malik replied that there is nothing easy or trivial with regard to giving a rule. <br />
Imam Malik also disliked lengthy arguments. He was once asked that if a person was <br />
very knowledgeable in the Hadith and Sunnah should that person continue arguing his <br />
point. Imam Malik replied that such a person should just issue his opinion and his 70 <br />
evidence without engaging in too much of a discussion or debate. <br />
<br />
Imam Malik’s classes were characterized by their serenity, discipline and high sense of <br />
respect, exhibited by the students for their learned teacher. Once, during his visit to <br />
Madinah, Harun ar Rashid wanted to hear the Muwatta (collection of traditions by Imam <br />
Malik). Harun sent for the Imam who advised him saying: “Rashid, tradition is a learning <br />
that used to be patronized by your ancestors. They had utmost regard for it. If you do not <br />
respect it as a Khalifah no one else will. Furthermore, people come to seek knowledge <br />
but knowledge doesn’t seek people. “Khalifah Harun ar Rashid agreed to listen to the <br />
Muwatta with his students. <br />
<br />
Among the persons who benefited from Imam Malik’s learning were Khulafah such as <br />
Mansur, Hadi, Haroon, and Mamun. Scholars like Abu Hanifah, Shafii, and Abu Yusuf to <br />
name just a few, also benefited from the teachings of Imam Malik. <br />
<br />
Imam Malik lived under the rule of the Ummayyads and the Abbassids. He did not <br />
entirely agree with their rule, nor did he join the rebels, but rather he advised that the <br />
people should not tolerate their wrong doings. He was not exempt from problems with the <br />
rulers, especially during the era of Abu Jafar al-Mansoor. Imam Malik had reported a <br />
Hadith in which the Prophet (saaw) said: <br />
<br />
<br />
“There is no oath if given under duress.” <br />
<br />
<br />
At that time some of the Shi’ah, under the leadership of Muhammad Nafsul Zakiyyah <br />
were leading a revolt against the Khalifah, using this Hadith as a basis for their revolt. <br />
Abu Jafar’ al-Mansoor sent a messenger to Imam Malik to ascertain if this Hadith had in <br />
fact been reported and supported by Imam Malik. Imam Malik told the messenger that he <br />
had in fact reported that Riwayah, and so the Khalifah understood from the reply that <br />
Imam Malik was a part of the Shi’ah’s rebellion. He was imprisoned and was beaten very <br />
severely to the point that his hands became deformed (Imam Malik after this used to pray <br />
with his hands at his side). <br />
<br />
Afterwards, Abu Jafar tried to reconcile with Imam Malik. Imam Malik once said: <br />
<br />
When I entered to meet Abu Jafar during the Half season, he told me: ‘I swear by Allah, I <br />
did not instruct anyone with what happened to you. The people of Al-Haranzayn will <br />
remain in a good condition as long as you are with them. Allah lfted up this Ummah as <br />
long as you are with them. I ordered the Wali who was responsible to come to me and I <br />
have put him in jail, humiliated, insulted and punished him with more than what you were <br />
punished.” <br />
<br />
<br />
Imam Malik continued, ‘May Allah give you good health and a good destination on the <br />
Day of Judgment. I have forgiven that Wali since he is a relative of the Prophet (saaw).” <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
71 <br />
<br />
9.5.1 Books and Students from the Madhab Imam Malik <br />
<br />
<br />
His book Al-Muwatta is one of the earliest collections of Ahadith. Imam Malik was one of <br />
the greatest scholars in the field of Hadith. He was also one of the few who wrote down <br />
the results of his Isnad (chain of reporters) in his collection of Hadith for the benefit of <br />
later generations. <br />
<br />
He began writing it during the era of Al Mansoor and finished it during the era of Al <br />
Mahdi. Harun Ar-Rasheed wanted to adopt it as a legislative source of Islamic State’s <br />
canons but Imam Malik refused, and was also against the idea of hanging a copy in the <br />
Ka’bah. The book Al Mudawan Al Kubrah is also attributed to him. <br />
<br />
Well-recognized Malaki scholars include; <br />
<br />
<br />
<br />
9.6 Madhab of Imam Shafii <br />
<br />
Muhammad ibn Idris ash- Shafii (150-205 AH, 767-820 CE) is considered to be the <br />
architect of Usul al Fiqh. He was born in Ghazza (Palestine) and when he was two years <br />
old his mother took him to Mecca. Imam Shafii is from the tribe of Quraysh and his <br />
lineage meets with the Prophet (saaw) at Abdu Manaf. <br />
<br />
At an early age, his mother took him to the local Kuttab to memorize the Quran, but since <br />
they were poor and could not afford the tuition, he was not allowed to attend the classes. <br />
He used to stay within an earshot of the class listening to the instructions of the Shaykh <br />
and memorizing them. When the teacher would leave, young Shafii would go to help the <br />
students with their memorization. The teacher learned about this and allowed young <br />
Shafii in the class with the condition that he would help the students with their <br />
memorization. <br />
<br />
When he was about seven years old he had memorized the Quran, and then went to <br />
Masjid Al-Haram where he studied the Arabic language. By the time he graduated, he <br />
had learned all the versions of the classical Arabic language. His statements are <br />
considered to be standards in the Arabic language. After completing his Arabic studies, a <br />
man advised him to study Hadith, Fiqh, and Ulum-ul-Quran, and so he moved to <br />
Medinah. <br />
<br />
<br />
There he studied under Imam Malik ibn Anas prior to his death in 179 AH. It was directly <br />
from Imam Malik that Imam Shafii learned the Muwatta. He then traveled to Iraq, where <br />
he stayed as the guest of Muhammad bin Al-Hasan, the student of Abu Hanifah. Imam 72 <br />
Shafii would debate and study with both Muhammad bin al-Hasan and Qadee AbuYusef. <br />
<br />
He would then return to Medinah, around 174 AH, to visit with his old friend Imam Malik. <br />
After the death of Imam Malik, Imam Shafii traveled to Yemen. There he met Umar bin <br />
Abi Salamah, teacher of al Awzaii, a great scholar in Usul al Fiqh. <br />
<br />
While there, some problems arose between the Khalifah Harun arRashid and AhI-ul-<br />
Bayt. Imam Shafii was accused of siding with the Ahl-ul-Bayt against the Khalifah, and <br />
was arrested and taken to Baghdad to the court of the Khalifah. After a discussion with <br />
the Khalifah to clear himself of any wrong doing, Imam Shafii was invited by the Khalifah <br />
to advise him. It is recorded that he was so firm and strong in his advise to the Khalifah, <br />
that the Khalifah wept. <br />
<br />
While in Baghdad he met Abdur Rahman Bin al Mahdi (scholar of Hadith) in 195 A.H., <br />
who asked him to write a book explaining the methodology of understanding Fiqh. In this <br />
work, Imam Shaffi combined both the School of Hadith in Madinah and School of Ra’ee <br />
in Kufah. He was able to do this because he was acquainted with both schools. In <br />
Medinah he studied under Imam Malik and in Kufah he met Muhammad bin al Hasan <br />
(follower of Hanafli school of Fiqh). The outcome of this book was called Ar-Risala (This <br />
old version does not exist today). <br />
<br />
Imam Shafii then decided to move to Egypt. While in Egypt Imam Shafii rewrote his book <br />
Ar-Risala. In the New Risala, he established new principles in Usul a! Fiqh. Thus, his <br />
changing to a new methodology changed his Fatwas because the pattern for giving <br />
Fatwas is as follows: <br />
<br />
Usul al Fiqh Fiqh Fatwa <br />
<br />
<br />
Some think that Imam Shafii changed his Fiqh due to the new circumstances or <br />
environment in Egypt. We must understand that Imam Shafii did not rewrite his book for <br />
the sake of it, or because he changed his location. There are really only two possibilities <br />
for the re-writing of ArRisala. <br />
<br />
A. Imam Shafii had put in his mind that he wanted to reach a specific conclusion <br />
and in order to do so he would have to change the basis for those predetermined <br />
conclusions, or <br />
<br />
B. Imam Shafii found that the old basis he had used was wrong, and so it was <br />
necessary to redo or to revise his basis for deriving his Fiqh. <br />
<br />
<br />
<br />
If there is a change in Usul al Fiqh there will obviously be a different ruling and not vice-<br />
versa, because a Mujtahid is not allowed to think of a ruling before deciding on which <br />
sources to extract the rulings from. Therefore, as a result of changing the Usul al Fiqh <br />
there were different Fatwas. The reason for the change was that he thought that his <br />
earlier Usul al Fiqh was wrong. This change was not due to time or place. Therefore, his <br />
Madhab had changed completely because his Usul al Fiqh had changed. This very <br />
important point, if it is not understood correctly could prove to be misleading. <br />
<br />
Imam Shafii never debated in ‘ilm-ul-Kalaam. Regarding it he used to say; “Debating in <br />
Fiqh, at the very least would lead the people to make fun of you, for example, saying the <br />
Diyah for murder is an egg. Debating in ilm ul Kalaam, they would say that you are 73 <br />
deviating and making a Bid’ah. So go and debate in Fiqh, and leave ‘ilm- ul-Kalaam.” <br />
<br />
<br />
9.6.1 Books and Students from the Madhab of Imam Shafii <br />
<br />
Imam Shafii’s books include: <br />
<br />
<br />
<br />
Those who are considered to be from his Madhab include; <br />
Ibn Kathir, As-Syuti, Al-Muzni, Al-Buwaytee, and Ar-Rabee. <br />
<br />
9.7 Madhab of Imam Ahmad ibn Hanbal <br />
<br />
Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal (164 AH - 241 AH) was born and passed away in <br />
Baghdad. His mother and his uncle took care of him due to the death of his father when <br />
he was very young. <br />
<br />
Baghdad at that time was experiencing a very strong intellectual movement, and was the <br />
Capital of the Islamic State. It was residence for many scholars and intellectuals. It was in <br />
this environment that Imam Ahmad studied the Quran, Arabic language, Hadith, the <br />
sayings of the Sahabah (raa), and the Seerah of the Prophet(saaw). At an early age it <br />
was quite evident that Imam Ahmad possessed a very sharp and keen intellectual ability. <br />
<br />
He was known to be very serious in his youth. At about 15 years of age, in 179 AH, he <br />
began studying and taking care of the Science of Hadith, under the tutelage of Qadee <br />
Abu Yusef. In 186 AH Imam Ahmad began traveling to Basrah, Hijaz, and Yemen. It is <br />
reported that he went to Hijaz at least five times. In 187 AH he met Imam Shafii in Mecca. <br />
In Yemen he took Hadith from Az-Zuhri and Ibn Musayyib. <br />
<br />
A person once asked him about his busy traveling schedule and he replied; “I will keep <br />
my pen with me all the way to the grave. “He met Imam Shafii again in Baghdad and <br />
studied in Imam Shafii’s Halaqah. Imam Shafii said “When I left Baghdad, I did not leave <br />
behind me a person who is more knowledgeable and better than Ahmad.” <br />
<br />
<br />
Imam Ahmad came up at a very opportune time, in that he got a chance to read what <br />
was already documented by the great scholars before him such as Al-Aathar by Yusef <br />
bin Qadee Abu Yusef, the works of Muhammad ibn Hasan, Imam Shafii and Imam <br />
Malik’s Al-Muwatta. He was able to study Hadith, Sunnah and Fiqh all together. He col-<br />
lected 40,000 Ahadith in his famous book called Al Musnad. In this book he classified the <br />
Hadith based on the names of the Sahabah (raa) who reported them, as well as the Fiqh <br />
of the Sahabah (raa). <br />
74 <br />
At the age of 40, he began his own Halaqah, although it was reported that before this he <br />
had already been issuing Fatwa. He used to give two Halaqahs, one was public and the <br />
other was for his students and his children. He used to instruct his students to write down <br />
the Hadith and did not encourage them to write down his Fatawa. <br />
<br />
<br />
9.71 Imam Ahmad and ‘IIm~uI-Ka!aam <br />
<br />
A man wrote a letter to Imam Ahmad asking him to debate with a person from the <br />
Muttakallimeen (one who practices lIm ul Kalaam). Imam Ahmad replied that he already <br />
had the chance to meet with those from the Muttakallimeen but he chose not to sit down <br />
with those deviant people. Imam Ahmad’s opinion was that the Book of Allah had to be <br />
taken the way it was revealed. <br />
<br />
Because of such a position, he was usually at odds and in direct confrontation with <br />
people like the Mu’tazilah, who at that time were supported by the Khalifah Ma’mun. The <br />
Mu’tazilah used to say that the Quran was created and developed this opinion as a <br />
reaction to a position held by some of the Christians at that time. <br />
<br />
A Christian during that time called Yuhannah Al-Damashqee used to instruct his followers <br />
that the best way to debate with the Muslims was to ask them about Allah’s speech or <br />
word, and whether it was eternal or not. If they say it is eternal, then Jesus would also <br />
have to be eternal since the Quran says Jesus is Kalimat-ul-Allah, or Allah’s word. If they <br />
say that Allah’s speech is not eternal, then this would mean that Allah’s speech was <br />
created. <br />
<br />
Being influenced by this, the Mu’tazilah began carrying the opinion that the Quran was <br />
created, thinking that this would cut off any avenue that could lead to the conclusion that <br />
Jesus was eternal. This opinion was adopted by the Khalifah Al Ma’mun in the year 212 <br />
AH, and in 218 AH Al Ma-mun began imposing this opinion on the people, enacting a <br />
punishment on those who would not say that the Quran was created. <br />
<br />
Imam Ahmad was one of the few people who stood fast in his opinion regardless of the <br />
punishment that he would face. He refused to say what the Khalifah was trying to <br />
persuade him to say. When the people asked him why don’t you just say the Quran was <br />
created and you will be free from the persecution? Imam Ahmad replied, “Then how will <br />
the Ummah know the truth?” <br />
<br />
Imam Ahmad’s opinion was that the entire issue was not one to be discussed since it <br />
was no more than a reaction to the Christians’ debate, and that such an issue regarding <br />
the Islamic Aqeedah was never discussed by the Prophet (saaw), nor any of the <br />
Sahabah (raa). While discussing this issue with another scholar who followed the <br />
Mu’tazllah’s opinion, Imam Ahmad said; <br />
<br />
“You are saying something that the Prophet, Abu Bakr, Umar Uthman and Ali never said. <br />
This could mean one of two things. Either you say they knew it and kept quiet, or that <br />
they did not know about it. If they knew it and kept quiet then I will follow their opinion. If <br />
they did not know about it, then who are you to know something (regarding the Islamic <br />
Aqeedah that the Prophet (saaw,) did not know?” <br />
<br />
<br />
It should be clear here, regarding the opinion adopted by the Mu’tazilah, that the issue is <br />
not whether they were right or wrong, rather the issue is with regard to using ‘iIm ul- 75 <br />
Kalaam. Because of ‘lIm ul-Kalaam, Muslims began debating issues that were once <br />
debated by the ancient Greeks, and as a result, they lost a clear understanding of many <br />
issues related to the Islamic Aqeedah. The Islamic Aqeedah should be understood within <br />
the methodology of the Quran. <br />
<br />
This methodology separates between two Daleel, i.e. the mind and the conclusive texts <br />
(Quran and Mutawatir Hadith). The mind is used to become convinced that the universe <br />
was created and is organized by Allah (swt); that the Quran was revealed by Allah (swt); <br />
and that there is a need for a Messenger to convey this Message and that Prophet <br />
Muhammad (saaw) is the Messenger to whom the Quran was revealed. Once we believe <br />
in these principles of the Islamic Aqeedah, then the role of the mind is to understand the <br />
conclusive texts as they were given with regard to the angels, Jinns, the Day of <br />
Judgment and the hereafter. <br />
<br />
We should not discuss any issue dealing with the Ghayb or the unsensed with our minds. <br />
The correct way is to believe in everything that the Revelation brought to us the way it is, <br />
without trying to change it, adding to it, deleting from it or twisting its meaning. This <br />
means that issues such as the Jinns, angels and the attributes of Allah (swt), cannot be <br />
discussed based on our minds or intellect. <br />
<br />
Recently, some muslims have been led to belive that Allah(swt) has feelings, is happy <br />
and celibrates when muslims follow HIS commands. It should be mentioned here that <br />
Allah’s(swt) justice is clear cut and there is no ambiguity. On the day of resurrection <br />
every human will be questioned about what they had done and more importantly what <br />
they had not done. Allah’s(swt) descions are final and only by the intervention of SAAW <br />
will their be any mercy. It is not correct that Muslims associate feelings and other joyfull <br />
attributes to Allah(swt) as this is unfounded and cannot be substantiated. However, it can <br />
be substantiated that Allah(swt) commands must be followed precisely without deviation, <br />
thus punishments will be based up adherance to these commands. <br />
<br />
We cannot even describe the attributes or anything related to the entity or essence of <br />
Allah (swt). Because of ‘ilm ul-Kalaam, Muslims started carrying certain deviant opinions <br />
and ideas regarding the Islamic Aqeedah, which resulted in one of the many factors <br />
which led to the decline of the Muslim Ummah. It should be also clear that none of the <br />
four Imams ever got entangeled in ‘ilm ul-Kalaam. <br />
<br />
Imam Ahmad did not document his Fiqh as did Imam Shafii’, and consequently his Fiqh <br />
was transmitted by his students. Imam Ahmad is said to have many opinions regarding <br />
an issue, and this caused some people to say that Ahmad was a Muhadith rather than a <br />
Faqih. It is important to note here that the varying opinions of Imam Ahmad were actually <br />
his quoting the varying opinions of the Sahabah (raa), without weighing one opinion <br />
against the other. <br />
<br />
Besides being a great Faqih, he was a great scholar in the Sunnah. His title was Imam al <br />
Sunnah and the eliminator of Bid’a. <br />
<br />
76 <br />
9.72 Students from the Madhab of Imam Hanbal <br />
<br />
Well-recognized Hanbali scholars: <br />
<br />
<br />
<br />
9.72.1 Ibn Taymiyyah <br />
<br />
Ibn Taymiyyah (661 AH - 728 AH) was born in a family wherein both his father and <br />
grandfather were scholars of the Hanbali Madhab. Under the supervision of his father he <br />
memorized the Quran, studied Hadith, and learned Hanbali Fiqh. After the invasion of <br />
Baghdad, at the hands of the Tartars, he moved to Damascus where he became <br />
engaged in various activities aimed at waging Jihad against the invading Tartars. <br />
<br />
He is characterized as the one who rejected Taqleed or imitation; he never followed the <br />
Sufi approach and used to call for Jihad; and he used to call for Hanbali Fiqh which often <br />
put him in direct con frontation with those who utilized other Fiqh. <br />
<br />
He disagreed with all four Imams on many issues and used to be confronted because of <br />
it; however, he never compromised his position. He also tolerated the other opinions as <br />
long as they were based on the Islamic texts, even though they conflicted with his own <br />
opinions. <br />
<br />
In his book, Al Fatawa, he wrote that Ahl as-Salaf had many opinions, even in the areas <br />
of the Aqeedah. Throughout his life Ibn Taymiyyah never tolerated injustice from any <br />
ruler and worked tirelessly for the complete and comprehensive implementation of Islam <br />
in the Islamic State. <br />
<br />
It’s unfortunate that some Muslims who promote the ideas and understandings of Ibn <br />
Taymiah make excuses for unjust rulers and their tools, the paid scholars. They do all of <br />
this while claiming that they are following the example of Ibn Taymiyyah. If one really <br />
wants to follow Ibn Taymiyyah then one must follow his comprehensive approach to Is-<br />
lam. Quoting one sentence or opinion of lbn Taymiyyah and using it as a generalization <br />
for his entire life actually does a disservice in the presentation of the life of such a great <br />
scholar of Islam. <br />
<br />
<br />
9.8 Madhab of Ibn Hazm <br />
<br />
Ibn Hazm (384 All - 456 AH) was born in Cordoba in Andalucia (Spain) which at that time <br />
was the capital of science for all of Europe. He studied Quran, Hadith, and Maliki Fiqh. <br />
He then moved to study Shafii’ Fiqh, and left it. Later on, he moved to study about the <br />
Madhab of Abu Dawud Az-Zahiri from Mas’ud bin Sulayman. <br />
<br />
Ibn Hazm rejected Qiyas and took only the literal meaning of the text to the point that if a <br />
man urinated in a body of water; for example, he would consider the water Najis (filthy); 77 <br />
however, if the urine was from a pig, then the water would not be considered as Najis. <br />
Ibn llazm fought against Taqleed and called the people to discuss issues based on the <br />
Daleel. This caused him some problems from some people at that time. His most <br />
important book is Al-Muhalla. <br />
<br />
<br />
9.9 IntroductIon to Madhab of Imam Zaid and Imam Jafar <br />
The Messenger of Allah (saaw) died without appointing a specific person to succeed him <br />
(saaw) as a Khalifah. After the Sahabah (raa) met and deliberated, they decided to select <br />
Abu Bakr (ra) as the Khalifah. All the Sahabah (raa), including Ali (ra), gave the Bay’ah to <br />
Abu Bakr (ra). Before he died, Abu Bakr (ra) nominated Umar bin Al-Khattab (ra) to be <br />
his successor, after consulting with the people of Medinah. Umar (ra) became the <br />
Khalifah; however, only after being given the Bay’ah. On his death bed, Umar (ra) <br />
nominated 6 people and suggested that the Khalifah be chosen from among them. <br />
<br />
Included in this list of nominees were Ali bin Abi Talib (ra) and Uthman bin al-Affan (ra). <br />
Abdur-Rahman bin ‘Awf (ra) withdrew his name from the list of nominees and <br />
coordinated the selection process of the other five nominees. He later announced that <br />
Uthman (ra) had received more support than Ali (ra) from the people, and so the Bay’ah <br />
was given to Uthman (ra) as the third Khalifah. <br />
<br />
During Umar’s (ra) Khilafah, he restricted the Sahabah (raa) from leaving Medinah, but in <br />
Uthman’s (ra) Khilafah, the Sahabah (raa) were allowed to disperse from Medinah. There <br />
were some decisions made by Khalifah Uthman (ra) that were debated by some of the <br />
Sahabah (raa). Some people from Egypt and other out-lying territories, orchestrated by <br />
Abdullah bin Saba, advanced to Madinah in order to kill the Khalifah Uthman (ra). <br />
Abdullah bin Sabaa was a Jew, who supposedly converted to Islam. <br />
<br />
All of the Sahabah (raa), including Ali (ra), tried their best to negotiate with those people, <br />
but they were not inclined to listen to what was being presented by Ali (ra). The issue <br />
escalated and led to the assassination of Uthman (ra). Those who were guarding Uthman <br />
(ra) at the time of his assassination were extremely honorable people and included Ali’s <br />
(ra) sons Hasan (ra) and Hussein (ra); however, the guards were eventually <br />
overwhelmed and Uthman (ra) was assassinated. <br />
<br />
This event actually illustrates that the Sahabah (raa), including Ali (ra), viewed Uthman <br />
(ra) as the legitimate Khalifah, to the point that they sent their sons as personal guards <br />
for Uthman (ra) during this conflict. <br />
<br />
With the assassination of Uthman (ra), the rebels approached Ali (ra) to give him the <br />
Bay’ah, and Ali (ra) refused, saying that he wanted nothing to do with such filthy people. <br />
The Sahabah (raa), however, approached Ali (ra) and gave him the Bay’ah, and only <br />
then did he become the Khalifah. <br />
<br />
During the era of Ali (ra), he had differences with some of the Sahabah (raa). Actually Ali <br />
(ra) found himself facing a variety of critical issues. Such as his (ra) opinion that the <br />
organized conspiracy which led to Uthman’s (ra) assassination was an organized internal <br />
disruption rather than a one man effort. There were differences with Sahabah (raa) such <br />
as Talha, Zubair, and Aisha (raa); the rebellion of Mu’awiyyah (ra) and his persistence in <br />
having Uth man’s (ra) killers handed over to him; some of Ali’s (ra) so-called “supporters” <br />
began evoking claims that Ali (ra) was God incarnate. <br />
<br />
From his side, Ali (ra) chose to handle all of these crises at once; he killed those who 78 <br />
claimed that he was god; moved to Kufah to deal with the Talha, Zubair and Aisha (raa) <br />
issue; and was able to overcome this although it led to the killing of Talha and Zubair <br />
(raa); and then he (ra) moved towards Syria to deal with Mu’awiyyah (ra). All of these <br />
activities caused Ali (ra) to be continuously engaged in one conflict or another. Finally the <br />
conflict ended in his (ra) assassination. <br />
<br />
It is within this environment that the seeds of the Shi’ah were sown and started growing. <br />
In the beginning it started as a political movement working under the pretext of getting <br />
the Khilafah back to Ali (ra) and his descendants. Later on it was given its intellectual <br />
context. The Shi’ah were divided into many groups. Some went to the extreme claiming <br />
that Ali (ra) was god. Others claimed that the Messengership was meant for Ali (ra) and <br />
not for Muhammad (saaw). These two groups were not considered Muslims. Even the <br />
Shi’ah label these groups as non-Musurns. In addition to this, there were others like the <br />
Zaidis and the Jafaris who did not at all go to these extremes. <br />
<br />
Some people presently generalize and label all of the Shi’ah as non-Muslims. This <br />
generalization is not at all correct, since not all of the Shi’ah believe that Ali (ra) deserved <br />
the Messengership or that Ali (ra) was god incarnate, or that the Quran was changed and <br />
is imperfect. The Zaidis and the Jafaris cannot be labeled as non-Muslims since they do <br />
not adhere to such Kufr beliefs. However, if an individual carries such beliefs or ideas <br />
then that individual deserves the label as being non-Muslim, whether he is Shi’ah or <br />
Sunni. Anyone who carries Kufr ideas and concepts, even if he was born to Sunni <br />
parents, they will not be considered as Muslims. <br />
<br />
9.9.1 Madhab of Imam Zaid <br />
<br />
Imam Zaid bin Ali (80 AH - 122 AH) was born in Madinah. His father Ali, son of Al-<br />
Hussein bin Ali bin Abi Talib the fourth Khalifah, was one of the few descendants of <br />
Hussein that were spared at Karbalah. Imam Zaid’s father was highly respected and <br />
highly educated, and rejected the extremism of those who claimed themselves to be <br />
Shi’ah. <br />
<br />
It was in this environment that Imam Zaid was born. His father died when he was 14 <br />
years old and his elder brother Muhammad al-Baaqir took care of him. His early <br />
education was taken from his elder brother Muhammad al-Baaqir, who was considered at <br />
that time as a great scholar. He also studied with another great scholar, Abdullah bin <br />
Hasan bin Ali. Both Al Baaqir and Abdullah bin Hasan were teachers of many great <br />
scholars and Imams like Abu Hanifah and Imam Malik, who took Hadith from them. Zaid <br />
also studied under other Tabi’een who were residing in Madinah. <br />
<br />
Later on Imam Zaid moved to Basrah where he met Waasil bin Ataa, the founder of the <br />
Mu’tazilahs. He kept moving between Iraq and Hijaz seeking knowledge. Abu Hanifah <br />
once said about Imam Zaid; <br />
<br />
“I met with Zaid and I never saw in his genenition a person more knowledgeable, as <br />
quick a thinker or more eloquent than him. He was in a class by himself.” <br />
<br />
<br />
Imam Zaid had differences with Khalifah Abdul Malik, and even rebelled against him. He <br />
went to Kufah where he was joined by Shi’ah of Iraq. 15,000 people gave him the Bay’ah <br />
in a Masjid, but only about 400 of them stood with him when he faced the army of the <br />
Khalifah. Imam Zaid felt that a military confrontation was the best way to deal with <br />
Khalifah, and felt let down after he was abandoned by his so called supporters in the 79 <br />
same way that his grandfather Hussein was abandoned by his supporters. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Even though both Imam Hussein and Imam Zaid utilized military confrontation to <br />
correct the situation in the Islamic State at that time, it seems that what was <br />
needed to be established was a group that would work in the Ummah to educate it <br />
and serve as a safeguard for the Ummah, instead of rebelling against the Khalifah <br />
without this preparation, which did not at all solve the problem but rather made <br />
matters more complicated. <br />
<br />
The stand by Imam Zaid and his few supporters against the army of the Khalifah ended <br />
with his death. He was heard saying; “I am worried that I will be let down just like my <br />
grandfather Al Hussein was let down, “ and in fact this was true. <br />
<br />
Although he viewed Ali (ra) as deserving of the Khilafah, he also recognized the Khilafah <br />
of Abu Bakr, Umar, and Uthman (raa). He also believed that the Khulafaa did not have to <br />
be predetermined by the texts, but that it was enough to be from Banu Hashim; and that <br />
the Khalifah was not infallible. He did not document his Madhab, rather it was done <br />
afterwards. <br />
<br />
His Fiqh was documented in Al Majmu’, which was documented by his student Abu <br />
Khalid Amr ibn Khalid Waasifi. The Grand Majmu’ or Al-Majmu’ Al Akbar is made up of <br />
two sections, Majmu’ Al-Hadith and Majmu’ Al-Fiqh. <br />
<br />
After Imam Zaid’s death, many students from his Madhab emerged, especially in Yemen. <br />
The most interesting thing about this Madhab is that they never closed the door of Ijtihad. <br />
This Madhab is very close to that of Abu Hanifah’s in the areas of Mu’amalaat or <br />
transactions. Nowadays this Madhab is said to be the closest to the four popular <br />
Madhabs of Abu Hanifah, Malik, Shafii, and Hanbal. <br />
<br />
Imam Abu Zahrah, in his book History of the Islamic Schools of Thought (Taareekhul <br />
Madhabil Islamiyyah), said that there are two Zaidi Madhabs, the one before his death <br />
and the one that emerged after his death. <br />
<br />
After the problems which occurred with the Khalifah Al Mansoor, the Zaidi Madhab <br />
became weak and other Shi’ah Imams started to in fluence it. Some of these Imams did <br />
not approve of the Khilafah of Abu Bakr (ra) and Umar (ra) and so there is an <br />
appearance that this was an inherent part of the Madhab. However, presently the Zaidis <br />
have gone back to Imam Zaid’s adoptions. Two of these scholars who followed the early <br />
Madhab of Imam Zaid are Imam Shawkanee and Imam Muhammad bin Isma’eel As-<br />
Sana’anee. 80 <br />
<br />
<br />
Imam Shawkanee <br />
<br />
One of the most famous scholars of the Madhab of lmam Zaid is Imam Shawkanee. <br />
Imam Shawkanee died in 1250 AH in Yemen. His writings show that he was against <br />
Taqleed. They also show that he treated all Madhabs equally, including the Zaidis, and in <br />
the issues of the Aqeedah he did not go against that of the Salaf at all. Imam <br />
Shawkanee’s books include Nayl Awtaar, in Hadith and Fat-hul-Qadeer, in Taf’seer. <br />
<br />
<br />
<br />
Imam Muhammad Bin Isma’eel As-Sana’Anee <br />
<br />
Imam Muhammad bin Isma’eel as-Sana’anee (1059 AH - 1182 AH) was born in Yemen <br />
and moved to Mecca, where he developed to be an extremely capable Mujtahid. He <br />
rejected the Taqleed, and was severely challenged by those who refused the concept of <br />
Ijtihad; however, he held his ground and never paid attention to his objectors. One of his <br />
many books is Subul-us-Salaam, in Hadith. <br />
<br />
Both Subul-us-Salaam and Nayl Awtaar are considered presently to be extremely <br />
essential for their contributions in the area of Fiqh and Hadith. <br />
<br />
<br />
9.9.2 Madhab of Imam Jafar <br />
<br />
Though the Shi’a Imamia is also called Jafariah, this does not mean that the sole source <br />
of the Shi’a Fiqh is Imam Jafar. It is mixed with others. The Jafariah Madhab is <br />
composed of Fiqh from other people such as Qumi, Tousi and Qulani. Thus, it is very <br />
hard to verify what was reported by Imam Jafar. Among the Jafariah claims are: <br />
<br />
A. The Imams were appointed by the Prophet, namely Ali (ra) and his descendants. <br />
The twelve Imams are as follows: <br />
<br />
1. ALI <br />
2. HASAN <br />
3. HUSSEIN <br />
4. ALI ZAIN-UL-AABIDEEN <br />
5. MUHAMMAD AL BAAQIR <br />
6. JA’FAR AS-SAADIQ (6Th IMAM) <br />
7. MUSA AL-KAZIM <br />
8. ALI AL-RIDA <br />
9. MUHAMMAD AL-JAWAD <br />
10. ALl AL-HADI <br />
11. AL HASAN AL-ASKAREE <br />
12. MUHAMMAD BIN AL-HASAN (12TH IMAM) <br />
<br />
<br />
B. Imams are infallible. <br />
<br />
C. Imams have qualities, which elevate them above the level of Prophets. In the <br />
words of Ayatollah Khomeni: “The Imam has an exalted position, an elevated <br />
rank and a creational vicegerency (califate) to whose sovereignty and dominion 81 <br />
all of the atoms of the universe yield and obey and, among the basic tenets of our <br />
Madhab is that the Imams have a position which cannot be attained by either an <br />
angel close or a commissioned Prophet. Furthermore, based on the narration’s <br />
and Hadith which we have, the greatest Prophet and the Imams existed before <br />
this world as lights which Allah made to encircle His throne.” (Khomeni, Al-<br />
Hukoomah al-Islamiyyah p.52) <br />
<br />
D. Tuqiyyah is allowed. Tuqiyyah states that a Muslim is allowed to hide whatever <br />
he believes in due to certain circumstances. The Jafaris claim that Imam Jafar <br />
said: “It (Tuqyyah,) is my Deen and the Deen of my forefathers” about Tuqiyyah. <br />
<br />
<br />
E. Some of the Jafaris claim that the 12th Imam was born and was hidden in his <br />
early childhood. However, Al-Kulaynee, in his book Al Kafee, reports that the <br />
12th Imam’s father died before his birth. The pregnancy period passed and the <br />
expecting mother realized that she was actually not pregnant, and so the 12th <br />
Imam was never born. <br />
<br />
These are but a few of the opinions of those who claim to follow the Madhab of Imam <br />
Jafar. Let us now study his life to determine if such claims were actually from Imam Jafar. <br />
<br />
Imam Jafar as Sadiq bin Muhammad al Baqr (80 AH to 148 AH) was born in Madinah <br />
and is the nephew of Imam Zaid and grandson of Zain Ali-Aabideen. The Shi’a consider <br />
Imam Jafar as the sixth Imam. His father Muhammad AI-Baaqir used to be approached <br />
by people like Safyan Ath-Thawri, Sufyan bin Ayaynah and Abu Hanifah in their quest for <br />
knowledge. Al Baaqir highly respected Abu Bakr, Umar, and Uthman (raa), and he used <br />
to say: “He who does not recognize Abu Bakr and Umar is ignorant in the Sunnah.” <br />
<br />
In another occasion he told his student Jaabir Al Ja’fee: “0 Jaabir I know that some <br />
people in Iraq claim that they like us, but they try to undermine Abu Bakr (‘ra,) and Umar <br />
(ra) claiming that I instructed them: to do so. Tell them, that indeed, I denounce them for <br />
the sake of Allah, and if I were in charge, by him in whose hands is the soul of <br />
Muhammad, I would slaughter them, and shed their blood in order to get closer to Allah. <br />
May the intercession of Muhammad not cover me if I do not ask Allah to forgive both Abu <br />
Bakr and Umar and give them, both His mercy. Allah’s enemies are absent minded and <br />
neglectful of them.” <br />
<br />
Muhammad Al-Baaqir used to do Tafseer of the Quran, report Hadith whether the reports <br />
came through Ahi-ul-Bayt or from the other Sahabah (raa) without distinction. He was <br />
actually married to the granddaughter of Abu Bakr As-Siddiq, and Imam Jafar was born <br />
from this marriage. This means that his mother’s line ended with Abu Bakr (ra) while his <br />
father’s ended with Ali bin Abi Talib (ra). <br />
<br />
Imam Jafar grew up in Medinah where the Sahabah (raa), their traditions and works <br />
remained and where the Tabi’een used to live. He used to stay close to his grandfather <br />
Zain ul-Aabideen, where the Tabi’een would come to discuss issues of Islam with Zain. <br />
<br />
Therefore, Imam Jafar would take from both the Tabi’een and from Ahl ul-Bayt. His <br />
mother was also the daughter of Qaasim bin Muhammad bin Abu Bakr, one of the seven <br />
great Tabi’een, whom people like Imam Malik used to study. This shows that Imam Jafar <br />
had a wide and comprehensive understanding of Islam. <br />
<br />
With the death of his father, he continued seeking knowledge. He used to study in depth, <br />
the opinions of different scholars, and after a long debate with Abu Hanifah, Abu Hanifah 82 <br />
declared: “The most knowledgeable person is the one who is the most knowledgeable of <br />
their differences, “referring to Imam Jafar. Many scholars such as Imam Malik and Abu <br />
Hanifah used to sit and take reports from him. <br />
<br />
Imam Jafar and Public Life <br />
<br />
Jafar witnessed at an early age, his uncle’s move against the Ummayyad Khalifah. He <br />
realized how his followers had let him down. Therefore, he was able to develop a <br />
complete image about the people who were calling themselves the Shi’ah. Later on, in <br />
the Abbasid Khilafah, since they were also from Bani Hashim, it was expected that the <br />
situation would change for the better with Ahl ul-Bayt. <br />
<br />
However, when some of Ahl ul-Bayt rebelled against the Abbasids another massacre <br />
occurred and another era of persecution was witnessed by Imam Jafar. So we find him <br />
trying to keep away from the political life as much as possible, and he never claimed the <br />
Bay’ah for himself. However, this does not mean that he did not have nor develop <br />
political opinions. In his era, the extremist opinions of Shi’ah appeared. Such ideas <br />
included that the Sahabah (raa) being Kuffar, the slandering of Abu Bakr and Umar (raa), <br />
and claims that such ideas were from Jafar and Imam Al Baqir. Also in his era, the <br />
Khattabiyyah, another deviant group, emerged. <br />
<br />
The Khattabiyyah movement was developed by a Persian named Abul Khattab, who <br />
claimed Prophethood. Imam Jafar took the responsibility of clearing the mess being <br />
purported by the Khattabiyyahs which caused him to suffer a lot in this cause. For <br />
example, it was reported that the Khalifah Al Mansoor summoned Imam Jafar to him, <br />
based on reports that Imam Jafar was collecting Zakah on his own. He later found that <br />
this claim was false and was probably spread by the enemies of Imam Jafar. <br />
<br />
Fiqh of Imam Jafar <br />
<br />
Beside his struggle to clean up the mess of the deviant people, Imam Jafar also made <br />
great contributions to Fiqh and Hadith. The Fiqh of Imam Jafar is considered to be one of <br />
the Fiqh from the Sunnah. However, there are some people who claim themselves to be <br />
Jafaris who try to present a different picture of Imam Jafar. <br />
<br />
Al Kulaynee, in his book Al Kafee, claims that Imam Jafar has a special ‘lim which was <br />
carried from the well of the Prophet to Ali (ra), and then to the other Imams, arriving to <br />
Imam Jafar, who then transferred it to the remaining Jafari Imams. This special <br />
knowledge Al Kulaynee called Al Jafr. This Jafr gives to the imam who carries or has it, <br />
knowledge of the Ghayb or the unsensed, and it seems as if this claim actually came <br />
from Al Khattabiyyah. <br />
<br />
Such claims are not at all expected or suspected to be from the honorable and <br />
trustworthy Imam Jafar, especially when we realize that the reporter, Al Kulaynee, <br />
purports claims that the Quran was tampered with. It is clear that these heretic claims <br />
attributed to Imam Jafar and Imam Zaid are false, and that these honorable and <br />
trustworthy Imams would not have said such things. <br />
<br />
Finally, the Muslim Ummah has witnessed turmoil throughout its history. We now have to <br />
come to realize that blaming each other for the division of the Ummah is not the answer <br />
to our current problems. The Muslim Ummah has to agree on the issues of Islam that are <br />
undebatable, and it has to realize that there are issues where it is natural for differences <br />
to arise, and so room has to be given for those differences. <br />
83 <br />
The Ummah has to agree that there is no God but Allah (swt) and that Muhammad is His <br />
last and final Messenger; that no revelation was delivered to any one else after him; that <br />
he did not hide any aspect of the Message nor did he give parts of it to a special elite. <br />
<br />
The Muslim Ummah must realize that it must be ruled by Islam, and that the Islamic State <br />
should adhere to the texts of Islam, i.e. Quran and Sunnah, and that it must deal with <br />
everyone from the Islamic point of view regardless of race, color, sex, sect, or religion. <br />
<br />
The Islamic State and the Khilafah is not a theocracy, the Khalifah is not God’s <br />
representative in earth, and infallibility is a prerequisite for Prophethood because it <br />
cannot be imagined that the Prophet (saaw) could make a mistake in delivering the <br />
Message. The Khalifah does not need a prerequisite of infallibility since his role is to only <br />
implement Islam, which was already completed and sealed with the death of the Prophet <br />
(saaw), without any room for deletion or addition. <br />
84 <br />
<br />
10.0 DO WE NEED A NEW SCHOOL OR MADHAB? <br />
<br />
<br />
Some claim that it is mandatory to adhere to one Imam or one school of Fiqh. This is <br />
completely wrong since we are ordered to follow Islam and not to one specific human <br />
being. And the person who meets the requirements of Ijtihad does not have to adhere to <br />
one specific school of thought. Even if someone is not a Mujtahid, he does not have to <br />
follow one specific school. Rather, each individual is ordered to follow the Shariah which <br />
is extracted or deduced by Mujtahids. Consequently, the adherence is to the Shariah and <br />
not the Imam or the Mujtahid. This point was emphasized by each of the scholars and <br />
Imams. <br />
<br />
On the other hand, the claim that we need a new school of Fiqh due to the current <br />
situation of the Muslim Ummah is unfounded. Since what is really needed is the <br />
application of Islam in a comprehensive way, and not just to develop another school <br />
among the other already existing schools of Fiqh. There are however, two factors that <br />
must be kept in mind. <br />
<br />
<br />
1. New problems emerging daily, in every era and every generation, and that <br />
2. The Ummah is ordered to follow the divine rule to solve any problem. <br />
<br />
These two factors require therefore, that every generation of the Muslim Ummah must <br />
have at least one Mujtahid amongst them in order to address the newly arising problems. <br />
In order to deduce the Hukm Sharii, this Mujtahid does not have to discuss old problems <br />
since they are already addressed. Therefore, in this regard, the need is for Mujtahids to <br />
meet the requirements of Ijtihad, in order to address new problems and not necessarily <br />
form a new school of thought. <br />
<br />
However, the presence of vast numbers of Mujtahids among the Ummah to find solutions <br />
to the newly arising problems was greatly reduced when the doors of Ijtihad were closed. <br />
This tragic event took place after the sacking of Baghdad in the Seventh Century Hijri. <br />
This led to a problem in the Ummah because closing the door of Ijtihad resulted in very <br />
few people who could perform Ijtihad. Thus the newly arising problems were not being <br />
solved through the Shariah. <br />
<br />
The closing of the doors of ljtihad resulted in the development of various philosophies <br />
concerning the status of the Ummah in its adherence to Islam. These philosophies can <br />
be summarized as follows: <br />
<br />
A) Some people started issuing opinions concerning the new problems, from their <br />
own minds, without any Daleel or specific methodology of conducting ljtihad. <br />
<br />
B) Others prematurely jumped to answers without acquiring the necessary <br />
prerequisites for Ijtihad, claiming that Ijtihad should not be closed and that the <br />
current situation provided everyone with the chance to perform Ijtihad. <br />
<br />
C) Others began undermining Ijtihad, claiming that every issue is debatable and <br />
therefore it is up to the individual to pick and choose whatever is most convenient. <br />
<br />
<br />
85 <br />
<br />
All of these claims mentioned above are invalid because they caused Muslims to <br />
start taking their desires, wishes, intellect, or someone else’s intellect as a <br />
reference, while we are ordered to take Islam as the one and only reference. <br />
<br />
Doors of Ijtihad should not have been closed because without Ijtihad new problems <br />
would not be addressed by the Hukm Sharii. Yet, at the same time the doors of Ijtihad <br />
should not be flung open without any restrictions, controls, or requirements. There are <br />
actually many require-ments to be met in order to meet the qualifications of a Mujtahid, <br />
including sincerity, and justice. <br />
<br />
D) Others began taking advantage of the existence of the many schools of thought <br />
by shopping around for the most convenient opinion and compiling strange <br />
verdicts of each Mujtahid. These people went to each Madhab separating the <br />
lawful opinions from the unlawful things of the Madhab. They took the lawful <br />
verdicts, leaving the unlawful, until ending up with a new Madhab where <br />
everything is lawful and nothing is unlawful. This action is a major deviation from <br />
Islam. <br />
<br />
Imam Al-Bayhaqee reported: <br />
<br />
“Isma‘eel Al Qadee said: ‘One day I entered to Al Mu‘tadid, one of the Abbasid Khalifahs, <br />
and immediately he showed me a book to read. I found that the author had compiled in it, <br />
the strange sayings of evey Alim. So I told the Khalifah that the author of this book is a <br />
heretic. The Khalifah asked why this was so, and I told him that those sayings were not <br />
presented by the scholars as they are presented in this book. He who legalized the <br />
Mu‘tah marriage did not legalize singing, while he who legalized one action would not <br />
legalize another action. Additionally, each Alim has strunge opinions, so if one would <br />
compile the pitfails of all of the Imams, and adopt them, then the Deen would be lost. The <br />
Khalifah then ordered the book to be burned.” <br />
<br />
Imam Al ‘Awza’ee said: He who traces the strange opinions of the scholars is out of <br />
Islam. You would find a scholar with a lot of knowledge and value, and also with a pitfall. <br />
So if a person was to collect the pitfalls of all the scholars and form a new Madhab, then <br />
what kind of ‘ilm would you have?” (Salman Al Udeh, Who Has the Right to Make Ijtihad, <br />
p.13) <br />
<br />
E) Others claim that having different Madhab is wrong and that we need to reunify <br />
all of the Madhabs and come under one single Madhab, completely free from <br />
sectarianism and firmly based on sound scholarship. This, they claim, would be <br />
the prerequisite toward reunification of the Ummah and then after this, would we <br />
look toward establishing the Khilafah. <br />
<br />
The presence of the many Madhab was not in itself an objective. The objective is to <br />
understand the rules in order to execute them. The understanding of the text leads to <br />
different opinions, which leads to different Madhabs. Due to reasons listed in section 9.3 <br />
(The Reason for Differences of Opinion Among the Mujtahideen), there exists legitimate <br />
differences amongst Mujtahideen. Trying to eliminate the possibilities of having more <br />
than one understanding goes against the nature of Islam, and the nature of human <br />
beings, which Allah (swt) created. <br />
<br />
Those calling for this single Madhab are in fact adding a new Madhab to the already <br />
existing ones. This is due to the fact that a person might disagree with this new Madhab, <br />
for valid reasons, and would finally adhere to his understanding. It should be understood 86 <br />
that sovereignty belongs to the Islamic legislative sources, which came from the Wahiy. If <br />
everyone keeps this idea in mind and is ready to abandon his own opinion in order to <br />
adopt an opinion based on the Daleel, the problems would be eliminated. <br />
<br />
If we study the numerous examples during the era of the Sahabah (raa) we can find that <br />
in the days of Abu Bakr (ra), there were differences among the Sahabah (raa). However, <br />
none of them postponed working for the Khilafah until all opinions were melted into one <br />
single opinion. Actually they realized that, what was needed more than anything else, <br />
even more than the immediate burial of the Prophet (saaw), was to elect a Khalifah who <br />
would take care of their affairs by implementing all of Islam, thus establishing an <br />
environment in which the society would be able to cope with any issue that it is faced <br />
with. <br />
<br />
Similarly, what is needed presently is this same authority which establishes and <br />
implements Islam. However, as long as the Ummah is preoccupied with calls such as <br />
working to unite under one new Madhab, which is a call to keep and prolong the rule of <br />
Taghoot, the Ummah will continue to be disunited, misdirected, with its problems continu-<br />
ously multiplying With no mechanism to solve its problem, the Ummah will continue to be <br />
manipulated by those who rule over it with the rules of Kufr. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
87 <br />
<br />
11.0 TAQLEED <br />
<br />
<br />
<br />
Taqleed linguistically means to follow others without thinking. As a juristic term it means <br />
to follow a Mujtahid’s Ijtihad without comprehending the Daleel. In other words, the <br />
Muqallid (a person who practices Taqleed) may or may not know the Daleel. In addition, <br />
one may not know the reason for using the Daleel even though they know the Daleel. <br />
<br />
There are two types of Muqalid: <br />
<br />
A. Muttabi’a is the follower who acquaints himself with the Daleel (evidence) used by the Mujtahid to <br />
arrive at the Ahkam but he does not have to comprehend the reason for using the specific Daleel. <br />
B. Ammi is one who follows a Mujtahid’s Ijtihad without asking for a Daleel. <br />
<br />
<br />
11.1 Daleel for performing TaqIeed: <br />
<br />
<br />
“We have not sent before thee but men whom We reveal to them. <br />
So ask the people of knowIedge If you know not.” (An-NahI: 43) <br />
<br />
This Ayah was revealed in response to the disbelievers’ argument that Muhammad <br />
(saaw) was a human, but the meaning is general in the Arabic language; the meaning is <br />
that Allah (swt) orders those who do not know to ask those who know. Hence, Taqleed <br />
only in the Hukm Sharii is allowed for every Muslim. This understanding is further <br />
supported in the next paragraph by the incident narrated by Jabir (ra). <br />
<br />
Jabir (ra) has narrated that one man suffered a wound to his head. Whilst sleeping he <br />
had a wet dream. He asked the companions if he could make Tayamumm. They said that <br />
he had no excuse for not performing Ghusl. After performing Ghusl the man died. When <br />
the Prophet (saaw) was in formed of the incident he (saaw) said: <br />
<br />
<br />
<br />
“Verily it was enough for him to do Tayamumm. to place a piece of <br />
cloth on his head, which he should then wipe (Mas’h) and then for him to <br />
wash the rest of his body.” He (saaw) then said: “They (the companions) <br />
should ask if they do not know.” (Abu Daoud, Maja, Ahmad) <br />
<br />
Thus, the Prophet (saaw) made it very clear to the companions that they should ask <br />
about the ruling if they are not aware of it. <br />
G-12 88 <br />
<br />
11.2 Muslims Must Ask for Daleel <br />
<br />
Having given the Daleel for the permissibility of practicing Taqleed in Islam, it is crucial to <br />
point out that the follower must, when an issue confronts him, ask about its Hukm and <br />
Daleel. Our worship includes the pursuit of knowledge. As slaves of Allah (swt), we must <br />
know Allah’s rule for every action we perform. <br />
<br />
Narrated by Abdullah bin Amr: I heard the Prophet (saaw) say, <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
The Prophet (saaw) said: “Allah does not remove the ‘ilm after it was <br />
given to you, rather the ‘ilm would be removed with the death <br />
of the ‘Ulema. Then some people, who are ignorant, will start giving <br />
their Ra’ee based on their desires and they are misled and will lead <br />
the Ummah astray~” (Bukhari & Ahmad) <br />
<br />
<br />
For Muslims to avoid the consequence of this Hadith, they must ask for a Daleel before <br />
performing Taqleed. <br />
<br />
<br />
11.3 Taqleed is not practiced in the Aqeedah (Belief) <br />
<br />
It should be clear that the subject of Taqleed is limited to the Hukm (rule) and does not <br />
include the Aqeedah (Belief). It is forbidden to make Taqleed in the creed, i.e. Aqeedah. <br />
Allah (swt) say’s, <br />
<br />
<br />
“And If they said to them follow what Allah has revealed, they saId <br />
but we follow what our fore fathers left for us. Even If their fathers <br />
understood not, and were not guIded.” [Al-Baqarah: 170] <br />
<br />
11.4 Muqalid Shifting from One Opinion to Another <br />
<br />
Sometimes it occurs to a person that he can choose between two rules derived from the <br />
Ijtihad of two Mujtahideen. For example, does touching one’s wife break the Wudhu? G-12 89 <br />
Imam Shafii says yes. Imam Abu Hanifah says no. <br />
<br />
Both opinions are based on the Daleel. Some say that Islam is easy therefore choose the <br />
easiest. After all both are Islamic opinions. To blow one of the opinions because of one’s <br />
desire is totally Haram i.e forbidden). Because following an Islamic opinion means <br />
following the Hukm Sharii. The obedience to Hukm Sharii is not based on hardship, <br />
easiness, or benefit. How then does a Muqalid choose between two Islamic opinions? <br />
<br />
Allah (swt) says: <br />
<br />
<br />
<br />
‘If you dispute in a thing return it to Allah and the Prophet.’ [An-NIsa: 59] <br />
<br />
<br />
The Muqalid should return to Allah (swt) and the Prophet (saaw). In practice, it means <br />
choosing the Mujtahid whom he is convinced with as having the correct ruling for the <br />
issue. Choosing the correct Mujtahid can be achieved through: <br />
<br />
Studying the opinion of the Mujtahideen and following the one that is most convincing. If <br />
a Muqalid does not know the evidence or is unable to verify the strength of the evidence, <br />
the best qualification to look for in a Mujtahid is a high degree of knowledge and Taqwa. <br />
<br />
As a note of caution, it should be understood that one is not making Taqleed to the <br />
personality of the Mujtahid himself. If one follows a Madhab, one is not following a <br />
founder because of his personality, but because one believes that he had the correct <br />
understanding of Hukm Sharii on the issue. One must realize that he is obeying the <br />
Hukm Sharii not Imam Abu Hanifah or Imam Shafii. <br />
<br />
Following the Ijtihad of a Mujtahid is permitted in Islam. This is supported by Quran, <br />
Sunnah, and Ijma as Sahabah. Throughout our history, the Muslims have been practicing <br />
Taqleed, to the extent that at one stage the door of Ijtihad was closed and everyone was <br />
making Taqleed. This step was wrong because the existence of Mujtahideen in the <br />
Ummah is Fard (obligatory). <br />
<br />
The problem we face today is not the problem of Taqleed, but the problem of ignorance. <br />
Even if everyone reaches a very high level of Islamic knowledge, some people will still be <br />
practicing Taqleed as happened during the time of the Sahabah (raa) and Tabeyeen. <br />
<br />
We acknowledge that the loyalty to the Madhab has resulted in many problems, but this <br />
is the fault of the people’s ignorance and not the existence of the Madhab. If the <br />
Madhahib were abolished and everyone was forced to make Ijtihad by themselves, the <br />
Muslims would be lost. In the same way that not all people are capable of becoming sur-<br />
geons or lawyers, we cannot expect everyone to reach the level of a Mujtahid. <br />
<br />
Taqleed is a necessity for those who are not capable of extracting the Hukm (ruling) <br />
directly from the text. This matter applies on all Muslims who do not know the Arabic <br />
language, Fiqh, etc. <br />
<br />
Nevertheless, three crucial points need to be made on the subject of Taqleed: <br />
<br />
G-12 90 <br />
<br />
‘We do not descend but by the command of your Rabb. <br />
To Him belongs what is before us, what is behind us, and <br />
what is between. And your Rabb never forgets ‘ (19: 64) <br />
<br />
<br />
Gibrael (as) used to come every year for the purpose of listening to the Quran from <br />
Muhammad (saaw) and checking the memorization. In the year in which Muhammad <br />
(saaw) passed away, Gibrael (as) went to Muhammad (saaw) twice to listen to his (saaw) <br />
recitation. <br />
<br />
<br />
12.1.1 Forms of Wahi’y (Revelation) <br />
<br />
Although the word Wahi’y (revelation) was used linguistically in various meanings in the <br />
Quran, as a term it means: <br />
<br />
Allah’s (swt) teachings revealed through a medium to one of His Messengers. <br />
<br />
The Wahi’y could mean the speech of Allah (swt) or could mean the process of relaying it <br />
to the Prophets, or the angel who used to carry the Message from Allah (swt) to the <br />
Prophets. <br />
<br />
Those who claim to be Messengers must provide proof that they have actually received <br />
the revelation. This proof is called Mu’ajizah or miracle. Aliracle is the actual altering of <br />
one or more of the natural or universal laws. Since any such altering can only be <br />
achieved by the Will of Allah (swt), if a person is imbued with any such ability then such a <br />
person could only have done so by the Will of Allah (swt). This would prove that whatever <br />
he has was sent by Allah (swt). Regarding this issue, Allah (swt) says in Surah Ash-<br />
Shura: 51: <br />
<br />
<br />
<br />
“It is not fitting for a human that Allah should speak to Him <br />
by revelation or behind a veil or by sending of the angel <br />
of revelation to reveal, with Allah’s permission, what <br />
Allah wills.” (Ash-Shura: 51) <br />
<br />
G-12 91 <br />
The Ayah mentions the three forms of revelation: <br />
<br />
A. Talking to a Prophet behind a veil. This happened to Musa (as). <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
‘And to Musa Allah Spoke’ (An-Nisa: 164) <br />
<br />
<br />
This also happened to Muhammad (saaw) once and was <br />
mentioned in Surah An-Najm: 5-10. <br />
<br />
<br />
<br />
“He was taught by one Alighty in Power. Endued with <br />
Wisdom: For he appeared (in stately form). While he <br />
was in The Highest part of the horizon. Then he <br />
approached And came closer. And saw at a dIstance <br />
of but bowlengths or (even) nearer. So did (God) <br />
convey the inspIratIon to His Servant-(Conveyed) <br />
what He (meant) To convey.” (An-Najm: 5-10) <br />
<br />
<br />
B. Relaying the meaning to the Prophet (saaw) either while he is awake or sleeping <br />
(dream). <br />
<br />
C. Sending of the Angle Gibreal(as) himself. In Sunnah 26:192-193, Allah(swt) <br />
say’s: <br />
<br />
<br />
‘With it comes down the truthful spirit to your heart.’ <br />
(Ash-Shura: 192-193) <br />
G-12 92 <br />
<br />
<br />
<br />
Gibrael used to come in the following forms: <br />
<br />
The loud ringing of a bell, heard only by the Prophet (saaw). The Prophet (saaw) <br />
say’s <br />
<br />
<br />
<br />
“Sometimes the Wahi’y comes like the <br />
ringing of the bell and this is the hardest of <br />
all. When this State passes, I grasp what was <br />
revealed:” (Bukhari) <br />
<br />
<br />
When this would happen, thosewho were around the Prophet (saaw) would <br />
realize the presence of the Wahi’y without being able to sense or comprehend it. <br />
It was reported on the authority of Ayesha (raa): <br />
<br />
<br />
“I saw the Prophet (saaw) once receiving the <br />
revelation on a very cold day and noticed the <br />
sweat dropping from his forehead once the <br />
revelation was over” (Bukhari) <br />
<br />
2. In the shape of a man. <br />
<br />
<br />
<br />
“And sometimes, the angel would come in the form of a man” <br />
(Bukhari) <br />
<br />
3. The angel would come in the form of his original shape, as it was the case at the <br />
first time of the revelation. <br />
<br />
<br />
<br />
12.1.2 Differences Between the Revelation of Quran and Sunnah <br />
<br />
Although the Wahi’y has different forms, the Quran was revealed directly through the <br />
angel of revelation, Gibrael (as). It was never revealed to the Prophet (saaw) by a dream <br />
or any other means. The Sunnah, however, can be revealed to the Prophet (saaw) <br />
through any of the aforementioned forms of al Wahi’y. Needless to say, all forms of <br />
Wahi’y have the same validity. The Prophet (saaw) said: G-12 93 <br />
<br />
“One of you who while reclining says, ‘this is the book of Allah (Quran), what is in <br />
it from that is halal, we’ll use it as halal, and what is in it from the haram, we’ll take <br />
as haram.’ But whoever delivers from me a Hadith and he lies in it, he has told a lie <br />
on Allah and his Messenger...” (Both of the above mentioned Ahadith are reported <br />
in many sayings by Abu Daoud, Ahmad and many others.) <br />
<br />
The Quran and Sunnah are the only two ways by which Allah (swt) has chosen to reveal <br />
Islam. The revelation can be of two kinds: <br />
<br />
A. By the word and meaning. <br />
B. By meaning alone. <br />
<br />
<br />
The Quran was revealed with the words and its meanings. For example, the words <br />
Malikiyoummidiin in Surah al Fatiha is revealed by Allah (swt) with the words and its <br />
meaning. The Prophet (saaw) did not insert or delete any part of the Quran. On the other <br />
hand, the Sunnah is revealed by the meaning and the Prophet (saaw) expressed it in his <br />
(saaw) own words. <br />
<br />
12.2 Role of Aql <br />
<br />
To some, the subject of the role of intellect in Islam seems quite bizarre. Unfortunately, <br />
the lack of awareness about lslam yields such an understanding. Through researching <br />
the Quran and the life of the Prophet (saaw) it is apparent that much emphasis was <br />
placed on this subject by the revelation. It is natural for the revelation to address this <br />
subject because, in order to formulate a specific behavior, the individual’s way of thinking <br />
must be addressed. When the revelation addressed this crucial issue it did so in such an <br />
effective manner that it took only one Ayah for the entire society to abstain from alcohol. <br />
<br />
Prophet Muhammad (saaw) not only clarified matters of law to the people that dealt with <br />
their actions but also directed their intellect and clarified its limitation. <br />
<br />
This is evident when the sun eclipsed during the time of the Prophet (saaw) on the same <br />
day that his (saaw) son Ibrahim died. When people suggested that the sun eclipsed <br />
because of the Prophet’s (saaw) son’s death, he (saaw) told them that the sun and the <br />
moon are signs from Allah (swt). They do not eclipse for someone’s death or birth; <br />
therefore there is no relationship between the two events. <br />
<br />
This method of directing of the intellect and sound principles of reason were at work <br />
when the Prophet (saaw) cleared the misunderstanding of a group of people when they <br />
said that rain occurs due to the influence of the star, telling them that the Lord of the star, <br />
Allah (swt), causes the rain to occur. These are just two of the many examples <br />
addressing the role of the intellect. <br />
<br />
Having understood that Islam directed the people’s intellect, the next question which <br />
arises is what exactly is the position of the intellect in Islam? G-12 94 <br />
<br />
In Islam, the role played by the intellect is a very significant one. The intellect is used to <br />
understand and accept the Islamic Aqeedah (doctrine) and is the only acceptable method <br />
to enter Islam. Islam compels the use of the intellect to believe in Allah (swt) and forbids <br />
imitation (Taqleed) in Aqeedah. There is no concept of blind faith as it occurs in <br />
Christianity and other religions. <br />
<br />
Islam provides rational evidences to prove the existence and the One-ness of Allah (swt), <br />
the Prophethood of Mohammed (saaw), and that the Quran is the word of Allah (swt). <br />
Thus the foundation of Islam is built upon conviction through the intellect. Through this <br />
sound proof, the intellect and the heart are satisfied and are devoid of any blind faith and <br />
superstitions. <br />
<br />
Since the authenticity of the Quran and Prophethood of Muhammad (saaw) is built upon <br />
the intellect, the belief in beings such as the angels and Jinns, or descriptions of heaven <br />
and hell are based upon the authenticity of the Quran and the Prophethood of <br />
Mohammed (saaw). <br />
<br />
Once the Aqeedah of Islam is arrived at intellectually, the intellect then plays a different <br />
role. It plays a role of only understanding the issue and the revelation and then applying <br />
the revelation to the issue. The intellect uses the revelation as a source to derive rulings <br />
on any issue, from Wudhu (ablution) to the foreign policy of the Islamic State. <br />
<br />
It is important to realize that the intellect cannot be used to conjure up a reason for a <br />
ruling, unless the reason is mentioned in the text. Claiming a reason for any ruling implies <br />
that we can comprehend what Allah (swt) intended for that ruling, which is impossible. <br />
For example, we cannot use the intellect to infer a reason for why we perform Wudhu. <br />
The intellect would probably lead one to assume that it is for the sake of personal <br />
hygiene. <br />
<br />
However, if water is not accessible then we are supposed to do Tayamum (a series of <br />
actions requiring one to wipe themselves with dust). If the reasoning behind Wudhu is <br />
cleanliness, then why would Allah (swt) order us to wipe ourselves with dust if water is <br />
inaccessible? <br />
<br />
The proper use of the intellect can be seen in the actions of the Sahabah (raa). During <br />
the battle of Badr the Prophet (saaw) had stationed the army at a certain location. <br />
Khabab bin ai-Mundthir (ra) inquired from the Prophet (saaw) whether his (saaw)’s <br />
decision was based on the revelation or a tactical decision? <br />
<br />
Prophet (saaw) replied by saying that it was a tactical decision. Upon this Khabab bin al-<br />
Mundthir said that the location was a wrong one. From this incident we can see that the <br />
Sahabah (raa) recognized the fine line between the revelation and the intellect. They <br />
never used their thinking to pass judgments on the revelation. <br />
<br />
In other ideologies the intellect plays a role which it cannot fulfill. In Western <br />
democracies, intellect is given the unlimited role of organizing mans’ life; however, it is <br />
subject to biases, disparity, differences, contra-dictions, and the influence of the <br />
environment (lobbyists). Consequently, man-made systems suffer from these same <br />
biases, disparity, differences, contradictions, and influence. Whereas the intellect in Islam <br />
is used not to legislate laws but to understand the revelation and to apply it. <br />
<br />
With regard to the intellect, Muslims need to have the same awareness of the fine <br />
line between revelation and AqI that Khabab bin al-Mundthir(ra) had. Unfortunately, G-12 95 <br />
Muslims have begun to exercise their intellect to pass judgments on the rulings <br />
given to us by Allah (swt), e.g. Salat is good exercise, Fasting is good for the body, <br />
etc. Furthermore, in some cases Muslims have started to prefer the ruling of man-<br />
made laws to those of the Creator of the Universe, Allah (swt). <br />
G-12 96 <br />
<br />
12.3 Does the Shariah Apply on Non-Muslims? <br />
<br />
Allah (swt) says: <br />
<br />
<br />
‘We have sent you not but as a mercy <br />
for all creatures.’ [Al - Anbiyya: 1071] <br />
<br />
<br />
<br />
‘We have sent you but as a Messenger <br />
to all mankind, giving them glad tidings, <br />
and warning them against sin, but most <br />
men know not.’ [Saba: 107] <br />
<br />
<br />
These Ayah are very clear that the Prophet (saaw) was sent for the whole of humanity <br />
and not just for the Muslims. Furthermore, the Prophet (saaw) applied Islam on the non-<br />
Muslims in the Islamic State. Thus, the non-Muslims were subjected to the same Islamic <br />
System of ruling, economics, punishments, and judicial processes as Muslims were with-<br />
out any discrimination. However, the performance of prayer, fasting, etc., are only <br />
accepted from the Muslims since the prerequisite for performing these acts of Ibadah <br />
(worship) is to be a Muslim. <br />
<br />
Finally, based on Islam, the Non-Muslims are allowed to practice their own religion, <br />
marital, and divorce affairs according to their beliefs. Furthermore, they are treated in the <br />
matters of food and clothing according to their religion, within the rules of the Shariah. <br />
<br />
12.4 Is Prophet Mohammad (saaw) a Mujtahid? <br />
<br />
As defined earlier, a Mujtahid is a person who studies the problem thoroughly and seeks <br />
the solution from the sources of Shariah. However, the Messengers, bring the Message <br />
which includes the Shariah. There is an apparent difference between the two terms. One <br />
brings the Shariah while the other goes to the Shariah to extract rulings. Also, <br />
Mohammed (saaw) was guided by the revelation. Allah (swt) say’s: <br />
<br />
<br />
‘Nor does he speak of his desire. It is no less than <br />
the revelation sent down to him.’ (An-NaJm 3-4) <br />
<br />
The Mujtahideen are not guided by the revelation because there is no more revelation <br />
after Mohammed (saaw). A Mujtahid’s Ijtihad can be wrong. The Prophet (saaw) say’s: <br />
<br />
G-12 97 <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
“Whosoever does Ijtihad and errs therein shall have one reward. <br />
And whosoever performs Ijtihad and is correct shall <br />
have a double reward.” (Bukhan & Muslim) <br />
<br />
If Prophet (saaw) is considered a Mujtahid then there is a possibility of him (saaw) <br />
making a mistake in delivering the Message and then the revelation corrected him <br />
(saaw). Then, this implies that in the time it takes for the revelation to correct the matter, <br />
the Message delivered by Mohammed (saaw) was wrong which is completely absurd. <br />
<br />
The only arguments which are brought in support of the Prophet (saaw) being a Mujtahid <br />
are: <br />
<br />
When a blind man came to learn Islam from him (saaw) and Allah (swt) in this regard <br />
addressed the attitude of the Prophet (saaw). Allah(swt) say’s <br />
<br />
<br />
‘(The Prophet (saaw)) frowned and turned away, <br />
because there came to him the blind man <br />
(interrupting). But what could tell you that <br />
perchance he might grow In purity? Or that he <br />
might receIve admonition and the reminder might <br />
profit him? As to the one who regards himself as <br />
self sufficient, to him does you attend. Though it <br />
is no blame to you if he grow not in purity. But as <br />
to him who come to you striving earnestly and <br />
with fear (In his heart) of him as though <br />
unmindful. By no means (should it be so) for It Is <br />
Indeed a Message of remembrance,’ (Abasa 1-11) <br />
<br />
The Ayah is addressing what happened with Abdullah ibn Ummi Muktum when he came <br />
to the Prophet (saaw), wanting to learn the Quran while the Prophet (saaw) was giving <br />
Dawah to one of the heads of Quraysh. <br />
<br />
In this situation The Prophet (saaw) had two options, either to attend to Abdullah ibn <br />
Ummi Muktum or continue the Dawah with the heads of Quraysh; he (saaw) chose the G-12 98 <br />
latter. Both actions were Mubah (permissible) and Allah (swt) preferred for him (saaw) <br />
the other option. Moreover, the structure of the Ayah does not indicate the Prophet’s <br />
(saaw) choice as being Haram! <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
The other Ayah which is brought is during the battle of Badr: <br />
<br />
<br />
<br />
‘It is not fitting for a Prophet (saaw) that he <br />
should have prIsoners of war until he has <br />
thoroughly subdued the land. You look for the <br />
temporal goods of thIs world. But Allah looks <br />
to the hereafter. And Allah is Exalted in might, <br />
Wise.” (al Anfal:67) <br />
<br />
<br />
In the succeeding Ayah Allah (swt) mentions that no sin was committed when the <br />
Prophet (saaw) took in prisoners for ransom. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
‘Had it not been for a previous ordainment <br />
from Allah, a severe punishment would have <br />
reached you for the (ransom) that you took.’ <br />
(al Anfal:68) <br />
<br />
<br />
Again even in this incident the Prophet (saaw) had two options: either to keep on killing <br />
the Kuffar or to stop and take the Kuffar as ransom. He (saaw) choose the latter option, <br />
but Allah (swt) preferred for him (saaw) to continue on killing the Kuffar in the battlefield. <br />
Thus, neither argument supports the claim that the Prophet (saaw) was a Mujtahid. <br />
<br />
Some “scholars” claim that there is no problem in changing the Fiqh due to the change in <br />
environment or circumstances. The proponents of this view give the following <br />
justifications: <br />
<br />
A. Fiqh is a human interpretation while the Shariah is Hukm Sharli which Allah (swt) <br />
revealed. The Shariah is the Wahiy (revelation) but Fiqh is open to different G-12 99 <br />
interpretations. Thus, Fiqh is not a revelation and can be changed. <br />
<br />
B. Some rules in Islam are based on Urf (traditions); the emergence of new <br />
traditions would trigger a change in the Fiqh. <br />
<br />
C. The Sahabah (raa) have changed some rulings of the Prophet (saaw). For <br />
example, if the camel was misguided the Prophet (saaw) recommended to leave <br />
it because it will find its own way. On the other hand, Umar (ra) asked the people <br />
to bring the lost camels to the Islamic State where the camels can be kept for the <br />
owners to claim them. <br />
<br />
D. Imam Shafii changed his Madhab when he went to Egypt due to the new <br />
environment. <br />
<br />
Some scholars went as far as to say that the Jizya can be canceled because in <br />
the past the non-Muslims didn’t participate in the Muslim army, but now they are <br />
participating in the army and defending the land; therefore, they no longer have <br />
to pay Jizya. <br />
<br />
Others expressed that the unity of the Muslim Ummah is not a must, and the reason that <br />
52+ states exist is because of life’s complexity. They arrive at the conclusion that we are <br />
no longer in need of the Khilafah because rules are subject to change. <br />
<br />
To discuss these issues, we must understand that Islam came to organize man’s life with <br />
all its intricacies and to regulate man’s affairs. Man’s instincts and organic needs have <br />
not changed at all and will never change. What changes under the march of time are the <br />
tools and means that man uses to satisfy his needs. For example, man can eat either by <br />
hand, spoons, forks, sticks, but nevertheless he has to eat. The only thing that has <br />
changed is the method of satisfying the need. <br />
<br />
Islam has come to organize and regulate man’s organic needs and in-stincts. The rules <br />
for this regulation cannot be changed. But as new problems arise, we need new rules, <br />
and this is the task of the Mujtahid. Carefully note that this is not considered changing the <br />
rules at all. <br />
<br />
Fiqh is the totality of Hukm Sharii taken from the Islamic sources (Quran, Sunnah, etc.). <br />
Thus, Fiqh is not a body of man-made laws because it is based on these sources. Ijtihad <br />
is the process of understanding, studying, and analyzing the texts and extracting rulings. <br />
Evidence from the sources of Shariah to justify the extracted ruling is an indispensable <br />
part of Ijtihad. The human effort in Ijtihad does not produce man made laws. The <br />
Mujtahid cannot take two different rulings for the same issue at the same time; however, <br />
he may later discover the misunderstand-ing of his Daleel and choose another ruling. <br />
Thus, there is no difference between Fiqh or Shariah. <br />
<br />
The Sahabah (raa) did not change the Fiqh in any way whatsoever. What they did can be <br />
categorized as one of the following: <br />
<br />
1. Applying a rule by having its Daleel or changing a rule for another Daleel <br />
<br />
2. The Khalifah has the responsibility for taking care of the Ummah’s affair in any <br />
way he finds most effective. This may change from time to time. For example, <br />
Umar (ra) asked the people to bring the lost camel to the State authority. While, <br />
the Prophet (saaw) said to leave the camel and it will find it’s owner. During the <br />
days of Umar (ra) the State was growing and someone had to take care of this G-12 100 <br />
matter. Since the Khalifah is the caretaker of the Ummah, Umar (ra) asked the <br />
people to bring the camel to the state. <br />
<br />
What Imam Shafii did was that he changed his methodology completely; this point was <br />
discussed earlier in the book. <br />
<br />
If some rulings are connected with the Urf (custom), the ruling may differ from one place <br />
to another but this is not changing the Fiqh because the ruling still exists. For example, a <br />
custom might dictate that the dowry should not be mentioned. This is acceptable <br />
because the ruling to pay the dowry must still be carried out. In other words, if dowry was <br />
not mentioned in the contract, then judge would look at the Urf (custom) of the city or <br />
village and compare the dowry of another woman with the similar status. Another <br />
example is of a worker employed without specifying the wage, then the judge would <br />
observe what the people paid for a similar job. <br />
<br />
<br />
12.6 Need for an American Fiqh? <br />
<br />
The development of a Fiqh tailored towards the Muslims of North America has been of <br />
recent discussion in some Muslim organizations. The justification for “American Fiqh” is <br />
two fold. First, the arguement is that the old Fatwas are no longer applicable and <br />
reinterpretations are necessary in order for Islam to be applicable to America. Secondly, <br />
that Muslims in America face problems, which never existed before, and the solutions to <br />
these problems have to be applicable to those specific problems that are faced in <br />
America. <br />
<br />
In two well known publications, Islamic Horizons and the Muslim, the idea of an <br />
“American Fiqh” was discussed. Some of the points mentioned in the publications are the <br />
following: <br />
<br />
In Islamic Horizons (Volume # 17: Jan - Feb 1988) an article entitled “Legists, Law, and <br />
the Wild West” discusses, <br />
<br />
1 . The need for an “American Fiqh” to address problems faced in North America. <br />
<br />
2. The gap of understanding existing between the scholars overseas and those in <br />
North America due to the nature of the problem faced by Muslims in America. <br />
Thus, the scholars from overseas are not qualified to issue rulings. <br />
<br />
These points lead to the argument that Muslims need a new framework for a Fiqh <br />
oriented towards America. This is necessary in order to answer such problems as <br />
a woman accepting Islam while her husband remains a non-Muslim and issues <br />
surrounding adoption, child abuse, wills, inheritance, and burials. <br />
<br />
In the Muslim Journal (May 6, 1994), an article by Imam Vernon M. Fareed entitled <br />
“Conference on Unity in Islamic Thought in America”, discusses the establishment of a <br />
new Madhab as it was a topic of an Islamic conference in Ohio. <br />
<br />
In that conference, Imam W. D. Muhammad suggested that all Muslims in his association <br />
have to make Salat in a uniform manner. It was agreed upon in the conference to <br />
research various areas of importance associated with Salat, such as the position of the <br />
woman when praying behind her husband, the number of Sunnah prayers to be <br />
performed before and after the Fard prayer, the Janazah prayer, Taraweeh prayer, etc. G-12 101 <br />
Many other topics, such as Tawheed and devotions, were also suggested for research. <br />
<br />
The arguments used to justify “American Fiqh”, such as the need for Ulema “groomed” in <br />
America or reinterpreting the Shariah so as to make it applicable in America are <br />
emanating from a defeated mentality and an un-Islamic perspective. <br />
<br />
From the Islamic perspective, the locality of the Mujtahid does not validate or invalidate <br />
his Fatwa. This has never been a prerequisite for issuing a Fatwa. By definition, the <br />
Mujtahid, whether living in America or in the Sahara Desert, has to be versed in the <br />
Shariah as well as the problem before issuing any ruling. If a Mujtahid in Egypt was able <br />
to understand the problem correctly, his ijtihad would be acceptable. Our discussion, <br />
therefore, should be limited to the ability of the Mujtahid rather than his locality. <br />
<br />
<br />
<br />
An issue such as an American woman accepting Islam while her husband remains a non-<br />
Muslim is not a new issue. This problem occurred at the time of the Prophet (saaw) when <br />
his (saaw) daughter Zaynab (ra) accepted Islam while her husband remained a non-<br />
Muslim. Therefore, in order to solve this problem today, we need to go back to the legal <br />
texts and study them in order to acquire the Islamic ruling. This applies to all other issues <br />
as well. <br />
<br />
With regards to issues involving adoption, wills, inheritance, and burial, these have rules <br />
which are discussed extensively in Islam and cannot be changed for the new problems, <br />
this requires a Mujtahid to extract rulings whether the problem happens in the East or the <br />
West. <br />
<br />
Regarding the issues of Salat or Tawheed, which were mentioned in the American <br />
Journal, these are rules which are well defined and set. There are differences of opinion <br />
in performing the Salat, but this is only due to the fact that the Prophet (saaw) used to <br />
perform it in more than one way. Geography is an irrevievant issue when it comes to the <br />
method of the Salat. <br />
<br />
The idea of an “American Fiqh” is an alien concept which seeks to distort the nature of <br />
Islam. The Shariah is being treated as a “Alickey Mouse law” rather than that of Allah, the <br />
Supreme. This is a result of a defeated mentality which seeks to change the Shariah to fit <br />
the society rather than changing the society to conform to the Shariah. <br />
<br />
Does not the Seerah of Prophet Mohammed (saaw) inspire in us the motivation to <br />
change the circumstance to apply what Allah (swt) ordered? If Muslims are allowed to <br />
reinterpret the Shariah according to the environment, we will no longer need the Shariah <br />
from Allah (swt) to organize our lives. This amounts to nothing short of assuming the role <br />
of the Sharii (legislator), Allah (swt)! <br />
<br />
Even though we have Hanafi, Shafii, Maliki and other schools of Fiqh, none of the <br />
founders of these schools developed their Fiqh based on their environment. This is a new <br />
idea propogated as a stepping stone towards a new Islam, one that is based on an <br />
“American Fiqh” and an American Aqeedah. The differences in Fiqh amongst the <br />
Mujtahideen was due to differential understanding of the text of the Quran and Sunnah, <br />
not the reinterpretation of the Shariah to conform with the environment. <br />
<br />
The Muslim Ummah does not need an “American Fiqh” because the term itself is wrong. <br />
There is no Egyptian, Pakistani, American or Palestinian Islam in order to have a <br />
Egyptian, Pakistani, American or Palestinian Fiqh. There is only one Islam and only one G-12 102 <br />
Fiqh! <br />
G-12 103 <br />
<br />
<br />
12.7 Alinority Fiqh <br />
<br />
Some Muslims claim that since Muslims in the West are minorities, this constitutes <br />
grounds for establishing a Alinority Fiqh. For instance, a preposterous claim is made that <br />
some of the rules of the “classical” Fiqh cannot be applied in an unlslamic Society, <br />
including the Riba. <br />
<br />
First of all, to have a minority mindset is alien to Islam. If Prophet Muhammad (saaw) <br />
thought and acted as a minority to establish minority rights in Mecca we would probably <br />
not be Muslims today. The Prophet (saaw) called for the comprehensive establishment of <br />
Islam. <br />
<br />
This was the attitude of the Prophet (saaw) from the very beginning of the Dawah. Thus, <br />
Muslims should not think of themselves as minorities but rather as carriers of a Message <br />
from Allah (swt). <br />
<br />
The Ahkam (rules) in Islam are of two types: <br />
<br />
A. Rules related to individuals such as praying, fasting, etc. Every Muslim has to <br />
abide by these types of Ibadah whether Islam is applied or not applied in a <br />
society and whether the person is living in Mecca or Paris. <br />
<br />
B Rules which cannot be applied except through the Khilafah State, such as <br />
applying the Hudud (punishment), collecting Jizya, etc. <br />
<br />
<br />
It is not the responsibility of an individual to apply any punishment on behalf of the State. <br />
This principle applies to Mecca or Paris. Whether a Muslim lives in the Islamic State or <br />
not, he has to abide by the rules related to individuals. However, living in a non-Islamic <br />
society does not signal a green light for Muslims to justify, patch, compromise, or alter <br />
Allah (swt)’s rules. It should be clear to us that there is no justitication for a Alinority Fiqh. <br />
<br />
As Muslims, we must have a deep rational conviction that Islam is from Allah (swt) and <br />
therefore we must accept it in its totality. This fact should motivate us to live according to <br />
Islam and to call the people to apply Islam in the society because Islam is not just <br />
composed of rules related to individuals but is a comprehensive way of life, the Deen-ul-<br />
Haqq <br />
G-12 104 <br />
Conclusion <br />
<br />
<br />
Presently, the decline in the Muslim Ummah, whether it is political, economic, or <br />
intellectual, is due to only one reason: the absence of Islam from our lives as a <br />
comprehensive ideology. <br />
<br />
The societies in the Muslim world are organized by un-Islamic systems, sprinkled with a <br />
few Islamic rules related to marriage, divorce, inheritance, and Ibadah; While, laws <br />
related to ruling, economics, education, and foreign affairs, have no Islamic orentation. <br />
<br />
As an example, the educational curricula, to which the Muslims are subjugated, are not <br />
designed to create the Islamic personality, whereby the individual judges and evaluates <br />
issues of life according to Islam. <br />
<br />
On the contrary, those who graduate from the educational curriculum in the Muslim World <br />
limit their belief only to the spiritual aspect of Islam. They view life based on pragmatism <br />
or benefit and consequently embark on actions rooted in these thoughts, while these <br />
actions should have been based on the Daleel from Islam. <br />
<br />
Issues related to the Islamic Aqeedah itself, such as arriving at the rational conclusion in <br />
the existence of Allah (swt), are omitted from the present day curriculum. This threatens <br />
to rip apart the very fabric which binds the Muslim Ummah together the Aqeedah. This <br />
threat comes in the form of a discussion of Islam as a philosophical idea or a religious <br />
dogma, lacking the ability to address contemporary problems and occurrences. <br />
<br />
The impact of all of this has resulted in a crippling effect on the presentation and <br />
comprehension of the Fiqh. People in the Muslim world view the Fiqh in the same light <br />
that people in the West view theological or divinity studies, i.e. as an easy discipline, <br />
studied by either the “religiously” inclined or by those who are not smart enough to study <br />
the sciences or technology. <br />
<br />
This view of the Fiqh is the direct result of the deviant educational curricula present in the <br />
Muslim world. These examples are not only related to the educational system; rather, <br />
they per-vade throughout the entire society, since the entire structure of the society is un-<br />
Islamic. <br />
<br />
In the midst of this environment, how can the Ummah once again flourish? After <br />
destroying the Khilafah and then granting us pseudo-independence, the Imperialists <br />
made sure that the Muslim lands would remain ideologically and intellectually occupied. <br />
They achieved this by creating a gap in our personality whereby we would believe in the <br />
Islamic Aqeedah yet not view life based on it. Thus, loosing the trust and confidence in <br />
the ability of Islam to solve our problems. <br />
<br />
Consequently, it is not surprising that the educational curricula producing such confused <br />
Muslims are written by the international tool of our enemy, UNESCO, an agency of the <br />
United Nations. <br />
<br />
Realising this, the highest priority of the Ummah must be to bring Islam back into our <br />
lives as a vibrant and comprehensive ideology. The total application and implementation <br />
of Islam will stop the current decline of the Ummah. This task must not be undermined or <br />
underestimated by the Ummah. It is a matter of life and death. <br />
G-12 105 <br />
<br />
<br />
“O you who Beileve! Answer the call of Allah <br />
and His Messenger, when he Calls you to that <br />
which will give you life; and know that Allah <br />
comes in between a man and his heart, and that <br />
it is He to whom you shall return.” <br />
(Al-Anfal 8: 24) <br />
<br />
<br />
As mentioned earlier, we are fortunate to be from the Ummah of Muhammad (saaw). <br />
This pride and honor should stimulate, motivate, and mobilize us to work to regain the <br />
rightful status of the Ummah of Mohammed (saaw) as leaders of the World. An Ummah <br />
which brings to life the Ayah: <br />
<br />
<br />
<br />
“We have not sent you (0 Muhammad) except as a Mercy <br />
to all the Worlds” (Al-Anblyaa: 107) <br />
<br />
<br />
This Mercy can only be presented to humanity, when the Shariah is implemented in <br />
totality, embodied in a State. <br />
G-12 106 <br />
<br />
GLOSSARY <br />
<br />
Abbaasid: The third major reign of Khllafah which began with Khalifah <br />
Abul’Abbaas as-Saffaah (750-754 CE) and ended with the murder of <br />
Khallfah al-Musta’slm (1242-1258 CE) at the hands ofthe Mongols. <br />
<br />
Adl: Jusdce, upright and Just. <br />
Ahkam: rulings and laws. <br />
Ahi al Hadeeth: (lit. People of Hadeeth); a name given to the early scholars who <br />
relied mainly upon the interpretations of the revelation (Qurari and <br />
Sunnah) and not applying Qiyas. <br />
<br />
Ahi al Rai: (lit. People of Reasoning): a name given to the early scholars who <br />
used Qlyas and lstlhsan extensively as well as the Quran and <br />
Sunnah. <br />
<br />
Arnir ul Mu’ mineen: (lIt, leader of the believers): a title for the head of the Islamic State. <br />
Amm: general. unspedfied. <br />
<br />
Arnr: (p1. awamlr); a command to do something. matter. affair. <br />
<br />
Ansar: (lit. ‘the helpers’); the early Muslims of Medina who provided the <br />
Messenger of Allah (saaw) with the support. <br />
<br />
Aqeedah of Islam: (lit. ‘tightened like a knot’); a decisive and definite rationale belief in <br />
the fundamentals of islam. <br />
<br />
AqI: intellect <br />
<br />
Asbab al Nuzul: the occasions/reasons of the revelations. <br />
<br />
As-Shath: a Hadith In which one credible reporter reports something that <br />
disagrees with other credible reporters. <br />
<br />
<br />
Athar: (p1. Aathaar); saying or ruling of the Prophet (saaw), Sahabah (raa), <br />
or Tableen. It is more general than the Hadith. <br />
<br />
Azlz: a Hadith reported by at least two individuals in every dass. <br />
<br />
Baya’: business transactions. <br />
<br />
Bayah: the oath of allegiance to the Khallfah. <br />
<br />
Bayan: explanation. darification. <br />
<br />
Bid’ah: innovation in matters of Ibadah. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
G-12 107 <br />
Da’eef: (lit, weak) a Hadith not meeting the requirement of either <br />
Sahih or Hasan type of <br />
<br />
Dalalah: pertaining to the meaning of the text. <br />
<br />
Daleel: proof, evidence. <br />
<br />
Dawah: (lit. ‘invitation’); propagation of Islam. <br />
<br />
Deen: (lit, anything that is submitted or adhered to) Deen of Islam <br />
(Islamic ideology) - not to be confused with religion. Deen is <br />
acomprehensive way of life. <br />
<br />
Dhaalr: (p1. Dhawaahir); the obvious literal meaning of a text from <br />
Quran or Hadith. <br />
<br />
Dhimmi: non-Muslims living under the authority of the Islamic State. <br />
They are considered as citizens of the State and given all the <br />
rights which every citizen of the Islamic State deserves. <br />
<br />
Du’aa: (p1. Ad’eyah): supplication to Allah (swt) <br />
<br />
Falli: actions. <br />
<br />
Fard: an obligatory action. If the individual performs <br />
the action then he is rewarded. Whereas. the <br />
failure to perform the action results in a punishment. <br />
<br />
Fasiq: a Muslim who intentionally. repeatedly. and <br />
openly breaks the Islamic laws. <br />
<br />
Fatwa: (p1. Fatawa); an Islamic legal opinion issued by a <br />
reliable individual with/without mentioning the <br />
Daleel. <br />
<br />
Flqh: 1. knowledge of the rulings of Shariah which are <br />
extracted horn the legislative sources. <br />
2. synonymous with the term Shariah, i.e. <br />
all the Islamic laws. <br />
<br />
Furoo’: (sing. Fara’); branches, such as in the Furu al-FIqh, that is the <br />
branches of Flqh, as opposed to Its roots and sources (Usul al <br />
Fiqh). <br />
<br />
<br />
Gharib: a Hadith reported by only one individual In one or more <br />
classes. <br />
<br />
<br />
Had: (lit. limit); prescribed punishment from Allah(swt) for a sin. <br />
<br />
Halith: (p1. Ahaadeeth); a report conveying the sayings. actions, or <br />
the approvals of the Prophet (saaw). <br />
G-12 108 <br />
<br />
<br />
<br />
Hajj: a compulsory duty on all adult Muslims of sound <br />
mind and body once in a life time if they are economically <br />
able. HaJJ can be defined as pilgrimage to the Ka’bah in <br />
Mecca in order to perform certain prescribed rites of worship. <br />
<br />
Halal: an action or a thing considered permissible or lawful. Fard, <br />
Mandub, Makruh. and Mubah faii In the category of Halal <br />
since there is no punishment for any of these categories of <br />
actions. <br />
<br />
Haram: a prohibited action. if the individual abstains from performing <br />
the prohibited action then he is rewarded; other-wise, <br />
punished. <br />
<br />
Hasan: 1. a Hadith which meets the requirement of a Sahlh to a <br />
lesser degree. <br />
2. a Hadith accepted by the majority of the Fuqaha and <br />
documented in reliable books of Fiqh (this definition is <br />
adopted by Al - Khatabi). <br />
<br />
Hijrah: the period of migration by the Prophet (saaw) and the <br />
Sahabah (raa). from Mecca to MedIna In the year 645 C.E. <br />
The Hijrah marks the establishment of the islamic State by the <br />
Prophet (saaw) and the beginning of the Islamic calendar. <br />
<br />
Hukm Sharli: Address of the Legislator related to the actions of human <br />
being. <br />
<br />
ibadaah: worship. <br />
<br />
ljma: 1. to determine <br />
2. to agree upon something. <br />
<br />
ljma al Mujtahideen: agreement of the Mujtahldeen of the Muslim Ummah of any <br />
period following the death of the Prophet (saaw). <br />
<br />
ljma ahlel Bayt agreement of the household of Prophet (saaw). <br />
<br />
ljma ahlel Medina: agreement of the people of Medina. <br />
<br />
ljma al Ummah: agreement of the Ummah on a matter at anytime past <br />
present, or future. <br />
<br />
ljma as Sahabah: the unanimous agreement of the Sahabah (raa) on a point of <br />
islamic law. This form of ljma is the only acceptable legislative <br />
source. <br />
<br />
ijtihad: exhausting all of one’s effort in studying the problem <br />
thoroughly and seeking the solution from the sources of <br />
Shariah up to the extent of feeling an inability to contribute <br />
anymore. G-12 109 <br />
<br />
<br />
<br />
lkhtilaf: juristic disagreement <br />
<br />
ilm ul Kalaam: a type of discussion related to the islamic Aqeedah <br />
concerning Allah (swt)’s attributes. Prophethood, etc. During <br />
the days of the Sahabah (raa), Musiims used to be confined <br />
by the Quranic methodology when discussing such topics. <br />
Some Muslims later started using Greek logic and its culture <br />
as a basis for the discussion of the Islamic Aqeedah. In this <br />
process Muslims began discussing issues beyond the scope <br />
of the intellect. <br />
<br />
imam: (lit. leader); <br />
1. a title for the head ofthe Islamic State. <br />
2. the title of the one leading the congregational prayers. <br />
<br />
Iman: the strong belief in the Islamic Aqeedah without doubt <br />
<br />
Islam: (lit, submission, peace). It is the Deen revealed to Prophet <br />
Mohammed (saaw) for organizing mans relationship with <br />
himself, his Creator, and with other human beings. islam is <br />
addressed to all human beings. <br />
It should be noted that the Shariah term is Submission and <br />
Peace is achived when Islam as a system (Al-Khilafah) is <br />
implemented correctly. <br />
<br />
ismah: Infallibility, immunity from making errors. <br />
<br />
Istihsan: shifting from one Qiyas to another Qiyas due to a reason. <br />
<br />
Jihad: removing the obstacles which stand against the propagation <br />
of the Islamic Dawah to the people. <br />
<br />
Jizya: a spedfic amount of money paid by non-Muslims living in the <br />
Islamic State to the State. It is collected only from those who <br />
can afford to pay it. <br />
<br />
Khamr: (lit. fermented grape Juice): In Islamic law it refers to all <br />
intoxicants induding liquor, wine, beer, whisky. etc. <br />
<br />
Kafir: (lit. ‘one who conceals the truth’)legally a non-Muslim. A <br />
person who does not believe in Islam. Many situations can <br />
cause a person to be categorized as a Kafir. Some of these <br />
are denying a part of the Islamic Aqeedah or a condusive <br />
Daleel. As an example daiming that Islam Is not perfect and is <br />
not applicable in the 21 St Century would make a person <br />
Kafir. <br />
<br />
Khalifah: (lit. ‘successor’); the head of the Islamic State. <br />
<br />
Khabar: (lit. news, report) synonym for Hadith. <br />
G-12 110 <br />
Khilafah: the Islamic State. <br />
<br />
<br />
Khulafa: the plural of Khalifah. <br />
<br />
Khulafa Al-Rashidon: the rightly guided Khalifah’s - the first four Khulafa; Abu Bakr, <br />
Omar, Uthman, and All (raa). <br />
<br />
Kufr: non- Islamic concept. <br />
<br />
Madhab: (p1, Madhaib); a school of thought related to Fiqh. <br />
<br />
Makruh: disliked action. The one who abstains from performing such <br />
an action is praised and rewarded, whiie the one who does is <br />
not punished. <br />
<br />
Mandub: a recommended act. The one who performs this type of act is <br />
rewarded while the one abstains from it is neither blamed nor <br />
punished. <br />
Mauquf: a Hadith where the Sanad ends with a Sahabi <br />
<br />
<br />
Marfu’: a Hadithin which the Sanad leads to the Prophet(saaw). <br />
<br />
Mash-hor: a Hadith reported by at least three individuals in every class. <br />
<br />
Maslah al Mursalah: refers to accepting public interest in the absence of a <br />
legislative source from Qur’an or Sunnah. <br />
<br />
Mah-thur: a prohibited action. If the individual abstains from performing <br />
the prohibited action then he is rewarded otherwise is <br />
punishable. <br />
<br />
Mawd’u: a fabricated Hadith. <br />
<br />
Muaiaq: A Hadith which is missing one or more reporters either at the <br />
beginning ofthe isnad. In the middle, or in the end. <br />
<br />
MualIal: A Hadith whose Sanad seems to be fine, but du~ to some <br />
hidden reasonsdiscovered by scholars of Hadith, it is <br />
discredited. <br />
<br />
Mualaq: <br />
<br />
Mu’addal: a Hadith which is missing two or more consecutive reporters. <br />
<br />
Mubah: A type of action in which the choice is left up to the person to <br />
do or not to do. <br />
<br />
Mujtahid: person who can perform ljtihad. <br />
<br />
Mujtahid Mutlaq: absolute Mujtahid; a Mujtahid who established a original <br />
method for IJtihad such as imam Abu Hanifah. imam jafar. <br />
imam Shafil, and others. G-12 111 <br />
<br />
Munkar: (1) a Hadith in which uncredible reporters convey a message <br />
which is in disagreement with what was reported by credible <br />
reporters. <br />
(2) Any Haram action. <br />
<br />
Munqati: A Hadith which has interruption in the class. <br />
<br />
<br />
Musnad: (1) a Hadith which has chain of reporters. <br />
(2) any book of Hadith organized by the name of the Sahabi <br />
who reported it. As an example, Musnad of Ahmed <br />
<br />
<br />
Mufti: a scholar who gives legal rulings on an issue. <br />
<br />
Muhajir: (lit. emigrant); refers to the one who migrated from Mecca to <br />
Medina <br />
<br />
Munaadharaat: (sing. MunaadHarah); a name given to debates <br />
between scholars ofvarious Madhab on legal issues. <br />
<br />
Munaflq: (p1<br />
. Munaafiqoon): one who pretends to be a Muslim while in <br />
fact disbelieves. <br />
<br />
Mursal: a Hadith leading back to the Prophet (saaw) but missing the <br />
name of the Sahabi who reported it. <br />
<br />
Mustahabb: recommended. <br />
<br />
Mutawatir/Tawatur: Is a transmitted Daleel by an in-definite number of people. <br />
Due to the large number of people reporting the Daleel, and <br />
their diversity of residence, reliability, and conviction, it is <br />
inconceivable that this Daleel could be fabricated. <br />
<br />
Nabiy: Is a person who receives the revelation from Allah (swt). The <br />
last and final Nabiy is Mohammed (saaw). Anyone who claims <br />
to be a Nabiy after Mohammed (saaw) is a Kafir. <br />
<br />
Nafaqah: monetary or material support. i.e. a father supporting his aged <br />
father. <br />
<br />
Naskh: abrogation, repeal. <br />
<br />
Nass: a clear injunction, an explicit texturial ruling <br />
<br />
Nafiiah: a recommended act. The one who performs this act is <br />
rewarded while the one who abstains from it is neither blamed <br />
nor punished. <br />
<br />
Qadee: (p1. Qudaah): a Judge. <br />
<br />
Qatal: condusive. definite.. <br />
G-12 112 <br />
Qawli saying, verbal <br />
<br />
Qlyas: a extension of a Sharii ruling from an original case to a new <br />
case because of the equivalence of iiia (causes) underlying <br />
them. <br />
<br />
Quran: (lit. reading) Allah’s miraculous speech revealed <br />
to Mohammed (saaw) in Arabic and transferred <br />
to us by the Tawatur method. <br />
<br />
Qudsi: a Hadith in which its Sanad leads to the Prophet <br />
(saaw) and the Prophet (saaw) is reporting it <br />
from Allah (swt). <br />
<br />
Rasool: Nably is anyone who receives a revelation from Allah (swt). if <br />
this revelation is a new Message such as Islam then the <br />
Nabiy is given the additional title of Rasool. <br />
<br />
Rlwayah: pertaining to narration or transmission. <br />
<br />
Rukn: pillar, essential ingredient. <br />
<br />
Sahabah (raa): 1) a Muslim who saw the Prophet (saaw). <br />
2) a Muslim who lived with the Prophet (saaw) <br />
for one or two years or participated in one or two Ghazwaa.<br />
<br />
Sahih: a Hadith reported by an MI and Dabeth (maintains accuracy <br />
of the report) person from another person ofsimiiar qualities till <br />
the end of the report. <br />
<br />
Salat: (lit, prayers) an Ibadah in Islam done in a defined manner with <br />
the intention of doing it. <br />
<br />
Sanad: a chain of reporters leading back to the Prophet (saaw). <br />
<br />
Sawm: fasting. <br />
<br />
Shariah: composition of all the laws derived from the Islamic legislative <br />
sources. <br />
<br />
Shirk: assodating partners with Allah by giving Ailah’s (swt) <br />
attributes to ueated things or giving Allah the attributes of <br />
created thIngs. <br />
<br />
Shurah: mutual consultation. <br />
<br />
Sunnah: 1) Prophet (saaw)’s way of ilfe. Consists of the sayings. <br />
actions and silent approvals of the Prophet (saaw). <br />
2) Sunnah is also used to mean a Nafiiah as opposed to <br />
Fard, a compulsory order. <br />
<br />
Tabaqah: a dass of reporters in the same generation, i.e. Sahabah <br />
(raa), Tabi’een, <br />
G-12 113 <br />
Taabi’een: (sing. Taabi’ee, lit. foilower); those who met and studied under <br />
the Sahabah (raa) and died as Musiims, <br />
<br />
Tafseer: an explanation of the meanings ofthe Quranic word and <br />
verses within a specific methodology. <br />
<br />
Taqleed: following of another person’s opinion without a binding proof. <br />
<br />
Taqriri: approval. <br />
<br />
<br />
Taqwaa’: the protection of one’s self from the punishment of Allah (swt) <br />
by doing what He (swt) has commanded and avoiding what <br />
He (swt) has forbidden. <br />
<br />
Tashri: legislation <br />
<br />
Tawheed: the purely unitarian concept of Allah (swt), found only in Isiam, <br />
in which Allah is unique in being the Creator, in being <br />
worshIpped, and in His essence, names and attributes. <br />
<br />
Thannly: (lit speculation, doubt) an evidence which has more than one <br />
meaning or an evidence which is not conclusive in proof. <br />
<br />
Ulema: (sing ‘Alim); literally scholars but commonly used <br />
to refer to scholars in islam. Also, represents the Muslim <br />
nation worldwide. <br />
<br />
Usul al Fiqh: collection of rules pertaining to the methodology for extracting <br />
rules from the Islamic legislative sources. <br />
<br />
Wahi’y: revelation. <br />
<br />
Wajib: an obligatory action synonymous to Fard. if the individual <br />
performs the action then he is rewarded. Whereas, the failure <br />
to perform the action results In a punishment <br />
<br />
Zakah: an act ofworship requiring a Muslim to pay a certain portion of <br />
his wealth to the Bait ui Mal of the Islamic State for distribution <br />
towards eight specific categories. <br />
<br />
<br />
G-12 114 <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Islamic History Time Line G-12 115 G-12 116 <br />
G-12 117 <br />
G-12 118 <br />
<br />
<br />
G-12 119 <br />
<br />
<br />
G-12 120 <br />
<br />
G-12 121 <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Muslim Women praying for the return of the Islamic Armies to liberate Palistine from the Zionist. <br />
<br />
<br />
Isreali Security forces under fire from Palestinians who are unarmed! G-12 122 <br />
<br />
Isreali Security forces have a shoot to kill policy <br />
<br />
<br />
<br />
Tear Gas is normal practice by the Isreali forces against Muslims who are found together.tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-50177689509747494222010-12-31T19:44:00.000-08:002010-12-31T19:44:32.334-08:00USUL AL FIQHUSUL AL FIQH <br />
(Islamic Jurisprudence) <br />
<br />
<br />
<br />
By <br />
<br />
Shah Abdul Hannan <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
2<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Preface <br />
<br />
<br />
This book on Islamic Jurisprudence (Usul Al Fiqh) was prepared as an aid to a <br />
course on this subject conducted through internet in 1999 to an International <br />
Student Population on the request of Witness-Pioneer (an internet based Islamic <br />
International Intellectual Movement). The book has been modelled on classical <br />
'Usul' books, the chapter planning has been done on the lines of the book " <br />
Principles of Islamic Jurisprudence" by Dr. Hashim Kamali. This book will help in <br />
understanding the essentials of 'Usul'. However, to master the subject and get <br />
the details, the reader has to turn to the old and new 'Usul' works. Names of old <br />
and new Usul Books have been mentioned in the Introduction and in the <br />
Bibliography. <br />
<br />
I am indebted for this work to Witness-Pioneer movement, to Wohidul Islam <br />
(a Harvard Student), who was my Teaching Assistant, Mr. Shafiquer Rahman, a <br />
Pioneer member who helped me in conducting the course and to my students <br />
of the course who helped me to improve the course through their questions. <br />
<br />
Knowledge of 'Usul' is essential to save us from mis-interpretation of the <br />
'Quran' and the 'Sunnah'. I pray to Allah that He may accept this book for the <br />
benefit of "Ummah'. <br />
<br />
<br />
Shah Abdul Hannan <br />
<br />
<br />
3<br />
Contents <br />
Page <br />
1. Introduction 04 <br />
2. The Quran 05 <br />
3. The Sunnah 08 <br />
4. Interpretation 11 <br />
5. Command, Prohibition & Naskh 16 <br />
6. Ijma (Consensus of Opinion) 18 <br />
7. Qiyas (Analogical Deduction) 20 <br />
8. Revealed laws Prior To Shariah of Islam <br />
And Fatwa of Sahaba 23 <br />
<br />
9. Istihsan and Maslaha 25 <br />
10. Urf and Istishab 28 <br />
11. Sadd al Dharai and Hukm Sharii 31 <br />
12. Taarud 35 <br />
13. Ijtihad 36 <br />
<br />
---- <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
4<br />
USUL AL FIQH <br />
(Islamic Jurisprudence) <br />
<br />
1. Introduction <br />
<br />
<br />
Usul al Fiqh discusses both the sources (Adillah) of Islamic law and the law (Fiqh). <br />
This view is held by a group of jurists, according to Nurul Anwar written by Sheikh <br />
Ahmad Ibn Abu Sayiid, known as Mullah Jaiun, who was the house tutor of <br />
Aurangzeb, the Mughal emperor. However, primarily Usul al Fiqh deals with the <br />
sources or roots of Islamic law. <br />
<br />
Usul al Fiqh (Usul is plural of Asl) the bases or roots of Islamic Law, expound <br />
the methods by which Fiqh (detail Islamic law) is derived from their sources. In <br />
this view, Usul is the methodology and the Fiqh is the product. <br />
<br />
Usul deals with the primary sources of Islamic law, the Quran and the Sunnah, <br />
i.e. Usul discusses the characteristics of the Quran and Sunnah, and what are <br />
the methods of deduction of law from the Quran and the Sunnah. In doing that, <br />
Usul discusses various kinds of words used in the Quran and the Sunnah in <br />
particular and Arabic language in general such as the Amm (general) and the <br />
Khass (particular), Mutlaq (unconditional) and Muqayyid (conditional), Haqiqi <br />
(literal) and the Majaji (Metaphorical), various types of clear words and unclear <br />
words. Methods of deductions from the legal verses of the Quran and the <br />
legal Ahadis (singular Hadis) are what the Fuqaha (jurists) have called Ibarah al <br />
Nass (whereby Ahkam or rules are derived from the obvious words and <br />
sentences themselves), Isharah al Nass (where Ahkam are inferred from signs <br />
and indications inherent in the text) Dalalah al Nass (where Ahkam are derived <br />
from the spirit and rationale of a legal text) and Iqtida al Nass (whereby Ahkam <br />
are derived as a requirement of the provision of the text though the text is silent <br />
on the issue). Details may please be seen in the chapter on Interpretation <br />
coming later. <br />
Usul al Fiqh also discusses the secondary sources of Islamic law, the Ijma <br />
(consensus), Qiyas (analogical deduction), Istihsan (Juristic preference) and <br />
other methods of Ijtihad (reasoning and investigation). All the secondary sources <br />
are either directly or indirectly based on the primary sources of Islamic law, the <br />
Quran and the Sunnah. For instance, three main elements of Qiyas, that is Asl <br />
(original case), Hukm (ruling on asl) and the Illah (effective cause ) are based on <br />
primary sources. Usul al Fiqh also discusses other main issues involving Islamic law <br />
such as the effect of custom on law or custom as a source of law, and grades of <br />
the Islamic legal provision (i.e. what is Haram, what is Maqruh; what is Farz, what <br />
is wazib and what is Mandub (recommended) and also the methods of <br />
removal of conflict (i.e. Taa'rud). <br />
<br />
In some books of Usul, grammar of Arabic language is discussed at length. Of <br />
course the knowledge of Arabic language and grammar is a must for one who <br />
<br />
5<br />
wants to be a Usuliuun or a jurisprudent. However, this is not really a subject <br />
matter of Usul. <br />
<br />
The benefits of the study of Usul al Fiqh are many. From a study of Usul, we <br />
come to know the methods of interpretations of the Quran and Sunnah, all the <br />
secondary sources of Islamic law, the views on Usul of major scholars of the past <br />
and present, the rules of Qiyas and other methods of Ijtihad, the history of <br />
development of Islamic law and legal theory. All these make anybody who <br />
studies Usul cautious in approach to Islamic law. He develops respect for the <br />
methodology of past masters and becomes aware of the need to follow rules in <br />
the matters of deduction of new rules of Islamic law. He then is likely to avoid <br />
careless utterance and action. Ummah can produce great mujtahid only by <br />
study of Usul in addition to other sciences. The principal objective of Usul is to <br />
regulate Ijtihad and guide the jurist in his effort at deducing the law from the <br />
sources. <br />
<br />
Imam Shafii is considered to be the father of the science of Usul. This is true in <br />
the sense that the systematic treatment of the principles of Usl al Fiqh was first <br />
made by him. Before him, the jurists of course followed some principles in the <br />
deduction of law but these principles were not integrated and systematized. <br />
After Shafii, many scholars have contributed in the study of Usul, of them, the <br />
most famous are : Abul Hasan al Basri (d. 436), Imam al Haramayn al Juwayni <br />
(d.487), Abu Hamid al Gazali (d.505), Fakhruddin al Razi (d. 606), Saifuddin Al <br />
Amidi, Abul Hasan Al Karkhi (d.349), Fakhruddin Al Bazdawi (d. 483), Abu Bakr Al <br />
Jassas (d. 370), Sadr Al Shariah (d. 747), Tajuddin Al Subki (d.771), and Al Shatibi. <br />
There have been many writers on Usul in modern times, particularly in Arab <br />
lands. <br />
<br />
Initially two approaches developed in the study of Usul, the theoretical and <br />
the deductive. The theoretical approach was developed by Imam Shafii who <br />
enacted a set of principles which should be followed in the formulation of Fiqh. <br />
On the other hand primarily the early and later Hanafi scholars looked into the <br />
details of law given in the Quran and Sunnah and derived legal rules or Usul <br />
principles therefrom. However, the later scholars combined the two <br />
approaches and presently the subject essentially follows the some format. <br />
<br />
<br />
2. The Quran <br />
<br />
In some classical books of Usul (such as Nurul Anwar by Sheikh Ahmad Ibn <br />
Abu Said or Manar by Sheikh Abul Barakat Abdullah Ibn Ahmad Nasafi) most of <br />
the discussion of Usul have been made under the heading "Kitabullah" (that is <br />
the Quran). Such discussion include discussion on the classification of words in <br />
the Quran (or Arabic language), grammatical issues pertinent to interpretation <br />
of the Quran and Sunnah, such as Haruful Maa'ni (words with meaning), Haruful <br />
Atf (conjunction), Haruful Zar, (a 'Haruf' which gives 'Zar' to the noun when it is <br />
<br />
6<br />
used before noun), Haruful Asmauz Zaruf (Haruf which indicate time, place, <br />
etc.) and Haruful Shart (haruf which indicates conditions). Discussion under <br />
Kitabullah also include the methods of interpretation such as Ibaratun Nass <br />
(based on explicit meaning), Isharatun Nass(based on indicativd meaning), etc. <br />
<br />
However, in our discussion on Usul under the "Quran" we shall not discuss any <br />
of the aforesaid things. In following some modern Usul scholars we shall take the <br />
discussion on the methods of interpretation and classification of words under <br />
"Methods of Interpretation" We shall not discuss rules of grammar in Usul and ask <br />
the readers to study Arabic language and its grammar separately. In this part <br />
we shall discuss some of the characteristics of Quran as its introduction. <br />
<br />
Quran is the book which Allah revealed in His speech to His Prophet <br />
Muhammad (SM) in Arabic and this has been transmitted to us by continuous <br />
testimony or tawatur. <br />
<br />
There are 114 suras of unequal length. The contents of the Quran are not <br />
classified subjectwise. The Quran consists of manifest revelation ('Wahy Zahir) <br />
which is direct communication in the words of Allah. This is different from Wahy <br />
Batin (non-manifest revelation) which consists of inspiration and concepts. All <br />
the Ahadis of the Prophet fall under this category. <br />
<br />
Hadis Qudsi, in which the Prophet (SM) quotes Allah in the Hadith, is also not <br />
equivalent to the Quran. In fact, this kind of Hadith is also subject to examination <br />
of Isnad (chain of narrators from the Prophet (SM) to the compiler of the Hadith <br />
compilation). If the sanad (chain) is weak, the hadith will be treated as weak, <br />
even though it is Hadis Qudsi. It should be noted that the Prophet (SM) did not <br />
make any distinction between Hadis Qudsi and other Hadis.(Ref; Abdul Wahab <br />
al Khallaf; .'ILM - Usul al Fiqh', also Dr.Hashim Kamali, Principles of Islamic <br />
Jurisprudence.) <br />
<br />
Only meaning (Maa'ni) or text (Nazm) is not the Quran. The jurisprudents <br />
agree that text and meaning together constitute the Quran. <br />
<br />
Quran was revealed in stages (Bani Israil, 17:106), and gradually (Al-<br />
Furqan,25:32). Graduality in the revelation afforded opportunity to reflect over it <br />
and memorize it. The Ulama are in agreement that the entire text of the Quran <br />
is "Mutawatir", i.e. its authenticity is proven by universally accepted testimony. <br />
<br />
The larger part of the Quran was revealed in Mecca (about 19/30th part) and <br />
rest in Madinah. The Meccan revelations mostly deal with beliefs, disputation <br />
with unbelievers and their invitation to Islam. But the Madinan suras, apart from <br />
the aforesaid, deal with legal rules regarding family, society, politics, <br />
economics, etc. The sura is considered Meccan if its revelation started in <br />
Mecca, even if it contains Madinan period Ayats. The information regarding <br />
<br />
7<br />
which one is Makki or Madani are based on the sayings of the Sahabis or the <br />
following generation. <br />
<br />
The legal material of the Quran is contained in about 500 Ayats, according to <br />
various estimates. These injunctions were revealed with the aim of repealing <br />
objectionable customs such as infanticide, usury, gambling, unlimited <br />
polygamy; prescribing penalties and core Ibadah like Salat, Siam, Zakat, Hajj. <br />
Other legal Ayats deal with charities, oaths, marriage, divorce, Iddah, <br />
revocation of divorced wife (Rijah), dower, maintenance, custody of children, <br />
fosterage, paternity, inheritance, bequest; rules regarding commercial <br />
transaction such as sale, lease, loan, mortgage, relations between rich and <br />
poor, justice, evidence, consultation, war and peace. <br />
<br />
One of the things that has been discussed is about Qati (definitive) and Zanni <br />
(speculative). Qati and Zanni concepts have been discussed in terms of text <br />
and in terms of meaning. The whole of the Quranic text in Qati (definitive) that is <br />
its Riwyah (report) is conclusive and beyond doubt. Only other text, which has <br />
been considered Qati is only Mutawatir Sunnah or Hadith (at least in essence). <br />
Other Hadith and Ijtihad are Zanni material. (Principles of Islamic Jurisprudence, <br />
Dr. Hashim Kamali, Islamic Texts Society, Cambridge). <br />
<br />
<br />
The text of the Quran which has been reported in clear words (Alfaz al <br />
Waziha) which has only one meaning are considered Qati also in terms of <br />
meaning (Dalalah). Any text of Hadith which is similarly clear in meaning is also <br />
considered Qati in terms of meaning. Qati and Zanni have significance in the <br />
matter of belief and in the gradation of Ahkam into Farz, Wazib, Sunnah, Haram, <br />
Makruh, etc. Articles of faith can be determined only by Qati text with Qati <br />
meaning. A person can be declared Kafir if he denies the Qati text of the Quran <br />
or Mutawatir Sunnah. Otherwise not. Similarly Farz is determined only by Qati text <br />
with Qati meaning (Principles of Islamic Jurisprudence, Dr. Hsashim Kamali, <br />
Chapter 17). <br />
<br />
Most of the text of the Quran are Qati in meaning. Example of Zanni in <br />
meaning are the words "banatukum" in Nisa : 23 and "yanfaw minal ard" in <br />
Maida : 33. <br />
<br />
In the discussion on Qati and Zanni, Quran and Sunnah are integral to one <br />
another. Zanni of one verse can be made Qati by another verse or definitive <br />
Sunnah. Similarly, the Zanni Sunnah can be elevated to Qati by Qati Ayat of the <br />
Quran or by other corroborative evidence of Qati Sunnah. <br />
<br />
By far, the large part of the Quranic legislation have been given in broad <br />
outlines, only in a few area, the Quran has given instruction in considerable <br />
details. Hardly there is anything where Quran has given all details. We are <br />
dependent on Sunnah and Ijtihad to fill up the gaps or for explanations. <br />
<br />
8<br />
<br />
One issue of concern is whether it is permissible to research the cause (talil) of <br />
Ahkam. Majority of scholars hold that this is permissible, indeed a must for <br />
development of Islamic law through Ijtihad (primarily Qiyas). <br />
<br />
However, a few hold, talil is not permissible and as such deny legality of <br />
Qiyas. This view is weak and appears to have been born out of <br />
misunderstanding the purpose of talil. <br />
<br />
Another issue is Asbab al Nazul or events which are related to revelation of <br />
the Ayats. The Hukm (law) is not limited to the events or circumstances. Asbab al <br />
Nazul helps to understand the Quran and its law. . <br />
<br />
<br />
3. The Sunnah <br />
<br />
Literal meaning of Sunnah in Arabic is beaten track or established course of <br />
conduct. Pre-Islamic Arabs used the word for ancient or continuous <br />
practice.According to Ulama of Hadith, Sunnah refers to all that is narrated from <br />
the Prophet(sm),his acts,his sayings and whatever he tacitly approvedThe <br />
Jurisprudents exclude the features of the Prophet (SM) from Sunnah.In the <br />
Hadith literature,there are uses of the word Sunnah in the sense of source of law, <br />
for instance in THE Prophet's farewel Hajj address and at the time of sending <br />
Muadh(R.A.) to Yemen. <br />
<br />
The term Sunnah was introduced in the legal theory towards the end of the <br />
first century. It may be noted that in the late 2nd Century Hijra Imam Shafii <br />
restricted the term to the Prophetic Sunnah only. In the Usul al Fiqh Sunnah <br />
means the source of Shariah next to the Quran.But to the Ulama of Fiqh Sunnah <br />
primarily refers to a Shariah value which is not obligatory but falls in the <br />
category of Mandub or recommended. But as a source, Sunnah can create <br />
obligation (wajib), Haram, Makruh, etc. In the technical usage Sunnah and <br />
Hadith have become synonymous to mean conduct of the Prophet (SM) The <br />
Sunnah of the Prophet (SM) is a proof (Hujjah). The Quran testifies that Sunnah is <br />
divinely inspired (53:3). The Quran enjoins obedience to the Prophet(SM) <br />
[59:7;4:59; 4:80; 33:36]Allah asked the believers to accept the Prophet as judge <br />
(4:65)One classification of Sunnah is Qawli, Faili and Taqriri (verbal, actions and <br />
tacit approval) <br />
<br />
A very important classification is legal and non-legal Sunnah . Legal Sunnah <br />
(Sunnah tashriyyah)consists of the Prophetic activities and instructions of the <br />
Prophet (sm) as the Head of the State and as Judge. Non-legal Sunnah <br />
(Sunnah Ghayr tashriyyah) mainly consist of the natural activities of the Prophet <br />
(Al-afal-al-jibilliyyah),such as the manner in which he ate, slept, dressed and <br />
such other activities which do not form a part of Shariah. This is called adat <br />
(habit) of the Prophet in the Nurul Anwar,a text -book of Usul. Certain activities <br />
<br />
9<br />
may fall in between the two. Only competent scholars can distinguish the two in <br />
such areas.Sunnah which partake of technical knowledge such as medicine, <br />
agriculture is not part of Shariah according to most scholars. As for the acts and <br />
sayings of the Prophet that related to particular circumstances such as the <br />
strategy of war, including such devices that misled the enemy forces, timing of <br />
attact, siege or withdrawal, these too are considered to be situational and not a <br />
part of the Shariah. .(Khallaf: .'ILM - Usul al Fiqh', Mahmud Shalutat: Al Islam, <br />
Aqidah wa Shariah) <br />
<br />
Certain matters are particular to the Prophet (SM) such as the case of <br />
number of wives, marriage without dower, prohibition of remarriage of the <br />
widows of the prophet (sm). The Quran has priority over Sunnah, because of <br />
nature of revelation (wahy zahir over wahy Batin), authenticity and also <br />
because Sunnah is basically and mostly an elaboration of the Quran. In case of <br />
real conflict, the Quran should prevail. Never the Quran was abandoned in <br />
favor of the Sunnah. <br />
<br />
It may be noted that Sunnah in many instances confirms the Quran. There is <br />
no disagreement on this.Sunnah also explains and clarifies the Quran as in the <br />
case of Salat, Zakat, Hajj, Riba and many other matters of transactions.Another <br />
part of Sunnah which is called Sunnah al Muassisah or founding Sunnah (such as <br />
prohibition of marrying paternal or maternal aunt or the right of pre-emption in <br />
property (shuf') cannot be traced in the Quran and originate in the Sunnah. <br />
<br />
It may be noted from 'Usul' books that the experts in Hadith literature at the <br />
stage of collection of Hadith examined all Hadith before recording in their <br />
collections (particularly the claim of transmission from the Prophet [SM] <br />
downward) and classified Hadith into strong (sahih/hasan), weak (daif) and <br />
forged (Mawdu). It is easy for an expert in Hadith to find out the status of <br />
Hadith. Even now re-examination of Hadith literature is continuing. In current <br />
century, Nasiruddin Albani had good work on this subject. Anybody who knows <br />
Arabic well, can look into Albani's works (see also M.M.Azami, Studies in Hadith <br />
methodology, published by American Trust Publications. <br />
Mutawatir Hadith has been considered Qati (definitive) in concept (Mutawatir <br />
bil Ma'na) mostly. There are only a few hadith which are Mutawatir bil Lafz <br />
(Mutawatir word by word). Also note that because of large number of reporters <br />
of Mutawatir Hadith, diversity of residence of the reporters, it is impossible to <br />
concoct a lie in this manner. The main conditions of Mutawatir Hadith are: (a) <br />
large number of reporters (b) reports must be based on direct knowledge and <br />
through sense perception, (c) reporters must be upright, (d) reporters are free <br />
from sectarian or political bias of that time. According to the majority of Ulama <br />
of Usul, the authority of Mutawatir is equivalent to the Quran. It gives positive <br />
knowledge, the denial of Mutawatir Hadith or Sunnah is equivalent to denial of <br />
the Quran. <br />
<br />
<br />
10<br />
Mashhur Hadith is a kind of Hadith, which is reported by one or two <br />
companions, then become well known. The majority of Ulama considered <br />
Mashhur as a kind of Ahad Hadith and it gives speculative knowledge, not <br />
positive knowledge. Ahad Hadith (in most cases reported by a single <br />
companion and which did not become well-known in the 2 or 3 generations) <br />
does not give positive knowledge. Majority of Jurists hold that if Ahad is <br />
reported by reliable reporters, it establishes a rule of law. Some hold acting upon <br />
Ahad is only preferable. Aqidah (beliefs) or Hadud (prescribed punishment) <br />
should not be based on Ahad. (Dr. Hashim Kamali, Principles of Islamic <br />
Jurisprudence, Islamic Texts Society, Cambridge). <br />
<br />
<br />
If a hadith is narrated by a number of narrators and there is additional words <br />
in some of them, then it should be looked into whether the hadith was originally <br />
uttered in one sitting. In that case ,the words narrated by more narrators will be <br />
accepted.. Imam Malik did not rely on Ahad., if it was in conflict with the <br />
practice of Madinah. Most Imams considered Ahad to be authoritative in <br />
principle if reported by reliable reporters. Majority of Ulama do not insist on <br />
verbatim transmission (rewait bil Lafz) of Ahad. Transmission of a part of Hadith is <br />
permitted, if it is not in conflict with the full hadith. <br />
<br />
What is the difference between Muttasil (connected) and Ghair al Muttasil <br />
(disconnected) Hadith? Mutawatir, Mushhur and Ahad are kinds of Muttasil <br />
hadith. Mursal, Mudal and Munqati are various types of Ghair al Muttasil <br />
Hadith. According to majority, Mursal means that a successor (Tabii), narrates a <br />
hadith without mentioning the name of companions. Majority of Ulama of <br />
Hadith do not accept the Mursal as evidence. Imam Ahmad and Imam Shafii <br />
do not rely on Mursal unless reported by famous successor, even then Mursal <br />
have to meet certain conditions as mentioned in books on Usul. Imam Abu <br />
Hanifa and Imam Malik are less stringent in their acceptance of Mursal. Munqati <br />
refers to a Hadith whose chain of narrator has a single missing link somewhere in <br />
the middle of the chain. The Mudal is a Hadith in which two consecutive links <br />
are missing. <br />
<br />
The Hadith has also been classified into Sahih, Hasan and Daif. Hadith is <br />
called Sahih (that is excellent in terms of quality of narrators - not in the sense of <br />
Qati or absolutely correct), if it is reported by Thiqat Sabitun (highly trustworthy) <br />
or by Thiqat (trustworthy) narrator. A Hadith is considered Hasan if among the <br />
narrators are included (apart from the categories of narrators of Sahih hadith) <br />
some persons who are Sadiq(truthful),Sadiq Yahim(truthful but commits error) <br />
and Maqbul(accepted that is there is no proof that he is unreliable).A hadith is <br />
considered Daif if among the reporters are any Majhul person(that is unknown <br />
person in terms of identity or conduct) or if there is any Fasiq(violator of any <br />
important practice) or any liar. <br />
<br />
<br />
<br />
11<br />
4. Interpretation of The Quran and Sunnah <br />
<br />
An important issue in Usul-al-Fiqh is how to interpret the basic sources of <br />
Islam, the Quran and the Sunnah. This would require understanding the Quran <br />
and the Sunnah i.e. their text and meaning of their texts. As such a person who <br />
wants to interpret the Quran and the Sunnah at any level (in depth or otherwise) <br />
would require the knowledge of Arabic language . For this reason Ulama of Usul <br />
include the classification of words and understanding their meaning in the study <br />
of Usul-al-Fiqh. <br />
<br />
Interpretation is not normally attempted if the text itself is self-evident. <br />
However, the greater part of Fiqh or law is derived through interpretation <br />
because most of the legal texts are not self-evident. <br />
<br />
It should be noted that Tawil (interpretation) and Tafsir (explanation) is not <br />
the same thing. Tafsir aims at explaining the meaning of the given text and <br />
deducing a Hukum (rule) from it within the confines of its sentences. Tawil <br />
(interpretation) goes beyond the literal meaning of the text and bring out <br />
hidden meaning, which is often based on speculative reasoning and Ijtihad. <br />
<br />
All words are presumed to convey their absolute (Mutlaq), general (Amm) <br />
and literal (Hakiki) meaning unless departure to alternative is justified. If the <br />
explanation or Tawil of one part of the Quran and the Sunnah is provided in <br />
another part of the Quran and Sunnah, it is called Tafsir Tashrii (explanation <br />
found in the Quran and the Sunnah) that is considered integral part of the law. <br />
However, if Tafsir or Tawil take the nature of opinion or Ijtihad, this is not <br />
considered integral part of the law (the status of this part of law is less than the <br />
first one, there is more difference among jurists on this part of law). Interpretation <br />
(tawil) can be relevant. This type of Tawil is accepted by all. However, <br />
interpretation can be very far-fetched which is not accepted by a majority of <br />
scholar. Zahiri scholars do not normally accept interpretation. However, this <br />
position is weak and impractical. <br />
<br />
Clear words are of four types, according to a major classification. They are Zahir, <br />
Nass, Mufassar and Muhkam. Zahir (manifest) is a word which has a clear <br />
meaning and yet open to Tawil, primarily because the meaning is not in <br />
harmony with the context. Nass is a clear word that is in harmony with the <br />
context, but still open to Tawil. The distinction between Zahir and Nass is whether <br />
the meaning is in harmony with the context or whether the meaning is primary or <br />
secondary in the text concerned. The obvious meaning of Zahir and Nass should <br />
be followed unless there is reason to warrant recourse to Tawil. <br />
Mufassar (unequivocal) and Muhkam (perspicuous) are words whose meaning is <br />
absolutely clear and there is no need to take recourse to Tawil. (Here is the <br />
difference between these words and Zahir and Nass). There is no real distinction <br />
between Mufassar and Muhkam in terms of clarity. However, the jurists have <br />
made a distinction between Muhkam and Mufassar, which one is liable to <br />
<br />
12<br />
abrogation and which one is not. They hold Muhkam is not liable to abrogation <br />
and Mufassar is liable to abrogation. However, there is not much purpose in the <br />
distinction because nothing can be abrogated now. <br />
<br />
Unclear words (Al Alfaz Ghairal Wadiha) are of four types - Khafi (obscure), <br />
Mushkil (difficult), Mujmal (ambivalent) and Mutashabih (the Intricate). <br />
<br />
Khafi is a word whose meaning is partly unclear. For instance the word Sariq <br />
(thief) is unclear as to whether it includes a pickpocket. This has important <br />
implication because if pickpocket is not included (as the majority holds) then, <br />
he would not be liable to Hadd (that is, punishment prescribed in the Quran or <br />
Sunnah) but will be liable to Tazir (punishment prescribed by the legislative <br />
authority in the present day world, punishment given by judges in the past). <br />
Mushkil (difficult) is a word which has several meanings. So Ijtihad and Tawil <br />
would be required in determing the correct position in the context (there may <br />
be difference of opinion in this area). Mushkil is inherently an ambiguous word, <br />
whereas Khafi has a clear basic meaning. A text may become Mushkil in the <br />
existence of conflicting text (see the conflict in verse 4:79 and 3:154 cited by Dr. <br />
Kamali in his Principles of Islamic Jurisprudence). <br />
<br />
Mujmal denotes a word or text which is inherently unclear and gives no <br />
indication as to its precise meaning. It may have several meanings or it may be <br />
unfamiliar word or the lawgiver may not have explained the word to clarify it. . <br />
For instance the words such as Salat Hajj, Riba and Siam. They have lost their <br />
literal meaning and taken a technical meaning given by the lawgiver. However, <br />
these words have become totally clear or Mufassar due to explanations <br />
provided in the Sunnah. The word Al-qariah in the verses 101:1-5 is a mujmal <br />
word. However it has been explained by the Quran itself and has become clear. <br />
If the explanation provided by the lawgiver is insufficient, Mujmal turns into <br />
Mushkil which is open to Ijtihad and Tawil. Mutashabih (Intricate) is a word <br />
whose meaning is a mystery. Harful Muqattaat (such as Alif Lam Mim) are <br />
Mutashabihat. Nobody knows their meaning (please see various opinions <br />
regarding the use of these words in the text books on Usul). Many scholars hold <br />
that passages of the Quran which draw resemblance between man and God <br />
are Mutashabihat. Some scholars hold there is no Mutashabihat except Haruful <br />
Muqattaat. Mutashabihat do not occur in the legal texts. (Please see the Tafsir <br />
“the Message of the Quran by Muhammad Asad, Appendix). <br />
<br />
<br />
From the point of view of scope, words are classified into Amm (General) and <br />
Khass (specific). Amm is basically a word which has a single meaning and which <br />
applies to many things, not limited in number, and it includes everything to <br />
which it is applicable. Insan (human being) 'whoever' (in a conditional speech) <br />
are example of Amm. When the article Al (the) precedes a noun, the noun <br />
becomes Amm. The Arabic expressions Jami (all), Kaffah (all), Kull (all, entire) <br />
when precede or succeed a word, the word becomes Amm. An indefinite word <br />
<br />
13<br />
(al-Nakirah) when used to convey the negative becomes Amm. For instance <br />
the Hadith 'la darar wa la dirar fil Islam (no harm shall be inflicted, no harm shall <br />
be accepted), When a command is issued by Amm words, it shall be applicable <br />
to all it applies. In determining the scope of Amm, reference is made not only to <br />
the rules of the language but also to the usage of the people; and in case of <br />
conflict, priority is given to the latter. Amm can be of 3 types – <br />
<br />
a) Absolutely general [ref. The words "ma min dabbatin" in Hud 11:6] <br />
b) Amm which is meant to imply Khas [Al Imran : 97]. <br />
c) An Amm which has been specified elsewhere [ see Baqarah : 228 <br />
and Ahzab : 49 together, see also usul text books for other examples <br />
and explanations]. <br />
<br />
The word "man" (in Arabic meaning he who) is Khass in application but when <br />
used in conditional speech it becomes Amm. (ref. The Al-Quran - 4 : 92, 2 : 185). <br />
Khass is a word which is applied to a limited number of things but applies to <br />
everything to which it can be applied. The words one, two, one hundred, Dina, <br />
Jannah. Imran, Bobby, a horse, a human being are Khass. Legal rules or <br />
commands conveyed in specific terms are definite in application and are not <br />
normally open to Tawil. There is general agreement that Khass is Qati (definitive), <br />
i.e. it's meaning and application are beyond doubt clear. <br />
<br />
Ulama have differed on Amm, whether it is Qati or Zanni. The majority holds it <br />
to be Zanni, minority holds it to be Qati. The result of this disagreement <br />
becomes clear in the event of conflict between Khass and Amm. In the case <br />
of two rulings on the same point, one Amm and one Khass (in the Quran or the <br />
Sunnah), according to the majority, Khass will prevail over the Amm. Minority <br />
holds that Khass specifies the Amm. <br />
<br />
According to majority, Khass is Qati (Amm is not), as such it will prevail over <br />
Amm. According to minority, Amm is also Qati, and as such, Amm will be <br />
specified by Khass, if the two rulings are chronologically parallel. Khass will be <br />
abrogated if Amm is of later origin. Amm will be partially specified if Khass is of <br />
later origin. According to majority, an Amm (general) proposition may be <br />
specified by a dependent clause which may occur in the same text (same <br />
verse or in another text (another verse). This may be done by introducing an <br />
Istisna (an exception reference - 2 : 282), a Shart (condition, ref. 4 : 12) or Sifah <br />
(quality, ref. 4 : 23) or by indicating extent of application (ghayah, ref. 5 : 6). <br />
<br />
The effect of Amm is that it remains in force unless specified. Even after partial <br />
specification Amm remains legal authority for unspecified portion. According <br />
to the majority Amm is speculative as a whole, whether before or after Takhsis <br />
(limitation) and as such open to Tawil. The cause (Sabab) of general ruling can <br />
not limit the application of the ruling. For instance, Asbab an Nazul (causes of <br />
revelation of verses of the Quran) will not limit the application of law based on <br />
the verse to the cause only. <br />
<br />
14<br />
<br />
Mutlaq and Muqayyid <br />
<br />
Mutlaq denotes a word which is neither qualified nor limited in its application. <br />
When we say a book', it applies to any book without restriction. Mutlaq is <br />
unspecified and unqualified. When Mutlaq word is qualified by another word or <br />
words, it becomes Muqayyad. For instance, 'a red book'. Whereas Amm and <br />
Khass deal with scope of the words, Mutlaq and Muqayyad deal with essentially <br />
qualification (though Mutlaq has resemblance to Amm and Muqayyad has <br />
resemblance to Khass). An example of Mutlaq is "Fa tahriru rakabatin" (freeing a <br />
slave) in Sura Al-Maida (5 : 92). An example of Muqayyad is "freeing of a <br />
believing slave in Sura Nisa (4 : 92). <br />
<br />
Mutlaq remains absolute in application unless there is a limitation to qualify it <br />
When Mutlaq is qualified into Muqayyad, the latter will get priority (see Quran 5 : <br />
3 and 6 : 145). If there are two texts on the issue, one Mutlaq and the other <br />
Muqayyad, if they differ in their ruling and cause, both will operate, neither will <br />
be qualified. This is the majority view. Imam Shafii differs some what. He says that <br />
if the two texts vary in ruling but has the same cause, the Mutlaq will be qualified <br />
by the Muqayyad (see verses 5 : 7 and 4 : 43 of the Quran). Early Hanafi scholars <br />
think that if Mutlaq and Muqayyad differ in their causes, one does not qualify <br />
the other. <br />
<br />
Haqiqi (literal) and Majazi (metaphorical) <br />
Words are normally used in their Haqiqi (literal) sense. Literal will normally <br />
prevail over metaphorical, particularly in law. Most of the Quran is Haqiqi. But <br />
Majazi also occurs in the Quran. For instance, the Quran says in 40 : 13 that <br />
"Allah sends down sustenance from the heavens which in fact means rain" <br />
(other examples, see textbook). <br />
<br />
If the metaphorical (Majazi) meaning becomes dominant, it will prevail over <br />
the literal. For instance the literal meaning of "talaq" (that is release or removal <br />
of restriction) has been abandoned for metaphorical meaning of divorce. <br />
<br />
Haqiqi has sub-divisions of linguistic, customary and juridical (please see the <br />
textbook). Haqiqi and Majazi have been subdivided into "Sarih" and "Kinayah". <br />
<br />
Sarih (plain) is a word where the meaning is plain. You need not ask the <br />
speaker or writer to know the meaning. Kinayah (allusive) is a form of speech <br />
which does not disclose the intention of the speaker, you require further <br />
explanation from the speaker to know the intention. For instance, the use of the <br />
word 'Itaaddi' (start counting). Divorce is not clearly indicated. <br />
<br />
A Mushtarak is a word which has more than one meaning. 'Ayn' in Arabic is a <br />
Mushtarak which may mean eye, water-spring, gold and spy. Plurality of <br />
meaning of Mushtarak may be because of usage or acquisition of metaphorical <br />
<br />
15<br />
meaning over time. The rule in regard to commands and prohibitions of the <br />
Shariah is that the lawgiver does not intend to hold more than one meaning of <br />
the Mushtarak. The Mushtarak is in the nature of Mushkil and it is for the expert <br />
(Mujtahid) to determine the correct meaning in the context (Mujtahids may <br />
differ in this - this happens always with Ijtihad). <br />
<br />
Textual Implications (Al-Dalalah) <br />
There are two major analysis regarding levels of meaning of words and texts, <br />
the Hanafi and Shafii. There is not much difference in essence between the <br />
two. The Hanafi Ulema of Usul have distinguished four levels of meaning - First <br />
level is Ibarah al Nass (the explicit meaning). Ibarah al Nass is obviously <br />
perceptible from the text and also represents the principal theme of the text, if <br />
there are subsidiary themes also. (For example, limiting polygamy is a conclusion <br />
derived by Ibarah an Nass from the verse 4:3). <br />
<br />
Most of the Nasus (legal texts) of Shariah convey their rulings by way of <br />
Ibarah Al Nass. Ibarah Al Nass conveys a Hukm Qati (definitive ruling) on its <br />
own and does not require corroborative evidence. Second level is Isharah Al <br />
Nass. This is an indicative meaning or alluded meaning present in the text. An <br />
example of indicative meaning is the verse 2:236 where it is not clearly said that <br />
marriage can be contracted without prior fixation of marital gift but deeper <br />
investigation suggests so. It may be noted that in any event marital gift has to be <br />
given to wife in terms of verse 4 : 4 of the Quran. <br />
<br />
Third method of deduction is Dalalah Al Nass ( inferred meaning). This is a <br />
meaning derived from the spirit and rationale of a legal text even if it is not <br />
indicated in the text. For instance from verse 17 : 23, we can infer that not only <br />
we can not say "Uff" to parents, we can not use any abusive language. Forth <br />
method of deduction or level of meaning is Iqtida Al Nass (required meaning) <br />
that is a meaning on which the text is silent, yet it must be assumed to fulfil <br />
proper objective. For instance in verse 4: 22, it must be assumed that prohibition <br />
of marriage of mother or daughter means who are mothers or daughters <br />
through marriage. In case of conflict, the first level (Ibarah Al Nass) will take <br />
precedence over second level (Isharah Al Nass) and so on. <br />
<br />
The Shafiis have classified Texual implications into two basic types - Dalalah Al <br />
Mantuq (pronounced meaning) and Dalalah Al Mafhum (implied meaning). <br />
Dalalah Al Mantuq has been divided into Dalalah Al Iqtida (required meaning) <br />
and Dalalah as Isharah (alluded meaning). Dalalah Al Mafhum (implied <br />
meaning) has been subdivided into Mafhum al Muwafaqah (harmonious <br />
meaning) and Mafhum Al Mukhtalifa (divergent meaning or meaning not in <br />
accord with the purpose of text). Shafiis do not accept Mafhum al Mukhtalifa <br />
unless they fulfil six conditions (see Kamali for explanation and examples). They <br />
have also imposed restrictions in regards to Sifah (attribute), Shart (condition) <br />
and Ghayah (extent). <br />
<br />
<br />
16<br />
Hanafi scholars are more opposed to Mafhum Al Mukhtalifa. They do not <br />
accept any meaning which is not in accord with the text or its spirit. They do not <br />
accept it at all in the case of interpretation of the Quran and the Sunnah. <br />
<br />
<br />
<br />
5. Command, Prohibitions and Naskh <br />
<br />
Commands and Prohibitions <br />
A command (Amr) is defined as a verbal demand to do something from a <br />
position of superiority to an inferior. Command (also prohibition) may occur in a <br />
variety of form. <br />
<br />
Command is mostly in imperative mood. In some cases, use of a simple past <br />
tense in Arabic may also indicate command to do something [Sura Baqarah : <br />
178]. A Quranic injunction may occur in a form of moral condemnation (Al-<br />
Baqara : 189). <br />
<br />
Quranic command may be conveyed as a promise of reward or punishment <br />
(Quran - 4 : 13-14). An important question is : What is primary in command, is it <br />
obligation, a recommendation or simple permissibility? (as 'command' may <br />
mean all these). According to the majority, command implies obligation unless <br />
there are clues to suggest otherwise. Some have held that Amr (i.e. command) <br />
is in the nature of Mushtarak or which impart all (obligation, recommendation <br />
and permission) until determined what is primary. Some have held it implies only <br />
obligation or recommendation (Nadb). Some others have held that Amr means <br />
permission to do something. Clearly, the majority opinion is more rational and <br />
justified (that obligation unless proved otherwise). <br />
<br />
Command (Amr) may sometimes mean permissibility. For instance when the <br />
Quran says, "Kulu Washrabu" (eat and drink - ref. 7 : 31), the context suggests <br />
that it is mere permissibility. Similar examples can be seen in verse 5:2 (wa idha <br />
halaltum Fastadu) and 62:10 (Fantashiru fil Ard). A command may convey a <br />
recommendation in some cases (Sura Baqara : 282). A command in a few cases <br />
may indicate threat, i.e. advise to desist from doing a particular thing (ref. 24:33 <br />
and 17:64). A command may imply supplication or prayer also (Ref. Baqara : <br />
286). However command (Amr) mostly means obligation (Farz or Wazib, <br />
depending on whether the text and meaning both are Qati or not.) <br />
<br />
Majority of Ulama hold a command following a prohibition means <br />
permissibility, not obligation (ref. Quran 5:2 and 62:10). According to majority , a <br />
single instance of compliance of the command is an obligation, in the absence <br />
of indications for repeated compliance. When a command is issued in <br />
conditional terms, then it must be complied whenever it (condition) occurs (Ref. <br />
The Quran 5:7). When a command is dependent on a cause or attribute, it must <br />
be fulfilled whenever the cause is present (Ref. Quran 17:18). <br />
<br />
17<br />
As regard immediate or delayed execution of an Amr, it depends on the text <br />
and its indications. If the command does not itself specify time limit (such as the <br />
times of prayers), it may be delayed. As regards whether the command implies <br />
the prohibition (Nahy) of the opposite, the majority thinks so. <br />
<br />
Prohibition (Nahy) is the opposite of command. It is a demand to avoid doing <br />
of something. Prohibition may occur in the form of a statement (ref. Quran 2 : <br />
221) or in the form of an order not to do something (62 : 9; 22 : 30). Nahy may <br />
convey Tahrim (total prohibition) or guidance (irshad) or reprimand (tadib). <br />
Nahy which implies reprehension may be seen in Quran 5 : 87. Nahy which <br />
conveys moral guidance may be seen in Quran 5 : 104. Majority hold that Nahy <br />
primarily implies Tahrim, if there is no other indication to think otherwise. <br />
<br />
If the act (other than Ibadat) is not prohibited in itself but becomes prohibited <br />
because of an extraneous reason, it is Batil (void) according to Shaffi's and <br />
Fasid according to Hanafii's. Batil means, it can not be corrected (there are <br />
many instances where marriage becomes Fasid according to some scholars <br />
and Batil according to other scholars - so is the case of many business <br />
transactions - see a book on marriage or on business in Islamic Law). The <br />
position is different about Ibadat (devotional matters). The Fasid here is <br />
equaivalent to Batil. In other words, there is only Batil, not Fasid in the area. <br />
<br />
Prohibition requires immediate and repeated compliance, whenever the <br />
prohibition is applicable. If the prohibition is conditional, it will be applicable <br />
where the condition is present (Ref. Quran 60 : 10). When a prohibition succeeds <br />
a command, it conveys Tahrim (illegality). <br />
<br />
Explicit (Sarih) injunctions (whether Amr or Nahy) require total compliance. <br />
However, the spirit of the Law should also be kept in view, not only letters (as for <br />
instance in "Fasawila zikrillah" in Quran 62 : 9). Implicit injunctions, unless made <br />
explicit elsewhere, can be understood by scholars and they may differ therein. <br />
The means which lead to observance of command or prohibition are covered <br />
by the same ruling which applies to commands and prohibitions. Only a small <br />
portion of Nasus (texts) gives precise meaning. The larger portion of Nasus have <br />
to be interpreted by Mujtahid or scholars in the light of the general principles <br />
and objectives of Shariah. <br />
<br />
Naskh (Abrogation) <br />
<br />
<br />
Naskh literally means obliteration. Naskh has been defined as the <br />
suspension or replacement of one Shariah ruling by another. Naskh operates <br />
only in law, not in beliefs. Naskh operates only when, (i) two evidences are of <br />
equal strength, (ii) they are present in 2 separate texts, (iii) there is genuine <br />
conflict which can not be reconciled, and (iv) the two texts are of two <br />
timeframe (one is later to the other). <br />
<br />
18<br />
<br />
There are scholars who do not agree that there is abrogation in the Quran <br />
(Ref: Principles of Islamic Jurisprudence by Dr. Hashim Kamali, Chapter on <br />
Naskh). They say that in Ayat 2 : 106 and 16 : 106, reference of "Ayah" is not to <br />
abrogation within the Quran but abrogation of earlier scriptures by the Quran. <br />
They also say that the 'so-called' conflict in the Quran can all be reconciled. <br />
Muhammad Asad has also mentioned in his Tafsir that there is no Naskh in the <br />
Quran. Abdul Hamid Abu Suleman feels that it was wrong on the part of earlier <br />
Ulama to turn Naskh into a doctrine of permanent validity instead of <br />
understanding it as the circumstance of history. (Ref. Islamic Theory of <br />
International Relations, a IIIT's publication). Abu Suleman suggests that Naskh's <br />
application should be limited to clear cases only such as change of Qiblah. <br />
<br />
According to the majority, there is Naskh in the Quran and the Sunnah. <br />
According to majority, Ijma can not abrogate a ruling of the Quran and the <br />
Sunnah. Qiyas can not repeal a text of the Quran or the Sunnah. Abrogation <br />
may be explicit (sarih) or implicit (dimni). According to Imam Shafii, there are <br />
two types of Naskh - (a) Naskh of Quran by Quran and (b) Naskh of Sunnah by <br />
Sunnah. <br />
<br />
According to majority there are 4 types of Naskh : (i) Quran by Quran, (ii) <br />
Quran by Sunnah, (iii) Sunnah by Quran, (iv) Sunnah by Sunnah. There is also <br />
another classification : (i) Naskh al Hukm, (ii) Naskh al Qiraah, and (iii) Naskh al <br />
Hukm Wal Tilwah. Naskh al Hukm means that ruling has been abrogated but <br />
the text remains. Naskh al Qiraah means that the text has been abolished but <br />
the ruling remains. In Naskh al Hukm wal Tilwah, both the text and rulings are <br />
treated as abrogated. Of the above three, Nakh al Hukm has some basis but <br />
the other two have very weak basis. Sayyid Abul Ala Maududi has explained in <br />
his "Rasail wa Masail” (Letters and Issues), why Naskh al Qiraah is not <br />
acceptable? <br />
<br />
There is difference between Naskh (abrogation) and Takhsis (specification or <br />
qualification of a general text). There is no real conflict in Takhsis. Another issue is <br />
whether addition (Tazid) amounts to abrogation. The majority answer is <br />
negative, which is correct. On the whole, I think the views of Dr. Abu Suleman <br />
deserves serious consideration. <br />
<br />
<br />
<br />
6. IJMA (Consensus Of Opinion) <br />
<br />
Ijma is the verbal noun of the Arabic word Ajma'a which has two meanings : <br />
to determine, to agree upon something. Ijma is considered the third proof of <br />
Shariah after the Quran and the Sunnah. As a proof of Shariah, it is basically a <br />
rational proof. An Ijtihad or an Interpretation of one or a few scholars when <br />
becomes universal, becomes Ijma. <br />
<br />
19<br />
<br />
The classical definition of Ijma, as laid down by Ulama of Usul, is categorical <br />
on the point that the universal consensus of the scholars of the Muslim <br />
community as a whole can be regarded as conclusive Ijma. Only such Ijma are <br />
considered binding by early Usuliun (Usul scholars). However universal Ijma are <br />
indeed very few. As evidence show, it is extremely difficult to prove Ijma on <br />
particular issues, particularly in the case of issues open to Ijtihad or tawil. There is <br />
no authentication of Ijma through Isnad (chains of narrators). <br />
<br />
The only form of Ijma upheld by majority is the Ijma of Sahabis only. Majority of <br />
Ulama of Usul think that Ijma can take place on Sharii and devotional (Ibadah) <br />
and dogmatic (Itiqad) matters. For the first time Ijma occurred among the <br />
companions of the Prophet (SM). Ijma initially helped unity of the Ummah the in <br />
some matters. Ijma also ensures correct interpretation as broad consensus is <br />
unlikely to take place on incorrect matter. Ijma also enhances the authority of <br />
the rule on which there is Ijma. Unanimity of Ulama on an issue of a particular <br />
time is a requirement of Ijma. The agreement must be expressed by clear <br />
opinion of all scholars of the time. Ijma must consist of the agreement of all <br />
majtahidun. Though many Ulama consider majority to consist Ijma. <br />
<br />
Any agreement of majority can be a proof but can not be a binding proof <br />
because to be binding, it must fulfill the conditions stated in the Ahadith quoted <br />
in support of Ijma (which is nothing short of Ijma of all people, at least all <br />
scholars.) There is no good ground to exclude any scholar of any school of <br />
Islam, as long as the school or group itself is not considered outside Islam by the <br />
Muslims. <br />
<br />
The Ulama have on the whole maintained that the textual evidence in <br />
support of Ijma does not amount to conclusive proof. The Ayats quoted in <br />
support of Ijma (4:59, 4:83; 4:115, etc.) are not conclusive for Ijma. Imam Gazali <br />
says these Ayats are indications, not clear Nass on Ijma. Suyuti's interpretation is <br />
the same. Abduh does not find any Ijma in these Ayat. Al Amidi says, "these give <br />
rise to probability (Zann), not positive knowledge".(Ref; Dr. Hashim Kamali, <br />
Principles of Islamic Jurisprudence, Islamic Texts Society, Cambridge, U.K). <br />
<br />
About 10 Ahadith are quoted in support of Ijma. Ahmed Hassan observes <br />
that these hadith are inconclusive on Ijma (Ref: Prof. Ahmad Hasan: The <br />
Doctrine of Ijma in Islam). A number of Ulama (including Shafii and Mutazila <br />
scholars) have said that Ijma of classical definition is not feasible because of the <br />
huge number of the Ummah or its scholars or distances. It is for this reason that <br />
Imam Shafii confines the occurrence of Ijma to the obligatory duties only. For the <br />
same reason, Zahiris and Imam Ahmad refer by Ijma to the consensus of <br />
companions only. <br />
<br />
Abdul Wahab Khallaf is of the view that Ijma of classical definition is no longer <br />
possible in modern times (because of huge number of scholars spread over <br />
<br />
20<br />
continents). Khallaf is right. Old style Ijma is no longer possible. You can have <br />
only local Ijma, which is useful in lawmaking through Parliament but they can not <br />
be (by definition) binding forever. <br />
<br />
Ijma are of two types - Ijma al Sarih (explicit Ijma) and Ijma al Sukuti (Ijma by <br />
silence). Ijma Sukuti (which occurs when one or a few scholars agree on <br />
something and no dissent is known) is not a proof according to a majority of <br />
scholars. According to the majority Ijma must be founded in a Textual authority <br />
(Quran and Sunnah). There are 3 views on whether Qiyas can be a basis of Ijma <br />
or not . Some agree, some disagree, some partially agree (Dr. Hashim Kamali, <br />
Principles of Islamic Jurisprudence). <br />
<br />
Ijma can be transmitted by Ahad or Mutawatir report of scholars. There is no <br />
Mutawatir report of Ijma except those of Ijma of companions. Iqbal gives a <br />
proposal to transfer performance of Ijma to the legislative assembly, which is <br />
only possible form of Ijma in modern times. Iqbal is right. His ideas require <br />
acceptance. However, such Ijma can not be of universal validity nor can it be <br />
considered binding (unless made into a local law - which then remains valid until <br />
revoked). In conclusion we can say that Ijma can be of limited use only in future. <br />
Qiyas, Istihsan, Maslaha are more important in future. <br />
<br />
<br />
7. QIYAS (Analogical Deduction) <br />
<br />
Literally Qiyas means measuring or ascertaining the length, weight or quality <br />
of something. Qiyas also means comparison to establish equality or similarity <br />
between two things. In the language of Usul, Qiyas is the extention of a Shariah <br />
ruling from an original case (Asl) to a new case (Far') because the new case has <br />
the same effective cause (Illah) as the original case. <br />
<br />
The original case is regulated by a text of the Quran or the Sunnah and Qiyas <br />
seeks to extend the original ruling to the new case. The emphasis of Qiyas is <br />
identification of a common cause between the original and new case. Jurists <br />
do not consider law derived through Qiyas as a new law. However, for all <br />
practical purposes , Qiyas leads to new ruling on a different matter. <br />
<br />
Qiyas is a methodology developed by jurists through which rulings in new <br />
areas are kept close to the Quran and Sunah because new rulings are based on <br />
the Illah (causes) discovered in the legislation of the Quran and Sunnah. Rulings <br />
on new areas could diverge a lot, if Qiyas was not applied. This is a major <br />
justification for validity of Qiyas. <br />
<br />
Qiyas is a rationalist doctrine (because intellect is largely used to find out the <br />
Illah), but in Qiyas personal opinion (Ra'y) is kept subservient to divine revelation <br />
(in that Illah is discovered from the text of the Quran and the Sunnah). Qiyas <br />
does not change any law of the text (Quran or Sunnah) for expediency. Qiyas <br />
<br />
21<br />
as a methodology means that the jurists accept that the rules of Shariah follow <br />
certain objectives (Maqasid) which are in harmony with reason. Zahiris (a group <br />
of literalist scholars) do not accept Qiyas. However, majority is right on this point. <br />
<br />
Qiyas does not give rise to certainty. Qiyas is therefore speculative. Law <br />
derived through Qiyas can not be of same authority as that of textual ruling (of <br />
Quran or Sunnah). There can be difference of opinion on the law derived <br />
through Qiyas, as is the case with almost all Ijtihadi law. The essential <br />
requirement of Qiyas are Asl (original case, on which a ruling has been given), <br />
Hukm (ruling on the original), Illah (cause of ruling in the original case) and Far' <br />
(new case on which ruling is to be given). In the case of prohibition of wine <br />
drinking (Maida : 90) if it is to be extended to narcotic drugs. The requirement of <br />
analogy would be fulfilled in the following manner. <br />
<br />
Asl Far' Illah Hukm <br />
Wine drinking <br />
Taking narcotic <br />
drugs <br />
In toxicating <br />
Effects <br />
Prohibition. <br />
<br />
One condition of Asl (the subject matter of original ruling) is that the Quran <br />
and Sunnah are the source the Asl (many scholars do not consider Ijma to be <br />
basis of Asl). According to majority, one Qiyas can not form Asl of another Qiyas. <br />
However, Maliki jurist Ibn Rushd thinks a Qiyas can be basis for another Qiyas. <br />
Modern jurists Abu Zahrah and Muhammad Al Zarka agree. Minority seems to be <br />
right as long as it does not contradict Nusus (clear texts or rulings) of the Quran <br />
and Sunnah. <br />
<br />
Conditions pertaining to Hukm (a ruling in the original case) are : <br />
<br />
a) It must be a practical Sharii ruling (Qiyas does not operate in the area of <br />
belief). <br />
b) Sharii ruling must not be an abrogated one, <br />
c) The Hukm must be amenable to understanding through human intellect. <br />
Hukm must not be limited to exceptional situations (in that case it can not <br />
be basis of Qiyas, such as the prohibition of marriage of widows of the <br />
Prophet (SM) with others). Qiyas is operative or extendable in Hadud <br />
(prescribed penalties), according to majority. <br />
<br />
New case on which ruling is to be given (Far') must not be covered by Nasus <br />
(texts). Qiyas ma'al tariq (analogy with discrepancy) is not permitted. <br />
The effective cause (Illah) must be : <br />
<br />
a) Munasib (proper, according to Mujtahid or scholar of Fiqh) <br />
b) It must be a constant attribute (mundabit) <br />
c) It must be evident <br />
According to majority, Illah must be muta'addi (that is transferable to other <br />
cases). Some hold different view with regard to Tadiyah (tranferability). The <br />
<br />
22<br />
effective cause must not run counter to Nasus. The effective cause may be <br />
clearly stated in the nass (text) but such cases are not many (Ref. Quran : 4:43 , <br />
59:7). <br />
<br />
Arabic expression such as Kay-la (so as not to), li ajli (because of ), li (for), fa <br />
(so), bi (because), anna, inna, also indicate Illah in many cases (Ref. 5:38, 4:34). <br />
The word "Sabab" (cause) is also used as a substitute for Illah. However, some <br />
scholars make distinction between the two. The distinction is not substantive or <br />
even clear. However, Illah has become popular in usage. <br />
<br />
When the Illah is not clearly stated in the nass, it is the duty of the Mujtahid to <br />
find out the Illah (reason) for the ruling of the text through Ijtihad. This is done by <br />
a 2-stage process. The starting point is "Takhrij al manat" (extracting Illah - manat <br />
is another word for Illah). <br />
<br />
Now Illah for a ruling may appear to be a few instead of one. In that case <br />
the Mujtahid proceeds to eliminate the improper Illah and find out the proper <br />
(munasib) Illah. This process is called tanqih al manat (isolating the Illah). <br />
<br />
Tahqiq al manat consists of investigation of the presence or otherwise of Illah <br />
in the new case (far') where the ruling is to be extended. (whether analogy can <br />
be extended to pick-pocket from thief or whether herbal drink has the same <br />
Illah as wine). <br />
<br />
One classification of Qiyas is (a) Qiyas-al-awla, (b) Qiyas-al-musawi and (c) <br />
Qiyas-al- adna. Qiyas al-awla (superior Qiyas) means where the effective cause <br />
is nore evident in the new case (far') than the original case (asl). [Ref. 17:23]. In <br />
Qiyas-al-musawi (analogy of equals), Illah is present in Asl and Far' equally (Ref. <br />
Quran- 4: 2 ). In Qiyas-al-adna (analogy of inferior), Illah in Far' is present less <br />
clearly than the original case (Asl). This Qiyas also is accepted by Usulian. <br />
<br />
There is another classification of Qiyas into Qiyas jali (obvious analogy) and <br />
Qiyas Khafi (hidden analogy). Qiyas is accepted by majority including 4(four) <br />
Sunni schools and Zaydi Shias. Proofs of Qiyas are in verse 59:2 of the Quran, <br />
indications in verses 4:105, 2:79 and 59:7. Sunnah also supports Qiyas in that <br />
Ijtihad has been referred to in Sunnah and Qiyas is the most important method <br />
of Ijtihad (see Dr. Hashim Kamali’s book Principles of Islamic Jurisprudence on <br />
Proof of Qiyas, see also discussion under "Talil" in the Chapter on Quran). <br />
<br />
Arguments against Qiyas have been put forward by mainly Zahiri school. They <br />
contend that Quran 6:89 ('we have neglected nothing in the Quran') is against <br />
Qiyas. They also say, Qiyas is based on Illah which is based on conjecture. They <br />
also say Quran 49:1 is against Qiyas. All these are very weak arguments and <br />
most of Ummah could not accept them. Majority hold that Qiyas is applicable <br />
in Hadud (prescribed penalties). Hanafis say that Qiyas is applicable to "Tazir" <br />
penalties (penalties which have been laid down by Parliament/Courts - not by <br />
<br />
23<br />
Quran and Sunnah specifically) but not to Hadud (punishments prescribed in the <br />
Quran and the Sunnah). Hanafi opinion in this regard is more cautious. <br />
<br />
Qiyas is redundant where Nass is there, according to majority. Some hold that <br />
Qiyas (which is speculative) can specify or qualify speculative of the Quran and <br />
the Sunnah. Some Ulama hold that Qiyas can take priority over Ahad hadith, if <br />
Qiyas is supported by other strong evidence. Qiyas will continue to be a major <br />
instrument of Ijtihad in future, along with Istihsan and Maslaha. <br />
<br />
<br />
<br />
8. REVEALED LAWS PRIOR TO SHARIAH OF ISLAM & FATWA OF SAHABA <br />
<br />
Revealed Laws Prior to Shariah of Islam <br />
<br />
Islam believes that all truly divine laws emanate from Almighty Allah (Ref. <br />
Quran - 42:13) The Quran contains that the Torah was a source of guidance <br />
(Maida 5:44). The question is what it means in terms of source of law after the <br />
revelation of the Quran. The general rule to be stated is that laws revealed <br />
before Islam are not applicable to the Muslims (except as mentioned <br />
hereunder) <br />
<br />
The Ahkam (laws) of Islam (Shariah) is self-contained. The rules of Shariah <br />
should not be sought in other religion because the rules of other religions do not <br />
constitute binding proof for the Muslims. <br />
<br />
The Quran refers to the previous Shariah in three forms : <br />
<br />
(a) The Quran may refer to the previous Shariah and make it also <br />
obligatory on the Muslims. For instance, fasting was prescribed on <br />
the earlier nations and has also been prescribed for Muslims <br />
(Baqarah - 2:183). Such rulings of the previous Shariah are parts of <br />
Islamic Shariah <br />
(b) Secondly, the Quran (or Sunnah) may refer to a ruling of previous <br />
Shariah and may abrogate it. For instance, some restrictions on <br />
food on the Jews have been withdrawn from the Muslims in the <br />
Quran (Ref. 6 : 146) Muslims can not follow previous Shariah in <br />
these respects. <br />
(c) Thirdly, the Quran may mention a ruling of the previous Shariah <br />
without mentioning whether it is upheld or abrogated. (for instance <br />
Maida- 5:35, 5:48). Majority of Jurists consider these to be part of <br />
Shariah of Islam which should be followed. Minority does not <br />
accept this position. Majority position is correct in this respect <br />
according to Dr. Hashim Kamali. <br />
<br />
<br />
<br />
24<br />
Fatwa of Sahaba (companion of the Prophet, SM) <br />
<br />
Fatwa (opinion or ruling) of Sahaba is indeed a very important and deserves <br />
highest consideration, they being close to the Prophet (SM) and because of <br />
their direct knowledge from the Prophet (SM). There is some disagreement as to <br />
who is a Sahabi. Majority hold that anybody who met the Prophet (SM) while <br />
believing, is a Sahabi. Minority hold that "Suhbat" (continuity of companionship) <br />
is a requirement to call a person a Sahabi of the Prophet (SM) [Imam Shawkani, <br />
Irshad; also Dr. Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, Islamic Texts <br />
Society, Cambridge, U.K.]. Both points of view have justifications and can not be <br />
ignored. The fact of being Sahabi can be established by continuous testimony <br />
(tawatur) or by affirmation of any other companion or even by own claim (if the <br />
person is upright). <br />
<br />
Fatwa of Sahaba means an opinion reached by a Sahaba by way of Ijtihad. As <br />
regards whether fatwa of Sahaba constitute a proof on succeeding <br />
generations, there are three views : First view is that - it is an absolute proof. The <br />
proponents of this view quote the Quranic verses 9:100, 3:109. They also quote <br />
Hadith like "my companions are like stars" or “Honour my companions". First view <br />
is held by Imam Malik. Imam Shafii and Ahmad Bin Hanbal also have been <br />
quoted in its support. <br />
<br />
Against this view, it has been suggested that these references speak of the <br />
status and dignity of Sahaba. These are not categorical (Qaati) regarding <br />
compulsion to obey their decisions). Second view is - that Ijtihad of a <br />
companion is not a proof and does not bind the succeeding generations. <br />
Hanafi jurist Abul Hasan al Karkhi, Imam Ahmed (according to one view of him) <br />
and Asharite and Mutazilite scholars hold this view. They quote the Quranic Ayat <br />
59 : 2 ("Consider, O You who have vision"). It is argued that the Ayat makes <br />
Ijtihad an obligation of all who are competent and makes no distinction <br />
between Sahabis and others. Imam Gazali and Amidi consider it preferred view. <br />
To me this is the appropriate view. <br />
<br />
Third view is that of Abu Hanifa himself. He says that ruling of a companion is <br />
a proof if it is in conflict with Qiyas but not when it agrees with Qiyas. The <br />
aforesaid are the main views. There are some other views which may be seen in <br />
the books of Usul. <br />
<br />
It can be concluded that the Fatwa of a companion is a source of guidance <br />
which merits careful consideration (though not binding except in case of their <br />
clear Ijma). <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
25<br />
<br />
9. ISTIHSAN AND MASLAHA <br />
<br />
<br />
<br />
Istihsan literally means to deem something preferable. In its juristic sense, <br />
Istihsan is a method of exercising personal opinion (ray) in order to avoid any <br />
rigidity and unfairness that might result from literal application of law. Istihsan as <br />
a concept is close to equity in western law. However equity in western law is <br />
based on natural law, whereas Istihsan is essentially based on divine law. <br />
<br />
Istihsan is not independent of Shariah, it is integral part of Shariah. Istihsan is <br />
an important branch of Ijtihad, and has played a prominent role in adaptation <br />
of Islamic law to the changing needs of society. Istihsan has been validated by <br />
Hanafi, Maliki and Hanbali jurists. Imam Shafii, Shii and Zahiri Ulama have <br />
rejected it as a method of deduction. However, in effect, majority have <br />
accepted Istihsan. <br />
<br />
It has been mentioned that decision of Umar Bin Khattab to suspend "hadd" <br />
penalty (penalty prescribed by the Quran and Sunnah) of amputation of hand <br />
during famine is an example of Istihsan. Here positive law of Islam was <br />
suspended as an exceptional measure in an exceptional situation. A major jurist <br />
Al-Sarakhsi considers Istihsan as a method of seeking facility and ease in legal <br />
injunctions and is in accord with the Quran (2:185). Kamali says that companions <br />
(Sahabi) and successors (Tabiun) were not merely literalist. On the contrary, their <br />
rulings were often based on their understanding of the spirit and purpose of <br />
Shariah. Dr. Hashim Kamali gives a new example. Oral testimony was the <br />
standard form of evidence in Islamic law. However, now in some cases <br />
photography, sound recording and laboratory analysis have become more <br />
reliable means of proof. Here is a case of Istihsan by which method we can <br />
prefer these means of proofs over oral testimony in many cases. (Dr. Hashim <br />
Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, Islamic Texts Society, Cambridge, <br />
UK). <br />
<br />
Hanafi jurist Abul Hasan al Karkhi defines Istihsan as a principle which <br />
authorizes departure from an established precedent in favor of a different ruling <br />
for a stronger reason. The Maliki jurists are more concerned with Istislah <br />
(consideration of public interest) than Istihsan. They validate Istihsan as more or <br />
less similar to Istislah or as a part of Istislah. <br />
<br />
There is no Qati (definitive) authority for Istihsan in the Quran and the Sunnah. <br />
However, verses 34:18 and 39:55 of the Quran have been quoted in support. <br />
Similarly a very famous Hadith : "La darara wa la dirara fil Islam" [no harm shall <br />
be inflicted or tolerated in Islam] has been quoted in support. Istihsan is closely <br />
related to 'ray' (opinion) and Qiyas (analogical deduction). Both in Qiyas and <br />
Istihsan, 'ray' is an important component, more heavily in case of Istihsan. <br />
<br />
26<br />
<br />
Sahabis were careful not to apply 'ray' at the expense of Sunnah. Ahlal <br />
Hadith mostly avoided using 'ray'. Most Fuqaha on the other hand liberally used <br />
'ray' in deducing law and they came to be known as "Ahlur Ray". <br />
<br />
Many hold that one kind of Istihsan is essentially Qiyas Khafi (Hidden analogy). <br />
They think that Istihsan is a departure from Qiyas Jali (obvious analogy) to Qiyas <br />
Khafi. There is another form of Istihsan in which exception is made to the general <br />
rule for the sake of equity and justice on the basis of some 'nass' (textual <br />
evidence), approved custom, darurah (necessity) or Maslaha (public interest). <br />
<br />
Al-Shafii has criticized Istihsan on the basis of Quranic verses 4:59 and 75:36. <br />
However, these verses are not categorical on the issue of Istihsan. Al-Ghazali <br />
has criticised Istihsan but stated that Shafii's recognize Istihsan based on the <br />
Quran and the Sunnah. Al-Amidi ( a Shafii jurist) has stated that Al-Shafii also <br />
resorted to Istihsan. Modern jurists have stated that the essential validity of <br />
Istihsan is undeniable. Progress of Islamic law largely depends in the modern <br />
times on this source. <br />
<br />
<br />
Maslahah Mursalah <br />
<br />
Maslahah literally means benefit or interest. When qualified as Maslahah <br />
Mursalah it refers to unrestricted public interest. Maslahah Mursalah is <br />
synonymous with Istislah which is also called Maslahah Mutlaqah. Al Ghazali <br />
thinks Maslahah consists of considerations which secure a benefit or prevent a <br />
harm. Protection of life, religion, intellect, lineage and property is Maslahah. <br />
<br />
On the basis of Maslahah, the companions decided to issue currency, to <br />
establish prisons and impose Kharaj (agricultural land tax). The Ulama of Usul are <br />
in agreement that Istislah is not a proof in respect of devotional matters <br />
(Ibadah) and in respect of specific Shariah injunctions like shares of inheritance. <br />
The majority of Ulama maintain that Istislah is a proper ground for legislation. Al-<br />
Shatibi points out that this is the purpose of Quranic Ayat No. 107 of sura Al <br />
Anbiya that "We have not sent you but as a mercy for all creatures". There is <br />
support for Maslahah in the Quran in Sura Younus (10:7), in Sura Hajj (22:78) and <br />
in Sura Al-Maidah (5:6). <br />
<br />
The Ulama have quoted a number of Hadith in support, such as the following <br />
: (a) "No harm shall be inflicted or tolerated in Islam". (b) "The Prophet (SM) only <br />
chose the easier of two alternatives so long as it did not amount to a sin". (c) <br />
"Allah loves to see that His concessions (rukksah) are observed, just as He loves <br />
to see that His strict laws (azaim) are observed". The above would confirm that <br />
no unnecessary rigour is recommended in the enforcement of Ahkam and that <br />
the Muslims should avail of the flexibility and concessions of Shariah. <br />
<br />
<br />
27<br />
All the Khulafa-I-Rashidun acted in pursuance of Maslahah. Abu Bakr (RA) <br />
compiled the Quran. Umar (RA) held his officials responsible for abuse of public <br />
office. Usman (RA) distributed the authenticated copy of the Quran and <br />
destroyed the copies of variant texts. Ali (RA) held the craftsmen and traders <br />
responsible for the loss of goods that were placed in their custody. <br />
<br />
Maslahah has been upheld by the majority of Ulama. However, strong <br />
support for it comes from Imam Malik. Maslahah has been divided into three <br />
types by Shatibi and some other scholars - (a) essentials [daruriyyat], (b) the <br />
complementary [hajjiyat]and (c) beautifications [tahsiniyaat] (Ref: Shatibi: Al-<br />
Muwa fiqat). From the point of view of availability or otherwise of textual <br />
authority, Maslahah has been further sub-divided into the following : <br />
<br />
(a) Al-Maslahah al-Mutabarah [accredited Maslahah] which has <br />
been upheld in the Shariah such as defending the right of <br />
ownership by penalizing the thief. <br />
(b) Maslahah Mursalah is that which has neither been upheld nor <br />
nullified by the Shariah such as provision in law in many Muslim <br />
countries for documentary evidence to prove marriage or <br />
ownership of property. <br />
(c) Maslahah Mulgha which has been nullified either explicitly or by <br />
indications in Shariah. <br />
<br />
To validate Maslahah the following conditions have to be met : a) Maslahah <br />
must be genuine, (b) Maslahah must be general (Kulliyah) - that is it secures <br />
Maslahah for all. (c) it must not be in conflict with clear Nass. In his book <br />
"Masalih al Mursalah", Al Tufi maintains that except for Ibadah (devotional <br />
matters) or specific Shariah injunctions, Masalih (plural of Maslahah) should take <br />
precedence over other proofs. However, this view is not held by majority. <br />
<br />
As regards relation among Qiyas,- Istihsan and Istislah, - it may be stated that <br />
Qiyas and Istihsan are essentially based on Illah in the Nasus (hidden or obvious). <br />
Law is expanded by Qiyas or Istihsan on the basis of Illah of Nasus. But when law <br />
can not be made on the basis of Nasus or through Qiyas and Istihsan, law is <br />
made on the basis of Maslahah or public interest. A group of scholars have <br />
seriously disagreed with Maslahah. But they are a minority and their arguments <br />
are not very solid. To meet the new situations in the changing world, Maslalah is <br />
a major instrument in the hands of jurists of Islam.(Ref: Islamic Jurisprudence: Dr. <br />
Hashim Kamali, Islamic Texts Society, Cambridge, U.K.) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
28<br />
<br />
10. Urf and Istishab <br />
<br />
URF (Custom) <br />
<br />
Urf (custom) is defined in Usul as "recurring practices which are acceptable to <br />
people of sound nature. Urf and its derivative 'Maruf' both occur in the Quran, <br />
mostly in the sense of "good" (as opposed to "bad or evil"), adherence to Allah's <br />
injunctions (The Quran - 3:110; 7:199). However, "Urf" has been used in the sense <br />
of custom also in some places in the Quran (Ref. 2:233 with regard to <br />
maintenance of children). <br />
<br />
The Shariah, therefore, has in principle approved custom in determination of <br />
rules regarding 'halal' and 'haram'. Fuqaha also adopted Urf in the <br />
determination of the Ahkam of Shariah. The rules of Fiqh which are based on <br />
juristic opinion (ray) or Ijtihad have often been formulated in the light of <br />
prevailing custom. It is therefore permissible to depart from them if the custom <br />
on which they were founded changes in the course of time. <br />
<br />
A rule propounded by some Fuqaha (Suyuti and Sarakhsi) is that "what is proven <br />
by Urf is alike that proven by Shariah". This was adopted by Turkish Khilafat in Al-<br />
Majallah (a major book of codification of law). However, this rule is applicable in <br />
the case of Urf of the Muslim nations and when the Urf is not in conflict with the <br />
rules, essence and spirit of Shariah. Urf of non-Muslim societies must be very <br />
carefully examined. <br />
<br />
Customs which were prevalent in Arabia in the lifetime of the Prophet (SM) <br />
and which were not over-ruled by the Prophet (SM) are treated to have <br />
received his tacit approval and considered as a part of Sunnah taqririyyah. An <br />
example of this is payment of Diat (compensation for murder) to the family of <br />
murdered by "Aqilah" (male kinsmen of the murderer - female relations have no <br />
obligatory liability in this regard, they can, however pay, if they want), where <br />
payment of Diat has been agreed upon. For seeing the rules of Qiyas and Diat, <br />
refer to some Islamic law books. (For instance the Pakistani Act on Qisas and <br />
Diat) <br />
<br />
The following are the conditions of Urf : <br />
<br />
(a) It must be common and recurrent. <br />
(b) Urf must be in practice at the time of transaction, i.e. past Urf is no <br />
basis. <br />
(c) Custom or Urf must not violate the nass or clear stipulation of the <br />
Quran and the Sunnah. <br />
(d) Custom must not contravene the terms of a valid agreement (valid <br />
according to Shariah) <br />
<br />
<br />
29<br />
There is difference between Urf and Ijma. Urf is essentially a local or national <br />
practice whereas Ijma is an agreement of Ulama across places and countries. <br />
There are other differences which are not substantial in character. [See Dr. <br />
Hashim Kamali’s Principles of Islamic Jurisprudence]. Urf has been sub-divided <br />
into Qawli (verbal) and Fiili (actual). Verbal Urf consists of agreement of people <br />
on the meaning of words. As a result the customary meaning becomes <br />
dominant meaning and literal meaning is reduced to the status of an exception. <br />
Actual Urf is the practice of the people. <br />
<br />
Urf Qawli and Urf Fiili are both sub-divided into two further types : <br />
<br />
a) Al-Urf-al amm or practice of all people everywhere (such Urf is almost <br />
non-existent). <br />
b) Al-Urf-al Khass is the practice of a particular country or locality or <br />
some places. This is the Urf with which Usul is mostly concerned. <br />
<br />
Urf has also been classified as Urf al Sahih (valid Urf - valid according to the <br />
Quran and the Sunnah) and Urf-al-Fasid (disapproved Urf, not valid according <br />
to the Quran and the Sunnah). <br />
<br />
Dr. Jamal Badwai has divided Urf into 3(three) types - positive, neutral and <br />
negative. An example of positive Urf is generosity or hospitality. A neutral Urf is <br />
preference for particular diet of a particular place. A negative Urf is a tradition <br />
which goes against Islamic law and teaching. Dr. Jamal mentions that if a local <br />
custom is negative, then it must be rejected. (Ref. : Dr. Jamal Badawi, Islamic <br />
teaching Course, Lecture No. G-23). <br />
<br />
Urf as a source of Islamic law is quite sensitive. In this area, we should depend <br />
on the views of the majority of senior scholars. Urf has been justified on the basis <br />
of Quranic Ayats 22:78, and 7:199, but these verses are not Qati in this respect. <br />
Some traditions have also been quoted in support (Ref: Dr. Hashim Kamali, <br />
Principles of Islamic Jurisprudence) but these are also not clear evidence in <br />
support. Urf is not an independent proof on its right. However, it can play useful <br />
part in interpreting and implementing Islamic law. It is also noted that the rise of <br />
codified statutory legislation in modern states, has to some extent reduced the <br />
need for Urf. <br />
<br />
As we have noted earlier, rules based on Urf are liable to be changed. In <br />
future also rules based on Urf or Ijtihad will continue to change, where needed. <br />
<br />
In conclusion, I will say that Urf is no longer an important proof or source of <br />
Islamic law. However, it may help sometimes in understanding, interpretating, <br />
and implementing Islamic law. A very cautions approach should be taken in this <br />
regard. <br />
<br />
<br />
<br />
30<br />
Istishab(Presumption) <br />
<br />
Istishab literary means courtship or companionship. In Usul-al-Fiqh, Istishab <br />
means presumption of existence or non-existence of facts. It can be used in the <br />
absence of other proofs (dalil) of Shariah. <br />
<br />
It has been validated by a large member of scholars, though not all. In its <br />
positive sense, Istishab presumes continuation of a fact (marriage or a transfer of <br />
ownership) till the contrary is proved. However, the continuation of a fact would <br />
not be proved, if the contract is of temporary nature (for instance, Ijara or <br />
lease). Istishab also presumes continuation of negative. <br />
<br />
Because of its basis in probability, Istishab is not a strong ground for deduction <br />
of the rules of Shariah. Hence when it comes in conflict with another proof (dalil) <br />
the latter takes priority. Istishab is of four types : <br />
<br />
a) Presumption of original absence (Istishab al-adam al-asli) which <br />
means that a fact or rule which had not existed in the past is <br />
presumed to be non-existent. <br />
b) Presumption of original presence (Istishab al-wujud al-asli). This <br />
means that the presence of that which is indicated by law or reason <br />
is taken for granted. For instance, a husband is liable to pay "Mohr" <br />
by virtue of existence of a valid marriage. <br />
c) Istishab al-hukm which presumes the continuity of general rules and <br />
principles of law. For instance when there is a ruling in the law <br />
(whether prohibitory or permissive), it willl be presumed to continue. <br />
d) Istishab al-wasf (continuity of attribute) means to presume continuity <br />
of an attribute until the contrary is established (for instance, clean <br />
water will be continued to be treated as clean water). <br />
The Ulama of Usul are in general agreement on the first three types of Istishab. <br />
There is more disagreement on the fourth. <br />
<br />
Some important legal maxims have been founded on Istishab, such as : <br />
<br />
a) Certainty can not be disproved by doubt (Al-Yaqin la Yazul bil <br />
Shakk)/ <br />
b) Presumption of original freedom from liability (bara'ah al-dhimmah <br />
al-asliyyah). <br />
<br />
Hasan Turabi, the famous jurist in his book "Tajdid Al Fiqh Al-Islami" highlighted <br />
the significance of Istishab. He thinks that it has the potential of incorporating <br />
within its scope the concept of natural Justice and approved customs and <br />
mores of society. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
31<br />
11. Sadd al Dharai and Hukm Sharii <br />
<br />
Sadd al Dharai (Blocking the means) <br />
<br />
Dharai is the plural of Dhariah which signify means. Sadd means to block. In <br />
Usul, it means blocking the means to evil. Sadd al Dharai is often used when a <br />
lawful means is expected to produce an unlawful result. <br />
<br />
The concept of Sadd al-Dharai is founded on the idea of prevention of evil <br />
before it materializes. There are examples of Sadd al-Dharai in the Quran (for <br />
instance, 6:108; 2:104). The means must conform to the ends (objectives of <br />
Shariah) and ends must prevail over the means. If the means violate the <br />
purpose of Shariah, these must be blocked. The purpose (Maqasid) of Shariah <br />
are identifiable from the texts. <br />
<br />
A general principle has been adopted by jurists that 'preventing harm takes <br />
priority over securing a benefit'. As such means, if they lead to evil, these must <br />
be rejected. Authority for Sadd al-Dharai is also found in Sunnah. Prophet (SM) <br />
forbade a creditor to take a gift from debtor (as it could lead to taking of <br />
interest). He(SM) also forbade killing of hypocrites (as it could lead to dissention <br />
within community, also lead to wrongful killing on suspicion). <br />
<br />
Despite the aforesaid, the Ulama of Usul are not in agreement over Sadd al-<br />
Dharai. Some accept it - some do not accept it. However, Shatibi is of the <br />
opinion that most Ulama have accepted it in principle, they differ only in <br />
application. Abu Zahra is also of the same opinion. (Ref: Dr. Hashim Kamali; <br />
Principls of Islamic Jurisprudence). <br />
<br />
Dharai have been divided into the following four types from the point of view <br />
of their probability of leading to evil ends: <br />
a) Means which definitely lead to evil. Such means are totally forbidden. <br />
b) Means which are most likely to lead to evil and rarely leads to <br />
benefit. Examples of this are selling weapons during war time and <br />
selling grapes to a wine-maker. Most Ulama have invalidated such <br />
means. <br />
c) Means which frequently lead to evil, but there is no certainty or even <br />
dominant probability. Ulama differ widely on the illegality of such <br />
means. <br />
d) Means which rarely lead to evil. Examples are digging well in a place <br />
which is not likely to cause harm or speaking a word of truth to a <br />
tyrannical ruler. Ulama have ruled in favour of permissibility of these <br />
means. <br />
<br />
Sadd al-Dharai should not be used too much, particularly in the 3rd category <br />
stated above. Such use would render the "mubah" (lawful) and the Mandub <br />
(recommended) unlawful which can not be accepted. <br />
<br />
32<br />
<br />
Ibnul Arabi and Abu Zahra are in favour of moderation in its use. People of <br />
extremist tendencies can use sadd al-Dharai to restrict human freedom granted <br />
by Allah and the Prophet(SM) which is not good for the Ummah. <br />
<br />
<br />
Value of Shariah Rules (Hukm Sharii) <br />
<br />
Hukm Sharii is the communication from the lawgiver (Allah and the <br />
Prophet[SM] on the authority of Allah) concerning the conduct of Mukallaf (on <br />
whom law is applicable, that is, a sane and adult person) which may be in the <br />
form of a demand or an option or only as an enactment. <br />
<br />
When the communication is made in the form of a demand or option, the <br />
Hukm is called "Al-Hukm al-taklifi (defining law). If the communication is made in <br />
the form of an enactment of a Cause or condition only, it is called al-Hukm al <br />
Wadi (declaratory law) [see explanation below ]. <br />
<br />
Al-Hukm al- taklifi (defining law) may be in the form of Fard, Wajib, Mandub, <br />
Mubah, Makruh and Haram. According to majority, Fard and wazib are <br />
synonymous. If there is binding demand from the lawgiver to do something, it is <br />
wazib. However, the Hanafi's consider the demand Fard when both text and the <br />
meaning are definitive (qati) and wazib when either the text or meaning is <br />
speculative (Zanni - because liable to interpretation of meaning or investigation <br />
of authenticity). <br />
<br />
Difference between Fard and Wazib has important consequence. Denial of <br />
binding nature of a command established by definitive proof (Fard by Qati <br />
evidence) leads to unbelief. However, denial of Wazib (according to Hanafi's) or <br />
2nd category of Fard (according to the majority) lead to transgression (Fisq). <br />
Wazib (and Fard) has been variously classified into the following : <br />
<br />
a) Wazib ayni (personal obligation of all Mukallaf) and Wazib Kafai <br />
(collective obligation, performance of some of the community would <br />
suffice). <br />
b) Wazib Muwaqqat (Wazib contingent on time-limit such as Salah and <br />
Siam) and Wazib Mutlaq (absolute wazib which is free from time limit - <br />
such as Hajj). <br />
c) Wazib Muhaddad (quantified Wazib, such as Zakah and Salah) and <br />
Wazib Ghair Muhaddad (unquantified Wazib such as charity to poor, <br />
paying Mohr to wife). <br />
<br />
A consequence of distinction between quantified wazib and unquantified <br />
wazib is that quantified wazib becomes a liability on the person who has not <br />
paid it in proper time. <br />
<br />
<br />
33<br />
Mandub (recommended) denotes a demand not binding on the Mukallaf. <br />
Compliance earns spiritual reward but no punishment is inflicted for failure. This is <br />
the difference between Wazib and Mandub. Examples of Mandub are creation <br />
of charitable endowment (Waqf) giving alms to the poor and attending to sick. <br />
Mandub is also called Sunnah, Nafl and Mustahab. <br />
<br />
Sunnah (Mandub) has been clasified into (a) emphatic sunnah (Sunnah-al <br />
Muakkadah (examples are adhan, attending congregational prayer) and (b) <br />
Supererogatory Sunnah (Sunnah Ghair al-Muakkadah). Examples are Nafl <br />
prayers and non-obligatory charity. Neglect of sunnah al-Muakkadah is <br />
blameworthy but not punishable. Neglect of Sunnah Gair al-Muakkadah is <br />
neither blameworthy nor punishable. Examples of Mandub in the Quran can be <br />
seen in verses 2:282, 24:3. <br />
<br />
Haram (also known as Mahzur) is a binding demand of lawgiver to abandon <br />
something. The level of proof required to establish prohibition is the same as Fard <br />
(as explained by early Hanafi Ulama) and of Wazib (as explained by the <br />
majority Ulama of Usul). <br />
<br />
The texual evidence for Haram may occur in various forms such as : <br />
a) It may start with "Hurrimat alaykum" (forbidden to you). [Quran - 5:3]. <br />
b) It may be conveyed in negative terms such as "la taqtulu" (do not <br />
kill), "la takulu (do not eat or take). [Quran - 5:90; 2:188]. <br />
c) It may be in the form of a command to avoid (Quran - 5:90, to <br />
avoid wine-drinking and gambling). <br />
d) It may be stated that it is not permissible (La yahilla lakum, Quran - <br />
4:19) <br />
e) Prohibition may be proved by punishment provided for a conduct <br />
(Quran - verses on hadd penalties and also verses mentioning <br />
punishment of fire in the hereafter, <br />
<br />
Prohibition has also been classified into : <br />
<br />
a) Haram li-dhatih (which is forbidden for its own sake (such as wine, <br />
gambling) and <br />
b) Haram li Ghayrih (which is forbidden for an external reason such as, <br />
marrying a woman only to make her legal for another man (tahlil). <br />
<br />
<br />
Makruh is opposite of Mandub. It is preferable to omit it than to commit it. <br />
Committing Makruh is not liable to punishment or moral blame. This is the <br />
majority view. Hanafi's divide Makruh into : a) Tanzihi and b) Tahrimi. According <br />
to Hanafis the commitment of Makruh Tahrimi entails moral blame but not <br />
punishment. There are traditions (Hadith) in which the word Kariha or its <br />
derivative has occurred. These are the textual basis for Makruh. (Ref: Dr. Hashim <br />
<br />
34<br />
Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, Islamic Texts Society, Cambridge, <br />
U.K.) <br />
<br />
Mubah (also termed halal and Jaiz) is a communication of the lawgiver <br />
which gives option to the Mukallaf (The Quran - 5:6; 2:235, 2:173). The Ulama of <br />
Usul include "Mubah" under Hukm Shari although including it under al-Hukm al-<br />
Taklifi is on the basis of probability as there is basically no liability. <br />
<br />
Al-Hukm al-wadi (declaratory law) enacts something as a cause (sabab), a <br />
condition (shart) or a hindrance (Mani) to the defining law. An explicit example <br />
is the hadith which says "there is no "nikah" without two witnesses. Thus the <br />
presence of witnesses has been made a condition of a valid marriage. Another <br />
example is the hadith, "there shall be no bequest to an heir" which enacts a <br />
hindrance (ma'ni) to bequest (wasiah). <br />
<br />
Declaratory law is divided into (a) cause, (b) condition, (c) hindrance, (d) <br />
Azimah, and (e) Rukhsha. Azimah is the law as the lawgiver had intended in the <br />
first place without any softening for any reason (example : all Ibadah in normal <br />
circumstances). A law is a Rukhsah when the law embodies the exception to <br />
take care of difficulties (example is granting concession to traveller to break <br />
fast). <br />
<br />
Rukhsah may occur (a) in the form of permitting a prohibited thing on the <br />
ground of necessity, (b) omitting a Wazib when conformity to wazib causes <br />
hardship (example is the provision for traveller to shorten salah or not to observe <br />
fast during Ramadan and (c) in the form of validating contracts which would <br />
normally be disallowed (for example, advance sale [salam] and order for the <br />
manufacture of goods [Istisnah], though the goods are non-existent). <br />
<br />
There is another kind of Shariah values called Sahih (valid), Fasid (irregular) <br />
and Batil (void). The classification is made on the basis of compliance with <br />
essential requirements (arkam) and conditions (shurut) of Ahkam. When all these <br />
are fulfilled, the act is valid or sahih. If these are not fulfilled, the act is void or <br />
Batil. <br />
<br />
The Ulama are in agreement that Ibadah can only be sahih or batil. In the <br />
matter of transactions also, the majority hold the same view. However, the <br />
Hanafis have validated an intermediate category in transactions called Fasid <br />
(irregular, not Batil) when there is some deficiency in the Shart (condition). If the <br />
deficiency is made up, it becomes Sahih. <br />
<br />
The pillars of Hukm Shari are (a) Hakim or lawgiver, (b) Mahkum Fih or <br />
subject matter, (c) Mahkum Alayh, i.e. on whom law is applied. The source of all <br />
law in Islam is ultimately Allah (6:57; 5:45). Mahkum Fih denotes the acts, <br />
obligations of the Mukallaf which may be in the form of Wazib, Mandub or <br />
<br />
35<br />
Mubah. Mahkum Alaih deals with the legal capacity of the individuals who <br />
bear the rights and obligations imposed by Shariah. <br />
<br />
A person acquires active legal capacity when he attains a certain level of <br />
intellectual maturity and competence. Active legal capacity is only partial in <br />
case of a child (because of age) and in case of a person in death bed. <br />
<br />
Hukm Shari has also been classified into (a) haqq-al-Allah and (b) Haqq-al-<br />
Ibad. Haqq-al-Allah or the rights of Allah is so called not because Allah benefits <br />
from them but because these are beneficial for the community at large. In other <br />
words these are public rights. Worship, Hadud, Uqubah (punishments), Kaffarah, <br />
Jihad etc. are within rights of Allah. <br />
<br />
<br />
12. Taarud <br />
<br />
<br />
Taa'rud (conflict of evidences) <br />
<br />
Taa'rud means conflict. In Usul al Fiqh, Taarud means that two evidence of <br />
Shariah are of equal strength and they require opposite of each other. A <br />
conflict is thus not expected to occur if the two evidences are of unequal <br />
strength, because the stronger evidence will prevail. For this reason, there will be <br />
no conflict between a Qati and Zanni proof. <br />
<br />
If, however, the opposite is required by 2 Quranic Ayat or by a Quranic Ayat <br />
and a Mutawatir Hadith (these two are considered equal in authenticity or by <br />
two Ahad Hadith, then, there is a conflict. <br />
<br />
Conflict can only arise, if the rulings of the two evidence can not be <br />
reconciled, that is the subject matter of one can not be distinguished from the <br />
other or the time sequence of them can not be distinguished (that is it can not <br />
be ascertained which one is the latter). <br />
<br />
A genuine conflict can hardly arise between Qati proofs. All such conflicts <br />
are apparent rather then real. Such apparent conflicts can be resolved by (a) <br />
reconciliation, (b) by specification or (c) by giving preference of one over the <br />
other. <br />
<br />
A conflict between Nasus (texts of the Quran and the Sunnah) and Ijma is <br />
inconceivable as Ijma can not violate Nass. <br />
<br />
A Mujtahid must therefore, try to reconcile the apparent conflict in which <br />
case both the evidence will be applicable in different sets of circumstances. If <br />
this is not possible, he will try to prefer one over the other, thus at least one <br />
evidence will be kept. If this is not possible, then, he would see the time <br />
<br />
36<br />
sequence and apply the principle of abrogation. In this way the later evidence <br />
will be retained and the earlier one in time will stand abrogated (however such <br />
cases are very few). If this is also not possible, both the evidences will be <br />
abandoned. <br />
<br />
When two evidence in conflict are Amm (general), one may try to distinguish <br />
the subject matter of application (for instance one may be applicable to adult <br />
and the other to the minor or one may be applicable to married people and <br />
the other to unmarried people.) If one evidence is Amm and the other Khass, <br />
the solution is Takhsis al Amm (specification of a part of Amm). <br />
<br />
Where preference has to be resorted to, the following rules of preference should <br />
be applied : <br />
<br />
a) Clear texts will be preferred over unclear texts <br />
b) Sarih will be preferred over Kinayah, Haqiqi over Majaji. <br />
c) Ibarah al Nasss will be preferred over Isharah al Nass and so on. <br />
d) Mutawatir Hadith will be preferred over Mashhur and Mashhur will be <br />
preferred over Ahad. <br />
e) Hadith transmitted by Faqih or leading companions over hadith <br />
narrated by others. <br />
f) Prohibition takes priority over permissibility. <br />
<br />
In the case of conflict of two Qiyas, if the two can not be reconciled, one <br />
may be given preference <br />
<br />
<br />
13. Ijtihad <br />
<br />
<br />
Ijtihad has been derived from the root word Jahada. Ijtihad literally means <br />
striving or self-exertion. Ijtihad consists of intellectual exertion. Ijtihad is a very <br />
broad source of Islamic law and comes after the Quran and the Sunnah. <br />
<br />
The Quran and the Sunnah were completed at the time of death of the <br />
Prophet (SM). Ijtihad, however, continues and this is the source or methodology <br />
which gives Islamic law, its adaptability to new situations and capacity to tackle <br />
all new issues and problems. Propriety or justification of Ijtihad is measured by its <br />
harmony with the Quran and the Sunnah. <br />
<br />
The sources of Islamic law other than the Quran and the Sunnah are <br />
essentially manifestations of Ijtihad. When clear rule is available in the text (Nass) <br />
of the Quran and the Sunnah, Ijtihad is not applicable. The findings of Ijtihad are <br />
essentially Zanni in character. The subject matter of Ijtihad is the practical rules <br />
of Shariah not covered by Nasus. Ijtihad is a duty of the scholars. If the issue is <br />
urgent, Ijtihad is compulsory on each competent scholar. (Fard al Ayn or Wajib <br />
<br />
37<br />
al Ayn). If the issue is not urgent, it is a collective obligation (Fard al Kafai or <br />
Wazib al Kafai). <br />
<br />
A scholar is supposed to avoid Taqlid (blind following of another scholar). <br />
Taqlid is permissible only for a layman. Ibn Hazm believes Taqlid is not permissible <br />
for any one. Shah Wali Ullah says, Taqlid is not permitted for a person who can <br />
investigate even some matters (Ref. : Al-Insaf fi Bayan-al-Asbabil Ikhtilaf, by Shah <br />
Wali Ullah). <br />
<br />
Ijtihad is validated by the Quran and the Sunnah and the practice of the <br />
Sahabas. The Quran - 59:2; 9:122; 29:69; 4:59 have been quoted in support of <br />
Ijtihad. These Ayats are Zahir in nature ( i.e. clear texts but liable to <br />
interpretation). <br />
<br />
Several hadith are quoted in support of Ijtihad. Of them, two are very <br />
important. First is the hadith in which Muadh bin Jabal replied to the Prophet <br />
(SM) that he would resort to Ijtihad, if he does not find a solution in the Quran <br />
and the Sunnah and the Prophet (SM) affirmed him (Narrated by Abu Dawood). <br />
Second is the Hadith in which the Prophet (SM) said that the Mujtahid will get <br />
two rewards if he is corrrect and one reward if he commits a mistake (Abu <br />
Dawood). <br />
<br />
Requirements of Ijtihad have been laid down by some scholars. Nothing has <br />
been mentioned in this regard in the Quran and the Sunnah. Abul Hussain al <br />
Basri, laid down for the first time the qualifications of a Mujtahid in the 5th century <br />
Hijra which was later accepted by Gazali and Amidi. It is true that Ijtihad is the <br />
function of the competent schoars. The following are the requirements : <br />
<br />
a) Good knowledge of Arabic language. <br />
b) He must be knowledgeable in the Quran and the Sunnah and <br />
related subjects. <br />
c) He must be generally knowledgeable of the Ijtihad carried out by <br />
previous scholars. <br />
d) He must know the Maqasid of Shariah. <br />
e) He must be an upright person and must be capable of distinguishing <br />
between strong and weak evidence. <br />
<br />
It may appear that the qualifications are very tough. But it is not really so. <br />
These are all attainable in reasonable time by any sincere and competent <br />
person. The majority of Ulama hold that if a person is capable of making Ijtihad <br />
in one area, he can do Ijtihad in all areas. Procedure of Ijtihad is that the <br />
Mujtahid must first look at the Quran and the Sunnah. Only if solution is not found <br />
there, he may resort to Ijtihad. Rules of Ijtihad by way of Qiyas, Istihsan, Istislah <br />
have been laid doesn by usul scholars. <br />
<br />
<br />
38<br />
The majority hold that Ijtihad is liable to error. The minority hold that each of <br />
the several verdicts may be regarded as true on their merit. (Shawkani, Irshad). <br />
<br />
Mujtahids have been classified in various ways by some scholars according to <br />
their understanding. The basic classification can be as follows : <br />
<br />
a) Major Mujtahids, who made their own rules of Ijtihad and did <br />
comprehensive Ijtihad. <br />
b) Other Mujtahids who in most part followed the rules of Ijtihad of other <br />
scholars and who undertook Ijtihad on that basis either fully or partially. <br />
<br />
Some scholars were against Ijtihad after the first few centuries. This view has now <br />
been rejected. Shawkani said that this view is to be utterly rejected. Iqbal says <br />
that "closure of gate to Ijtihad is a pure fiction" Progress of Islamic civilization in <br />
future depend on Ijtihad by competent scholars. In future, more and more <br />
Ijtihad is likely to be collective. (Reference Dr. Hashim Kamali, Principles of <br />
Islamic Jurisprudence; Allamah Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in <br />
Islam). <br />
<br />
<br />
<br />
Bibliography: <br />
<br />
1. Principles of Islamic Jurisprudence by Hashim Kamali, Islamic Texts Society, <br />
Cambridge, U.K. <br />
2. Subhi Mahmassani - The Philosophy of Jurisprudence in Islam, Leiden, E.J. <br />
Brill <br />
3. Dr. Taha Jabir Al -Alwani, Ijtihad published by IIIT, USA. <br />
4. Abu Zahra -- Usul al Fiqh, Cairo, Dar al Fikr al Arabi. <br />
5. Abdul Wahab Al Khallaf - Ilm Usul Al Fiqh, Dar al Qalam, Kuwait. <br />
6. Mohammad Al Khudari - Usul al Fiqh, Dar al Fikr, Cairo <br />
7. Prof. Ahmad Hassan; The doctrine of Ijma in Islam, Islamic Research <br />
Institute, Islamabad. <br />
8. Dr. Taha Jabir al Alwani: Source Methodology in Islamic Jurisprudence; IIIT, <br />
USA. <br />
9. Allama Iqbal: Reconstruction of Religious Thought in Islam.tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-84888470927201936422010-12-31T19:38:00.000-08:002010-12-31T19:38:11.127-08:00BAB 3 DARI BUKU USHUL FIQH EKONOMI HUKUM, HAKIM, MAHKUM FIH, DAN MAHKUM ‘ALAIHBAB 3 DARI BUKU USHUL FIQH EKONOMI <br />
HUKUM, HAKIM, MAHKUM FIH, DAN MAHKUM ‘ALAIH <br />
<br />
3.1 Hukum <br />
3.1.1 Pengertian Hukum <br />
Pengertian hukum menurut ushul fiqih adalah Titah Allah yang berkaitan dengan <br />
perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun wadh’i . <br />
ﺎﻌﺿو وأ اﺮﻴﻴﺨﺗ وأ ﺎﺒﻠﻃ ﻦﻴﻔﻠﻜﻤﻟا لﺎﻌﻓﺄﺑ ﻖﻠﻌﺘﻤﻟا ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا بﺎﻄﺧ <br />
<br />
<br />
Gambar 3.1 Pembagian Hukum <br />
<br />
<br />
<br />
1agustianto.niriah.com <br />
<br />
3.2 Hakim <br />
3.2.1 Pengertian Hakim <br />
A. Pengertian Hakim Secara Etimologi <br />
Secara etimologi Hakim mempunyai 2 pengertian: <br />
a. Pembuat Hukum, Yang menetapkan Hukum, Yang memunculkan hukum, Yang menjadi <br />
sumber hukum, Yang menerbitkan hukum <br />
b. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum <br />
<br />
B. Pengertian Hakim Secara Terminologi <br />
Pengertian hakim secara terminology adalah sebagai berikut: <br />
a. Hakim merupakan persoalan mendasar dan penting dalam ushul fiqh, karena berkaitan <br />
dengan, “Siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syariat Islam”, “Siapa memberikan <br />
pahala dan dosa”. <br />
<br />
b. Semua Hukum tersebut bersumber dari Allah swt, melalui Nabi saw, maupun ijtihad para <br />
mujtahid yang didasarkan pada metode istimbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode istimbath <br />
lainnya. Kaedah Ushul .ﷲ ﻻا ﻢﻜﺣ ﻻ (Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah) <br />
<br />
c. Hakim adalah Allah, Dialah Pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan <br />
kepada seluruh mukallaf, baik berkaitan dengan hukum taklify (wajib, sunnah, haram, <br />
makruh, mubah), maupun hukum wadh’iy (sabab, syarat, mani’, sah, batal/fasid, azimah dan <br />
rukhshah) <br />
<br />
3.2.2 Dalil Hakim <br />
Dalil-dalil yang menyatakan hanya Allah SWTPembuat Hukum: <br />
a. Al-An’am, (6) ayat 57 <br />
“Menetapkan hukum itu hanya Allah. Dialah yang menjelaskan kebenaran dan Dia Pemberi <br />
keputusan yang paling baik” <br />
b. Al-Maidah, (5) ayat 49 <br />
“Dan Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan <br />
Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka” <br />
2agustianto.niriah.com <br />
<br />
c. Al-Maidah (5) ayat 44,45, <br />
- Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturukan Allah, maka <br />
mereka itulah orang-orang kafir <br />
- Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturukan Allah, maka <br />
mereka itulah orang-orang yang zalim <br />
- Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturukan Allah, maka <br />
mereka itulah orang-orang yang fasiq <br />
<br />
d. Menetapkan hukum apapun harus merujuk Alquran dan Sunnah (QS. An-Nisaa 4:59) <br />
“Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan <br />
Rasulnya, jika kamu beriman kepada Allah dan Hari kiamat” <br />
e. Allah membatalkan iman seseorang sampai ia rela menetapkan hukum sesuai dengan <br />
kehendak Allah dan rela dengan hukum-hukum Allah tersebut : (QS 4:65) <br />
“Demi Tuhanmu, Mereka pada hakikatnya tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu <br />
(Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka <br />
tidak merasa keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan <br />
sepenuhnya.” <br />
<br />
Kita dan semua ulama sepakat tantang “Hanya Allah sebagai Hakim, (pembuat syari)”, <br />
Tetapi bagaimana jika wahyu (syara’) belum turun seperti di zaman sebelum Nabi Muhammad <br />
diutus (Zaman Fatrah)? <br />
Dalam hal ini timbul persoalan, “Siapa hakim, syari’ atau pembuat hukum?” Apakah <br />
telah ada kewajiban bagi manusia untuk menjalankan syariat atau keharusan baginya untuk <br />
meninggalkan larangan? sementara rasul pembawa syariat belum datang? <br />
Apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan (mengetahui) baik <br />
buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat <br />
buruk dikenakan dosa (sanksi hukum)? sehingga akal bisa menjadi pembuat hukum? <br />
Dalam menyelesaikan persoalan inilah, kita perlu melihat kembali definisi Hakim yang <br />
kedua <br />
Berkaitan dengan definisi Hakim yang kedua,yaitu: Yang menemukan, menjelaskan, <br />
memperkenalkan dan menyingkapkan hukum, para ulama ushul membaginya kepada dua <br />
kondisi (masa), yaitu: <br />
<br />
<br />
3agustianto.niriah.com <br />
<br />
<br />
a. Sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul <br />
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang siapa yang menemukan, <br />
memperkenalkan dan menjelaskan hukum <br />
Apakah Allah semata melalui wahyu (kedatangan Rasul)? atau “Akal” manusia bisa <br />
menemukan syari’ah tanpa kedatangan wahyu (Nabi)? <br />
Dalam hal ini, Ada 2 kelompok ulama : <br />
1) Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Jumhur) <br />
2) Ulama Muktazilah <br />
<br />
Perbedaan Ulama tentang Siapa yang menemukan/memperkenalkan hukum di masa <br />
sebelum Nabi Saw Datang <br />
1) Ahlus Sunnah wal Jamaah <br />
Tidak ada Hakim (Tidak ada hukum syara’ sebelum kedatangan Rasulullah SAW) <br />
“Pada saat itu tidak ada hakim. Maka tidak ada hukum syari’ sebelum Nabi Muhammad <br />
diutus jadi Rasul” <br />
Alasan mereka, ”Hukum tidak bisa diperoleh kecuali melalui Rasul, sementara akal tidak <br />
mampu mencapainya. Oleh sebab itu menurut mereka, hakim adalah Allah. (Yang <br />
memunculkan hukum itu adalah Allah dalam bentuk hukum syara’ yang diciptakan dan <br />
diturunkanNya via Nabi). Sedangkan Nabi belum ada. <br />
<br />
2) Muktazilah <br />
Hakim pada Hakikatnya Allah, tapi akal mampu menemukan hukum-hukum-Nya tanpa <br />
ada wahyu. <br />
“Hakim pada hakikatnya adalah Allah SWT, tetapi akal mampu menemukan hukum-<br />
hukum Allah, dan menyingkap serta menjelaskannya, sebelum datangnya syara <br />
(sebelum datang Nabi/wahyu) <br />
Persoalan ini oleh para ulama ushul fiqh dikenal dengan istilah Tahsin dan Taqbih. <br />
Tahsin ialah kemampuan akal mengetahui sesuatu itu baik. Sedangkan taqbih ialah <br />
kemampuan itu mengetahui sesuatu itu buruk <br />
<br />
<br />
<br />
4agustianto.niriah.com <br />
<br />
b. Setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul <br />
Dalam hal ini, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hakim adalah Allah (wahyu-Nya), yaitu <br />
berupa syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Apa yang dihalalkan Allah, hukumnya halal, <br />
dan apa yang diharamkannya hukumnya haram. Yang dihalalkan itu hasan (baik), dan yang <br />
diharamkan itu hukumnya haram (buruk). Dalam hal ini tak ada persoalan. <br />
<br />
Menurut ulama Ushul Fiqh Ada 4 Pengertian Baik (Hasan) dan Buruk (Qabih) <br />
a. Baik (hasan) berarti seluruh perbuatan yang sesuai dengan tabiat manusia, seperti <br />
menolong orang. Sedangkan buruk (qabih) adalah perbuatan yang tidak disenangi tabiat <br />
manusia seperti mengambil harta orang secara zalim <br />
<br />
b. Hasan berarti sifat yang positif/mulia/sempurna, seperti memilki ilmu dan kemuliaan. <br />
sedangkan qabih sifat yang negatif, seperti bodoh, dan kikir. <br />
<br />
c. Hasan adalah sesuatu yang boleh dikerjakan manusia. Dia mengetahui kebaikannya dan <br />
mampu mengerjakan. Sedangkan Qabih sesuatu yang tidak boleh dikerjakan, karena <br />
perbuatan itu buruk, sehingga ia tak mau mengerjakannya. <br />
<br />
d. Hasan berarti sesuatu yang bila dikerjakan, maka orang itu mendapat pujian di dunia dan <br />
pahala di akhirat, seperti taat beribadah. Sedangkan qabih berarti sesuatu yang apabila <br />
dikerjakan maka orang itu mendapat cercaan di dunia dan mendapat siksa di akhirat, seperti <br />
mengerjakan maksiat. <br />
<br />
Pendapat Ulama tentang kemampuan akal mengetahui baik-buruk <br />
a. Pengertian Baik dan Buruk No 3 dan 4 tadi, menjadi persoalan bagi ulama ushul, apakah <br />
dapat dicapai akal atau tidak? <br />
b. Ulama Asy’ariyah berpendapat bahwa baik dan buruk dalam pengertian ke 3 dan 4 bersifat <br />
syar’i dan harus diitentukan oleh syara’ (wahyu) <br />
c. Muktazilah berpendapat bahwa baik dan buruk seluruhnya dapat dicapai/diketahui oleh akal, <br />
tanpa harus diberitahu syara (wahyu). Wahyu hanya berfungsi sbg alat konfirmasi dan <br />
menguatkan capaian akal. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
5agustianto.niriah.com <br />
<br />
Tabel 3.1 Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at: <br />
Ahlus Sunnah/ <br />
Asy’ariyah <br />
Muktazilah Maturidiyah <br />
Akal tidak mampu <br />
mengetahui baik & <br />
buruk,tanpa perantaraan <br />
Rasul <br />
Akal mampu mengetahui baik <br />
dan buruk <br />
Akal mampu mengetahui baik <br />
dan buruk <br />
Akal tidak mampu mampu <br />
mengetahui orang yang taat <br />
dapat pahala di akhirat dan <br />
orang yang berbuat maksiat <br />
mendapat siksa <br />
Akal mampu mampu <br />
mengetahui orang yang taat <br />
dapat pahala di akhirat dan <br />
orang yang berbuat maksiat <br />
mendapat siksa <br />
Akal tidak mampu mampu <br />
mengetahui orang yang taat <br />
dapat pahala di akhirat dan <br />
orang yang berbuat maksiat <br />
mendapat siksa <br />
<br />
1) Alasan Ahlus Sunnah <br />
a. Al-Isra’ : 15 <br />
ﻻﻮﺳر ﺚﻌﺒﻧ ﻰﺘﺣ ﻦﻴﺑﺬﻌﻣﺎﻨآ ﺎﻣو <br />
Artinya: <br />
“Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum kami mengutus Rasul”. Ayat ini <br />
meniadakan perhitungan dan azab/siksa terhadap seseorang sebelum diutus Rasul. <br />
<br />
b. An-Nisaa :165 <br />
ﺳﺮﻟا ﺪﻌﺑ ﺔﺠﺣ ﷲ ﺎىﻠﻋ سﺎﻨﻠﻟ نﻮﻜﻳ ﻼﺌﻟ لﻮ <br />
Artinya: <br />
“Supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya <br />
Rasul itu”. Ayat ini juga menunjukkan bahwa pertanggung jawaban dan perhitungan <br />
terhadap manusia hanya dilakukan setelah diutusnya para Rasul untuk <br />
menyampaikan hukum Allah (syara’) kpd manusia <br />
<br />
c. Al-Isra’ : 15 <br />
ﻻﻮﺳر ﺚﻌﺒﻧ ﻰﺘﺣ ﻦﻴﺑﺬﻌﻣﺎﻨآ ﺎﻣو <br />
“Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum kami mengutus Rasul” <br />
Ayat ini meniadakan perhitungan dan azab/siksa terhadap seseorang sebelum diutus Rasul <br />
<br />
<br />
6agustianto.niriah.com <br />
<br />
d. An-Nisaa :165 <br />
لﻮﺳﺮﻟا ﺪﻌﺑ ﺔﺠﺣ ﷲ ﺎىﻠﻋ سﺎﻨﻠﻟ نﻮﻜﻳ ﻼﺌﻟ <br />
Artinya: <br />
“Supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya <br />
Rasul itu”. Ayat ini juga menunjukkan bahwa pertanggung jawaban dan perhitungan <br />
terhadap manusia hanya dilakukan setelah diutusnya para Rasul untuk <br />
menyampaikan hukum Allah (syara’) kpd manusia <br />
<br />
2) Alasan Ulama Muktazilah <br />
Akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah sebelum datangnya syariat (Nabi). <br />
Tanpa Rasul yang membawa wahyu, baik dan buruk bisa diketahui. Substansi baik dan <br />
buruk terletak pada manfaat dan mudharatnya., maka akal dapat mengetahuinya sampai <br />
Kami berikan akal padanya” (QS.17:15 sampai Kami berikan akal padanya” (QS.17:15) Kata <br />
“Rasul” dalam ayat diartikan mereka sebagai akal, sehingga terjemahan ayat dia ats menjadi, <br />
“Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan akal padanya” (QS.17:15) <br />
<br />
<br />
3) Maturidiyah menengahi kedua pendapat Ahlus Sunnah dan <br />
Muktazilah <br />
Akal memang mampu mengetahui yang baik dan yang buruk, tetapi akal tidak mampu <br />
menjangkau kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan menjahi yang buruk juga adanya <br />
pahala dan dosa (siksa) bagi pelakunya. Untuk hal ini diperlukan nash (wahyu) dari Rasul. <br />
Jadi akal tidak bisa berdiri sendiri dalam menentukan suatu kewajiban untuk melakukan yang <br />
baik dan meningggalkan yang buruk. <br />
<br />
<br />
4) Implikasi Perbedaan <br />
Implikasi lain dari perbedaan pendapat tentang peran akal ini adalah apakah akal dapat <br />
menjadi salah satu sumber hokum: <br />
a. Ahlus Sunnah dan Maturidiyah ; akal tidak bisa secara berdiri sendiri menjadi sumber <br />
hukum Islam, tetapi akal berperan penting dalam memahami maksud syara dalam <br />
mensyariatkan hukum dan menetapkan kaedah-kaedah umum dalam menggali hukum <br />
Islam, bukan pencipta (penentu) hukum. Nalar /akal yang digunakan manusia harus <br />
senantiasa bersandasar pada nash, bukan lepas sama sekali. <br />
7agustianto.niriah.com <br />
b. Muktazilah & Syiah Ja’fariyah ; bahwa akal merupakan sumber hukum Islam ketiga <br />
setelah Al-Quran dan Sunnah <br />
c. Implikasi lain dari perbedaan pendapat tentang peran akal ini adalah apakah akal dapat <br />
menjadi salah satu sumber hukum ? <br />
d. Ahlus Sunnah dan Maturidiyah ; akal tidak bisa secara berdiri sendiri menjadi sumber <br />
hukum Islam, tetapi akal berperan penting dalam memahami maksud syara dalam <br />
mensyariatkan hukum dan menetapkan kaedah-kaedah umum dalam menggali hukum <br />
Islam, bukan pencipta (penentu) hukum. Nalar /akal yang digunakan manusia harus <br />
senantiasa bersandasar pada nash, bukan lepas sama sekali. <br />
e. Muktazilah & Syiah Ja’fariyah ; bahwa akal merupakan sumber hukum Islam ketiga <br />
setelah Al-Quran dan Sunnah <br />
<br />
3.3 Mahkum Fih (Perbuatan Manusia Mukallaf) <br />
3.3.1 Pengertian Mahkum Fih <br />
Mahkum fih yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah Syari’ (Allah dan <br />
Rasulnya) yang bersifat tuntutan mengerjakan suatu perbuatan, tuntutan meninggalkan suatu <br />
perbuatan, memilih suatu perbuatan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, <br />
rukhshah, sah dan batal <br />
Contoh: <br />
a. ةﻼﺼﻟااﻮﻤﻴﻗأو (Dirikan kamulah shalat) <br />
b. Kewajiban melaksanakan shalat dalam ayat tsb berkaitan dengan perbuatan <br />
mukallaf <br />
c. ﻰﻟا ﻦﻳﺪﺑ ﻢﺘﻨﻳاﺪﺗ اذا اﻮﻨﻣأ ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳﺄﻳ ﻩﻮﺒﺘآﺎﻓ ﻰﻤﺴﻣ ﻞﺟأ <br />
Dalam ayat tsb ada tuntutan (anjuran) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, <br />
yaitu mencatat utang-piutang (kredit) <br />
d. ﻦﻴﻨﻣﺆﻣ ﻢﺘﻨآ نا ﺎﺑﺮﻟا ﻦﻣ ﻰﻘﺑ ﺎﻣ اورذو ﷲاﻮﻘﺗا اﻮﻨﻣأ ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳﺄﻳ <br />
Pada ayat tsb ada larangan mengambil riba. Larangan ini terkait dengan perbuatan <br />
mukallaf <br />
<br />
3.3.2 Syarat Mahkum Fih <br />
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, tentang rukun, syarat dan tata <br />
caranya <br />
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, yaitu Allah. Suatu perintah shalat misalnya, <br />
adalah perintah Allah Swt <br />
c. Perbuatan itu dapat dilaksanakan, jika sulit dilaksanakan, maka terjadi pergeseran <br />
hukum asal, dari azimah kepada rukhshah. <br />
<br />
<br />
<br />
8agustianto.niriah.com <br />
<br />
<br />
3.3.3 Masyaqqah (Kesulitan) <br />
Dari syarat ketiga, yakni perbuatan taklif itu dapat dikerjakan, muncul persoalan <br />
masyaqqah. Apakah boleh diterapkan taklif/pembebanan terhadap amalan yang mengandung <br />
masyaqqah? <br />
Dalam hal ini ulama membagi masyaqqah kepada dua macam: <br />
a. Masyaqqah Mu’tadah (MM) <br />
b. Masyaqqah Ghair Mu’tadah MGM) <br />
<br />
A. Pembagian Masyaqqah (Kesulitan) <br />
a. Masyaqqah mu’tadah adalah ttidak menimbulkan keringanan. <br />
Contohnya Puasa menjadi lapar, Haji menguras tenaga masyaqah mu’tadah yaitu, <br />
kesulitan yang bisa diatasi tanpa membawa kemudratan. Ini merupakan masyaqqah <br />
yang biasa terjadi dan sering dialami manusia. Seperti berpuasa menjadi lapar, haji <br />
menguras tenaga. Masyaqqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’. Artinya, seorang <br />
mukallaf tetap dituntut mengerjakannya. <br />
<br />
<br />
b. Masyaqqah Ghairu Mu’tadah adalah menimbulkan keringanan. <br />
Contohnya Tidak ada makanan ditengah hutan, Puasa dan Sholat bagi seorng Musaffir. <br />
Masyaqqah Ghairu Mu’tadah yaitu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi <br />
manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan kehidupan,misalnya puasa bagi <br />
orang musafir, wanita hamil dan menyusui, suasana ketiadaan makanan di tengah hutan. <br />
Di sinilah Islam mengajarkan rukhshah (keringanan) <br />
<br />
B. Dalil Musyaqqah <br />
Ayat dan hadits tentang prinsip Islam yang menghilangkan kesulitan (masyaqqah) <br />
a. Al-Hajj : 78. <br />
b. Al-Baqarah 185 <br />
c. Hadits Bukhari, Muslim An-Nasai dan Anas bin Malik. <br />
“Sesungguhnya saya orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah, tetapi saya <br />
berbuka, shalat, istirahat dan kawin. Siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia <br />
bukanlah dari golonganku”. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
9agustianto.niriah.com <br />
<br />
3.3.4 Macam-macam mahkum Fih <br />
Dilihat dari segi keberadaanya secara material dan syara, mahkum fih terdiri dari 4 <br />
macam <br />
a. Perbuatan yang ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara (tidak menimbulkan <br />
akibat hukum syara), seperti makan dan minum <br />
b. Perbuatan yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukuman, seperti <br />
pembunuhan menjadi sebab adanya hukuman qishash. <br />
c. Perbuatan yang ada secara material, dan baru bernilai syara apabila memenuhi rukun dan <br />
syarat, seperti shalat dan haji. <br />
d. Perbuatan yang ada secara material dan diakui syara’, serta mengabitkan munculnya hukum <br />
syara yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan seks, kewajiban nafkah. <br />
<br />
3.4 Mahkum ‘Alaih (Manusia Mukallaf) <br />
3.4.1 Pengertian Mahkum ‘Alaih <br />
Mahkum Alaih adalah yang dibebani hukum/subjek hukum. <br />
Definisinya,”Seseorang yang perbuatannya dikenai khitab (titah) Allah SWT”, yang <br />
disebut dengan mukallaf. <br />
Mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum. Sedangkan dalam ushul fiqh <br />
mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang dianggap <br />
mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan Nya. <br />
<br />
3.4.2 Dasar Taklif (Pembebanan Hukum) <br />
Adapun dasar pembebanan hukum adalah: <br />
a. Dasar pembebaban hukum bagi seorang mukallaf adalah berakal dan pemahaman <br />
b. Seseorang baru dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif <br />
(hukum-hukum syariah) yang ditujukan kepadanya. <br />
Sabda Nabi. <br />
ثﻼﺛ ﻦﻋ ﻢﻠﻘﻟا ﻊﻓر : ﻖﻴﻔﻳ ﻰﺘﺣ نﻮﻨﺠﻤﻟا ﻦﻋو ﻢﻠﺘﺤﻳ ﻰﺘﺣ ﻰﺒﺼﻟا ﻦﻋو ﻆﻘﻴﺘﺴﻳ ﻰﺘﺣ ﻢﺋﺎﻨﻟا ﻦﻋ <br />
Artinya: <br />
Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): 1. Orang yang tidur sampai ia <br />
bangun. 2. Anak kecil sampai baligh. 3. Orang gila sampai ia sembuh (H.R. <br />
Bukhari Tarmizi Nasai Ibnu Majah, dll) <br />
<br />
<br />
10agustianto.niriah.com <br />
<br />
Sabda Nabi Muhammad Saw. <br />
ﻚﺘﺳا ﺎﻣو نﺎﻴﺴﻨﻟاو ءﺎﻄﺨﻟا ﻦﻋ ﻲﺘﻣأ ﻊﻓر <br />
Artinya: <br />
“Ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlup, tersalah dan dalam <br />
keadaaan terpaksa (H. R. Ibnu Majah dan Thabrani) <br />
Simpulan Anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur dan orang bersalah, <br />
tidak dikenai taklif (beban hukum), <br />
<br />
3.4.3 Syarat-Syarat Taklif <br />
Berikut ini adalah syarat-syarat taklif: <br />
a. Orang tersebut telah mampu memahami khitab /titah Allah Swt yang terkandung dalam Al-<br />
Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Maka, anak kecil, <br />
orang gila,orang lupa, terpaksa, tidur, tidak dikenakan taklif <br />
Kemampuan untuk memahami taklif tsb bisa dicapai melalui akal, tetapi akal adalah suatu <br />
yang abstrak dan sulit diukur yang selalu berbeda pada setiap orang. Untuk itu diperlukan <br />
patokan dasar yang konkrit yang menentukan seseorang itu berakal atau belum. Indikasinya <br />
ialah baligh. Penentu seseorang baligh adalah haidh bagi wanita dan keluar mani bagi pria <br />
(al.via mimpi) <br />
ﻢﻜﻠﺒﻗ ﻦﻣ ﻦﻳﺬﻟا نذﺄﺘﺳا ﺎﻤآ اﻮﻧذﺄﺘﺴﻴﻠﻓ ﻢﻠﺤﻟا ﻢﻜﻨﻣ لﺎﻔﻃاﻷا ﻎﻠﺑ اذاو <br />
Artinya: <br />
Apabila anakmu telah baligh (bermimpi hingga keluar mani) <br />
b. Seseorang harus cakap bertindak hukum. Dalam istilah ushul fiqh disebut dengan ahliyah <br />
(kecakapan), maka anak kecil dan orang gila dipandang belum cakap bertindak hukum. <br />
Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur alaih), <br />
dianggap tidak cakap bertindak hukum dalam masalah harta. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
11agustianto.niriah.com <br />
<br />
3.4.4 Ahliyah (Kecakapan dalam Hukum) <br />
A. Pengertian Ahliyah <br />
Secara etimologi : “kecakapan menangani suatu urusan” Secara terminologi Ahliyah ialah, <br />
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan <br />
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’”. “Kecakapan seseorang karena kesempurnaan <br />
akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’” <br />
<br />
B. Pembagian Ahliyah <br />
a. Ahliyah Ada’ <br />
Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap <br />
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif <br />
maupun negatif. Bila ia mengerjakan perIntah syara’, maka ia berpahala dan jika ia <br />
melaksanakan larangan, maka ia berdosa. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa <br />
yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyatul ada’ ialah <br />
aqil, baligh dan cerdas <br />
<br />
b. Ahliyah Wujub <br />
Ahliyatul Wujub yaitu “Kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi <br />
haknya, tetapi ia belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. <br />
Misalnya : <br />
a) anak yang bisa menerima hibah. <br />
b) Apabila harta anak tsb dirusak orang lain, ia dianggap mampu untuk menerima ganti <br />
rugi, demikian pula sebaliknya, jika ia merusak harta orang lain, maka gantinya <br />
diambil dari harta anak tsb <br />
c) Selain itu juga ia dianggap mampu untuk menerima harta waris. <br />
<br />
Berikut iniadalah pembagian ahyatul wujub: <br />
1) Ahliyah al-Wujub al-Naqishah <br />
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah <br />
dianggap memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia <br />
terima, belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir. <br />
Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin: <br />
1.Hak keturunan dari ayahnya <br />
2.Hak warisan dari pewarisnya yang wafat <br />
3. Hak wasiat <br />
4. Harta waqaf yang ditujukan kepadanya <br />
<br />
2) Ahliyah al Wujuh al Kamilah <br />
Yaitu “kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai <br />
baligh dan berakal”. <br />
12agustianto.niriah.com <br />
Seorang yang ahliyah wujub tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah <br />
mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah, seperti transaksi yang bersifat <br />
pemindahan hak milik <br />
Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang merugikan/merusak harta <br />
orang lain, maka wajib memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak <br />
memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, tetapi ; <br />
Apabila tindakannya berkaitan dengan perusakan fisik (seperti melukai), maka <br />
tindakan hukum anak yang ahliyah wujub kamilah tersebut, tidak bisa <br />
dipertangungjawabkan secara hukum syara, (misalnya ia dihukum qishash), karena <br />
ia tidak dianggap cakap hukum <br />
<br />
Menurut Ulama Ushul, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyatul wujub adalah <br />
sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan. Sifat ini telah <br />
dimiliki seseorang semenjak lahir. Berdasarkan ahliyatul wujub, maka anak yang baru lahir <br />
berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika muwarrisnya meninggal dunia tetapi, <br />
harta seorang anak yang belum balIgh tak boleh dikelola sendiri olehnya, melainkan dikelola <br />
oleh walinya <br />
<br />
C. Halangan Ahliyah <br />
a. Awaridh Samawiyah, yaitu halangan ahliyah yang datangnya dari Allah, bukan karena <br />
perbuatan manusia, seperti gila, dungu, lupa, dsb. <br />
b. Awarudh ak-muktasabah, yaitu halangan ahliyah yang disebabkan perbuatan manusia, <br />
seperti mabuk, terpaksa, mahjur ‘alaih (dibawah pengampuan). <br />
c. Kedua bentuk halangan itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumya, yakni <br />
adakalanya menghilangkan ahliyah, mengurangi atau mengubahnya. <br />
Dalam hal ini halangan itu terdiri dari 3 bentuk: <br />
1) Halangan yang menyebabkan hilangnya kecapakan secara sempurna (ahliyat ada’) <br />
sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa. <br />
2) Halangan yang mengurangi ahliyah ada, seperti orang dungu. Tindakannya harus <br />
dibatasi, karena ia tidak rusydi (cerdas) dalam mengelola harta. <br />
3) Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti orang <br />
yang berhutang, pailit (di bawah pegampuan). Awalnya ia ahliyatul ada’, tetapi karena <br />
pailit, maka terjadi perubahan ahliyah pada dirinya, di mana ia tak cakap lagi <br />
mengelola harta <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
13agustianto.niriah.com <br />
BAB 5 <br />
HUKUM TAKLIFI <br />
<br />
<br />
5.1 Pengertian Hukum Taklifi <br />
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau <br />
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkannya. <br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 5.1 Skema Hukum Taklifi <br />
Gambar di atas menunjukkan bahwaberdasarkan firman Allah SWT manusia dituntut <br />
untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. <br />
Tuntutan untuk melakukan disebut juga perintah yang hukumnya wajib dan sunnah, tuntutan <br />
untuk meninggalkan disebut juga larangan yang hukumnya haram dan makruh, sedangkan <br />
pilihan untuk berbuat atau meninggalkan adalah mubah hukumnya. <br />
Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana firman Allah sebagai berikut: <br />
a. Firman Allah yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan: <br />
<br />
ةﻼﺼﻟااﻮﻤﻴﻗأو <br />
Artinya: <br />
Dan dirikanlah shalat,(QS. An nur: 56) <br />
Kewajiban dalam ayat tersebut berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu kewajiban <br />
mendirikan shalat <br />
<br />
14agustianto.niriah.com <br />
<br />
<br />
<br />
b. Firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan: <br />
ﷲاﻮﻘﺗا اﻮﻨﻣأ ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳﺄﻳ ﻦﻴﻨﻣﺆﻣ ﻢﺘﻨآ نا ﺎﺑﺮﻟا ﻦﻣ ﻰﻘﺑ ﺎﻣ اورذو <br />
Pada ayat tsb ada larangan mengambil riba. Larangan ini terkait dengan perbutan mukallaf <br />
<br />
<br />
c. Firman Allah yang bersifat memilih: <br />
ﻩﻮﺒﺘآﺎﻓ ﻰﻤﺴﻣ ﻞﺟأ ﻰﻟا ﻦﻳﺪﺑ ﻢﺘﻨﻳاﺪﺗ اذا اﻮﻨﻣأ ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳﺄﻳ <br />
Artinya: <br />
Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu <br />
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. <br />
Dalam ayat tsb ada tuntutan (anjuran) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu <br />
mencatat utang-piutang (kredit) <br />
Contoh Mubah: <br />
ﻓ ةﻼﺼﻟا ﺖﻴﻀﻗ اذﺎﻓ ضرﻷا ﻲﻓ اوﺮﺸﺘﻧﺎ <br />
Artinya: <br />
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah <br />
rezeki Allah (Al-Jum’ah :11) <br />
Ayat ini mengandung kebolehan mencari rezeki setelah melaksanakan shalat, kebolehan <br />
mencari rezeki ini terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu ibahah. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
15agustianto.niriah.com <br />
5.2 Pembagian Hukum Taklifi <br />
<br />
<br />
Gambar 5.2 Pembagian HukumTaklifi <br />
<br />
5.2.1 Pembagian hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh (mutakallimin) <br />
<br />
Pembagian hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh (mutakallimin) adalah sebagai <br />
berikut: <br />
1) Ijab <br />
Yaitu tuntutan syari’ untuk melaksanakan suatu perbuatan dan tidak boleh ditinggalkan. <br />
Orang yang meninggalkannya dikenai hukuman/sanksi. Yang dituntut untuk dikerjakan itu <br />
disebut wajib, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut wujub. Misalnya, dalam surat Al-<br />
Baqarah: 43, Allah swt, berfirman: <br />
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat <br />
<br />
2) Nadb <br />
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan <br />
sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang <br />
meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, <br />
sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. <br />
Misalnya, dalam surat Al-Baqarah: 282, Allah SWT, berfirman: <br />
ﻩﻮﺒﺘآﺎﻓ ﻰﻤﺴﻣ ﻞﺟأ ﻰﻟا ﻦﻳﺪﺑ ﻢﺘﻨﻳاﺪﺗ اذا اﻮﻨﻣأ ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳﺄﻳ <br />
Artinya: <br />
Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu <br />
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. <br />
<br />
<br />
16agustianto.niriah.com <br />
Tabel 5.1 Hubungan Antara Pembagian Hukum Taklifi <br />
<br />
<br />
Tuntutan untuk <br />
dikerjakan/dipilih/ditinggalkan <br />
Wajib mandub Mubah makruh Haram <br />
Akibat dari tuntutan <br />
(dipandang dari sisi mukallaf) <br />
Wujub Nadb Ibahah Karahah Humah <br />
Dipandang dari sisi khitab <br />
Allah <br />
ijab Nadb ibahah Karahah tahrim <br />
Istilah-istilah tersbut berbeda, karena: <br />
a. Apabila khitab ayat dilihat dari sisi Allah disebut Ijab, nadb,ibahah,dst <br />
b. Apabila ayat dilihat dari sisi mukkalaf yang dituntun (akibat), disebut wujub, dst <br />
c. Sifat dari perbuatan mukallaf yang dituntut Allah disebut wajib,dll <br />
<br />
3) Ibahah <br />
Yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak <br />
berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan <br />
perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. <br />
Misalnya, firman Allah dalam surat al-Maidah 2: <br />
“Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu” <br />
Ayat ini juga menggunakan lafar amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena <br />
ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Indikasi itu adalah lanjutan ayat <br />
tersebut,yaitu: ”Apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang <br />
dipercayai itu menunaikan amanahnya”.(QS.2:282) <br />
Khithab seperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini, juga disebut dengan ibahah, <br />
sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. <br />
<br />
4) Karahah <br />
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui <br />
redaksi yang tidak bersifat mamaksa. Orang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut <br />
untuk ditinggalkan itu, tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga <br />
karahah. <br />
Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadist Nabi Muhammad Saw: <br />
قﻼﻄﻟا ﷲا ﻰﻟا لﻼﺤﻟا ﺾﻐﺑأ <br />
Artinya: <br />
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” <br />
Khithab hadis ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah <br />
juga, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab itu disebut makruh <br />
<br />
17agustianto.niriah.com <br />
5) Tahrim <br />
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. <br />
Apabila seseorang mengerjakannya dikenai hukuman. Akibat dari tuntan ini disebut hurmah <br />
dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat al-<br />
An’am: 151 <br />
ﷲا مﺮﺣ ﻰﺘﻟا ﺲﻔﻨﻟا اﻮﻠﺘﻘﺗ ﻻ <br />
Artinya: <br />
“...jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah....”(6:151) <br />
<br />
ﺎﺑﺮﻟا اﻮﻠآﺄﺗ ﻻ <br />
Artinya: <br />
Jangan kamu makan (mengambil) riba (QS.3:130) <br />
<br />
5.2.2 Hukum Taklifi Menurut Ulama Hanafiyah <br />
<br />
Pembagian hukum taklifi menurut ulama Hanafiah adalah sebagai berikut: <br />
1) Iftiradh <br />
yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil <br />
qath’iy. Misalnya tuntutan untuk melaksanakan shalat. Ayat tentang perintah ini bersifat qat’iy <br />
pasti. jelas, tegas, maknanya, tidak ada makna lain selain wajib, dan status redaksinya juga <br />
qat’iy) <br />
<br />
2) Ijab, <br />
yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa untuk dilaksanakan yang didasarkan pada dalil <br />
zhanny. Seperti kewajiban membayar zakat fitrah, membaca al-fatihah dalam shalat, ibadah <br />
qurban. <br />
<br />
3) Nadb <br />
sama maknanya dengan jumhur ulama ushul/mutakallimin <br />
<br />
4) Ibahah, <br />
juga sama dengan jumhur mutakallimin <br />
<br />
5) Karahah Tanzihiyah, <br />
yaitu tuntutan mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutan tidak bersifat <br />
memaksa, seperti larangan puasa sunnat pada hari jumat. Pengertian karahah tanzihiyah ini <br />
sama dengan pengertian karahah versi jumhur/mutakallimin <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
18agustianto.niriah.com <br />
6) Karahah Tahrimiyah, <br />
yaitu tuntutan untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan secara memaksa, tetapi didasarkan <br />
kepada dalil yang zanniy. Bila ia mengerjakan perbuatan yang dilarang itu, ia diberi <br />
hukuman. Pengertian ini sama dengan pengertian tahrim/haram versi Jumhur. <br />
<br />
7) Tahrim, <br />
yaitu tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara memaksa yang didasarkan pada dalil <br />
qat’iy. Misalnya larangan riba (QS.2:275),memakan harta dengan batil (QS.4:29), curang <br />
dalam bisnis (Muthafiffin 2-4) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 5.3 Pembagian Hukum Taklifi Menurut Ulama Hanafiyah <br />
<br />
5.2.3 Perbedaan pembagian hukum taklif antara Jumhur dan Hanafiyah <br />
Perbedaan pembagian hukum taklif antara Jumhur dan Hanafiyah adalah bertolak dari <br />
sisi kekuatan dalil, (qath’i atau zanniy). Perbedaan tersebut berakibat pada: <br />
a. Jika tuntutan fardhu atau tahrim diingkarii, menurut ulama Hanafiah hukumnya kafir, <br />
karena hukum fardhu atau haram ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy yang tidak <br />
mungkin dita’wilkan. <br />
Tetapi Jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin, tidak membedakan antara fardhu dengan <br />
wajib. Orang yang mengingkari sesuatu yang fardhu, wajib, dan haram tetap dihukumkan <br />
kafir. <br />
<br />
b. Ulama Hanafiah menyatakan bahwa jika seseorang meninggalkan pekerjaan fardhu <br />
ibadah, maka ibadahnya batal, dan ia wajib mengulanginya dari awal. Misalnya <br />
meninggalkan ruku’ (fardhu) dalam shalat, maka shalatnya batal. Tetapi jika yang <br />
ditinggalkan yang wajib misalnya al-fatihah, maka amalannya tidak batal, namun tidak <br />
19agustianto.niriah.com <br />
sempurna, ia boleh mengulangi shalatnya atau melanjutkannya, tetapi ia berdosa karena <br />
meninggalkan yang wajib. <br />
Sedagkan ulama Jumhur Ushul Fiqh/mutakallimin berpendapat bahwa apabila amalan <br />
shalat yang wajib atau yang fardhu ditinggalkan maka shalatnya batal, karena mereka <br />
tidak membedakan antara fardhu dan wajib. <br />
<br />
c. Perbuatan yang masuk karahah al-tahrimiyyah. Menurut ulama Hanafiah, jika dikerjakan <br />
mendapat dosa, sekalipun pelaku tidak dihukumkan kafir. Sedangkan perbuatan yang <br />
termasuk kaharah al-tanzihiyyah, pelakunya tidak dihukum, tidak dicela, dan tidak <br />
berdosa, tetapi perbuatannya itu tidak termasuk yang dinilai utama. <br />
Namun menurut Jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin, kaharah itu hanya satu bentuk, <br />
pelakuya tidak dikenai hukuman tetapi dicela. Dan kaharah tahrimiyyah dalam istilah <br />
Hanafiah sama dengan hurmah dalam istilah jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin. <br />
<br />
5.2.3 Pembagian Hukum Taklifi ditinjau dari Sisi Sifat Perbuatan <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 5.4 Skema Pembagian Hukum Taklifi Dari Sisi Sifat Perbuatan (Wajib) <br />
<br />
Gambar di atas menunjukkan pembagian hukum taklifi dilihat dari sisi sifat perbuatan <br />
yang wajib. Dimana terlihat bahwa hukum wajib itu terbagi atas 4, yaitu wajib karena waktu, wajib <br />
karena penentuan, wajib karena individu atau jama’ah, dan wajib karena ketentuan nash. <br />
20agustianto.niriah.com <br />
<br />
<br />
Gambar 5.5 Skema Pembagian Hukum Taklifi Dari Sisi Sifat Perbuatan <br />
(Mandub, Haram, Makruh dan Mubah) <br />
<br />
Gambar di atas menunjukkan pembagian hukum taklifi dilihat dari sisi sifat perbuatan <br />
yang mandub, haram, makruh dan mubah. Dimana terlihat bahwa hukum mandub terbagi atas 3, <br />
yaitu muakkah, grairu muakkah, dan zaidah. Haram itu terbagi atas 2, yaitu lizatih dan lighairih. <br />
Makruh terbagi atas 2, yaitu tanzih dan tahrim. Sedangkan mubah terbagi ats 3. Penjelasan lebih <br />
lanjutnya dapat dilihat pada table dan penjelasan berikut ini: <br />
<br />
Tabel 5.2 Pembagian Hukum Taklifi (Dari sisi Sifat Perbuatan) <br />
Wajib Bila dikerjakan dapat pahala, jika ditinggalkan dapat dosa <br />
Mandub Bila dikerjakan dapat pujian/pahala, bila ditinggalkan tidak dapat celaan <br />
Haram Bila dikerjakan dapat dosa/sanksi, tuntutan meninggalkannya bersifat <br />
memaksa <br />
Makruh Bila ditinggalkan dapat pujian, bila dikerjakan tak dapat celaan <br />
Mubah Diberikan kepada mukallaf untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
21agustianto.niriah.com <br />
A. Wajib <br />
a. Wajib dari Segi Waktu <br />
Dilihat dari segi waktu, wajib terbagi atas: <br />
a) Wajib Muthlak <br />
Wajib Mutlak, sesuatu yang dituntut syari’ mengerjakannya tanpa ditentukan waktunya, <br />
seperti kewajiban membayar kifarat bagi yang melanggar sumpah <br />
<br />
b) Wajib Muaqqat <br />
Wajib Muaqqat,sesuatu yang dituntut syari’ mengerjakannya pada waktu tertentu <br />
(Ditentukan waktu-waktunya), seperti shalat, puasa. <br />
Pembagian Wajib Muaqqat <br />
1) Mudhayyaq (Sempit waktunya) <br />
Contoh puasa ramadhan.Harus dilaksanakan dibuan ramadha sebulan penuh, tidak <br />
bisa diselingi puasa sunnah <br />
2) Muwassa’ (Lapang waktunya) <br />
Seperti shalat zhuhur,bisa diselingi shalat sunnat. Bahkan meskipun sudah masuk <br />
waktu, jam 12.00 misalnya, tetapi shalat tetap shah dilaksanakan pada jam 14.30 <br />
WIB. <br />
<br />
b. Wajib Dari Segi Ukuran Yang di Wajibkan <br />
Dilihat dari ukuran yang diwajibkan, apakah ditentukan nash terbadi atas: <br />
a) Wajib Muhaddad <br />
Muhaddad yaitu suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara’. Misal, jumlah <br />
rakaat shalat, porsi harta yang dizakati. <br />
<br />
b) Wajib Gairi Muhaddad <br />
Ghairu Muhaddad yaitu suatu kewajiban yang tidak ditentukan ukurannya, misalnya, <br />
penentuan jarimah ta’zir dalam pidana Islam. <br />
<br />
c. Wajib Dari segi Yang Dikenai Kewajiban <br />
Dilihat dari segi orang yang dikenai kewajiban baik individu atau kolektif terdiri dari: <br />
a) Wajib ‘aini <br />
Wajib ‘aini adalah kewajiban yang dikenakan pada setiap pribadi <br />
<br />
b) Wajib Kifa’i <br />
Wajib kifa’i adalah kewajiban yang dibebankan kepada jamaah, misal, mendalami ilmu <br />
ekonomi Islam, menguasai sains-teknologi. <br />
22agustianto.niriah.com <br />
<br />
d. Wajib Dari sisi kandungan perintah <br />
<br />
Dilihat dari sisi kandungan perintah apakah ditentukan atau berupa pilihan terbagi atas: <br />
a) Wajib Mu’ayyan <br />
Wajib Mu’ayyan adalah kewajiban yang ditentukan syari’ bentuknya, seperti shalat, <br />
puasa, harga barang yang ditentukan wajib dibayar dalam jual beli salam danbsegala jual <br />
beli <br />
b) Wajib ghairu mu’ayyan <br />
Wajib ghairu mu’ayyan suatu kewajiban yang bisa dipilih mukallaf. Misalnya kaffarah <br />
bersetubuh di siang ramadhan, boleh puasa 2 bulan berturut,memerdekakan budak atau <br />
memberi makan 60 orang miskin. <br />
<br />
Adapun cara-cara mengetahui sesuatu wajib adalah: <br />
a. Melalui lapaz amar (perintah) <br />
b. Melalui lapaz perintah itu sendiri <br />
نﺎﺴﺣﻻا و لﺪﻌﻟا ﺎﺑ ﺮﻣﺄﻳ ﷲا نا <br />
Artinya: <br />
Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan (QS.19:90) <br />
c. Melalui isim fi’il (kata yang bermakna kata kerja perintah) <br />
نﻮﻘﻴﻄﻳ ﺎﻣ ل ﺎﻤﻋاﻷا ﻦﻣ ﻢﻜﻴﻠﻋ <br />
Artinya: <br />
Hendaklah kamu melaksankan amal yang mampu kamu laksanakannya <br />
(H.R. Thabrani) <br />
d. Lapaz yang menggunakan kata kewajiban itu sendiri,seperti faradha <br />
ﺮﻄﻔﻟا ةﺎآز ﷲا لﻮﺳر ضﺮﻓ <br />
Rasul saw mewajibkan zakat fitrah <br />
e. Redaksi yang menunjukkan tuntutan mesti dilaksanakan, seperti “kataba” pada ayat puasa. <br />
f. Fiil buhari; yang diiringi lam amar. <br />
ﻪﺘﻌﺳ ﻦﻣ ﺔﻌﺳ وذ ﻖﻔﻨﻴﻟ <br />
Artinya; <br />
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah sesuai dgn kemampuannya <br />
<br />
23agustianto.niriah.com <br />
<br />
B. Mandub <br />
Pembagian mandub: <br />
a. Sunnat muakkad <br />
Sunnat muakkad (sangat dianjurkan), sunnat rawatib (sebelum/sesudah shalat 5 waktu), <br />
qurban,dll. <br />
<br />
b. Sunnat ghairu muakkad <br />
Sunnat ghairu muakkad (sunnah yang biasa saja) seperti shalat dhuha <br />
<br />
c. Sunnat zaidah <br />
Sunnat zaidah (tambahan), seperti cara makan, tidur dan pakaian Rasulullah SAW <br />
<br />
C. Haram <br />
Pembagian haram: <br />
a. Haram lizatih <br />
Haram lizatih suatu keharaman langsung sejak semula ditentukan syari, misalnya keharaman <br />
riba, bangkai, dan sebagainya <br />
<br />
b. Haram lighairih <br />
Haram lighairih suatu keharaman yang tidak langsung pada perbuatannya tapi disebabkan <br />
oleh adanya perbuatan haram yang mengiringi, seperti melaksanakan shalat dengan pakaian <br />
hasil korupsi, jual beli ketika sedang azan jumat, dsb.dan sebagainya <br />
<br />
c. Haram karena perbuatan yang menyertainya <br />
Shalat dan jual beli pada zatnya tidak haram, tetapi karena ada perbuatan haram yang <br />
menyertainya, maka perbutan itu jadi haram, meskipun sah. <br />
<br />
D. Makruh <br />
Pembagian makruh <br />
a. Makruh Tanzih <br />
Makruh tanzih yaitu tuntutan meninggalkan yang sifatnya tidak memaksa, misal makan <br />
jengkol <br />
<br />
b. Makruh Tahrim <br />
Makruh tahrim yaitu tuntutan meninggalkan berdasarkan dalil zanniy. Misalnya memakai <br />
emas bagi laki-laki. <br />
<br />
<br />
24agustianto.niriah.com <br />
<br />
E. Mubah <br />
Pembagian mubah: <br />
a. Mubah yang dilakukan atau tidak, tidak mendatangkan mudharat <br />
b. Bila dilakuan tak ada mudharat, tapi asalnya haram,Seperti makan babi karena terpaksa <br />
c. Sesuatu yg pada dasarnya mudharat, haram dilakukan, tapi Allah memaafkan <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
25agustianto.niriah.com <br />
BAB 5 <br />
HUKUM WADL’I <br />
5.1 Pengertian Hukum Wadl’i <br />
Hukum wadh’i didefinisikan sebagai firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu <br />
sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. <br />
Hukum wadh’i adalah ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ <br />
sah fasid, azimah dan rukhshah <br />
<br />
5.2 Macam-macam Hukum Wad’i <br />
a. Sebab <br />
Menurut bahasa sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang <br />
lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Sedangkan menurut istilah <br />
sebab adalah sutatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Menurut ulama <br />
ushul, sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia. Pengertian ini menunjukkan <br />
sebab sama dengan illat. Walaupun sebnarnya ada perbedaannya. <br />
Contohnya: ﺲﻤﺸﻟا كﻮﻟﺪﻟ ةﻼﺼﻟا ﻢﻗأ <br />
Artinya: Dirikanlah shalat, karena matahari tergelincir <br />
Ayat tersenut menjelaskan adanya sebab perbuatan mukallaf, dimana tergelincirnya <br />
matahari menjadi sebab wajibnya shalat. <br />
<br />
b. Syarat <br />
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’ <br />
bergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada. Tetapi adanya syarat <br />
tidak mengharuskan adanya hukum syara’. <br />
Contoh: ﻢﻜهﻮﺟو اﻮﻠﺴﻏ ﺎﻓ ةﻼﺼﻟا ﻰﻟا ﻢﺘﻤﻗ اذا ....... <br />
Artinya: Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu….(5:6) <br />
Wudhu yang dibicarakan ayat ini, menjadi “syarat” pelaksanaan shalat . Wudhu adalah salah <br />
satu syarat sah sholat. Shalat tidak dapat dilakukan tanpa wudhu, tetapi jika seorang berwudhu <br />
tidak harus melaksanakan shalat. <br />
<br />
26agustianto.niriah.com <br />
c. Mani’ (penghalang) <br />
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. <br />
Contoh: ﻞﺗﺎﻘﻟا ثﺮﻳ ﻻ <br />
Artinya: Pembunuh Tidak Mewarisi (H.R. Bukhari dan Muslim) <br />
Ayat tersebut menjelaskan adanya “penghalang” perbuatan mukallaf. Menurut hadits ini <br />
pembunuhan menjadi “penghalang” seorang waris mendapat warisan. Jadi, hubungan suami istri <br />
dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan. Jika ayah wafat <br />
maka istri dan anak mendapat bagian warisan sesuai haknya tetapi jika, istri atau anak <br />
membunuh suami atau ayah tersebut maka hak mewarisi bisa terhalang (H.R. Bukhari & Muslim) <br />
<br />
<br />
Gambar 5.1 Keterkaitan antara “Sebab”, syarat dan mani <br />
<br />
Suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya,terpenuhi <br />
syaratnya dan tidak ada penghalang, Sebaliknya hukum tidak ada bila sebab, syaratnya dan <br />
penghalang tidak ada. Misalnya shalat zuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir matahari <br />
(sebab), dan telah berwudhuk (syarat) serta tidak ada heidh (penghalang). Jika wanita sedang <br />
heidh, maka shalat tidak shah Demikian pula bila matahari belum tergelincir, atau belum <br />
berwudhuk, maka Shalatnya tidak shah Salah satu dari tiga unsur itu tidak ada, maka suatu <br />
hukum tidak sah <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
27agustianto.niriah.com <br />
d. Azimah <br />
Azimah adalah hukum yang disyaraitkan allah kepada seluruh hambanya sejak semula. <br />
Artinya belum ada hukum seblum hukum itu disyari’atkan allah, sehingga sejak disyari’atkannya <br />
seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Menurut Imam Baidhawi, Azimah ialah Hukum yang <br />
ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan. Misalnya jumlah rakaat sholat dzuhur <br />
adalah 4 rakaat, hal ini ditetapkan allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang <br />
menetapkan jumlah rakaat shalat dzuhur. <br />
<br />
e. Rukhsah <br />
Rukhsah adalah apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang <br />
tertentu boleh mengerjakan sholat dhuhur 2 rakaat seperti seorang musafir atau rukhsah <br />
disebut juga hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur. Contoh <br />
lain adalah puasa pada orang musafir, di tengah hutan tidak ditemukan makanan, selain <br />
babi, bunga bank di daerah yang belum ada bank syari’ah <br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 5.1 Ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, <br />
syarat, mani’ sah fasid, azimah dan rukhshah <br />
<br />
28agustianto.niriah.com <br />
5.3 Perbedaan hukum Taklifi dengan Wadl’i <br />
1. Dalam hukum taklifi ada tuntutan ntuk melaksanakan, meningggalkan atau memilih untuk <br />
berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wadl’i ada keterkaitan antara 2 persoalan <br />
sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab penghalang atau syarat. <br />
2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk melaksanakan, <br />
meningggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Hukum wadl’i tidak <br />
dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadl’i ditentukan syar’i agar <br />
dapat dilaksankan hukum taklifi misalnya, zakat hukumnya wajib (Hukum Taklifi), tetapi <br />
kewajiban ini tidak bia dilaksanakan jika harta tersebut tidak mencapai ukuran 1 nishab <br />
dan belum haul. Ukuran 1 nishab merupakan penyebab (hukum wadl’i), wajib zakat dan <br />
haul merupakan syarat (hukum wadl’i wajib zakat). <br />
3. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melakukan atau <br />
meninggalkannya karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan <br />
kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf sedangkan hukum wadl’i hal <br />
seperti ini tidak dipersoalkan kerana masyaqqah dan haraj dalam hukkum wadl’i <br />
adakalanya dapat dipikul mukallaf. Seperti menghadirkan saksi sebagai syarat <br />
pernikahan dan ada kalanya diluar kmampuan mukalllaf seperti tergelincirnya matahari <br />
bagi wajibnya shalat dzuhur. <br />
4. Hukum taklifi ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal. <br />
Sedangkan hukum wadl’i ditukukan kepada manusia mana saja. Baik telah mukallaf <br />
maupun belum.seperti anak kecil dan orang gila. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
29agustianto.niriah.com <br />
Secara ringkas perbedaan antara hukum taklifi dan hokum wadh’I dapat dilihat pada <br />
table berikut ini: <br />
Tabel 5.1 Perbedaan Hukum Taklif dan Hukum Wadh’iy <br />
No Hukum Taklifi Hukum Wadh’i <br />
1 Terkandung tuntutan untuk <br />
melaksanakan, meninggalkan dan <br />
memilih berbuat atau tidak berbuat <br />
Tidak ada tuntutan, melainkan keterkaitan antara <br />
2 persoalan, sehingga salah satunya bisa jadi <br />
sebab, syarat atau penghalang <br />
2 Tuntutan langsung pada mukallaf <br />
untuk dilaksanakan, ditinggalkan <br />
atau pilihan berbuat <br />
Tidak dimaksudkan untuk langsung dilakukan. <br />
Hukum wadh’iy dibuat Allah agar hukum taklif <br />
dapat dilaksanakan. Kewajiban Zakat merupakan <br />
hukum taklif. Kewajiban ini tak wajib dilaksanakan <br />
kecuali cukup nishab. Cukup nishab adalah <br />
syarat wajib zakat <br />
3 Harus sesuai dgn kemampuan <br />
mukallaf, karena dalam hukum taklif <br />
tak boleh ada masyaqqah <br />
(kesulitan). Kalau ada masyaqqah, <br />
timbul rukhshah, akhirnya jadi <br />
hukum wadh’y <br />
Kemampuan mukallaf tak dipersoalkan, karena <br />
masyaqqqah ada kalanya dapat dipikul mukallaf, <br />
seperti saksi dalam talak, dan adakalanya di luar <br />
kemampuan mukallaf, seperti tergelincirnya <br />
mentari bagi wajibnya shalat dzuhur <br />
4 Ditujukan kepada mukallaf yang <br />
baligh dan berakal <br />
Ditujukan kepada siapa saja, baik telah mukallaf <br />
maupun belum (anak kecil, orang gila) <br />
<br />
5.4 Shah atau Shihhah <br />
Sah ialah Suatu hukum yang sesuai dengan tuntan syara’, yaitu terpenuhi sebab, syarat <br />
dan tdk ada mani. Misalnya mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari (sebab), dan <br />
telah berwudhuk (syarat),dan tidak ada halangan bagi orang yang melaksanakannya berupa <br />
haid, maka shalat orang tersebut shah. Jika salah satu tidak ada, maka shalat tidak shah <br />
<br />
5.5 Bathil <br />
Batil merupakan kebalikan dari sah Suatu hukum yang tidak ada sebab, tidak terpenuhi <br />
syarat-syarat dan adanya mani’,maka status hukumnya batil. Contoh : Seorang yang shalat zuhur <br />
sebelum tergelincir matahari, maka shalatnya tidak shah seorang yang shalat zuhur, tanpa <br />
berwudhu’, shalatnya juga tidak shah,karena tak terpenuhi syarat shah shalat, Seorang yang <br />
shalat, tetapi dalam kondisi haid, shalat juga tidak shah. Heidh adalah mani’ (penghalang) bagi <br />
shahnya shalat, memperjual belikan minuman keras, hukumnya tidak shah, karena syarat <br />
sucinya barang tak terpenuhi <br />
30agustianto.niriah.com <br />
BAB 6 <br />
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM <br />
<br />
Sumber Hukum Islam pada dasarnya hanyalah Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua <br />
sumber tersebut juga disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam Karena keduanya merupakan <br />
petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Dalam perkembangan berikutnya sumber dan dalil <br />
hukum Islam berkembang untuk menjawab berbagai permasalahan masyarakat yang berkaitan <br />
dengan hukum syara’ yang ternyata tidak tercantum di dalam Al- Quran maupun sunnah. <br />
Untuk lebih jelasnya perhatikan skema Sumber dan Dalil Hukum Islam berikut ini: <br />
<br />
<br />
Gambar 6.1 Sumber Hukum Islam <br />
Pada skema tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dan dalil hukum Islam <br />
pada dasarnya dapat dikelompokkan kepada dua bagian besar, yaitu: kelompok sumber dan dalil <br />
hukum Islam yang telah disepakati ulama dan kelopok sumber dan dalil hukum Islam yang masih <br />
diperselisihkan oleh para ulama. Para Ulama di seluruh dunia telah sepakat bahwa yang menjadi <br />
sumber hukum Islam itu hanyalah 2 yaitu Al -Quran dan Sunnah, sedangkan Ijma dan Qiyas <br />
merupakan Dalil Hulum Islam yang dalam pembuatan atau pelaksanaaannya keduanya tetap <br />
harus berpedoman pada Al-quran dan Sunnah. Ada 7 dalil hukum islam yang masih menjadi <br />
perselisishan bagi para ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, <br />
Mazhab Shahbi, dan Syar’u Man Qablana. <br />
<br />
<br />
31agustianto.niriah.com <br />
<br />
<br />
6.1 Pengertian Al-Quran <br />
Secara etimologis, Al-Quran adalah bentuk masdar dari qa-ra-a ( ) أﺮﻗ . Ada 2 <br />
pengertian Al-Quran Secara etimologi, yaitu: <br />
a. Bacaan ) نأﺮﻗ ( <br />
b. Apa yang tertulis ( ) ءوﺮﻘﻣ <br />
<br />
أﺮﻗ ﻊﺒﺗﺎﻓ ﻩ ﺎﻧأﺮﻗ اذﺎﻓ ﻪﻧأﺮﻗ و ﻪﻌﻤﺟ ﺎﻨﻴﻠﻋ نا ﻪﻧ<br />
Artinya: <br />
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan (membuat pandai) <br />
membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu (Al-<br />
Qiyamah (75 : 17-18) <br />
<br />
ﻪﺗوﻼﺘﺑ ﺪﺒﻌﺘﻤﻟا ﻒﺣﺎﺼﻟﺎﺑ بﻮﺘﻜﻤﻟا ﺮﺗاﻮﺘﻟﺎﺑ ﺎﻨﻴﻠﻋ لﻮﻘﻨﻤﻟا ﻲﺑﺮﻌﻟا ﻆﻔﻠﻟاﺎﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻰﻠﻋ لﺰﻨﻤﻟا ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا مﻼآ<br />
سﺎﻨﻟا ةرﻮﺴﺑ مﻮﺘﺨﻤﻟاو ﺔﺤﺗﺎﻔﻟ ﺎﺑ ءوﺪﺒﻤﻟا <br />
Kalam Allah yang mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah dalam <br />
bahasa Arab yang Dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya <br />
merupakan ibadah, terdapat dalam mushhaf Dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan <br />
surah An-Nas. <br />
<br />
6.2 Ciri-Ciri Al-Quran <br />
Ciri-Ciri Al-Quran (Berdasarkan definisi tersebut) <br />
a. Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhmmad <br />
b. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab <br />
c. Periwayatan Al-quran kepada beberapa generasi secara mutawatir <br />
d. Dijamin kemurniannya (Al-Hijr : 9) <br />
e. Membacanya dinilai ibadah (berpahala) <br />
f. Dimulai dari Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas <br />
32agustianto.niriah.com <br />
<br />
6.3 Kehujjahan Al-quran Menurut Pandangan Ulama Mazhab <br />
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber utama hukum Islam <br />
dan wajib diamalkan. Para mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah <br />
sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Quran. Jika tidak ditemukan dalam Al-Quran <br />
barulah dibenarkan mencari dalil yang lain. <br />
A. Pandangan Abu Hanifah <br />
Abu Hanifah sependapat dengan jumhur bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum <br />
pertama hukum Islam. Namun ia berbeda mengenai Al-Quran itu, apakah mencakup makna dan <br />
lapaz atau maknanya saja.Menurut Abu Hanifah hanya maknanya saja, Misalnya ia mengatakan <br />
boleh shalat dalam bahasa ‘ajam (luar Arab).Tapi ini bagi orang pemula dan, tidak untuk <br />
seterusnya . <br />
B. Pandangan Imam Malik <br />
Hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lapaz dan maknanya dari Allah. Ia bukan <br />
makhluk, karena kalam adalah termasuk sifat Allah. Suatu yang termasuk sifat Allah, tidak <br />
dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang <br />
menyatakan Al-Quran makhluk. <br />
Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat-tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-<br />
Quran sesempit mungkin, agar tidak terjadi kebohongan atau tafsir serampangan terhadap Al-<br />
Quran, maka kitab Al-Muwaththa’ dan Al_Mudawwanah, sarat dengan pendapat sahabat dan <br />
tabi’in. <br />
Petunjuk lapaz yang terdapat dalam Al-Quran ada dua macam, yaitu muhkamat dan <br />
mutasyabihat (sesuai surah Ali Imran ayat 7) <br />
1) Ayat-ayat Muhkamat <br />
Ayat muhkayat adalah ayat yang tegas dan terang maksudnya serta dapat dipahami dengan <br />
mudah. <br />
2) Ayat-ayat mutasyabihat <br />
Ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak <br />
dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam. <br />
<br />
Pembagian Muhkamat Menurut Imam Malik <br />
Muhkamat terbagi kepada dua, yaitu lapaz nash dan lapaz zhahir. <br />
33agustianto.niriah.com <br />
1) Lapaz Nash menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qath’iy, yang secara pasti tidak <br />
memiliki makna lain) <br />
2) lapaz Zhahir juga menunjukkan makna yang jelas, namun masih mempunyai kemungkinan <br />
makna yang lain. <br />
Menurut Imam Malik keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya lapaz Nash didahulukan <br />
dari lapaz zhahir, hal ini dikarenakan lapaz nash bersifat qath’iy, sedangkan lapaz zhahir bersifat <br />
zhanniy, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang didahulukan dilalah <br />
nash. <br />
<br />
Gambar 6.2 Pembagian Petunjuk Lapaz ayat Al-Quran versi Imam Malik <br />
<br />
C. Pandangan Imam Syafi’iy <br />
Sebagaiman pendapat ulama yang lain, Imam Syafi’iy menetapkan bahwa sumber <br />
hukum paling pokok adalah Al-Quran. Tapi, Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Sunnah. Jika <br />
ulama lain berpandangan sumber hukum Islam pertama Al-Quran dan kedua As-Sunnah, maka <br />
Imam Syafi’iy berpandangan bahwa Al-Quran dan Sunnah itu berada pada satu martabat. <br />
(Keduanya wahyu Ilahi yang berasal dari Allah Firman Allah : <br />
ىَﻮَﻬْﻟا ِﻦ َﻋ ُﻖ ِﻄ ﻨ َﻳ ﺎ َﻣ َو. ﻰَﺣﻮُﻳ ٌﻲ ْﺣ َو ﱠﻻ ِإ َﻮ ُه ْن ِإ. <br />
Artinya: <br />
“Tidaklah ia bertutur itu menurut hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan <br />
kepadanya” (An-Najm : 4) <br />
<br />
34agustianto.niriah.com <br />
Meskipun Al-Quran dan Sunnah berada dalam satu martabat (karena dianggap sama-<br />
sama wahyu, yang berasal dari Allah), namun kedudukan sunnah tetap setelah Al-Quran. <br />
Al-Quran seluruhnya berbahasa Arab. Dalam Al-quran tidak ada bahasa ‘Ajam : <br />
ﺎﻴﺑﺮﻋ ﺎﻧأﺮﻗ ﺎﻨﻟﺰﻧأ ﻚﻟاﺬآو <br />
Arinya: <br />
“Dan begitulah Kami turunkan Al-Quran berbahasa Arab”. <br />
Karena itu, Imam Syafi’iy sangat mementingkan bahasa Arab dalam shalat dan <br />
mengharuskan penguasaan bahasa Arab untuk istimbath hukum dari Al-Quran <br />
<br />
D. Pandangan Ahmad bin Hanbal <br />
Pandangan Imam Ahmad, sama dengan Imam Syafi’iy dalam memposisikan Al-quran <br />
sebagai sumber utama hukum Islam dan selanjutnya diikuti oleh Sunnah. Keduanya juga <br />
dianggap berada pada satu martabat, sehingga beliau sering menyebut keduanya dengan istilah <br />
nash (yang terkandung di dalamnya Al-Quran dan Sunnah). Dalam penafsiran Al-Quran ia betul –<br />
betul mementingkan Sunnah. <br />
Sikap Ahmad bin Hanbal dalam konteks ini ada tiga poin : <br />
a. Sesungguhnya zahir Al-Quran tidak mendahulukan As-Sunnah <br />
b. Hanya Rasulullah saja yang berhak menafsirkan atau mentakwilkan Al-Quran <br />
b. Jika tidak ditemukan tafsir dari Nabi, penafsiran sahabatlah yang digunakan, karena <br />
merekalah yang menyaksikan turunnya Al-quran dan mendengarkan takwil dari Nabi. <br />
Menurut Ibnu Taymiyah, Al-Quran hanya boleh ditafsirkan oleh atsar. Namun dalam <br />
beberapa pendapatnya ia menjelaskan kembali, jika tidak ditemukan dalam sunnah dan atsar <br />
sahabat, maka diambil penafsiran tabii’in. <br />
<br />
Alasan berhujjah (beragumentasi) dengan Al-Quran: <br />
a. Alquran itu diturunkan kepada Rasulullah diketahui secara mutawatir dan ini memberikan <br />
keyakinan bahwa Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah melalui Jibril. <br />
<br />
<br />
<br />
35agustianto.niriah.com <br />
b. Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Quran itu datangnya dari Allah, al.(3:3) <br />
{ َﻞ ﻴ ِﺠ ﻧ ْﻹ ْا َو َة ا َر ْﻮ ﱠﺘ ﻟ ا َل َﺰ ﻧ َأ َو ِﻪ ْﻳ َﺪ َﻳ َﻦ ْﻴ َﺑ ﺎَﻤﱢﻟ ﺎًﻗﱢﺪَﺼُﻣ ﱢﻖ َﺤ ْﻟ ﺎ ِﺑ َب ﺎ َﺘ ِﻜ ْﻟ ا َﻚ ْﻴ َﻠ َﻋ َل ﱠﺰ َﻧ <br />
Artinya: <br />
Dia menurunkan Al-Quran kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab-kitab <br />
yang telah diturunkannya dan menurunkan Taurat dan dan Injil <br />
An-Nisaa : 105 <br />
ﻖﺤﻟ ﺎﺑ بﺎﺘﻜﻟا ﻚﻴﻟا ﺎﻨﻟﺰﻧأ ﺎﻧا <br />
Artinya: <br />
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan <br />
membawa kebenaran <br />
c. Mukjizat Al-Quran yang tak tertandingi siapapun dalam membuatnya, juga merupakan dalil <br />
yang pasti akan kebenaran Al-Quran datangnya dari Allah. <br />
Menurut ahli ushul, mukjizakat Al Quran terlihat ketika banyak keinginan orang-orang Untuk <br />
membuat Al-quran tandingan, Tetapi semuanya gagal. Allah menentang mereka untuk <br />
membuat satu ayat/surah saja seperti Al-Quran (QS.2:23) <br />
ﺎﻬﻠﺜﻣ وأ ﺎﻬﻨﻣ ةرﻮﺴﺑ ﻮﺗﺄﻓ ﺎﻧﺪﺒﻋ ﻰﻠﻋ ﺎﻨﻟﺰﻧ ﺎﻤﻣ ﺐﻳر ﻲﻓ ﻢﺘﻨآ نا و .. <br />
Artinya: <br />
Katakanlah, Seandainya, jin dan manusia berkumpul untuk Membuat Kitab seperti Al-<br />
Quran, pasti tidak akan bisa, sekalipun sebagian mereka membantu sebagian yang <br />
lain <br />
sehingga Mereka Pasti gagal membuat Al-QuranTandingan. Ini Kemukjizatan Al-Quran. <br />
<br />
A. Unsur-unsur yang membuat Al-Quran menjadi mukjizat <br />
a. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya. <br />
Misalnya keseimbangan jumlah kata dengan lawannya. Hayah (hidup dan maut (mati), <br />
masing-masing disebut 145 kali. Kufur dan iman, masing-masing 17 kali. <br />
b. Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Quran. <br />
Seperti Surah Yunus:92, “Badan Fira’un akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran <br />
bagi generasi berikutnya. Ternyata tahun 1896 ditemukan mumminya yang menurut <br />
arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar Nabi Musa. <br />
36agustianto.niriah.com <br />
c. Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Quran, seperti surah Yunus :5 dikatakan, <br />
“Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan <br />
(dari cahaya matahari”. <br />
d. Alam jagad raya seperti bunga mawar merah yang mengkilat <br />
نﺎهﺪﻟﺎآ ةدرو ﺖﻧﺎﻜﻓ ء ﺎﻤﺴﻟا ﺖﻘﺸﻧا اذﺎﻓ <br />
Artinya: <br />
Apabila langit telah terbelah, maka ia seperti bunga mawar yang kemerah-<br />
merahan,seperti kilapan minyak.(Ar-Rahman : 37 ) <br />
Yang sangat luar biasa adalah informasi Allah SWT tentang bentuk kumpulan <br />
galaksi/nebula (nebula adalah kumpulan ratusan miliar galaksi) seperti bunga mawar yang merah <br />
yang penuh kilapan minyak. <br />
<br />
<br />
نﻮﻨﻣﺆﻳ ﻼﻓا ﻲﺣ ءﻲﺷ ﻞآ ءﺎﻤﻟا ﻦﻣ ﺎﻨﻠﻌﺟو ﺎﻤهﺎﻨﻘﺘﻔﻓ ﺎﻘﺗر ﺎﺘﻧﺎآ ضرﻷا و تاﻮﻤﺴﻟا نا اوﺮﻔآ ﻦﻳﺬﻟاﺮﻳ ﻢﻟا ) ءﺎﻴﺒﻧﻷا<br />
: 30 ( <br />
Artinya: <br />
Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya <br />
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air <br />
kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman <br />
(QS.21:30) <br />
(47: تﺎﻳراﺬﻟا) نﻮﻌﺳﻮﻤﻟ ﺎﻧا و ﺪﻳﺄﺑ ﺎهﺎﻨﻴﻨﺑ ءﺎﻤﺴﻟاو <br />
Bintang-bintang dan galaksi terus berekspansi (meluas) sesuai teori Edwin Hubble <br />
(1889-1953) dan Alexander Friedmen (1888-1925) <br />
<br />
6.4 Hukum-Hukum yang dikandung Al-Quran <br />
a. Hukum-hukum I’tiqad <br />
Hukum i’tiqad yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukalaf untuk <br />
mempercayai Allah, malaikat, rasul, Kitab dan Hari Kiamat. <br />
b. Hukum yang berkaitan dengan akhlak. <br />
c. Hukum-hukum (amaliyah) praktis yang berkaitan dengan Allah (ibadah) dan antara sesa <br />
manusia (muamalah) <br />
37agustianto.niriah.com <br />
<br />
Gambar 6.3 Hukum Yang Terkandung Dalam Al-qur’an <br />
<br />
A. Hukum Muamalah dalam Al-Quran <br />
Allah SWT menjelaskan pokok-pokok muamalah kehartabendaan (muamalah maliyah) <br />
yang adil dalam Al-Quran. Adapun prinsip muamalah maliyah tersebut ialah : <br />
a. Melarang memakan makanan secara bathil (4:29) <br />
َﷲ ا ﱠن ِإ ْﻢ ُﻜ َﺴ ُﻔ ﻧ َأ ا ﻮ ُﻠ ُﺘ ْﻘ َﺗ َﻻ َو ْﻢ ُﻜ ﻨ ﱢﻣ ٍضا َﺮ َﺗ ﻦَﻋ ًة َر ﺎ َﺠ ِﺗ َن ﻮ ُﻜ َﺗ ْن َأ ﱠﻻ ِإ ِﻞ ِﻃ ﺎ َﺒ ْﻟ ﺎ ِﺑ ﻢُﻜَﻨْﻴَﺑ ﻢُﻜَﻟاَﻮْﻣَأ ا ﻮ ُﻠ ُآ ْﺄ َﺗ َﻻ اﻮُﻨَﻣاَء َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا ﺎَﻬﱡﻳَأﺎَﻳ<br />
ﺎ ًﻤ ﻴ ِﺣ َر ْﻢ ُﻜ ِﺑ َن ﺎ َآ <br />
Artinya: <br />
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan <br />
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara <br />
kamu (An-Nisaa : 29) <br />
b. Melaksanakan transaksi bisnis atas dasar ridha (Qs.4:29) <br />
c. Pencatatan transaksi hutang-piutang (QS.2:282 <br />
ﻩﻮﺒﺘآﺎﻓ ﻰﻤﺴﻣ ﻞﺟأ ﻰﻟا ﻦﻳﺪﺑ ﻢﺘﻨﻳاﺪﺗ اذا اﻮﻨﻣأ ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳﺄﻳ <br />
Artinya: <br />
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melaksanakan hutang piutang <br />
sampai waktu tertentu, maka tuliskanlah <br />
<br />
<br />
38agustianto.niriah.com <br />
d. Akad tansaksi bisnis disaksikan oleh saksi (2:282) <br />
ﻻ و ﻢﺘﻌﻳﺎﺒﺗ اذا اوﺪﻬﺷأو ﻻ و ﺐﺗﺎآ رﺎﻀﻳ ﺪﻴﻬﺷ <br />
Artinya: <br />
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli Dan janganlah penulis dan saksi <br />
saling menyulitkan” <br />
e. Larangan riba (Qs.2:275-279) <br />
َﻄ ْﻴ ﱠﺸ ﻟ ا ُﻪ ُﻄ ﱠﺒ َﺨ َﺘ َﻳ يِﺬﱠﻟا ُم ﻮ ُﻘ َﻳ ﺎَﻤَآ ﱠﻻ ِإ َن ﻮ ُﻣ ﻮ ُﻘ َﻳ َﻻ ﺎَﺑﱢﺮﻟا َن ُﻮ ﻠ ُآ ْﺄ َﻳ َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا ﺎَﺑﱢﺮﻟا ُﻞ ْﺜ ِﻣ ُﻊ ْﻴ َﺒ ْﻟ ا ﺎَﻤﱠﻧِإ اﻮُﻟﺎَﻗ ْﻢ ُﻬ ﱠﻧ َﺄ ِﺑ َﻚ ِﻟ َذ ﱢﺲ َﻤ ْﻟ ا َﻦ ِﻣ ُن ﺎ<br />
َﻚ ِﺌ َﻟ ْو ُﺄ َﻓ َد ﺎ َﻋ ْﻦ َﻣ َو ِﷲ ا ﻰَﻟِإ ُﻩ ُﺮ ْﻣ َأ َو َﻒ َﻠ َﺳ ﺎَﻣ ُﻪ َﻠ َﻓ ﻰَﻬَﺘﻧﺎَﻓ ِﻪ ﱢﺑ ﱠر ﻦﱢﻣ ُُﺔ َﻈ ِﻋ ْﻮ َﻣ ُﻩ َء ﺂ َﺟ ﻦَﻤَﻓ ﺎَﺑﱢﺮﻟا َم ﱠﺮ َﺣ َو َﻊ ْﻴ َﺒ ْﻟ ا ُﷲ ا ﱠﻞ َﺣ َأ َو<br />
ﱠﻨ ﻟ ا ُب ﺎ َﺤ ْﺻَأ َن و ُﺪ ِﻟ ﺎ َﺧ ﺎَﻬﻴِﻓ ْﻢ ُه ِر ﺎ } 275 { ٍﻢﻴِﺛَأ ٍر ﺎ ﱠﻔ َآ ﱠﻞ ُآ ﱡﺐ ِﺤ ُﻳ َﻻ ُﷲ ا َو ِت ﺎ َﻗ َﺪ ﱠﺼﻟ ا ﻲِﺑْﺮُﻳَو ﺎَﺑﱢﺮﻟا ُﷲ ا ُﻖ َﺤ ْﻤ َﻳ } 276 {<br />
ِﻬ ﱢﺑ َر َﺪ ﻨ ِﻋ ْﻢ ُه ُﺮ ْﺟ َأ ْﻢ ُﻬ َﻟ َة ﺎ َآ ﱠﺰ ﻟ ا ا ُﻮ َﺗ ا َء َو َة َﻼ ﱠﺼﻟ ا اﻮُﻣﺎَﻗَأَو ِتﺎَﺤِﻟﺎﱠﺼﻟا ا ﻮ ُﻠ ِﻤ َﻋ َو اﻮُﻨَﻣاَء َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا ﱠن ِإ َﻻ َو ْﻢ ِﻬ ْﻴ َﻠ َﻋ ٌف ْﻮ َﺧ َﻻ َو ْﻢ<br />
َن ﻮ ُﻧ َﺰ ْﺤ َﻳ ْﻢ ُه } 277 { َﻦﻴِﻨِﻣْﺆﱡﻣ ﻢُﺘﻨُآ نِإ ﺎَﺑﱢﺮﻟا َﻦ ِﻣ َﻲ ِﻘ َﺑ ﺎ َﻣ ا و ُر َذ َو َﷲ ا اﻮُﻘﱠﺗا اﻮُﻨَﻣاَء َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا ﺎَﻬﱡﻳَأﺂَﻳ } 278 { ا ﻮ ُﻠ َﻌ ْﻔ َﺗ ْﻢ ﱠﻟ نِﺈَﻓ<br />
ْﻢ ُﻜ َﻠ َﻓ ْﻢ ُﺘ ْﺒ ُﺗ نِإَو ِﻪ ِﻟ ﻮ ُﺳ َر َو ِﷲ ا َﻦ ﱢﻣ ٍب ْﺮ َﺤ ِﺑ ا ﻮ ُﻧ َذ ْﺄ َﻓ َن ﻮ ُﻤ َﻠ ْﻈ ُﺗ َﻻ َو َن ﻮ ُﻤ ِﻠ ْﻈ َﺗ َﻻ ْﻢ ُﻜ ِﻟ ا َﻮ ْﻣ َأ ُس و ُء ُر <br />
f. Keterkaitan Sektor moneter dengan sektor riil (2:275) <br />
ﺎﺑﺮﻟا مﺮﺣ و ﻊﻴﺒﻟا ﷲ ﻞﺣأ و <br />
Artinya: <br />
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” <br />
Jual beli, mengaitkan sektor riil (barang) dengan sektor moneter (uang/harga yang <br />
dibayarkan) <br />
g. Investasi dengan sistem mudharabah, musyarakah, ijarah <br />
h. Sasaran kebijakan fiskal Islam melalui zakat (5:60) <br />
i. Larangan menyuap/sogok, (Al-Baqarah : 188) <br />
ا ﻮ ُﻟ ْﺪ ُﺗ َو ِﻞ ِﻃ ﺎ َﺒ ْﻟ ﺎ ِﺑ ﻢُﻜَﻨْﻴَﺑ ﻢُﻜَﻟاَﻮْﻣَأ ا ﻮ ُﻠ ُآ ْﺄ َﺗ َﻻ َ َنﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ ْﻢُﺘﻧَأَو ِﻢ ْﺛ ِﻹ ْﺎ ِﺑ ِسﺎ ﱠﻨ ﻟ ا ِل ا َﻮ ْﻣ َأ ْﻦ ﱢﻣ ﺎ ًﻘ ﻳ ِﺮ َﻓ ا ﻮ ُﻠ ُآ ْﺄ َﺘ ِﻟ ِم ﺎ ﱠﻜ ُﺤ ْﻟ ا ﻰَﻟِإ ﺎَﻬِﺑ <br />
Artinya: <br />
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu <br />
dengan jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada <br />
hakim, agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa <br />
sedangkan kamu mengetahui (2:188) <br />
j. Memberikan keringanan bagi “debitur” yang tak mampu <br />
“Jika ia mengalami kesulitan (membayar hutang), maka berilah dia masa tangguh sampai ia <br />
mampu membayar” (QS.2: 283) <br />
<br />
39agustianto.niriah.com <br />
Bila diperhatikan nash-nash Al-Quran tentang muamalah maliyah, sifatnya global (kully), <br />
tidak terinci (juz’iy).Karakter global ini akan membuat hukum muamalah lebih elastis dan fleksibel <br />
dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Karena sifat global tersebut, maka <br />
Sunnah-lah yang menjelaskan Hukum-hukum muamalah menjadi rinci dan detail <br />
<br />
<br />
Tabel 6.1 Perbedaan Prinsip Ibadah Dan Muamalah <br />
No Ibadah Muamalah <br />
1 Bersifat tetap ( ) ﺔﺘﺑﺎﺛ Bersifat Elastis ( ) ةﺮﻴﻐﺘﻣ <br />
<br />
2 Tidak bisa berkembang Dapat berkembang sesuai dengan zaman & tempat <br />
3 Bersifat khusus,eksklusi Bersifat universal, inklusif <br />
4 Nash-nash lebih terinci (tafshili) Nash-nash umumnya general <br />
5 Peluang Ijtihad sempit Peluang ijtihad luas <br />
a. Kedah Ibadah dan Muamalah <br />
ﺎﻬﺘﺣﺎﺑ إ ﻰﻠﻋ ﻞﻴﻟﺪﻟا لﺪﻳ ﻰﺘﺣ ﻢﻳﺮﺤﺘﻟا ةدﺎﺒﻌﻟا ﻲﻓ ﻞﺻﻵا <br />
Artinya: <br />
“Pada dasarnya dalam ibadah adalah haram, kecuali ada dalil Yang <br />
membolehkannya” <br />
<br />
ﺎﻬﻤﻳﺮﺤﺗ ﻰﻠﻋ ﻞﻴﻟﺪﻟا لﺪﻳ ﻰﺘﺣ ﺔﺣ ﺎﺑﻻا ﺔﻠﻣﺎﻌﻤﻟا ﻲﻓ ﻞﺻﻵا <br />
Artinya: <br />
“Pada dasarnya semua aktivitas muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang <br />
melarangnya” <br />
<br />
ةادﺎﻌﻟا و ل اﻮﺣﻷا وﺔﻨﻜﻣﻷا و ﺔﻨﻣزﻵا ﺮﻴﻐﺘﺑ ﺮﻴﻐﺘﻳ مﺎﻜﺣﻵا <br />
Hukum dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat <br />
<br />
40agustianto.niriah.com <br />
6.5 Petunjuk (Dilalah) Al-Quran <br />
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun <br />
sepakat bahwa semua Ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) <br />
adalah Qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir (Syafe’i, <br />
1999:54) <br />
Adapun ditinjau dri segi dilalahnya, ayat-ayat Al-Quran itu dapat dibagi dalam dua bagian <br />
nash yang Qath’i dilalahnya dan nash yang Zhanny dilalahnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat <br />
pada Skema dilalah Al-Quran berkut ini: <br />
<br />
Gambar 6.4 Dilalah Al-Qur’an <br />
A. Qath’iy ad-Dilalah <br />
Qath’iy ialah lapaz-lapaz yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami <br />
makna selainnya. <br />
Misalnya, ayat tentang waris, hudud dan kaffarat. An-Nisaa : 11. <br />
ْﻮ َﻓ ًء ﺂ َﺴ ِﻧ ﱠﻦ ُآ نِﺈَﻓ ِﻦ ْﻴ َﻴ َﺜ ﻧ ُﻷ ْا ﱢﻆ َﺣ ُﻞ ْﺜ ِﻣ ِﺮ َآ ﱠﺬ ﻠ ِﻟ ْﻢ ُآ ِد َﻻ ْو َأ ﻲِﻓ ُﷲ ا ُﻢ ُﻜ ﻴ ِﺻﻮ ُﻳ ﺎَﻬَﻠَﻓ ًة َﺪ ِﺣ ا َو ْﺖَﻧ ﺎ َآ نِإَو َك َﺮ َﺗ ﺎ َﻣ ﺎَﺜُﻠُﺛ ﱠﻦ ُﻬ َﻠ َﻓ ِﻦ ْﻴ َﺘ َﻨ ْﺛ ا َق<br />
ُﻒ ْﺼﱢﻨ ﻟ ا <br />
Artinya: <br />
Allah mensyariatkan bagi tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu, bagian <br />
seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan, dan jika anak itu <br />
semuanya perempuan lebih dari 2 orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang <br />
ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh <br />
harta. <br />
41agustianto.niriah.com <br />
An-Nur : 24 <br />
َﻣ ﺎَﻤُﻬْﻨﱢﻣ ٍﺪ ِﺣ ا َو ﱠﻞ ُآ اوُﺪِﻠْﺟﺎَﻓ ﻲِﻧاﱠﺰﻟاَو ُﺔ َﻴ ِﻧ ا ﱠﺰ ﻟ ا َﺔ َﺋ ﺎٍة َﺪ ْﻠ َﺟ <br />
Artinya: <br />
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing <br />
keduanya 100 kali. <br />
<br />
B. Zhanniy ad-Dilalah <br />
zhanni’iy ialah lapaz-lapaz yang mengandung pengertian lebih dari satu dan mungkin <br />
untuk dita’wil. <br />
Misalnya, firman Allah tentang tangan yang dipotong (Al-Maidah : 38) <br />
ُُﻢ ﻴ ِﻜ َﺣ ٌﺰ ﻳ ِﺰ َﻋ ُﷲ ا َو ِﷲ ا َﻦ ﱢﻣ ًﻻ ﺎ َﻜ َﻧ ﺎَﺒَﺴَآ ﺎَﻤِﺑ ًء ﺁ َﺰ َﺟ ﺎَﻤُﻬَﻳِﺪْﻳَأ اﻮُﻌَﻄْﻗﺎَﻓ ُﺔ َﻗ ِر ﺎ ﱠﺴ ﻟ ا َو ُقِرﺎﱠﺴﻟاَو <br />
Artinya: <br />
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya <br />
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”. <br />
Kata tangan dalam ayat mengandung kemungkinan tangan kanan dan tangan kiri. Juga <br />
mengandung kemungkinan, 1. Ujung jari s/d pergelangan, 2. Ujung jari sampai siku, 3.Ujung jari <br />
sampai bahu. Kemungkinan makna yang banyak ini,membuat status ayat tersebut zhannniy ad- <br />
dilalah <br />
<br />
C. Qath’iy ats-Tsubut <br />
Qath’iy Tsubut ialah kepastian dari segi jumlah periwatannya yang banyak pada setiap <br />
level, sehingga tidak mungkin terjadi dusta, karena jumlah perawinya mutawatir. Berdasarkan <br />
definisi ini , maka seluruh ayat Al-Quran adalah qath’it ast-Tsubut. <br />
Kaitan ayat Qath’i-Zhanny dengan ijtihad adalah Ayat-ayat Qath’iy tidak bisa menjadi <br />
Objek ijtihad. Dengan demikian Lapangan (objek) ijtihad hanya-lah ayat-ayat Zhanniy. <br />
<br />
D. Zhanniy ats-Tsubut <br />
Qath’iy Tsubut ialah jumlah para perawinya tidak sampai mutawatir. Kezannian ini tidak <br />
ada pada ayat Al-quran, yang ada pada hadit ahad dan masyhur. <br />
<br />
42agustianto.niriah.com <br />
6.6 Pandangan Ulama tentang Dilalah Al-Quran Berhadapan dengan Sunnah <br />
Sunni memahami dilalah Al-Quran melalui sunnah. Jika tidak ada sunnah mereka <br />
memahaminya dengan ilmu bahasa Arab dan ilmu syari’at dengan mengambil maqashid syari’ah. <br />
Syi’iy : Tidak seorangpun yanag mampu memahami Al-Quran selain Imam mereka yang <br />
12. Imam-Imam tsb sebagai kunci memahami Al-Quran, karena Imam tersebut dianggap <br />
ma’shum (terhindar dari kesalahan) <br />
a. Cara Penjelasan Al-Quran terhadap hukum-hukum <br />
1) Penjelasan rinci, seperti hukum waris, hukum pidana (hudud) dan kaffarah <br />
2) Penjelasan global, seperti shalat, tidak dirinci jumlah rakaatnya. Zakat juga tidak <br />
djelaskan benda yang dizakti, nishab dan haulnya.Untuk menjelaskan ayat yang global itu, Nabi <br />
Muhammad melalui sunnahnya merinci, menjelaskan, dan mengkhususkannya. <br />
Sifat Al-Quran yang global dimaksudkan agar Al-quran menjadi elastis dan flexibel dalam <br />
menghadapi tantangan zaman yang selalu berubah. Seandainya Al-Quran semuanya bersifat <br />
rinci, maka ia akan kaku dalam menghadapi perubahan zaman yang selalu <br />
berubah/berkembang. Oleh karena itu prinsip-prinsip umum Al-Quran menjadi penting artinya <br />
dalam mengantisipasi perkembangan zaman <br />
<br />
b. Kesempurnaan Al-Quran dirangkum dalam 3 hal : <br />
1) Teks-teks rinci yang dikandung Al-Quran <br />
Teks-teks global yang mengandung berbagai kaedah-kaedah dan kriteria umum ajaran <br />
Al-Quran. Para ulama memahaminya sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki <br />
syara (maqashid syari’ah) <br />
2) KaedahushulFiqh yang terkait dengan Al-Quran <br />
3) Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber <br />
hukum atau metode istimbath, harus mengacu kepada kaedah umum yang dikandung Al-<br />
Quran <br />
4) Untuk memahami Al-Quran, para mujtahid harus mengetahui asbabun nuzul, karena <br />
ayat-ayat Al-Quran itu diturunkan secara bertahap sesuai dengan siatuasi dan kondisi <br />
sosial. <br />
<br />
<br />
<br />
43agustianto.niriah.com <br />
c. Alasan urgennya asbabun nuzul ialah <br />
1) Seseorang tidak bisa memahami kemukjizatan Al-Quran, kecuali setelah <br />
mempelajari situasi kondisi di zaman turunnya Al-Quran <br />
2) Ketidak tahuan terhadap asbaun nuzul, akan membuat kerancuan dalam memahami <br />
hukum-hukum yang dikandung Al-Quran, karena Al-Quran turun sesuai dengan <br />
permasalahan yang memerlukan ketentuan hukum <br />
Dalam memahami kandungan hukum dalam Al-quran, mujtahid juga dituntut untuk <br />
memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab. Contoh dalam memahami firman Allah Swt. <br />
(2:196) <br />
ﻌﻟاو ﺞﺤﻟا اﻮﻤﺗأو ﷲ ةﺮﻤ <br />
Artinya: <br />
“Sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah…” <br />
Ayat ini hanya memerintahkan untuk menyempurnakan haji dan umar, bukan memerintahkan haji <br />
dan umrah itu sejak semula. Hal ini dikarenakan orang-orang jahiliyah dahulu sudah <br />
melaksakana haji dan umar, maka Allah memerintahkan untuk menyempurnakan sebagian <br />
manasik haji, seperti wukuf di Arafah. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
44agustianto.niriah.com <br />
BAB 7 <br />
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM <br />
<br />
7.1 Pengertian Sunnah <br />
Sunnah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa <br />
dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk Arti tersebut bias <br />
ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya: “Barang siapa yang membiasakan <br />
sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang <br />
sesudahnya yang mengamalkannya.” (Syafe’i, 1999:60) <br />
Menurut istilah agama sunnah adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (yakni <br />
ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya). Dengan <br />
demikian sunnah nabi dapat berbentuk sunnah Qauliyah (perkataan), sunnah Fi’liyah <br />
(perbuatan), dan sunnah Taririyah (ketetapan). <br />
<br />
7.2 Jenis-jenis Hadist (Sunnah) <br />
Dilihat dari segi sanadnya hadist terbagi menjadi: <br />
a. Hadis Mutawatir <br />
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan tidak mungkin <br />
mereka mufakat berbuat dusta pada hadis itu, mengingat banyaknya jumlah mereka. <br />
<br />
b. Hadis Ahad <br />
Hadis ahad adalah hadis yang tidak sampai ke derajat mutawatir, yaitu shahih, hasan dan <br />
dhaif. <br />
1) Hadis Shahih, ialah hadis yang berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan <br />
dhbit dari orang yang eumpamanya, terpelihara dari mengganjil dan bersih dari cacat <br />
yang memburukkan. <br />
Contohnya:“Dari Ali bin Abi Abdullah dia berkata, telah meriwayatkan kepada kami <br />
sofyan dia berkata, telah meriwayatkan kepada kami Az Zuhriy dari mahmud bin Rabi’ <br />
dari Ubadah bin Shamit bahwa sesungguhnya Rasullullah SAW telah bersabda “tidak <br />
sah sembahyang orang yang tidak membaca Al-Fatihah” (H.R. Bukhari) <br />
2) Hadis Hasan, ialah hadis yang berhubungan sanadnya diriwatkan oleh orang yang adil <br />
yang kurang dhabitnya, terpelihara dari mengganjil dan bersih dari cacat yang <br />
memburukkan. Contohnya: “Peliharalah dirimu terhadap azab Allah dimana saja kamu <br />
berada dan iringilah kejahatan dengan kebaikan supaya dihapuskan dan pergaulilah <br />
manusia dengan budi pekerti yng baik” (H.R. Tarmizi). <br />
<br />
45agustianto.niriah.com <br />
3) Hadis Dhaif, ialah hadist yang kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat hadis <br />
syahih dan hasan atau dalam sanadnya ada orang yang bercacat. <br />
Contohnya: “Barangsiapa berkata kepada orang miskin “bergembiralah” maka wajib <br />
untuknya syurga” (H.R. Ibnu ‘Adiy) <br />
<br />
7.3 Kehujjahan Sunnah dan Pandangan Ulama Mazhab <br />
A. Kehujjahan Sunnah <br />
Sunnah merupakan sumber asli hukum syara’ yang menempati posisi kedua setelah Al-<br />
qur’an. Ada beberapa alas an yang dikemukakan ulama ushul fiqh untuk mendukung pernyataan <br />
tersebut, antara lain dengan Firman Allah: <br />
a. Surat Ali Imran (3:31) <br />
“Apabila kamu mencintai Allah, maka ikutilah Aku, Allah akan mencintaimu…” <br />
b. Surat Al-Ahzab (33:21) <br />
“sesungguhnya pada diri Rasulullah itu bagi kamu teladan yang baik, (yaitu) bagi orang-<br />
orang yang mengharap (rahmat) Allah hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah’ <br />
c. Surat Al-Hasyr (59:7) <br />
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah, dan apa yang dilarangnya bagimu, <br />
maka tinggalkanlah’ <br />
d. Surat An Nisaa 59 <br />
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul dan uli al amri diantara kamu. <br />
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah <br />
(Al-qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari <br />
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” <br />
e. Sabda Rasulullah: <br />
“Sesungguhnya pada Saya telah diturunkan Al-qur’an dan yang semisalnya” <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
46agustianto.niriah.com <br />
B. Sunnah dan Pandangan Ulama Mazhab <br />
a. Ulama Hadis <br />
Kebanyakan ulama hadis menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, hadis terbagi atas: <br />
1) Mutawatir <br />
2) Ahad <br />
a) masyur <br />
b) ‘aziz <br />
c) Gharib <br />
<br />
b. Hanafiah <br />
Menurut Hanafiah, Hadist terbagi atas 3 bagian, yaitu: <br />
1) mutawatir <br />
2) ahad <br />
3) masyur <br />
semua ulama telah menyepakati hadis mutawatir, namun berbeda pendapat dalam <br />
menghukumi hadis ahad <br />
<br />
C. Status Hadits Ahad & Mutawatir <br />
a. Semua hadits ahad dan masyhur adalah zanniy ats-Tsubut <br />
Hadits ahad/masyhur tidak bisa menghasilkan qat’iy ad-dilalah, sekalipun makna lapaznya <br />
tunggal, karena yang Zhanniy tidak bisa menghasilkan kecuali yang zhanniy juga. <br />
b. Setiap hadits mutawatir adalah qat’iy a-tsubut. <br />
Semua ulama telah menyepakati kehujahan hadis mutawatir, namun mereka berbeda <br />
pendapat dalam menghukumi hadis ahad, yaitu hadis yang yang iriwayatkan oleh Rasulullah <br />
SAW, oleh seorang, dua orang atau jamah, namun tidak mencapai derajat mutawatir (Syafe’i, <br />
1999:60). <br />
<br />
<br />
47agustianto.niriah.com <br />
7.4 Petujuk (Dilalah) Sunnah <br />
<br />
Gambar 7.1 Dilalah Sunnah <br />
<br />
Pandangan Asy-Syatibi, dalil syar’iy yang tunggal tidak bisa menjadi qat’hiy ad- dilalah <br />
dengan sendirinya, meskipun ia telah qath’iy ats-tsubut. Makna Ayat ةﻼﺼﻟا اﻮﻤﻴﻗأ dengan <br />
dirinya sendiri, tidak bersifat qat’h’iy, walaupun maknanya tegas tentang perintah Shalat. Karena <br />
tidak setiap perintah menunjukkan wajib. <br />
Keqath’iyan ayat tentang wajibnya shalat, dicapai karena didukung oleh sejumlah dalil <br />
lain yang banyak jumlahnya yang mendukung wajibnya shalat, termasuk dukungan dari berbagai <br />
hadits. Akumulasi berbagai dalil yang banyak itu menimbulkan ma’lum minad Din bi adh-<br />
Dharurah.(diketahui dari agama secara taken for garanted <br />
Konsep mutawatir ma’nawi yang digunakan Asy-Syatibi dalam memahami keqath’iyan <br />
dilalah, merupakan analogi terhadap qat’iy tsubut. <br />
a. Qath’iy tsubut terwujud karena periwayatannya dilakukan oleh orang banyak yang tak <br />
mungkin berdusta, yang disebut dengan mutawatir. <br />
b. Maka, jika dalam menciptakan keqath’iyan tsubut diperlukan adanya mutawatir al-wurud, <br />
demikian pula halnya dalam mewujudkan qath’it ad-dilalah, dibutuhkan mutawatir ma’nawi. <br />
c. Untuk mencari qath’iy ad-Dilalah harus melalui Istiqra’ (penelitian mendalam) terhadap <br />
seluruh nash syara’. Dalil yang dihasilkan melalui proses istiqra’ ini disebut Syabihu bil <br />
mutawatiri al-ma’nawi, yaitu ditunjang oleh sejumlah dalil yang menunjuk kepada satu <br />
pengertian yang sama <br />
48agustianto.niriah.com <br />
d. Jika sebuah dalil tidak didukung oleh sejumlah dalil yang banyak (dalil yang serupa <br />
maknanya), maka dalil yang tunggal itu harus memenuhi 10 syarat, agar terwujud <br />
keqath’iyannya (Ad-Dilalah). Dalil syara’ yang bersifat tunggal, tidak bisa menjadi qath’iy ad-<br />
Dilalah, kecuali terpenuhinya sejumlah syarat berupa premis-premis, antara lain: <br />
1) Bebas dari kaedah bahasa & ilmu Nahwu <br />
2) Tidak isytirak <br />
3) Tidak majaz <br />
4) Bebas dari pemahaman tradisi (adat) <br />
5) Penggunaan dhamir <br />
6) Adanya takhsis terhadap lapaz ‘am <br />
7) Adanya taqyid terhadp muthlaq <br />
8) Bebas dari nasikh <br />
9) Kejelasan taqdim dan ta’khir <br />
10) Tidak bertentangan dengan pemikiran yang logis <br />
<br />
Mengingat dalil syara’ yang dapat menunjukkan dilalah yang qath’iy hanya terwujud <br />
dengan sepuluh premis di atas, maka menemukan dalil tersebut hampir tidak mungkin, jika pun <br />
ada sangat jarang. <br />
Al-Asnawi dalam kitab dalam Kitab an-Nihayah as-Sul, juga hampir sama dengan Asy-<br />
Syatibi. Menurutnya, Sunnah mutawatirah, sebagaimana Al-Quran, adalah qath’iy, dipandang <br />
dari segi wurud (jumlah perawinya) yang banyak. Sedangkan dilalahnya, zhanniy (jika dalil <br />
tunggal). Kezhanniyan itu, karena terkait dengan Al-Ihtimalul Asyrah yang identik dengan sepuluh <br />
premis versi Asy-Syatibi <br />
<br />
7.5 Kedudukan Sunnah Terhadap Al-qur’an <br />
A. Sunnah sebagai Penguat (Ta’qid) Al-qur’an <br />
Hukum Islam disandarkan pada dua sumber, yaitu Al-qur’an dan sunnah. Tidak heran <br />
jika banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan <br />
musyrik, dan lain-lain. <br />
<br />
<br />
49agustianto.niriah.com <br />
B.Sunnah Seabagai Penjelas Al-qur’an <br />
Sunnah sebagai penjelas terdapat pada Surat An-Nahl (44): <br />
“Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang <br />
diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir” <br />
Hal ini menjelaskan bahwa sunnah berperan penting dalam menjelaskan maksud-<br />
maksud yang terkandung dalam Al-qur’an, sehingga dapat menhilangkan kekeliruan dalam <br />
memahami Al-qur’an. Dan sebagaimana diketahui bahwa shalat zduhur 4 raka’at, maghrib 3 <br />
raka’at, berasal dari sunnah. <br />
Penejlasan sunnah terhadap Al-qur’an dikategorikan atas: <br />
a) Penjelasan terhadap hal global <br />
Seperti perintah shalat dalam Al-qur’an yang tidak diiringi dengan penjelasan rukun, syarat, <br />
dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka, dijelaskan oleh sunnah sebagaimana <br />
Rasulullah bersabda: “ shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat” <br />
b) Penguat secara mutlak <br />
Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam Al-qur’an <br />
c) Sunnah sebagai takhsis terhadap dalil-dalilAl-Qur’an yang masih umum <br />
<br />
C. Sunnah Sebagai Pembuat Syari’at (Musyar’i) <br />
Tidak diragukan lagi sunnah adalah penguat dalil-dalil umum yang ada dalam Al-qur’an, <br />
misalnya zakat fitrah, aqiqah, dan lain-lain. <br />
<br />
7.6 Sikap Para Ulama Ketika Zahiral-Qur’an Berhadapan Dengan Sunnah <br />
A. Sunnah yang mentakhsish keumuman Al-Quran <br />
a. Imam Syafi’I & Ibnu Hanbal <br />
Menurutnya pemahaman Al-quran mesti disesuaikan dengan penjelasan yang ada dalam <br />
Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai: <br />
(a) Penjelas/penafsir Al-Quran dan <br />
(b) Pentakhshish keumuman Al-Quran <br />
50agustianto.niriah.com <br />
Maka, semua lapaz ‘amm yang ada dalam Al-Quran, jika ada keterangannya dalam <br />
hadits yang mentakhshisnya, maka takhshis itu harus diperpegangi, meskipun terkesan <br />
menyalahi zhahir ayat. <br />
Contoh: <br />
ﻚﻟاذ ءار و ﺎﻣ ﻢﻜﻟ ﻞﺣأو <br />
Artinya: <br />
“Dan Allah menghalalkan (menikahi) selain yang telah disebutkan” <br />
<br />
Ayat tersebut ditakhshish oleh hadits Nabi Saw : <br />
ﺎﻬﺘﻟﺎﺧ ﻻو ﺎﻬﺘﻤﻋ ﻰﻠﻋ ةأﺮﻤﻟا ﺢﻜﻨﺗ ﻻ <br />
Artinya: <br />
“Wanita yang tidak boleh dinikahi adalah bibinya, baik dari pihak ayah amaupun <br />
pihak ibu”. <br />
Ayat 14 Surah An-Nisaa di atas bersifat umum, maka selain yang disebutlkan Al-Quran <br />
dalam Surah An-Nisak ayat 14 tidak haram, lalu ada penjelasan hadits yang menjelaskan <br />
keharaman tambahan sebagai takhshis. <br />
ﻪﻨﻣ ﺮﺴﻴﺗ ﺎﻣ اوأﺮﻗﺎﻓ <br />
Artinya: <br />
Maka bacalah ayat Al-Quran yang termudah bagimu <br />
Ayat ini bersifat umum, sehingga dalam shalat, boleh membaca ayat apa saja, tidak <br />
harus surah Al-Fatihah <br />
بﺎﺘﻜﻟا ﺔﺤﺗﺎﻔﺑ أﺮﻘﻳ ﻢﻟ ﻦﻤﻟ ةﻼﺻ ﻻ <br />
Hadits ini mentakhshish keumuman ayat di atas, sehingga dalam shalat wajib <br />
membaca al-Fatihah. <br />
b. Hanafiyah <br />
Hanafiah tidak menerima takhshish hadits tersebut, karena status hadits tersebut adalah <br />
hadits ahad. <br />
<br />
<br />
51agustianto.niriah.com <br />
c. Abu Hanifah <br />
Menurut Abu Hanifah adalah lapaz umum yang ada dalam Al-Quran dijalankan sesuai <br />
dengan kebutuhan terhadap keumumannya. Jika ada sunnah mutawatir dan masyhur <br />
yang mentakhsishnya, maka sunnah itu bisa mentakhshisnya. Jika tidak, maka Al-quran <br />
dipahami berdasarkan keumumannya. Hadits ahad tidak bisa mentakhshish keumuman <br />
Al-Quran. <br />
ﻊﻴﺒﻟا ﷲا ﻞﺣأو <br />
Ayat ini umum, menghalalkan segala bentuk jual-beli. Selanjutnya ditakhshish oleh <br />
berbagai hadits Nabi SAW . antara lain, Hadits yang melarang jual beli gharar, jual beli <br />
najsy, jual beli al-’inah, talaqqi rukban, dsb. <br />
d. Jumhur Ulama <br />
Jumhur Ulama menerima hadits ahad sebagai pentakhshish ayat, sehingga mereka <br />
mewajibkan bacaan surah Al-Fatihah <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
52agustianto.niriah.com <br />
BAB 9 <br />
IJTIHAD <br />
<br />
9.1 Pengertian Ijtihad <br />
9.1.1 Pengertian Ijtihad Secara Etimologi <br />
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd, al-juhd, ) ﺪﻬﺠﻟا ( dan ath-thaqat, yang <br />
artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan (al-<br />
masyaqat). <br />
Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan,(lebih dari pekerjaan biasa) <br />
Sabda Nabi Saw :ءﺎﻋﺪﻟا ﻲﻓ اوﺪﻬﺘﺟو ﻲﻠﻋ اﻮﻠﺻ <br />
Artinya: Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sunguhlah dalam berdo’a <br />
Ijtihad adalah masdar dari ﺪﻬﺘﺟا Penambahan huruf alif dan ta, berarti “usaha itu lebih <br />
sunguh-sungguh”. <br />
Oleh sebab itu ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya untuk <br />
mendapatkan sesuatu. Sebaliknya, usaha yang tidak dilakukan secara maksimal (tidak <br />
mengunakan daya yang keras), tidak disebut sebagai ijtihad <br />
Ijtihad menurut istilah yaitu suatu aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (isthimbath) <br />
hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at. <br />
<br />
9.1.2 Pengertian Ijtihad Secara Terminologi <br />
<br />
Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar hukum Islam) untuk <br />
memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama) <br />
Kenyataan menunjukkan bahwa ijtihad dilakukan di berbagai bidang, yang mencakup <br />
aqidah, muamalah dan falsafat. <br />
<br />
<br />
9.2 Perkembangan Ijtihad <br />
Ijtihad telah berkembang sejak masa Rasul. Sepanjang fiqih mengandung pengertian <br />
tentang hokum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, maka ijtihad akan terus <br />
berkembang. <br />
Sumber hukum Islam di masa Nabi hanya 2, yaitu Al-Quran dan Sunnah Jika muncul <br />
suatu kasus, Rasul menunggu wahyu diturunkan,Jika wahyu tidak turun, maka beliau berijtihad. <br />
Hasil Ijtihad ini disebut dengan hadits (Sunnah). Hasil Ijtihad Nabi juga disebut Wahyu (An_Najm <br />
: 4). <br />
<br />
53agustianto.niriah.com <br />
<br />
Di masa Nabi, seringkali para sahabat dilatih berijtihad dalam berbagai kasus, seperti: <br />
a. Kasus Shalat Ashar di Bani Quraizah, <br />
b. Kasus tawanan perang, dan <br />
c. Kasus Tayamum Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khaththab. <br />
Ijtihad tersebut ada yang ditaqrir (diakui) Nabi (Kasus a), ada yang turun ayat tentangnya <br />
(Kasus b) ada yang dibenarkan Nabi (Kasus c). <br />
Selain menggunakan nash, ijtihad juga dapat dilakukan dengan ra’yu, hal ini disebabkan <br />
tidak semua masalah ada nash-nya. Ijtihad dengan ra’yu pemikiran telah diizinkan Rasulullah <br />
Saw, yang memberi izin kepada Mu’az untuk berijtihad pada saat Mu’az diutus ke Yaman. <br />
Umar bin Khattab juga dikenal sering berijtihad dengan menggunakan ra’yu apabila tidak <br />
menemukan ketentuan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada jaman Imam syafi’I, cara <br />
penggunaan ra’yu disitematiskan sehingga ada kerangka acuan yang jelas, seperti yang dikenal <br />
dengan metode qiyas. Qiyas dijadikan sebagai alat penggalian hukum yang shahih. Para tabi’in <br />
juga melakukan hal yang sama sehingga muncul ahli ra’yu dan ahli hadits <br />
Ahli ra’yi lebih banyak menggunakan ra’y (rasio) dibanding ahli hadits dalam <br />
mengistimbath hukum. Sedangkan ahli hadits dalam menyelesaikan berbagai kasus berusaha <br />
mencari illat hukum, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukuman kasus yang <br />
dihadapi dengan kasus yang ada nash-nya. <br />
Mereka juga sering mencari rahasia dan maqashid suatu dalil syara, seperti benda <br />
zakat yang bisa diganti dengan uang <br />
Kebutuhan akan Ijtihad ini terus berkembang, hal ini dikarenakan: <br />
a. Setelah Rasul wafat, beliau meninggalkan Al-Quran dan Sunnah. Nash Al-quran dan Sunnah <br />
tersebut jelas tidak akan bertambah, sementara persoalan dan masalah yang dihadapi kaum <br />
muslimin dari zaman ke zaman terus berkembang, karena itu kebutuhan akan ijtihad menjadi <br />
sebuah yang niscaya. <br />
b. Ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, ke Persia, Syam, Mesir, Afrika Utara bahkan <br />
sampai ke spanyol, Turki dan India, permasalahan yang dihadapi ulama semakin <br />
kompeks,maka ijtihad semakin berperan dalam mengistimbath hukum. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
54agustianto.niriah.com <br />
9.3 Dasar Hukum Ijtihad <br />
a. An-Nisaa ayat 105 <br />
ًﻤ ﻴ ِﺼَﺧ َﻦﻴِﻨِﺋﺂَﺨْﻠﱢﻟ ﻦُﻜَﺗَﻻَو ُﷲ ا َك ا َر َأ ﺂ َﻤ ِﺑ ِسﺎ ﱠﻨ ﻟ ا َﻦ ْﻴ َﺑ َﻢ ُﻜ ْﺤ َﺘ ِﻟ ﱢﻖ َﺤ ْﻟ ﺎ ِﺑ َب ﺎ َﺘ ِﻜ ْﻟ ا َﻚ ْﻴ َﻟ ِإ ﺂَﻨْﻟَﺰﻧَأﺂﱠﻧِإ ﺎ<br />
Artinya: <br />
Sesungguhnya Kami turunkan Kitab kepadamu secara hak, agar kamu dapat <br />
menghukumi di antara manusia, dengan rasio yang diberikan Allah kepadamu <br />
<br />
نوﺮﻜﻔﺘﻳ مﻮﻘﻟ تﺎﻳﻷا ﻚﻟاذ ﻲﻓ نا <br />
Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang <br />
berfikir <br />
Dalam ayat-ayat tersebut terdapat penetapam ijtihad berdasarkan qiyas <br />
<br />
a. Hadits Nabi SAW. yang <br />
diriwayatkan oleh Umar ra. <br />
ﺮﺟأ ﻪﻠﻓ ﺄﻄﺟأ ﻢﺛ ﺪﻬﺘﺟﺎﻓ ﻢﻜﺣ اذاو ناﺮﺟأ ﻪﻠﻓ بﺎﺻﺄﻓ ﺪﻬﺘﺟﺎﻓ ﻢآ ﺎﺤﻟا ﻢﻜﺣ اذا <br />
Artinya: <br />
Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan <br />
bila salah maka ia mendapat satu pahala. <br />
b. Hadits Nabi SAW. Kepada <br />
Muadz ibnu Jabal untuk menjadi hakim di Yaman. <br />
Rasulullah Saw bertanya, “Dengan apa kamu menghukum?” ia menjawab, “Dengan apa <br />
yang ada dalam kitab Allah Swt. Rasulullah bertanya lagi, “Jika kamu tidak mendapatkan <br />
dalam Kitab Allah?” Dia menjawab, “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan oleh <br />
Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “Jika tidak mendapat dalam ketetapan Rasulullah?” berkata <br />
Muadz,” Aku berijtihad dengan pendapatku.”Rasulullah bersabda,” Aku bersyukur kepada <br />
Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya. <br />
Hirarki hadist yang melegitimasi Ijtihad Mu’az <br />
1) Al-Quran <br />
2) Sunnah <br />
3) Ijtihad <br />
<br />
55agustianto.niriah.com <br />
<br />
9.4 Macam-macam Ijtihad <br />
9.4.1 Menurut Imam syafi’i: <br />
Ijtihad menurut Imam Syfi’i adalah dengan menyamakan ijtihad dengan qiyas. Beliau <br />
tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan dan maslahah mursalah . <br />
Sedangkan ulama lain, ijtihad mencakup ra’yu, qiyas, dan akal, sehingga termasuk <br />
istihsan dan maslahah. <br />
<br />
9.4.2 Menurut Dr. Dawallibi dan Asy-Syatibi <br />
Dr. Dawallibi dan Asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat membagi ijtihad kepada tiga bagian: <br />
a. Ijtihad al-Batani yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash <br />
b. Ijhad al-Qiyasi yaitu, ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan <br />
as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas <br />
c. Ijtihad al-Istishlah yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan <br />
as-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah. <br />
<br />
9.4.3 Menurut Taqyuddin Al-Hakim <br />
Menurut Taqyuddin Al-Hakim ijtihad terbagi atas: <br />
a. Ijtihad al-Aqli <br />
Yaitu ijtihad yang hujjahnya Didasarkan pada akal,Tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid <br />
bebas menggunakan berfikir dengan kaedah. Misalnya, menjaga kemudratan, hukuman itu <br />
jelek jika tidak disertai dengan penjelasan ,dll <br />
b.Ijtihad Syar’iy <br />
Yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini, ijma’ qiyas, istihsan, <br />
Istislah, ‘uruf, istishab <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
56agustianto.niriah.com <br />
9.5 Syarat-syarat Mujtahid <br />
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum al-Qur’an secara bahasa dan syari’ah <br />
b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun syari’at <br />
c. Mengetahui nasakh dan mansukh ayat al-Qur’an dan Sunnah <br />
d. Mengetahui hal atau kasus yang telah ijma ulama <br />
e. Mengetahui metode qiyas <br />
f. Menguasai bahasa Arab dan ilmu bahasa. <br />
g. Mengetahui ilmu ushul fiqh. <br />
h. Mengetahui masalah (kasus) yang diijtihadi. <br />
i. Mampu mengetahui kaidah-kaidah maqasidus-syariah. <br />
<br />
Maqashi Syari’ah adalah, mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudratan <br />
yang berada dalam koridor syari’ah. Maqashid Syari’ah merupakan upaya memelihara 5 macam <br />
kebutuhan dasar manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (tujuan maqsith <br />
syaria’ah) sebagaimana terlihat pada gambar berikut: <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 9.1 Maqasith Syariah <br />
<br />
Dalam hal ini kita sebagai manusia harus menjaga agama, akal jiwa, keturunan dan harta <br />
kita tetap berada dalam koridor syariah (hukum Islam) guna kemaslahatan dunia dan akhirat dan <br />
terhindar dari kemudharatan. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
57agustianto.niriah.com <br />
9.6 Objek Kajian Ijtihad <br />
Objek kajian ijtihad adalah hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’iy. Dengan <br />
demikian, syaria’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi atas: <br />
a. Hal-hal yang boleh dijadikan sebagai objek kajian ijtihad adalah hukum yang didasarkan <br />
pada dalil zhanni, baik petunjuknya, (dilalahnya) maupun tsubutnya sSerta hukum-hukum <br />
yang belum ada nashnya dan belum ada ijma’ ulama tentangnya. <br />
b. Sedangkan hal-hal yang tidak boleh dijadikan objek kajian ijtihad, ialah hukum-hukum yang <br />
telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, berdasarkan pada dalil-dalil qath’i. <br />
seperti melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, haramnya berzinah, mencuri, dll. <br />
<br />
9.7 Objek Ijtihad <br />
Berikut ini adalah objek kajian ijtihad: <br />
a. Muamalat <br />
b. Filsafat <br />
c. Hukum yang dasarnya dalil zhanniy <br />
d. Ijtihad Bidang politik, aqidah, tasawuf, filsafat (Menurut Harun Nst) <br />
<br />
9.8 Hukum Melakukan Ijtihad <br />
Mayoritas Ulama fiqih dan ushul, diperkuat oleh at-Taftazani dan ar-Ruhawi mengatakan, <br />
“ijtihad tidak boleh dalam masalah qath’iyat dan masalah akidah”. Minoritas Ulama (al.Ibnu <br />
Taimiyah dan Al-Hummam) membolehkan adanya ijtihad dalam akidah. <br />
Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad: <br />
a. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus mengamalkan <br />
hasil ijtihadnya sendiri. <br />
b. Fardu ‘ain juga menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya. Dan bila tidak dijawab <br />
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut, dan habis <br />
waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut. <br />
c. Fardhu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis <br />
waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang telah memenuhi syarat. <br />
d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun <br />
tidak. <br />
e. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qath’I karena bertentangan <br />
dengan syara’. <br />
<br />
58agustianto.niriah.com <br />
9.9 Tingkatan Mujtahid <br />
Mujtahid memiliki beberapa tingktan, yaitu: <br />
a. Mujtahid mustaqil <br />
yaitu orang yang bebas membuat kaidahnya sendiri, menyusun fiqihnya sendiri, dan ber <br />
beda dengan madzhab lain. <br />
<br />
b. Mujtahid muthlaq ghairu mustaqil <br />
yaitu orang yang mempunyai kriteria mujtahid mustaqil tetapi mengikuti salah satu mazhab. <br />
<br />
c. Mujtahid muqayyad/takhrij <br />
yaitu orang yang diberi kebebasan untuk menentukan landasannya berdasarkan dalil, tetapi <br />
tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang dipakai imamnya. <br />
<br />
d. Mujtahid tarjih <br />
yaitu sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara <br />
memutuskan hukumnya, bisa mengetahui cara mencari dalil yang kuat, dll. <br />
<br />
e. Mujtahid fatwa <br />
yaitu orang yang hafal dan paham kaidah-kaidah imam mazhab, mampu menguasai <br />
permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun masih lemah menetapkan suatu <br />
putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut imam Nawawi <br />
kriteria ini masih sangat bergantung pada fatwa yang telah disusun imam mazhab. <br />
<br />
9.10 Tertutup Dan Terbukanya Pintu Ijtihad <br />
Pada abad 4 hijriyah ada anggapan bahwa pintu berijtihad telah tertutup karena umat <br />
islam terpecah pada ketaatan dan pengagungan pada masing-masing madzhabnya. Dan adanya <br />
perasaan mereka bahwa mereka tidak akan mampu untuk menandingi para imam madzhab pada <br />
waktu itu. <br />
Jumhur ulama, para imam madzhab, sunni dan syi’ah, telah sepakat bahwa pintu ijtihad <br />
tidak akan pernah tertutup dan akan selalu terbuka. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
59agustianto.niriah.com <br />
BAB 10 <br />
METODE DAN PENGGALIAN HUKUM ISLAM <br />
10.1 Ijma <br />
A. Pengertian Ijma’ <br />
Secara etimologi ada dua pengertian ijma’, yaitu: <br />
a. ijma’ berarti kesepakatan/consensus (Q.S. Yusuf : 12) <br />
ﺐﺠﻟا ﺔﺑﺎﻴﻏ ﻲﻓ ﻩﻮﻠﻌﺠﻳ لأ اﻮﻌﻤﺟأ ﻪﺑ اﻮﺒهذ ﺎﻤﻠﻓ <br />
Artinya: <br />
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur <br />
b. ketetapan untuk melaksanakan sesuatu (Q.S.Yunus :71) <br />
ﻢآءﺎآﺮﺷ و ﻢﻜﻣﺮﻣأ اﻮﻌﻤﺟﺄﻓ: <br />
<br />
Pengertian Ijma’ secara terminologi adalah Kesepakatan semua mujtahid dari ummat <br />
Muhammad Pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu hukum syara’. <br />
Muhammad Abu Zahroh menambahkan di akhir definisi itu kata “yang bersifat amaliyah”. <br />
ﻲﻋﺮﺷ ﻢﻜﺣ ﻰﻠﻋ ﻢﻌﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ةﺎﻓو ﺪﻌﺑ رﻮﺼﻌﻟا ﻦﻣ ﺮﺼﻋ ﻲﻓ ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻟا ﻦﻣ ﻦﻳﺪﻬﺘﺠﻤﻟا ﻊﻴﻤﺟ قﺎﻔﺗا <br />
<br />
B. Rukun Ijma’ <br />
a. Rukun Ijma’ (Disepakati Ulama) <br />
Semua rukun/syarat ini disepakati Ulama: <br />
1) Yang terlibat dlm pembahasan hukumnya, semua mujtahid, Jika ada yang tidak setuju, <br />
maka hasilnya bukan ijma’ <br />
2) Semua Mujtahid hidup di masa tersebut dari seluruh dunia <br />
3) Kesepakatan itu terwujud setelah masing-masing Mengemukakan pendapatnya <br />
4) Hukum yang disepakati adalah hukum syara yang tidak ada hukumnya dalam Al-Quran <br />
5) Sandaran hukum ijma’ tersebut adalah Al-Quran dan atau hadits Rasulullah <br />
6) Yang melakukan ijma’ adalah orang yang memenuhi syarat <br />
7) Kesepakataan itu muncul dari para mujtahid yang adil (berpendirian kuat terhadap <br />
agamanya) <br />
8) Para mujtahid adalah mereka yang berusaha menghindarkan Diri dari ucapan <br />
dannperbuatan yang bid’ah <br />
<br />
60agustianto.niriah.com <br />
b. Rukun/Syarat Ijma’ yang (diperselisishkan) <br />
1) Para Mujtahid itu adalah para sahabat <br />
2) Para Mujtahid kerabat Rasulullah <br />
3) Mujtahid itu adalah ulama Madinah <br />
4) Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya Sampai wafatnya seluruh <br />
5) mujtahid yang menyepakatinya <br />
6) Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya tentang masalah yang sama <br />
<br />
C. Tingkatan Ijma’ <br />
1) Sharih (jelas) <br />
Sharih ialah jika semua ulama secara jelas mengemukakan pendapatnya. Ijma’ Sharih, <br />
kesepakatn para mujtahid, baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap suatu <br />
masalah hukum yang dikemukaan dalam sidang ijma’ setelah masing-masing mujtahid <br />
mengemukakan pendapatnya terhadap masalah yang dibahas. Ijma’ ini bisa dijadikan <br />
hujjah dan statusnya bersifat qath’iy (pasti) <br />
<br />
2) Sukuti (Diam) <br />
Sukuti ialah Sebagian Ulama diam Atas Pendapat Mujtahid lain. Pendapat sebagian <br />
mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan <br />
sebagian mujtahid lainnya diam saja setelah meneliti pendapat <br />
<br />
Pendapat Ulama tentang Ijma’ sukuti: <br />
1) Malikiyah, Syafi’iyah dan Abu Bakar Al-Baqillani <br />
Berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat dijadikan hujjah. <br />
<br />
2) Mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad <br />
Berpendapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah yang qath’iy. <br />
<br />
3) Al-Juba’iy (dari Muktazilah) <br />
Berpendapat bahwa ijma’ sukuti bisa dikatakan ijma’ apabila mujtahid yang <br />
menyepakati hukum tersebut telah habis (meninggal semua), karena bila mujtahid <br />
(yang diam) dalam persoalan itu masih hidup, mungkin saja sebelum mereka wafat, <br />
ada yang membantah hukum tersebut <br />
<br />
4) Al-Amidi, Ibnu Hajib, Al-Karkhi <br />
Berpendapat bahwa ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan ijma’, tetapi dapat dikatakan <br />
hujjah yang statusnya zhanniy. <br />
<br />
<br />
61agustianto.niriah.com <br />
<br />
Gambar 10.1 pendapat UlamaTentang Ijma’ Sukuti <br />
D. Kehujjahan Ijma’ <br />
a. Jumhur Ulama Ushul Fiqh <br />
Jumhur Ulama Ushul Fiqh berpendapat “apabila rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ <br />
tersebut menjadi hujjah yang qath’iy, wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan <br />
orang yang mengingkarinya diangap kafir. Masalah hukum yang telah disepakati dengan ijma’, <br />
tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, dan karena itu pendapat yang <br />
berbeda dengan ijma’ tersebut tidak bisa membatalkan ijma’ yang teah terjadi. Alasan <br />
ketidakbolehan tersebut, dikarenakan hukum yang telah ditetapkan secara ijma’ bersifat qath’iy <br />
dan menempati urutan ketiga setelah Al-Quran, <br />
Tetapi, Ibrahim Ibnu Siyar Al-Nazzam (tokoh Muktazilah), Khawarij dan Syi’ah <br />
berpendapat, “Ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah. Menurut mereka Ijma’ seperti yang digambarkan <br />
Jumhur tidak mungkin terjadi, karena sulit mempertemukan seluruh ulama yang tersebar di <br />
berbagai belahan dunia. Selain itu masing-masing daerah mempunyai struktur sosial dan budaya <br />
yang berbeda. <br />
<br />
b. Syi’ah <br />
Menurut Syi’ah, ijma’ tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena pembuat hukum adalah <br />
Imam yang mereka anggap ma’shum`(terhindar dari dosa) <br />
<br />
c. Ulama Khawarij <br />
Ulama Khawarij dapat merima ijma’ sahabat sebelum terjadinya perpecahan politik di <br />
kalangan sahabat <br />
<br />
<br />
<br />
62agustianto.niriah.com <br />
Alasan Tentang Kehujjahan ijma’ <br />
a. Jumhur <br />
1) An-Nisaa: 59 <br />
<br />
ِﷲ ا ﻰَﻟِإ ُﻩ و ﱡد ُﺮ َﻓ ٍء ْﻰ َﺷ ﻲِﻓ ْﻢ ُﺘ ْﻋ َز ﺎ َﻨ َﺗ نِﺈَﻓ ْﻢ ُﻜ ﻨ ِﻣ ِﺮ ْﻣ َﻷ ْا ﻰِﻟْوُأَو َل ﻮ ُﺳ ﱠﺮ ﻟ ا اﻮُﻌﻴِﻃَأَو َﷲ ا اﻮُﻌﻴِﻃَأ اﻮُﻨَﻣاَء َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا ﺎَﻬﱡﻳَأﺎَﻳ<br />
ًﻼ ﻳ ِو ْﺄ َﺗ ُﻦ َﺴ ْﺣ َأ َو ُُﺮ ْﻴ َﺧ َﻚ ِﻟ َذ ِﺮ ِﺧ َﻷ ْا ِم ْﻮ َﻴ ْﻟ ا َو ِﷲ ﺎ ِﺑ َنﻮُﻨِﻣْﺆُﺗ ْﻢ ُﺘ ﻨ ُآ نِإ ِلﻮُﺳﱠﺮﻟاَو <br />
<br />
Artinya: <br />
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul dan Ulil Amri <br />
di antara kamu. <br />
<br />
Menurut jumhur, ulil amri bersifat umum mencakup: <br />
a) Pemimpin agama (mujtahid & pemberi fatwa) <br />
b) Pemimpin negara dan perangkatnya Ibnu Abbas, “Ulil Amri=ulama” <br />
<br />
2) An-Nisaa 4:115 <br />
<br />
{ َﻢ ﱠﻨ َﻬ َﺟ ِﻪ ِﻠ ْﺼُﻧ َو ﻰﱠﻟَﻮَﺗﺎَﻣ ِﻪ ﱢﻟ َﻮ ُﻧ َﻦﻴِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ِﻞ ﻴ ِﺒ َﺳ َﺮ ْﻴ َﻏ ْﻊ ِﺒ ﱠﺘ َﻳ َو ىَﺪُﻬْﻟا ُﻪ َﻟ َﻦ ﱠﻴ َﺒ َﺗ ﺎ َﻣ ِﺪ ْﻌ َﺑ ﻦِﻣ َل ﻮ ُﺳ ﱠﺮ ﻟ ا ِﻖ ِﻗ ﺎ َﺸ ُﻳ ﻦَﻣَو<br />
ا ًﺮ ﻴ ِﺼَﻣ ْتَء ﺂ َﺳ َو <br />
Artinya: <br />
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya <br />
dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia <br />
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasaianya itu dan Kami <br />
masukkan ke dalam Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat” <br />
3) H.R. At. Tarmizi <br />
ﺄﻄﺨﻟا ﻰﻠﻋ ﻊﻤﺘﺠﺗ ﻻ ﻰﺘﻣأ <br />
Artinya: <br />
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah <br />
<br />
ﺔﻟﻼﺿ ﻰﻠﻋ ﻰﺘﻣأ ﻊﻤﺘﺠﺗ ﻻ ) 4 <br />
Artinya Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan <br />
<br />
63agustianto.niriah.com <br />
ﺎﻬﻴﻧﺎﻄﻋﺄﻓ ﺔﻟﻼﺿ ﻰﻠﻋ ﻰﺘﻣأ ﻊﻤﺘﺠﺗ ﻻأ ﷲا ﺖﻟﺄﺳ و ) 5 <br />
Artinya: <br />
Saya mohon kepada Allah agar umatku tidak sepakat melakukan kesesatan, <br />
lalu Allah mengabulkannya ((H.R.Ahamad dan Thabrani) <br />
<br />
b. Al-Ghazali <br />
Menurut Al-Ghazali Surah an-Nisa’ ayat 115, menunjukkan bahwa Allah menjadikan <br />
orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai orang yang <br />
menentang Allah dan Rasul-Nya, dan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya itu hukumnya <br />
haram. <br />
<br />
c. Abdul Wahab Khallaf <br />
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa suatu hukum yang telah disepakati seluruh <br />
mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat Islam seluruhnya. Apabila seluruh umat telah <br />
sepakat, maka tidak ada alasan menolaknya. <br />
<br />
<br />
d. Hanafi dan Hanabilah <br />
Alasan Hanafi dan Hanabilah hanya melalui akal (logika) <br />
1) Diamnya para ulama, setelah mengetahui hukum hasil ijtihad para ulama, adalah setelah <br />
mempelajari dan menganalisa hasil ijtihad itu dari berbagai segi. Para ulama ushul <br />
menyatakan: Artinya, diam saja ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai <br />
penjelasan <br />
2) Adalah tidak dapat diterima (tidak layak) jika para ahli fatwa diam saja ketika ada <br />
mendengar fatwa ulama lain. <br />
<br />
Jumhur ulama yang menolak kehujjahan ijma’ sukuti mengatakan bahwa rukun dan <br />
syarat ijma’ adalah kesepakatn seluruh mujtahid yang hidup di zaman terjadinya ijma’ tersebut, <br />
dan masing-masing mereka terlibat membicarakan hukum yang ditetapkan. Sedangkan ijma’ <br />
sukuti merupakan pendapat pribadi yang disebarluaskan, sementara mujtahid lainya diam saja. <br />
Diamnya mujtahid tidak bisa dianggap sebagai suatu persetejuan. Maka status ijma’ sukuti <br />
hanyalah zhanniy. <br />
<br />
E. Kemungkinan terjadinya Ijma’ <br />
Mayoritas Ulama,”Tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ telah <br />
ada. Mereka mencontohkan pembagian waris bagi nenek sebesar 1/6 dari harta warisan dan <br />
larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual. <br />
64agustianto.niriah.com <br />
Tetapi Ulama Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Siapa yang mengkalimadanya ijma’, dia <br />
sesunguhnya telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju, karena itu <br />
sangat sulit mengetahui adanya ijma’ tersebut. <br />
Ulama kontemporer M.Abu Zahroh, A.Wahhab Khallaf dan Khudery Beik,”Ijma’ yang <br />
mungkin terjadi hanyalah di masa sahabat, adapun ijma’ di masa sesudahnya tidak mungkin <br />
terjadi, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada <br />
satu tempat <br />
<br />
10.2 Qiyas <br />
A. Pengertian Qiyas <br />
Secara etimologi, Qiyas berarti menyamakan sesuatu dengan yang lain. Contohnya Miras <br />
dengan Narkoba disamakan dengan khamar. <br />
Secara Terminologi, Qiyas berarti “Menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan <br />
hukumnya dalam nash, dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan <br />
kesamaan illat hukum antara keduanya” Contoh : Menyamakan wisky dengan khamar (minuman <br />
yang memabukkan) <br />
<br />
B. Rukun Qiyas <br />
Suatu masalah dapat diqiyaskan apabila memenuhi empat rukun, yaitu: <br />
a. Asal <br />
yaitu dasar/titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan (musyabbab bib) <br />
<br />
b. Furu’ <br />
Yaitu suatu masalah yang diqiaskan disamakan dengan asal tadi disebut musyabbah. <br />
<br />
c. Ilat <br />
yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hokum sesuatu dengan persamaan sebab <br />
inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang prtama (asal) <br />
karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dngan furu’. <br />
<br />
d. Hukum ashl <br />
yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada ketetapan hukumnya pada <br />
asal, disebut buahnya. <br />
<br />
Tabel 10.1 Rukun Qiyas <br />
Asal Furu’cabang illat Hukum <br />
Khamar Wisky memabukkan Haram <br />
Gandum Padi Mengengkan Wajib <br />
Lain-lain <br />
65agustianto.niriah.com <br />
Untuk lebih jelasnya tentang contoh penggunaan (implementasi) qiyas dapat dilihat pada <br />
skema berikut: <br />
<br />
Gambar 10.2 Implementasi Qiyas <br />
Contoh qiyas lainnya adalah Penyalahgunaan Narkoba , Formalin, Korups, Bunga Bank <br />
<br />
C. Operasional Qiyas <br />
a. Menetapkan (mengeluarkan) hukum yang terdpat pada kasus yang meiliki nash. <br />
Misalnya keharaman khamar (miras) <br />
a. Mencari dan meneliti illat pada kasus yang tidak ada nashnya, Contoh. Narkoba, kamput <br />
b. .Jika illat betul-betul sama, maka hukum kedua persoaln itu menjadi satu, yakni sama- <br />
sama haram misalnya. <br />
<br />
D. kehujjahan Qiyas <br />
a. Pendapat yang menerima Qiyas <br />
1) Jumhur Ulama <br />
qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau satana untuk mengistimbath hukum syara’. <br />
Bahkan syari’i menuntut penggunaan qiyas. Adapun yang menjadi alasan Jumhur <br />
Ulama. <br />
<br />
<br />
66agustianto.niriah.com <br />
a) Al-Hasyar (59) ayat 2 <br />
ِر ﺎ َﺼْﺑ َﻷ ْا ﻰِﻟْوُأﺂَﻳ ا و ُﺮ ِﺒ َﺘ ْﻋ ﺎ َﻓ <br />
Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) utk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang <br />
mempunyai pandangan.” <br />
<br />
Ayat ini menurut Jumhur berbicara tentang hukuman Allah terhadap orang kafir <br />
Bani Nadhir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Nabi Muhammad. Di akhir <br />
ayat Allah memerintahkan umat Islam agar menjadikan kisah ini sebagai I’tibar <br />
(pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu kejadian, termasuk qiyas. Sebab itu, <br />
qiyas dibenarkan syari’ah. <br />
<br />
b) Hadits Rasul riwayat dari Mu’az bin Jabal <br />
Ketika Rasul saw mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi. Rasul berdialog <br />
dengan Muaz, “Bagaimana cara kamu memutsukan suatu perkara yang diajukan <br />
kepada engkau?, Muaz menjawab,”Saya akan cari hukumnya di dalam Kitabullah. <br />
Rasul bertanya lagi, Jika tidak kamu temukan dalam Kitabullah? Jawab Mu’az,”Saya <br />
akan ari dalam sunnah Rasulullah. Nabi berkata lagi, “Jika kamu tidak <br />
menemukannya juga?,”Jawab Muaz,”Saya akan berijtihad sesuai dengan pendapat <br />
saya”.Lalu Rasul mengusap (memukul) dada Mu’az dan berkata,Al-hamdulilah, <br />
tindakan utusan Rasulullah telah sesuai dengam kehendak Rasullullah (H.R.Ahmad, <br />
Abu Daud, Tarmizi, Thabrani, Ad-Darimiy dan Al-Bahaqy). Menurut Jumhur, dalam <br />
hadits ini, Rasul Saw mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas <br />
termasuk ijtihad melalui akal. <br />
<br />
c) Ijma’ sahabat. <br />
Menurut Jumhur, penggunaan qiyas sebagai metode istimbath juga didasarkan pada <br />
ijma’ sahabat. Dalam sebuah kisah yang amat populer, Umar menulis surat kepada <br />
Abu Musa Al-Asya’ari. Dalam surat yang panjang itu, Umar menekankan agar dalam <br />
menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan dalam nash, agar <br />
menggunakan qiyas (Riwayat baihaqy, Ahmad bin hanbal dan Darul Quthniy). <br />
2) Muktazilah <br />
Menurut muktazilah, Qiyas wajib diamalkan pada dua hal saja : <br />
a) ‘Illat-nya manshush (disebutkan dalam nash). <br />
67agustianto.niriah.com <br />
b) Hukum far’u harus lebih utama dari hukum ashal <br />
Contoh illat yang manshush (ada nash): <br />
- Dahulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban, karena (saat itu) ada tamu <br />
tamu yang datang ke Madinah.sekarang (tidak ada lagi tam), maka simpanlah saging <br />
itu (H.R. Bukhari-Muslim, dll) <br />
- Dalam hadist ini Rasul dgn tegas menyebut illat dari perintah menyimpan daging itu, <br />
yaitu untuk kepentingan tamu dari Badui.Ketika masyarakat Badui tidak datang, <br />
maka bolehlah menyimpan kembali daging kurban <br />
- Contoh hukum far’u (cabang), harus lebih utama dari hukum ashal, yaitu: <br />
“Mengqiyaskan hukum memukul kedua orang tua kepada hukum mengatakan “ah” <br />
kepada keduanya. Illatnya adalah sama-sama menyakiti. Dalam hal ini pemukulan <br />
lebih berat daripada mengatakan “ah”. <br />
3) Ulama Zhahiriyah, (termasuk Imam Asy-Syawkani) berpendapat, bahwa secara logika <br />
qiyas memang boleh, tetapi tak ada satu nash pun yang mewajibkan melaksanakannya. <br />
<br />
b. Pendapat yang Menolak Qiyas <br />
Ulama Syi’ah Imamiyah dan Al-Nazzam dari Muktazilah berpendapat, “Qiyas tidak bisa <br />
dijadikan lanasan hukum dan tidak wajib diamalkan”. Kewajiban melakasanakan qiyas adalah <br />
sesuatu yang mustahil menurut akal. <br />
Alasan Ulama yang Menolak <br />
1) Surat Al-Hujurat (49) ayat 1: <br />
<br />
ُُﻢ ﻴ ِﻠ َﻋ ٌﻊ ﻴ ِﻤ َﺳ َﷲ ا ﱠن ِإ َﷲ ا اﻮُﻘﱠﺗاَو ِﻪ ِﻟ ﻮ ُﺳ َر َو ِﷲ ا ِي َﺪ َﻳ َﻦ ْﻴ َﺑ ا ﻮ ُﻣ ﱢﺪ َﻘ ُﺗ َﻻ اﻮُﻨَﻣاَء َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا ﺎَﻬﱡﻳَأﺎَﻳ <br />
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya”. <br />
Ayat ini melarang seseorang untuk beramal berdasarkan dalil yang tak ada dalam Al-Quran <br />
dan Sunnah. Mempedomani qiyas adalah beramal di luar ketentuan Al-Quran dan Sunnah. <br />
2) Mengamalkan qiyas berarti mengamalkan alasan yang zhanniy (sangkaan). Dalam surah <br />
Yunus (10) ayat 36 <br />
ُﻳ َﻻ ﱠﻦ ﱠﻈ ﻟ ا ﱠن ِإ ﺎًﺌْﻴَﺷ ﱢﻖ َﺤ ْﻟ ا َﻦ ِﻣ ﻲِﻨْﻐ <br />
Artinya: <br />
‘Sesungguhnya persangkaan (zhan) itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran” <br />
Menurut mereka, qiyas itu bersifat zhan (persangkaan), dan arenanya tak berguna dalam <br />
menetapkan hukum. <br />
<br />
68agustianto.niriah.com <br />
3) Sabda Rasulullah Saw, <br />
“Sesungguhnya Allah Swt telah menentukan beberapa ketentuan, maka jangan kamu <br />
abaikan, menentukan beberapa batasan, maka jangan kamu langgar larangan itu dan dia <br />
juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, bukan karena kelupaan Allah <br />
tentang itu. Maka jangan kamu bahas hal itu” (H.R.darul Qythniy) <br />
4) Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat lainnya yang mencela qiyas. <br />
Meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam. Ini berarti telah terjdi ijma’ sukuti dalam <br />
menolak qiyas. Umar sendiri pernah berkata, “Hindarilah orang-orang yang mengemukakan <br />
pendapatnya tanpa alasan, karena mereka itu termasuk musuh sunnah dan hindarilah orang-<br />
orang yang menggunakan qiyas (Kisah riwayat Qasim Ibnu Muhammad yang keberadaan <br />
perawinya munqathi’,terputus) <br />
<br />
E. Qiyas Sebagai Sandaran Ijma’ <br />
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini : <br />
a. Kelompok I mengatakan, qiyas tidak bisa dijadikan dasar ijma’. Argumentasinya ; ijma’ itu <br />
qath’iy sedangkan qiyas itu zhanniy. Menurut Qaidah, Yang Qath’iy tidak sah didasarkan <br />
pada yang zhanniy. <br />
b. Kelompok II mengatakan qiyas bisa dijadikan sandaran ijma’. <br />
<br />
Contoh: <br />
1) Penunjukan Abu Bakar sebagai Imam oleh Nabi Saw, diqiyaskan kepada penunjukan beliau <br />
sebagai Khalifah. <br />
2) Penunjukan Abu Bakar sebagai Khalifah tersebut merupakan ijma’ sahabat. Dengan <br />
demikian ijma’ bisa didasarkan kepada Qiyas. <br />
<br />
10.3 Maslahah Mursalah <br />
A. Pengertian Mashlahah Mursalah <br />
Marsalah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi <br />
juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang ada ketentuan syari’at dan tidak <br />
ada illat yang keluar dari syara’ yang menetikan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian <br />
ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni sesuatu yang sesuai dengan <br />
ketentuan yang berdasarkan pada pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan sesautu <br />
manfaat, maka kejadian tersebut disebut al-marsalah al Mursalah. <br />
<br />
<br />
<br />
69agustianto.niriah.com <br />
B.Tujuan Maslahah Mursalah <br />
Tujuan Utama Marsalah Mursalah adalah kemalahatan: yakni memelihara dari <br />
kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya. <br />
Alasan dikatakan Al–Mursalah adalah, karena syara’ memutlakkannya bahwa di <br />
dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya. <br />
<br />
C.Objek Kajian Maslahah Mursalah <br />
Yang menjadi Objek Al_maslahah Al Mursalah secara umum adalah hal-hal yang <br />
berlandaskan hukum syara’ juga hal yang berkaitan dengan adat dan hubungan antara satu <br />
manusia dengan manusia yang lain. Lapangan tersebut merupakan objek utama untuk mencapai <br />
kemaslahatan. Dengan demikian segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut. <br />
<br />
10.4 Istihsan <br />
A. Pengertian Istihsan <br />
Secara etimologis Istihsan berarti: <br />
a) Berbuat sesuatu yang lebih baik <br />
b) Mencari yang lebih baik untuk diikuti <br />
c) Mengikuti sesuatu yang lebih baik <br />
d) Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik <br />
<br />
Secara istilah/terminollogis: Rumusan definisi Ibnu Subky <br />
a. ﻪﻨﻣ ىﻮﻗأ سﺎﻴﻗ ﻰﻟا سﺎﻴﻗ ﻦﻋ لوﺪﻋ <br />
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat <br />
b. ﺔﺤﻠﺼﻤﻠﻟ ةدﺎﻌﻟا ﻰﻟا ﻞﻴﻟﺪﻟا ﻦﻋ لوﺪﻋ <br />
Beralih dari penggunaan dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan <br />
c. Istihsan juga dapat diartikan, “pengecualian dari yang umum”, karena adanya <br />
maslahah/kebutuhan”. <br />
<br />
Contoh, menurut ketentuan umum, pria tidak boleh melihat aurat wanita, kecuali untuk <br />
kebutuhan proses melahirkan anak bagi wanita sedangkan dokternya adalah pria. Akan tetapi <br />
kebolehan dokter PRIA melihat aurat wanita Dalam berobat (operasi dan atau melahirkan <br />
menurut ketentuan umum (qiyas), Seseorang dilarang melihat aurat orang lain, tetapi dalam <br />
kasus ini dibolehkan berdasarkan istihsan. <br />
<br />
70agustianto.niriah.com <br />
Ada pula ahli ushul fiqh yang menyebut istihsan ijma’, di mana sandarannya adalah ijma’ <br />
ulama. <br />
Pengertian Istihsan secara terminologis menurut para ulama adalah: <br />
a. Al-Bazdawi (Hanafi) <br />
Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan <br />
qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat” <br />
<br />
b. As-Sarakhsy (Hanafi) <br />
Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan Qiyas yang lebih kuat, karena adanya <br />
dalil yang Menghendaki erta lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat <br />
<br />
c. Al-Ghazali (Syaf’iy) <br />
Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya <br />
<br />
d. Ibnu Qudamahi (Hanbali) <br />
Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hokum Karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran <br />
dan Sunnah. Imam Ahmad menggunakan istihsan dalam berbagai masalah. <br />
Contoh: <br />
a) kasus keuntungan dalam mudharabah. Apabila mudharib menyalahi syarat yang <br />
ditentukan Shahibul Mal dan membeli sesuatu yang tidak disuruh shahibul mal, maka <br />
keuntungannya menjadi hak shahibul mal, karena mudharib melakukannya di luar <br />
kesepakatan awal. Menurut qiyas umum, keuntungan untuk shahibul mal, tetapi dengan <br />
istihsan mudharib berhak mendapat “fee”/ ujrah, karena ia telah menciptakan laba, di <br />
mana jika terjadi kerugian mudharib harus mengganti, sebab membeli-menjual di luar <br />
kesepakatan awal, <br />
<br />
b) shahibul mal mempercayakan kepada mudharib untuk berbisnis di bidang perikanan, <br />
namun di tengah masa berlangungnya kontrak mudharabah, mudharib melakukan bisnis <br />
pakaian jadi. Dalam kasus ini telah terjadi penyimpangan penggunaan dana. Dan… <br />
ternyata mudharib mendapat keuntungan dari bisnis pakaian tersebut. Dalam kasus ini <br />
mudhraib berhak mendapatkan ujrah (fee) atas dasar istihsan. Padahal menurut <br />
ketentuan umum dia tak berhak, karena telah melakukan penyimpnagan penggunaan <br />
dana (side streaming) <br />
<br />
71agustianto.niriah.com <br />
e. Asy-Syatibi (Maliki) <br />
Istihsan ialah pengambian suatu kemaslahatan Yang bersifat juz’iy dalam menanggapi dalil <br />
yang bersifat global <br />
<br />
f. Al-Karkhi (Hanafi) <br />
Perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hokum dengan memandang hukum yang lain, <br />
karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan <br />
1) Ulama sepakat tentang pengertian istihsan, karena lapaz istihsan banyak terdapat dalam <br />
Al-Quran dan Hadits <br />
2) Az-Zumar : (39) ayat 18) <br />
ُﻪ َﻨ َﺴ ْﺣ َأ َنﻮُﻌِﺒﱠﺘَﻴَﻓ َل ْﻮ َﻘ ْﻟ ا َنﻮُﻌِﻤَﺘْﺴَﻳ َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا <br />
Artinya: <br />
Orang yang mendengarkan perkataan,lalu mengikuti apa yang paling di antaranya. <br />
3) ﻢﻜﺑر ﻦﻣ لﺰﻧأ ﺎﻣ ﻦﺴﺣأ اﻮﻌﺒﺗاو <br />
Artinya: <br />
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang ditunrunkan Tuhanmu kepadamu (QS.Az-Zumar : 55) <br />
<br />
<br />
B. Kehujjahan Istihsan Menurut Ulama <br />
a. Menurut Imam Al-Syatibi, istihsan merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan hadits <br />
yang secara keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini didukung oleh <br />
syara’.Dari sekumpulan dalil-dalil itulah dirumuskan kaedah istihsan. <br />
b. Contoh : kebolehan mudharabah, menjama’ shalat pada saat musafir, kebolehan <br />
berbuka bagi orang musafir, Semua istihsan ini didasarkan pada nash syara’. <br />
c. Imam al-Sarakhsi (dari mazhab Hanafi) menjelaskan bahwa banyak persoalan hukum <br />
yang ketentuannya diserahkan kepada ijtihad kita untuk menetapkannya. Di sini kita <br />
menggunakan istihsan. <br />
d. Misalnya masalah menetapkan ukuran mut’ah dari suami yang menceraikan istrinya <br />
sebelum dicampuri. Seperti firman Allah (QS.2:236). ﻦهﻮﻌﺘﻣ و ! ﻰﻠﻋو ﻩرﺪﻗ ﻊﺳﻮﻤﻟا ﻰﻠﻋ<br />
ﻩرﺪﻗ ﺮﺘﻘﻤﻟا <br />
e. Artinya : Berikanlah suatu mut’ah kepada mereka. Orang-orang yang mampu menurut <br />
kemampuannya dan orang-orang yang tak mampu juga menurut kemampuannya. <br />
f. Menentukan ukuran mut’ah dalam ayat tersebut adalah termasuk berbuat yang lebih <br />
baik.Hal itu disebut istihsan dan tidak ada ulama yang menolak hal itu. <br />
g. Contoh lain : kecakapan bertindak hukum dalam kegiatan bisnis menurut ketentuan fiqh <br />
adalah baligh dan berakal. Tetapi para ulama menentukan umurnya secara fix, yaitu, pria <br />
19 tahun dan wanita 16 tahun. Demikian pula usia perkawinan pria dan wanita, <br />
sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 1/1974. <br />
72agustianto.niriah.com <br />
h. Menentukan perusahaan yang termasuk dalam Jakarta Islamic Index, antara lain <br />
perusahaan tersebut tidak memiliki hutang lebih dari 45 %. Semua ini adalah pekerjaan <br />
ijtihad. <br />
i. Menentukan ketentuan-ketentuan pada wadiah yad dhamanah dalam giro wadiah di <br />
bank syariah. <br />
j. Menurut ketentuan umum dalam fiqh klasik tidak ada ketentuan-ketentuan tersebut. <br />
k. Seperti menentukan saldo minimun dana yang dititipkan,dan penarikannya dengan cek <br />
dan bilyet giro, tidak seperti tabungan biasa. <br />
<br />
<br />
C. Jenis Istihsan <br />
a. Istihsan Nash <br />
Istihsan Nash ialah istihsan yang sandaran nya adalah nash. <br />
Contohnya jual beli beli salam/indent. <br />
Pada saat terjadi akad jual-beli salam, barang yang diperjual-belikan belum ada. Menurut <br />
ketentuan umum (sandaran qiyas), jual beli seperti itu tidak sah, karena tidak terpenuhinya <br />
rukun jual beli yakni adanya barang pada saat transaksi, namun metode berpikir seperti itu, <br />
tidak dipakai, karena ada nash dari hadits Nabi yang membolehkan jual beli salam <br />
<br />
b. Istihsan Dharury <br />
Istihsan al-dharurah adalah istihsan yang sandarannya adalah dharurat <br />
Contohnya: <br />
b) Tidak diberlakukannya hukum potong tangan terhadap pencuri, karena pencurian <br />
dilakukan secara terpaksa/untuk mempertahankan hidup, seperti yang terjadi pada masa <br />
Umar ketika terjadi tahun kelaparan (‘amul maja’ah). <br />
c) Menabung di Bank konvensional di kota yang belum terdapat perbankan syariah <br />
d) Bekerja di Bank konvensional sementara belum mendapatkan pekerjaan lain yang halal. <br />
e) Menggunakan re-asuransi konvensional oleh lembaga asuransi syariah sebelum ada re-<br />
asuransi syariah. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
73agustianto.niriah.com <br />
c. Istihsan ‘Urf <br />
Istihsan ‘Urf, yaitu istihsan yang sandarannya ‘urf <br />
Contohnya <br />
1) Jual beli mu’athah di swalayan. <br />
Menurut ketentuan umum (qiyas), setiap jual beli mestilah memakai ijab dan qabul, <br />
namun karena ‘urf yang berlaku di zaman sekarang di swalayan biasa terjadi jual beli <br />
tanpa ijab qabul, maka jual beli mu’athah dibenarkan karena alasan istihsan ‘urf <br />
2) Jasa pemandian di kolam renang <br />
Dalam transaksi muamalah harus jelas jumlah barang dan lama waktu pemakaian. Tapi <br />
dalam kasus Ijarah/jasa pemandian umum, seperti kolam renang, tidak jelas banyak air <br />
dan lama mandi. Jasa Ini dibolehkan karena istihsan. Ulama telah ijma’ tentang <br />
kebolehan bisnis pemandian umum. Contoh istihsan ijma’iy ini sama dengan contoh <br />
istihsan ‘urf. <br />
3) Makan di longue bandara, hotel atau restoran tertentu dengan harga tertentu, konsumen <br />
bisa makan sepuasnya. <br />
Dalam kasus ini, jumlah makanan dan minuman yang dibeli tidak jelas kuantitasnya. <br />
Secara fiqh mumalah yang berlaku umum, jual beli ini tidak sah. Namun karena sudah <br />
menjadi ‘urf di tempat terttentu, maka jual beli tersebut dibolehkan. <br />
4) Jual beli istishna’. <br />
Pada saat terjadi akad jual-beli istishna’, barang yang diperjual-belikan belum ada. <br />
Menurut ketentuan umum (sandaran qiyas), jual beli seperti itu tidak sah, karena tidak <br />
terpenuhinya rukun jual beli yakni adanya barang pada saat transaksi, namun, karena <br />
karena praktik istishna sudah menjadi ‘urf, maka jual beli istishna’ dibenarkan.Inilah yang <br />
dipraktikkan di bank syariah saat ini, <br />
<br />
d. Istihsan Istislahi, yaitu qiyas yang sandarannya maslahah <br />
Dalam hal ini ulama berpindah dari dalil yang biasa/umum digunakan kepada dalil lain yang <br />
khusus, berdasarkan pertimbangan maslahah <br />
Contoh : <br />
1) Penerapan revenue sharing dalam sistem bagi hasil (profit distribution) di bank syariah. <br />
Menurut kebiasaan umum yang berlaku digunakan PLS, namun berdasarkan maslahah <br />
diterapkan Revenue sharing (Lihat fatwa DSN-MUI No 20/2000) <br />
2) Maslahah Revenue Sharing ialah untuk memelihara dan mementingkan harta <br />
masyarakat banyak yang ditempatkandi bank syariah. Juga untuk menciptakan rasa <br />
nyaman dan rasa was-was para deposan, sehingga mereka tidak curiga kepada bank <br />
syariah yang mengeluarkan biaya-biaya operasional. <br />
74agustianto.niriah.com <br />
3) Penerapan agunan/collateral dalam pembiayaan di bank syariah. Menurut ketentuan <br />
umum yang baisa, pembiayaan mudharabah, musyarakah dan jual beli murabahah tidak <br />
memerlukan collateral, namun demi untuk memproteksi/menjaga harta masyarakat yang <br />
dikelola, agar nasabah serius maka perlu diminta collateral. Istihsan dalam kasus ini <br />
selain sandarannya maslahah, juga nash Al-quran (2:283) <br />
<br />
e. Istihsan Qiyasi, adalah istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. <br />
Dalam istihsan ini seorang ulama meninggalkan qiyas jali kemudian berpegang kepada qiyas <br />
khafi karena ada kemaslahatan. <br />
Contoh : <br />
Bersihnya makanan/minuman sisa burung buas (elang dan gagak). Menurut qiyas jali, sisa <br />
tersebut najis karena mengqiyaskannya kepada binatang buas yang lain yang dagingnya <br />
sama-sama haram dimakan. Namun, dalam hal kasus ini, ia diqiyaskan kepada burung biasa <br />
(qiyas khafi), sehingga sisa minuman/makananya dihukumkan bersih. <br />
<br />
<br />
D. Istihsan dan Problematika ekonomi dan keuangan modern <br />
Di zaman modern ini, perkembangan bentuk transaksi ekonomi dan keuangan <br />
berkembang dengan cepat dan problematikanya semakin kompleks, baik dalam dunia <br />
perbankan, asuransi, leasing, pasar modal, sekuritas lainnya, seperti sukuk, pegadaian, BMT, <br />
dsb. Semua ini membutuhkan jawaban-jawaban syariah secara tepat. Permasalahan-<br />
permasalahan tersebut harus dihadapi dan diberikan jawaban hukum ekonominya nya oleh <br />
ulama dan ekonom muslim <br />
Kalau hanya semata merujuk kepada kitab-kitab fiqh muamalah klasik, kemungkinan besar <br />
tidak akan mampu menjawab berbagai persoalan kontemporer. Karena itu seorang mujtahid <br />
harus mampu menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif, utuh, segar, dan berorientasi <br />
kemaslahatan, tidak bisa terbatas pada empat dalil hukum (al-Quran, sunnah, ijma, qiyas), <br />
apalagi hanya mengandalkan Al-quran dan Sunnah <br />
Oleh karena itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan, sebagai salah satu metode <br />
perumusan hukum ekonomi Islam, perlu dilakukan <br />
Contoh-contoh bentuk bisnis modern: <br />
1) Capital Market : sharia “bond”, sharia stock dan mutual fund (reksadana) <br />
2) Islamic Multi Level Marketing <br />
3) Islamic Mortgage <br />
4) Cash waqf di lembaga keuangan <br />
5) Leasing syariah <br />
6) Koperasi syariah BMT <br />
75agustianto.niriah.com <br />
7) Islamic insurance <br />
8) Franchising (waralaba) <br />
9) Konsinyasi, dll. <br />
<br />
Contoh pada akad-akad modern di lembaga keuangan: <br />
1) Anjak piutang (factoring) <br />
2) Bank Garansi <br />
3) L/C <br />
4) Take over pembiayaan <br />
5) Sindikasi pembiayaan <br />
6) Obligasi ijarah <br />
7) Salam dan istisna al-muwaziy <br />
8) Ijarah al-muwaziy <br />
<br />
<br />
10.5 Dzari’ah <br />
A. Pengertian Dzariah <br />
Secara etimologi, dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. Secara umum <br />
dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu saad al-dzari’ah (sesuatu yang dilarang) dan fath <br />
dzariah (sesuatu yang dituntut dilaksanakan). <br />
B. Saad Dzari’ah <br />
Menurut imam Asy Syatibi adalah melaksanakan sesuatu pekerjaan yang semula <br />
mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). Contohnya <br />
seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun belum haul (genap setahun) ia <br />
menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. <br />
a. Jenis Saad Dzari’ah <br />
1) Dzari’ah dari segi kemafsadatan <br />
Menurut Imam Asy Syatibi, terbagi atas 4 jenis, yaitu: <br />
a) Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya <br />
menggali sumur di depan rumah orang lainpada waktu malam dan menyebabkan <br />
pemilik rumah tersebut jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman <br />
karena melakukan perbuatan dengan sengaja. <br />
b) Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan. <br />
Misalnya menjual makanan yang tidak mengandung kemafsadatan <br />
76agustianto.niriah.com <br />
c) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. <br />
Misalnya menjual senjata kepada musuh. <br />
d) Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, <br />
tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan. Seperti bay’ al ajal yaitu jual beli <br />
dengan harga lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan. <br />
2) Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan <br />
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagiannya ada 2 jenis, yaitu: <br />
a) Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman <br />
keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan mafsadat <br />
b) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan <br />
sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan haram, baik disengaja ataupun <br />
tidak. Seperti seorang lelaki menikahi wanita yang ditalak tiga dengan tujuan agar <br />
wanita itu bias kembali pada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil) <br />
<br />
b. Kehujjahan Saad Dzari’ah <br />
Ulama Malikiyyah dan ulamaHanabilah menyatakan bahwa saad dzari’ah dapat diterima <br />
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’, dengan alasan hal tersebut <br />
berdasarkan pada: <br />
1) Surat Al-An’am 6:108 <br />
“dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti <br />
mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan” <br />
2) Sabda Rasulullah SAW <br />
“sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat keduaorang tuanya. <br />
Lalu Rasulullah ditanya orang ‘wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat <br />
kedua ibu bapaknya?’ Rasulullah menjawab, ‘seseorang mencaci maki ayah orang lain, <br />
maka ayahnya juga akan dicacimaki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, <br />
maka ibunya juga akan dicacimaki orang itu,” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud) <br />
Hadis ini menunjukkan bahwa saad dzari’ah termasuk salah satu alas an untuk menetapkan <br />
hukum syara’, karena sabda Rasulullah tersebut masih bersifat dugaan, namun atas dasar <br />
dugaan itu, Rasulullah melarangnya. <br />
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah dapat menerima saad dzari’ah sebagai dalil <br />
dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya pada kasus-kasus lain. Imam Syafi’I <br />
memperbolehkan seorang yang uzur, sakit, musafir untuk meninggalkan shalat jum’at dan <br />
77agustianto.niriah.com <br />
menggantinya dengan shalat dzuhur. Orang yang uzur tidak puasa diperbolehkan, tetapi jangan <br />
makan didepan orang lain yang tidak megerti uzurnya,karena akan menimbulkan fitnah. <br />
Ulama Hanafiah menggunakan saad dzari’ah dalam berbagai kasus hukum. Misalnya <br />
mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum al syakk (akhir bulan sya’ban yang <br />
diragukan apakah telah masuk bulan ramadhan atau belum) sebaiknya dilakukan secara diam-<br />
diam, apalagi bila ia seorang mufti. <br />
C. Fath Dzariah <br />
Ibn Qayyim al-Jauzilah dan Imam al-Qafari mengatakan bahwa fath dzari’ah adalah <br />
suatu perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan. <br />
Misalnya shalat jum’at itu hukumnya wajib, maka usahakanlah sampai ke mesjid dan <br />
meninggalkan aktifitas yang juga diwajibkan. <br />
Tapi menurut Wahbah al-Zuhaili, hal tersebut tidak termasuk dzari’ah, tetapi <br />
muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Jika hendak melakukan suatu perbuatan yang <br />
hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut <br />
hukumnya wajib. Begitu pula dengan sesuatu yang haram. <br />
Terhadap hokum muqaddimah tersebut para ulama sepakat menerimanya, tetapi tidak <br />
sepakat untuk hal tersebut dikategorikan dzari’ah. Ulama malikiyyah dan Hanabilah <br />
memasukkannya sebagai fath dzari’ah. Ulama hanafiyyah dan Syafi’iyyah serta sebagian <br />
Malikiyyah menyebutnya sebagi hukum muqaddimah, bukan termasuk dzari’ah. Namun mereka <br />
sepakat untuk menjadikannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. <br />
<br />
10.6 ‘Urf <br />
A. Pengertian ‘urf <br />
Secara etimologi, urf berarti baik, kebiasaan dan sesuatu yang dikenal. Adat dan ‘Urf <br />
adalah dua kata yang sinonim (mutaradif) Namun bila digali asal katanya, keduanya berbeda. <br />
‘adat berasal dari kata ‘ada-ya’udu artinya perulangan (berulang-ulang), ‘urf berasal dari ‘arafa – <br />
ya’rifu, sering diartikan dengan “sesuatu yang dikenal” (dan diakui orang banyak) <br />
Tidak ada perbedaan yang prinsip antara adat dan ‘urf, karena pengertian keduanya <br />
sama, yaitu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan sehingga menjadi dikenal dan diakui <br />
orang banyak. Jadi meskipun asal kata keduanya berbeda,namun perbedaannya tidak <br />
berarti.(Amir Syarifuddin,II, hlm.364). Oleh karena kedua kata itu sama, maka 5 kaedah utama <br />
menggunakan kata ‘adat, bukan ‘urf <br />
‘Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang sudah dikenal <br />
manusia dan telah menjadi tradisi dalam masyarakat. Di kalangan masyarakat sering disebut <br />
sebagai adat. <br />
<br />
78agustianto.niriah.com <br />
B. Perbedaan adat dengan ‘urf <br />
Namun ada yang membedakan makna keduanya. Adat memiliki cakupan makna yang <br />
lebih luas. Adat dilakukan secara berulang-ulang tanpa melihat apakah adat itu baik atau buruk <br />
Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian, makan dan <br />
mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga muncul dari sebab alami, seperti cepatnya <br />
anak menjadi baligh di daerah tropis, cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis. Adat juga bisa <br />
muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti suap, pungli dan korupsi. “Korupsi telah <br />
membudaya, terjadi berulang-ulang dan dimana-mana”. <br />
Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu. ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak <br />
ﻞﻌﻓ وأ لﻮﻗ ﻲﻓ مﻮﻗ رﻮﻬﻤﺟ ةدﺎﻋ <br />
Kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. A.Aziz Khayyath, Nazhayyah <br />
al-’Urf, Amman, Maktabah Al-Aqsha, hlm 24 <br />
Mustafa Ahmad Zarqa (Yordania), ‘urf bagian dari ‘adat, karena adat lebih umum dari <br />
‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada pribadi atau <br />
golongan. ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah <br />
mentradisi. Misalnya, harta bersama, konsinyasi, urbun, dll. <br />
<br />
C. Jenis Urf: <br />
a. Dari Segi Obyeknya (Materi) <br />
i. ‘Urf Qawli adalah kebiasaan pada lapaz/ucapan <br />
Contoh : <br />
Lapaz daging dipahami di Padang hanya daging sapi <br />
Bila sesorang mendatangi penjual daging, dan berkata “Saya beli daging 1 kg”, <br />
sedangkan penjual daging memiliki jualan daging-daging lain dan ikan, ayam, <br />
bebek. Maka yang diamksud adalah daging sapi. Jika seorang Minang bersumpah <br />
tidak akan makan daging, tetapi setelah itu ia makan daging ikan. Maka ia tidak <br />
melanggar sumpah / tidak membayar kifarat, karena yang dimaksudkan dengan <br />
daging dalam sumpah tersebut adalah daging sapi. Walaupun menurut Al-quran, <br />
ikan termasuk daging “ﺎﻳﺮﻃ ﺎﻤﺤﻟ”. Ini berarti makna daging difahami sesuai dengan <br />
‘urf di suatu daerah. <br />
Misalnya seorang bernazar, jika saya lulus S2, saya akan mewaqafkan kereta untuk <br />
Yayasan Anak Yatim X. Akibat hukum nazar seseorang tergantung adatnya <br />
(daerahnya), Di Malaysia hal itu diwujudkan dengan membeli mobil. Di Sumatera <br />
diwujudkan dengan membeli motor. Di Jawa diwujudkan dengan membeli kereta <br />
Api. <br />
ﻪﺑ ﻢﻠﻜﺘﻳ ﻰﺘﻟا ﻪﺘﻐﻟو ﻪﺑﺎﻄﺧ ﻲﻓ ﻪﺗدﺎﻋ ﻰﻠﻋ ﻞﻤﺤﻳ ﺪﻗﺎﻋ ﻞآ <br />
Jadi setiap orang yang berakad, di dasarkan pada adat kebiasaan dalam ucapan <br />
dan bahasa yang ia ucapkan <br />
<br />
<br />
79agustianto.niriah.com <br />
ii. ‘Urf Fi’li adalah kebiasaan atau perbuatan <br />
Contohnya: <br />
a) Kebiasaan pemilik toko mengantarkan barang belian yang berat/besar, ke <br />
rumah pembeli seperti lemari, kursi, dan peralatan rumah tangga yang berat <br />
lainnya Tanpa dibebani biaya tambahan <br />
b) Kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan <br />
c) Kebiasaan meminta agunan pada pembiayaan di bank syariah <br />
b.Dari segi cakupannya <br />
1) ‘Urf ‘Am (Umum) adalah kebiasaan yang berlaku secara luas di seluruh <br />
masyarakat dan daerah <br />
a) Kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan bank syariah. ini <br />
berlaku di seluruh Indonesia, bahkan dunia <br />
b) Kebiasaan garansi pada pembelian barang elektronik. Ini juga berlaku dimana-<br />
mana. <br />
c) Kebiasaan meminta agunan pada pembiayaan di bank syariah <br />
d) Naik Bus Way, jauh dekat, ongkosnya sama <br />
<br />
2) ‘Urf Khas (Khusus) adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus di daerah <br />
tertentu <br />
i. Kebiasaan pembeli dapat mengembalikan barang yang cacat kepada penjual <br />
tertentu, (tetapi tidak berlaku di supermarket). <br />
b) Bagi masyarakat tertentu penggunaan kata “budak” untuk anak-anak dinggap <br />
merendahkan, tetapi bagi masyarakat (Malaya / Asahan tanjung Balai), kata budak <br />
biasa digunakan untuk anak-anak. <br />
c) Adat menarik garis keturunan melalui garis ibu / matrilineal), di Minang Kabau dan <br />
melalui Bapak (patrilineal) di suku Batak <br />
<br />
<br />
c. Dari Segi baik-buruk (Keabsahan) <br />
1) ’Urf Shahih <br />
Adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan <br />
dengan syariah, sopan santun dan budaya yang luhur <br />
Contohnya: <br />
80agustianto.niriah.com <br />
a) Acara halal bi halal (silaturrahmi) saat hari raya. <br />
b) Adanya garansi dalam pembelian barang elektronik, dll. <br />
c) Memproteksi setiap pembiayaan dengan asuransi syariáh <br />
d) Mengasuransikan pendidikan anak, kenderaan, rumah, barang dagangan via <br />
lautan, secara syariáh <br />
e) Menerapkan perencanaan keuangan (Financial Planning) dalam keuangan <br />
keluarga. Di sini juga ada maslahah <br />
f) Kebiasaan Menabung di Bank Syariáh. <br />
g) Kegiatan MTQ setiap tahun <br />
<br />
2) ’Urf Fasid <br />
Adat yang berulang-ulang dilakukan tetapi bertentangan dengan syariah Islam <br />
Contohnya: <br />
a) Menyuap untuk lulus PNS/meraih jabatan <br />
b) Menyuap DPR untuk mensahkan Undang-Undang <br />
c) Menyuap partai politik untuk meluluskan calon gubernur atau bupati, dsb. <br />
d) Memberi hadiah kepada pejabat <br />
e) Spekulasi valas dan Hedging untuk spekulasi <br />
f) Kredit dengan sistem bunga di bank riba <br />
g) Future trading (forward transaction) <br />
h) Spekulasi saham ? <br />
i) Bursa berjangka pada indeks tertentu <br />
j) Judi di pusat-pusat hiburan <br />
k) Pacaran (pergaulan bebas) <br />
l) MLM Konvensional dan kebiasaan-kebiasaan negatifnya. <br />
m) Berasuransi secara konvensional (non syariah) <br />
n) Call money dengan sistem bunga <br />
o) REPO dalam Cek <br />
p) Arisan uang berantai (sistem piramida) <br />
<br />
D. Pandangan para ulama terhadap urf: <br />
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara <br />
urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga <br />
menyepakati bahwa urf fasid harus dijauhkan dari pengambilan dan penetapan hukum. <br />
a. Pandangan Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya pada amal ahli <br />
Madinah <br />
b. Imam Syafii memiliki dua pendapat (qaul qadim dan qaul jadid). Qaul Qadim <br />
pendapatnya ketika di Bagdad, sedangkan qaul Jadid ketika di Mesir. Hal ini karena <br />
perbedaan úruf. <br />
c. Hanafiyah juga banyak menerapkan úrf dalam menetapkan hukum Islam, seperti bay’ <br />
wafa. (Jual Beli Wafa’) <br />
81agustianto.niriah.com <br />
<br />
<br />
E. Banyak Qaidah Fiqh tentang keharusan urf dalam menetapkan hukum, anatara lain: <br />
Adat itu bisa menjadi hukum syara’ <br />
عﺮﺸﻟ ﺎﺑ ﺖﺑﺎﺜﻟﺎآ فﺮﻌﻟﺎﺑ ﺖﺑﺎﺜﻟا Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan, <br />
sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan <br />
Syariat) <br />
<br />
Sesuatu yang ditetapkan oleh kebiasaan (adat), sama seperti sesuatu yang ditetapkan <br />
oleh hukum (lihat pasal 1499 Al-Majallah al-Ahkam). <br />
Sesuatu yang sudah dikenal baik dan <br />
menjadi tradisi para pedagang, maka ia dianggap sebagai kewajiban yang disepakati di <br />
antara mereka. Seperti Uang Panjar dalam Jual-Beli. <br />
<br />
F. Syarat-Syarat ‘Urf diterima sbg dalil <br />
a) ‘Urf tidak bertentangan dengan nash <br />
b) ‘Urf itu mengandung maslahat <br />
c) ‘Urf berlaku pada orang banyak <br />
d) ‘Urf itu telah eksis pada masa itu,bukan yang muncul kemudian <br />
e) ‘Urf tidak bertentangan dengan syarat yang dibuat dalam transaksi <br />
<br />
G. Kehujjahan Urf <br />
a) Urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan <br />
b) ‘Urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, tetapi senantiasa terkait dengan dalil-dalil <br />
yang lain, seperti maslahah dan istihsan <br />
c) Urf menunjang pembentukan/perumuan hukum Islam <br />
<br />
Contoh ‘Urf: <br />
Menurut adat di daerah tertentu, mahar tidak boleh dicicil, jadi harus dibayar sekaligus <br />
sebelum walimah. Si Ali melakukan akad nikah dengan Ani dengan sejumlah mahar, tanpa <br />
menjelaskan apakah dibayar secara sekaligus atau dicicil (dalam beberapa kali bayar). Adat <br />
82agustianto.niriah.com <br />
yang berlaku saat itu, ialah mahar harus dibayar sekaligus. Beberapa waktu kemudian, istri <br />
meminta agar mahar dibayar lunas. Kemudian adat di tempat itu berubah dimana orang-orang <br />
mulai mempraktekan pembayaran mahar secara cicilan. Suami berpegang pada adat yang baru <br />
muncul, sementara si istri minta bayaran lunas. Maka berdasarkan ketentuan qaidah urf, suaimi <br />
harus membayar lunas, karena ia tidak boleh berpegang kpd adat yang baru muncul. Pembeli <br />
dan Penjual lemari es sepakat bahwa barang yang dibeli tersebut tidak menjadi tanggung jawab <br />
penjual untruk mengantarnya ke rumah pembeli,Itu kesepakatan mereka, walaupun adat yang <br />
berlaku berbeda. Maka disini ’urf tidak berlaku, karena berlawanan dengan syarat yang mereka <br />
sepakati. <br />
<br />
10.7 Istishab <br />
A. Pengertian istishab <br />
Istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan <br />
Menurut Ushul Ulama istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaaan sebelumnya <br />
sampai terdapat dalil-dali yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hokum yang <br />
telah ditetapkan pada masa lampau sampai dengan terdapat dalaoi yang menunjukkan <br />
perubahannya (Syafe’i, 1999: 125) <br />
<br />
B. Dalil Istishab <br />
Al Baqarah : 29 “ Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu.” <br />
“ Pangkal segala sesuatu adalah kebolehan” <br />
<br />
C. Pendapat Ulama tentang Istishab <br />
a. Ulama Hanafiah <br />
Menurutnya Istishab merupakah Hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk <br />
menetapkan apa-apa yang dimaksudkan oleh mereka. Ini berarti Istishab merupakan ketetapan <br />
sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang <br />
berbeda sampai dengan ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya. (Syafe’i, 1999: 127) <br />
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yng tidak tetap. Telah dijleaskan <br />
tenatang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat <br />
kematiannya, bahwa orang tersebut diteapkan tidak hilang dan ihukumi sebagai orang yang <br />
hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya. <br />
Istishab lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolaknya dengan <br />
kematiannya serta warisan harta bendanya juga perceraian pernikahannya. Tetapi hal itu <br />
83agustianto.niriah.com <br />
bukanlah hujjah untuk menetqpkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut <br />
istishab aitu adalah hidup yng diasarkan pada pengakuan. <br />
<br />
10.8 Mashab Shahabi <br />
A. Pengertian Shahabi <br />
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasul. Yang dimaksud para sahabat <br />
adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baikberupa <br />
fatwa maupun ketetapan hokum, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hokum terhadap <br />
kasus yang dihadapi sahabat tersebut. <br />
Setelah Rasulullah SAW wafat, tampillah par sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam <br />
dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal ini <br />
disebabkan karena merekalah yang paling lama bergaul dengan rausullah SAW. Dan telah <br />
memahami alQuran dan hokum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peritiwa <br />
yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabit’it-tabi’in telah memperhatikan <br />
periwayatan dan pentaqwilan fatwa-fatwa mreka. Dianatara mereka ada <br />
yangmengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka <br />
dianggap umber-sumber pembentukan hokum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang <br />
mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahn kepada fatwa mereka sebelum kembali <br />
kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendpat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama <br />
umat islam. <br />
<br />
<br />
B. Kehujjahan Madzhab Shahaby <br />
Pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-<br />
hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsng dari rasulullah <br />
SAW., seperti ucapan Aisyah; “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua <br />
tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”. <br />
Keterangan diatas tidaklah sah dijadikan lapangan Ijtihad dan pendapat, namun karena <br />
sumbernya benar-bear dari rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada <br />
zahirny merupakan ucapan sahabat. <br />
Kehujjahan Madzhab Shahaby adalah jika pendapat sahabat tidak bertenatangan <br />
dengan sahabat lain biasa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka <br />
terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. <br />
<br />
84agustianto.niriah.com <br />
<br />
<br />
<br />
C. Pandangan para Ulama tentang Madzhab Shahaby <br />
a. Pandangan Abu hanifah <br />
Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagai hujjah, <br />
sebab dia berkata tentang Madzhab Shahaby : “Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam <br />
Al-Quran dan Sunnah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya <br />
meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari <br />
pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya.” <br />
Ini berarti Abu Hanifah bias mengambil pendapat mereka yang dia kehendakki, namun <br />
dia tidak memperknankan untuk menentng pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia <br />
tidak memperkenankan adanya Qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara <br />
nasakh (menghapus/menghilangkan) terhadap berbagai pendapat yang terjadi diantara mereka. <br />
<br />
<br />
b. Pandangan Imam Syafe’i <br />
Menurut Imam Syafe’i pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang <br />
sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara <br />
keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbath pendapat lain. Dengan alasan bahwa <br />
pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dri orang yang tidak ma’sum <br />
(tidak terjaga dari Dosa). <br />
Menurut Imam Syafe’i, para sahabat dibolehkan menentang sahabt lainnya. Dengan <br />
demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika <br />
imam syafe’i melarang menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah <br />
atau dari pendapat yang disepakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan diantara <br />
mereka, atu menggunakan Qiyas, atau menggunakan qiyas pada sbagiannya. <br />
<br />
10.9 Syar’u Man Qablana <br />
A. Pengertian Syar’u man Qablana <br />
Syar’u man qablana berarti syari’at sebelum Islam. Para ushul fiqh sepakat menyatakan <br />
bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelumIslam melalui para Rasul-Nya telah <br />
dibatalkan secara umu oleh syari’at Islam. Mereka juga sepakat menyatakan bahwa pembatalan <br />
85agustianto.niriah.com <br />
86<br />
syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak <br />
hukum-hukum syari’at sebelum Islam, seperti beriman kepa da Allah, hukuman bagi orang yang <br />
melakukan zina, hukuman qishas dan hukuman bagi tindak pidana pencurian. <br />
<br />
B. Hukum Syari’at Sebelum Islam <br />
Jika Al-qur’an atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah <br />
disyari’atkan pada umat yang dahulu melalui Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada <br />
kita sebagaiman diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut <br />
ditujukan juga kepada kita, dengan kata lain wajib diikuti, seperti firman Allah dalam Surat Al-<br />
baqarah 183: “ Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa <br />
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu” <br />
Sebaliknya jika dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan pada kaum terdahulu, <br />
namun dihapuskan untuk kita, para ulama sepakat bahwa hokum tersebut tidak disyari’atkan <br />
kepada kita, seperti syari’at Nab Musa bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan <br />
diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Da jika ada najis ditubuh kita, tidak akan <br />
suci kecuali dengan memotong anggota badan itu. <br />
<br />
C.Pendapat Para Ulama tentang Syari’at Sebelum Kita <br />
Tentang syariat terdahulu telah jelas berupa penghapusan atau penetapan dan telah <br />
disepakati para ulama. Namun yang diperselisihkan adalah apabila pada syari’at terdahulu tidak <br />
terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan <br />
pada mereka. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah 32: “oleh karena itu, Kami <br />
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan <br />
karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi <br />
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.’ <br />
Jumhur ulama Hanafiah, sebagian ulama Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa <br />
hokum tersebut disyari’atkan juga kepada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan <br />
menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak mendapatkan <br />
hokum yang menasakhnya. Alasannya,mereka menganggap bahwa hal tersebut termasuk <br />
diantara hokum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan <br />
kepada kita. Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. <br />
Sebagian ulama berpendapat bahwa syari’at kita itu menasakh atau menghapus syari’at <br />
terdahulu,kecuali jika dalamsyari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun pendapat <br />
pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan <br />
syari’at kita saja.tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-56309658331955314232010-12-31T19:26:00.001-08:002010-12-31T19:26:43.041-08:00Satuan Acara Perkuliahan (SAP)Mata Kuliah : Ushul Fiqh <br />
Komponen : MDK <br />
Fakultas : Dakwah/Tarbiyah <br />
Jurusan : Semua Jurusan <br />
Program : S1 <br />
<br />
Deskripsi Mata Kuliah : <br />
Dari penamaan mata kuliah ini dapat dipahami bahwa Fiqh itu dibangun atas <br />
dasar ilmu ushulul Fiqh, oleh karena itu sangat perlu mengetahui dan memahami <br />
terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan dengan ushul Fiqh sehingga dapat <br />
membantu memahami fenomena Fiqh dan hukum-hukumnya. <br />
<br />
Kompetensi : <br />
Mahasiswa mengerti dan memahami benar hal-hal yang berkaitan dengan ilmu <br />
ushul Fiqh dan mampu menerapkan kaidah-kaidah ushul Fiqh di dalam mengkritisi <br />
dan menganalisa fenomena Fiqh dan hukum-hukumnya secara tepat dan benar. <br />
<br />
Strategi Perkuliahan : <br />
• Diskusi/seminar kelas dalam rangka mengembangkan daya nalar berfikir kritis <br />
dan cermat. <br />
• Ceramah dan tanya jawab menyangkut hal-hal yang bagi mahasiswa masih <br />
ragu, persepsi yang berbeda baik pengetian maupun pemahaman tentang <br />
permasalahan ushul Fiqh. <br />
<br />
Topik inti: <br />
A. Pendahuluan <br />
1. Ushul Fiqh: pengertian, objek, tujuan ruang lingkup (sistematika) dan <br />
perbedaannya dengan Fiqh <br />
2. Sejarah dan perkembangan Ushul Fiqh periodesasi jaman Nabi, shahabat <br />
dan tabi’in, munculnya Ushul Fiqh (tabir-tabir), aliran-aliran dan karya <br />
ilmiah. <br />
B. Sumber Hukum Islam <br />
1. Al-Qur’an: pengertian, kedudukan, fungsi dan butuh penjelasannya <br />
2. Al-Hadits: pengertian, kedudukan, fungsi serta hubungan Al-Hadits dengan <br />
Al-Qur’an. <br />
3. Ijma’: pengertian, macam-macam, kedudukan dan permasalahannya <br />
4. Qiyas: pengertian, hukum, macam-macam, hilal dan cara mencari illat <br />
(masalah Al-Illat). <br />
C. Metode Ijtihad <br />
1. Ijtihad: pengertian, dasar hukum, kedudukan dan fungsi, objek, macam-<br />
macam, syarat-syarat mujtahid menjatuhi dan tingkatan ijtihad. <br />
2. Istihsan dan maslahah mursalah dan istishab <br />
3. Urf, Sadduzzarih, qaulu shahbi dan sar’u man qablana. <br />
D. Kaedah-Kaedah (ushuliyah) <br />
1. ‘Am dan khash, Amr dan Nahi <br />
2. Mutlaq dan uqoyyad, mujmal dan mubayyan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) <br />
Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) <br />
- 2 - <br />
3. Mantuq dan Mafhum, zahir dan mu’awwal <br />
4. Nasakh, muradaf dan mustamal <br />
E. Ta’arudl al-Adillah dan penyelesaiannya <br />
1. Ta’arudl Al-Adillah: penegertian dan macam-macamnya <br />
2. Cara penyelesaiannya: Al-Arudl, al nasakh dan at tarjih <br />
F. Kadedah kaedah fiqh (al-qawaid dan al Fiqhiyah) <br />
1. Al-Qowaid al Fiqhiyah: pengertian, macam-macam dan perbedaannya <br />
dengan qawaid Ushuliyah <br />
2. Al-qawaid al-asas dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya <br />
<br />
G. Al-Ahkam <br />
1. Al-Ahkam: pengertian dan penjelasannya <br />
2. Mahkum bih/Mahkum Fih <br />
3. Mahkum Alaih <br />
4. Al-hakim dan permasalahannya <br />
<br />
Referensi: <br />
1. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1997 <br />
2. Asymuni A Rahman, Qawaid Fiqhiyah, Jakarta, Bulan Bintang, 1976 <br />
3. Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh <br />
4. T.M. Hasbi Asy-Syiddieqi, Pengantar Hukum Islam I dan II <br />
5. Khudlori Beih, Ushul Fiqh <br />
6. Abd. Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-37536264561427420562010-12-31T19:25:00.000-08:002010-12-31T19:25:08.840-08:00Pengantar Ushul Fiqh“Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan <br />
ilmu ushul fiqh.” (Al-Amidi)<br />
Definisi Ushul Fiqh<br />
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua <br />
sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh <br />
secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai <br />
disiplin ilmu tersendiri.<br />
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya<br />
Al-Ushul<br />
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara <br />
etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala <br />
sesuatu, pondasi, asas, atau akar).<br />
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah <br />
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang <br />
baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke <br />
langit. (Ibrahim: 24)<br />
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: <br />
para ulama mengatakan:<br />
اذك ةيآ باتكلا نم مكحلا اذه لصأ<br />
(Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-<br />
Qur’an).<br />
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum, <br />
sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.<br />
<br />
Al-Fiqh <br />
هقفلا يف ةغللا : ملعلا ءيشلاب مهفلاو هل<br />
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman <br />
terhadap sesuatu.<br />
Menurut istilah para ulama:<br />
هقفلا : ملعلا ماكحلاب ةيعرشلا ةيلمعلا بستكملا نم اهتلدأ ةيليصفتلا<br />
(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang <br />
diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).<br />
Penjelasan Definisi<br />
مكحلا : دانسإ رمأ ىلإ رخآ اباجيإ وأ ابلس<br />
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau <br />
penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah <br />
menghukumi dunia bila kita mengatakan dunia ini fana, atau <br />
dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana kepada <br />
dunia atau menafikan sifat kekal darinya.<br />
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah <br />
status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal <br />
sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, <br />
makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya itu sah, atau batal.<br />
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum <br />
tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya <br />
sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari <br />
dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk <br />
dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari <br />
syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api <br />
itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak <br />
berdasarkan syara’.<br />
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh <br />
hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli <br />
fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia <br />
memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan <br />
mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui <br />
penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.<br />
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah <br />
(praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, <br />
seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini <br />
hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau <br />
ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan <br />
hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan <br />
dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid <br />
(aqidah).<br />
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga <br />
harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian <br />
mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau <br />
ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, <br />
bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan <br />
ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian <br />
dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum <br />
syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke <br />
dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari <br />
kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.<br />
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:<br />
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan <br />
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-<br />
orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278).<br />
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun <br />
besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada <br />
pokok masalah yang bersifat praktis.<br />
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu<br />
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan <br />
oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:<br />
ةفرعم لئلد هقفلا لامجإ ةيفيكو ةدافتسلا اهنم لاحو ديفتسملا<br />
(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana <br />
menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh <br />
(bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang <br />
mujtahid).<br />
Penjelasan Definisi<br />
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada <br />
dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan <br />
berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku <br />
untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang <br />
atau kasus tertentu, dan lain-lain.<br />
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar <br />
misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang <br />
tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu <br />
masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci, <br />
mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana <br />
yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan <br />
(mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya <br />
dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan <br />
seterusnya.<br />
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat <br />
yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat <br />
mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-<br />
dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.<br />
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali <br />
mendefinisikan ushul fiqh dengan:<br />
ملعلا دعاوقلاب ةيلكلا يتلا لصوتي اهب ىلإ طابنتسا ماكحلا ةيعرشلا نم اهتلدأ ةيليصفتلا<br />
(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk <br />
melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya <br />
yang terinci).<br />
Penjelasan DefinisiKaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap <br />
bagian yang ada di bawahnya.<br />
Contoh kaidah umum:<br />
لصلا يف رملا بوجولل<br />
(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah <br />
mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain <br />
yang menjelaskan maksud lain dari kalimat perintah tersebut. <br />
Misalnya perintah Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 43:<br />
(( اوتآو ةاكزلا ))<br />
(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap <br />
perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada <br />
ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang <br />
zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut adalah dalil rinci, <br />
sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat <br />
global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil rinci lain yang <br />
sejenis.<br />
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang <br />
mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang <br />
shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa <br />
syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad yang <br />
benar sesuai batasan-batasan syariat.<br />
Cakupan Ushul Fiqh<br />
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang <br />
membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul <br />
fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:<br />
1. Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum <br />
Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan <br />
(Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain). <br />
2. Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang <br />
mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan <br />
apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut <br />
sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan <br />
keadilan dan rahmat Allah. <br />
3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang <br />
mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau <br />
makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah <br />
saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami <br />
maksudnya dengan benar jika kita memahami <br />
hubungannya dengan ayat atau hadits lain. <br />
4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang <br />
tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana <br />
solusinya. <br />
5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.<br />
Tujuan Ushul Fiqh<br />
ةياغ وأ ةرمث ملع لوصلا : لوصولا ىلإ ةفرعم ماكحلا ةيعرشلا طابنتسلاب<br />
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah <br />
(tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat <br />
melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i <br />
secara langsung.<br />
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya:<br />
1. Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang <br />
ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath. <br />
2. Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama. <br />
3. Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama. <br />
4. Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir <br />
logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.<br />
Sandaran Ushul Fiqh1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan <br />
terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah serta kedudukannya <br />
sebagai sumber hukum/dalil syar’i bersumber dari pengenalan <br />
dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya <br />
yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan <br />
terhadap kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu <br />
dibahas dalam ilmu tauhid.<br />
3. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, <br />
maka untuk memahami maksud setiap kata atau kalimat di <br />
dalam Al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman <br />
Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama mengatakan bahwa:<br />
رملا يضتقي روفلا<br />
(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung <br />
tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli <br />
bahasa mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada <br />
pelayannya: “Ambilkan saya air minum!” lalu pelayan itu <br />
menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.<br />
5. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:<br />
لصلا يف رملا بوجولل<br />
(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya <br />
adalah:<br />
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul <br />
itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63)<br />
7. Akal, misalnya kaidah ushul:<br />
اذإ فلتخا نادهتجم يف مكح امهدحأف ئطخم<br />
(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi <br />
suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya adalah <br />
logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang <br />
bertentangan adalah sebuah kemustahilan.<br />
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh<br />
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara <br />
untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul <br />
ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam <br />
(’alim). Jika ia awam maka wajib baginya untuk bertanya:<br />
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu <br />
tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)<br />
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak <br />
boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak <br />
bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu <br />
yang dibenarkan, sebab tidak boleh memutuskan hukum <br />
dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi <br />
mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua <br />
orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini <br />
menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu <br />
‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a’lam.”<br />
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan FiqhPembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i <br />
yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba <br />
seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, <br />
sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil <br />
yang rinci.<br />
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode <br />
seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i <br />
dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan <br />
konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat <br />
dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, <br />
dan apa syarat-syaratnya.<br />
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti <br />
posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis <br />
dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga <br />
lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, <br />
sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid <br />
dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh. <br />
[Sumber: www.dakwatuna.com]tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-29287076986162592002010-12-31T19:22:00.001-08:002010-12-31T19:22:47.413-08:00Penawaran Menjadi Peserta Aktif Diskusi Ushul Fiqh ProgresifHal : Penawaran Menjadi Peserta Aktif Diskusi Ushul Fiqh Progresif <br />
Lamp : 1 berkas TOR <br />
<br />
Kepada Yth <br />
Bapak/Ibu <br />
Di <br />
Tempat <br />
<br />
<br />
Salam sejahtera kami sampaikan. <br />
<br />
The Wahid Institute akan membuka kelas baru “Forum Jumat Sore untuk Ushul <br />
Fiqh Progresif dan Kesetaraan Gender”. Kami mengundang Bapak/Ibu dan <br />
Sdr/Sdri untuk menjadi peserta aktif selama 10 kali pertemuan setiap Jumat sore <br />
(lihat lebih lanjut TOR). <br />
<br />
Kelas ini merupakan kelas terbatas hanya 25 orang peserta dan akan dimulai: <br />
Hari/tanggal : Jum’at/18 Maret 2005 <br />
Waktu : Pk. 15.30 – 18.00 WIB <br />
Tempat : Kantor Wahid Institute, Jl. Duren Tiga Raya No. 4 Pancoran <br />
Jakarta Selatan. Telp: 79191128/7988003. Fax: 79190388 <br />
Tema : Ushul Fiqh Progresif dan Kesetaraan Gender <br />
<br />
Bagi mereka yang berminat diharuskan memberikan konfirmasi paling lambat <br />
satu hari sebelum kelas dimulai dengan mengisi formulir pendaftaran dan <br />
mengirimkannya kembali melalui fax atau email ke redaksi@wahidinstitute.org <br />
Bagi mereka yang belum mendapatkan kesempatan karena tempat terbatas kami <br />
akan memberi kesempatan pada periode berikutnya. <br />
<br />
Demikan surat penawaran ini semoga mempererat kerjasama kita. <br />
<br />
Wassalam, <br />
Jakarta, 8 Maret 2005 <br />
<br />
<br />
<br />
Ahmad Suaedy <br />
Direktur Eksekutif <br />
<br />
Contact person: Du’aa/Aan, telp: 021-79191128/faks: 021-7988003 Term of Reference <br />
<br />
“Forum Jumat Sore untuk Ushul Fikih Progresif dan Keadilan Gender” <br />
<br />
The Wahid Institute <br />
<br />
Latar Belakang <br />
<br />
Gerakan keadilan gender dan kesetaraan laki-perempuan cukup intensif <br />
dilakukan. Para aktivis dan pejuangnya cukup rajin melakukan sejumlah <br />
advokasi dan pembelaan ke masyarakat hingga ke level terbawah. Mereka getol <br />
mendampingi para korban trafiking, kekerasan, pemerkosaan, dan sebagainya <br />
yang grafiknya dari hari ke hari cenderung semakin menaik tajam. Untuk <br />
kepentingan ini sesungguhnya telah banyak institusi, organisasi, dan LSM yang <br />
aktif melakukan kerja-kerja pendampingan dan advokasi tersebut. <br />
Akan tetapi, sayangnya, banyak sekali para penggerak keadilan gender itu <br />
tersandung oleh problem agama. Tafsir-tafsir keagamaan yang misoginis dan <br />
diskriminatif terhadap perempuan adalah salah satu masalah yang kerap <br />
dihadapi oleh mereka. Misalnya, ketika para ulama berfatwa perihal keharaman <br />
perempuan yang bekerja di luar rumah tanpa didampingi seorang mahram, <br />
maka para aktifis itu sering tidak bisa membantah. Ketika para tokoh agama <br />
berkhotbah tentang bolehnya seorang suami memukul istri, para aktivis tidak <br />
memiliki cadangan argumen agama yang banyak. Al-Qur`an dan al-Hadits <br />
menjadi gampang sekali dibajak dan manipulasi segelintir orang hanya untuk <br />
membenarkan ambisi-ambisinya. <br />
Dalam konteks itulah, maka The wahid Institute hendak menyelenggarakan <br />
serangkaian kajian terhadap sejumlah problem tafsir keagamaan. Kajian ini coba <br />
menghadirkan “tafsir tandingan” atas tafsir mainstream yang banyak <br />
dipedomani oleh kalangan agamawan konservatif. Dengan menggunakan ushul <br />
fikih progresif sebagai metode pembacaan teks agama, kiranya akan dapat <br />
dikeluarkan sejenis tafsir yang progresif pula. Harapannya, tentu saja jenis tafsir <br />
keagamaan progresif ini dapat dijadikan sebagai bekal intelektual tatkala mereka <br />
mengalami hambatan teologis di lapangan. <br />
<br />
Tujuan <br />
<br />
1. Mengkaji secara kritis seluruh tafsir-tafsir keagamaan klasik yang bias <br />
gender. <br />
2. Menghadirkan tafsir keagamaan progresif menyangkut relasi laki-<br />
perempuan. <br />
3. Menyediakan perangkat metodologi keagamaan progresif sebagai bahan <br />
untuk melakukan ijtihad. <br />
Tema <br />
Kajian ini akan dilaksanakan sebanyak 10 kali pertemuan dengan tema-<br />
tema kajian sebagai berikut: <br />
1. Islam dan Problem Kesetaraan Gender <br />
2. Poligami dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. <br />
3. Kepemimpinan Perempuan antara Publik dan Domesik <br />
4. Perempuan Bekeja di Luar Rumah: Problem Fikih Islam <br />
5. Pekerja Seks Komersial: Problem Ekonomi dan Fikih <br />
6. Trafiking sebagai Kejahatan Kemanusiaan <br />
<br />
Nara Sumber <br />
1. KH Abdurrahman Wahid <br />
2. KH Husen Muhammad <br />
3. Lies Marcoes-Natsir <br />
4. Maria Ulfah Anshar <br />
<br />
Fasilitator <br />
Kajian ini akan selalu dipandu oleh team fasilitator seperti Ahmad Suaedy, <br />
Yenny Zannuba Wahid, Abdul Moqsith Ghazali, Rumadi, Marzuki Wahid, dan <br />
Anis Hidayah. <br />
<br />
Peserta <br />
Kami mengundang siapa saja yang berminat untuk menjadi peserta dalam <br />
Forum Jumat dengan tema tersebut, dengan syarat sebagai berikut: <br />
1. Mengisi formulir pendaftaran (bisa melalui fax atau email); <br />
2. Bersedia mengikuti terus menerus dalam 10 kali pertemuan; <br />
3. Memberikan konfirmasi keikutsertaan selambatnya sehari sebelum <br />
rangkaian forum dimulai; <br />
4. Forum Jumat kali ini akan dimulai tanggal 18 Maret 2005; <br />
5. Memberikan konstribusi Rp 25.000. <br />
6. Peserta terbatas hanya 25 orang, jika sudah mencapai jumlah tersebut <br />
maka pendaftaran akan ditutup dan mereka bisa mengikuti pada periode <br />
berikutnya. <br />
<br />
Waktu <br />
Kajian ini akan diselenggarakan setiap hari Jum’at mulai pukul 15.30 - <br />
18.00 WIB. Kajian akan dimulai Jum’at tanggal 18 Maret 2005. <br />
<br />
Tempat Kegiatan <br />
Kajian bertempat di kantor Wahid Institute, Jl. Duren Tiga Raya No 4 <br />
Pancoran Jakarta Selatan. Telp: 021-79191128/7988003 Fax: 021-79190388. Email: <br />
info@wahidinstitute.org. Website: www.wahidinstitute.org <br />
FORMULIR PENDAFTARAN PESERTA AKTIF <br />
FORUM JUMAT SORE UNTUK USHUL FIQH PROGRESIF DAN <br />
KEADILAN GENDER THE WAHID INSTITUTE <br />
<br />
Saya telah membaca TOR dan penawaran untuk mengikuti Forum Jumat Sore <br />
Untuk Ushul Fiqh Progresif Dan Keadilan Gender The Wahid Institute. Saya <br />
berminat untuk menjadi peserta aktif dan bersedia mengikuti ketentuan yang <br />
dipersyaratkan: <br />
<br />
Nama : .......................................................................................... <br />
<br />
Alamat :. .......................................................................................... <br />
................................................................................................................................................ <br />
..................................................................................................................... <br />
Tempat Tanggal Lahir : .......................................................................................... <br />
<br />
Jenis Kelamin : .......................................................................................... <br />
<br />
Lembaga : .......................................................................................... <br />
<br />
Jakarta, Februari 2005 <br />
<br />
<br />
<br />
-------------------------- <br />
<br />
..........................................................Potong di sini ............................................................ <br />
<br />
Persyaratan <br />
<br />
1. Mengisi formulir pendaftaran. <br />
2. Bersedia mengikuti terus-menerus dalam sepuluh kali pertemuan. <br />
3. Memberikan konfirmasi keiikutsertaan selambatnya sehari sebelum <br />
rangkaian kelas dimulai. <br />
4. Memberikan kontribusi Rp 25.000 untuk snack dan teh malam. <br />
<br />
<br />
Alamat: The Wahid Institute, Jl. Duren Tiga Raya No. 4 Pancoran Jakarta <br />
Selatan. Telp: 79191128/7988003. Fax: 79190388; email: <br />
redaksi@wahidinstitute.orgtantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-61306767407105787772010-12-31T19:20:00.001-08:002010-12-31T19:20:41.452-08:00PARADIGMA USHUL FIQIH MULTIKULTURAL DI INDONESIAOleh: Dr. Moh. Dahlan, M.Ag.<br />
1<br />
<br />
<br />
A. PENDAHULUAN <br />
Indonesia adalah sebuah bangsa yang komposisinya sangat beragam, baik ras, agama, aliran <br />
kepercayaan, bahasa, adat istiadat, orientasi kultur maupun pandangan hidupnya. Keragaman ini (baca: <br />
multikultural) memerlukan paradigma berpikir baru. Sebab, keragaman itu, khususnya dalam agama, dapat <br />
menimbulkan berbagai konflik.<br />
2<br />
Konflik terbuka antar (umat) agama itu muncul lantaran adanya paham <br />
keagamaan yang eksklusif walaupun bukan satu-satunya penyebab. Namun, agama telah memberikan <br />
kontribusi besar terhadap munculnya konflik di beberapa daerah.<br />
3<br />
<br />
Konflik antar agama itu perlu diselesaikan dengan merumuskan paradigma baru yang bisa mengantarkan <br />
umat beragama bisa hidup damai, toleran dan saling menghormati, terutama umat Islam sebagai kaum <br />
mayoritas. Karena itu, umat Islam perlu merumuskan paradigma ushul fiqih multikultural yang diharapkan <br />
mampu untuk menjawab kepentingan kultural kemanusiaan yang beragam tersebut.<br />
4<br />
<br />
<br />
B. KERANGKA BERPIKIR <br />
Istilah multikultural adalah gabungan dari kata multy (banyak) dan cultur (budaya). Multikultural secara <br />
singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya.<br />
5<br />
Dalam tradisi keilmuan, <br />
multikulturalitas teradapat dua orientasi, yaitu Pertama, multikulturalitas statis yang berarti suatu pandangan <br />
mengenai keragaman yang berisfat fragmentatif, keragaman itu menjadi serpihan-serpihan budaya yang <br />
berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Kedua, multikulturalitas dinamis yang berarti <br />
bahwa dalam beragam budaya atau tradisi terjadi interkulturalitas. Identitas baru yang dikonstruksi tidak lagi <br />
terkungkung pada lokalitas tertentu, tetapi menekankan kolektivitas identitas lokalitas masing-masing <br />
kelompok identitas yang telah mengalami kondisi fragmentasi.<br />
6<br />
<br />
<br />
C. PROBLEMATIKA KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA <br />
Secara umum, masyarakat itu merupakan eksistensi yang hidup dan dinamis yang dapat membentuk <br />
pranata dan tanggung jawabnya sendiri.<br />
7<br />
Dinamika kehidupan ini menjadi tuntutan tersendiri untuk <br />
membangun budaya yang berwawasan multikultural di Indonesia. Hal ini didasari beberapa alasan. Pertama, <br />
manusia diciptakan dalam keanekaragaman budaya. Kedua, dalam banyak kasus konflik sosial yang <br />
bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) pada dasawarsa terakhir ditengarai berkaitan erat dengan masalah <br />
kebudayaan (lihat: AlQadrie, 2005 dan Rahman, 2005). Ketiga, pemahaman terhadap multikulturalisme <br />
merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi tantangan global (baca: Samuel P. <br />
Huntington, 1993).<br />
8<br />
<br />
Dalam hal konflik agama, para peneliti termasuk Thomas Santoso menyebutkan bahwa terjadinya <br />
pengrusakan rumah ibadah disebabkan adanya pemahaman keagamaan yang dangkal walaupun agama <br />
bukan satu-satunya penyebab konflik dan kekerasan, sebagaimana temuan Riza Sihbudi. Di atas semua itu, <br />
<br />
1<br />
Penulis adalah Dosen Universitas Darul ‘Ulum Jombang Jawa Timur, HP 08179403094 <br />
2<br />
M. Amin Abdullah, Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), hlm. 5; Achmad Syahid, “Peta Kerukunan Umat <br />
Beragama Propinsi Bengkulu” (Seri II), dalam Riuh Di Beranda Satu, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm. 1-2. <br />
3<br />
Syamsul Arifin, Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial Tentang Konflik, Kekerasan Agama dan Nalar Multikulturalisme, <br />
(Malang: UMM Press, 2009), hlm. 13; Hendrizal, Keragaman dan Pendidikan Multikultural, www.analisadaily.com/index. <br />
diakses 01-06-2009. <br />
4<br />
Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Profanitas dan Sakralitas, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak. Syari’ah UIN Sunan <br />
Kalijaga Yogyakarta, 2004, hlm. 33-34; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: <br />
Paramadina, 1999), hlm. 334; Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali <br />
Pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: <br />
Paramadina, 2001), hlm. 485. <br />
5<br />
Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dikutip dari Mustato’, “Pendidikan Agama Islam <br />
Berbasis Multikultural”, Agustus 2008, dalam Arsip Blog. <br />
6<br />
Tadjoer Ridjal Baidoeri, “Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya Ide-ide Baru dalam Dunia Pesantren” dalam Makalah <br />
Lokakarya Nasional Pengasuh Pondok Pesantren se-Jawa Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ Darul ’Ulum Jombang <br />
Kerjasama dengan Puslitbang & Diklat Depag RI, 12-13 Agustus 2009, hlm. 13-15. <br />
7<br />
Muhaemin el-Ma'hady, “Multikulturalisme dan Pendidikan Multicultural”, Homepage Pendidikan Network, http://re-<br />
searchengines.com/muhaemin6-04.html. diakses 01-06-2009. <br />
8<br />
Agus Rifai, ”Perpustakaan dan Pendidikan Multikulturalisme” dalam Artikel Peserta Lomba Penulisan Karya Ilmiah bagi <br />
Pustakawan Tahun 2006. diakses 01-06-2009. The 9th<br />
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) <br />
<br />
<br />
<br />
Surakarta, 2-5 November 2009 <br />
<br />
<br />
beragam konflik yang tumbuh subur pada dasawarsa terakhir ini lantaran pada zaman Orde Baru, dengan <br />
jargon “persatuan” dan “kesatuan” yang dikawal serdadu berusaha untuk menghapus segala potensi benturan <br />
atas dasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).<br />
9<br />
<br />
Untuk menjawab hal tersebut adalah dengan merumuskan paradigma berpikir multikulural, yakni <br />
paradigma berpikir yang bisa menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya, bukan <br />
paradigma monokultural yang mengabaikan keragaman10<br />
dan telah mendorong munculnya pola pikir radikal, <br />
ekstrim, dan berlebihan.<br />
11<br />
Salah satu persoalan krusial dalam kehidupan religius bangsa Indonesia adalah <br />
pemikiran mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam, yakni pemikiran ushul fiqih yang perlu untuk <br />
selalu diperbarui agar terbangun pola hidup dan amalan praktis fiqih kaum Muslim yang bisa menghormati, <br />
tulus dan toleran terhadap keragaman budaya, agama, dan hal lain. <br />
<br />
C. DESKRIPSI TENTANG SYARΑAH, FIQH DAN USHUL FIQIH <br />
Pertama, secara etimologis, syara‘a berarti “menggambar jalan yang jelas menuju ke sumber air”,<br />
12<br />
<br />
sedang secara terminologis, syarî‘ah memiliki arti sebagai ketentuan hukum yang ditetapkan Allah yang <br />
diperuntukkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.<br />
13<br />
Dalam arti ini juga tercakup aturan hukum yang diwahyukan <br />
dalam al-Qur’an; lalu aturan yang terkandung dalam al-Hadîts (verbal traditions), dan selanjutnya tafsir, <br />
pendapat-pendapat, ijtihad (personal opinion), fatwa (religious opinion) ulama, dan keputusan-keputusan <br />
hakim.<br />
14<br />
Kedua, secara harfiah, fiqh berarti “pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan <br />
perbuatan”.<br />
15<br />
Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‘ yang bersifat amaliah yang digali <br />
dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili melalui penalaran.<br />
16<br />
Ketiga, ushul fiqih adalah ilmu yang membahas <br />
tentang sumber-sumber pokok dan metode-metode pengambilan kesimpulan atau istimbat hukum Islam. Para <br />
fuqaha’ melakukan usahanya untuk menemukan pemecahan di bidang hukum dari sumber-sumber dan dalil-<br />
dalil al-Qur’an dan Sunnah.<br />
17<br />
Menurut Syekh Kamaluddin Ibn Himam, ushul fiqih adalah ilmu tentang kaidah-<br />
kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum fiqih. Atau dengan kata lain disebutkan bahwa <br />
kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan <br />
manusia dari dalil-dalil syar’ î.<br />
18<br />
<br />
<br />
D. Pergeseran Paradigma Ushul Fiqih: Dari Ushul Fiqih Monokultural ke Ushul Fiqih Multikultural <br />
<br />
1. Sumber Fiqh Monokultural dan Multikultural <br />
‘Abd al-Wahhâb Khallâf mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhannya adalah qath‘î<br />
19<br />
baik <br />
dari sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari Nabi Muhammad saw. pada umatnya. Teks al-<br />
<br />
9<br />
Arifin,Silang Sengkarut...., hlm.13-14; http://www.shaleholic.com.diakses 01-06-2009. <br />
10<br />
http://www.shaleholic.com. diakses 01-06-2009; M Zainuddin, “Pluralisme dan Dialog Antarumat Beragama”, dalam al-<br />
‘Adalah, Vol 10 N0 2 (Jember: STAIN Press, 2007), hlm. 208. <br />
11<br />
Hal ini ditandaskan dalam firman Allah surat al-Ma’idah ayat 77 yang berbunyi: ﺎَﻟَو ﱢﻖَﺤْﻟا َﺮْﯿَﻏ ْﻢُﻜِﻨﯾِد ﻲِﻓ اﻮُﻠْﻐَﺗ ﺎَﻟ ِبﺎَﺘِﻜْﻟا َﻞْھَأ ﺎَﯾ ْﻞُﻗ<br />
ِﻞﯿِﺒﱠﺴﻟا ِءاَﻮَﺳ ْﻦَﻋ اﻮﱡﻠَﺿَو اًﺮﯿِﺜَﻛ اﻮﱡﻠَﺿَأَو ُﻞْﺒَﻗ ْﻦِﻣ اﻮﱡﻠَﺿ ْﺪَﻗ ٍمْﻮَﻗ َءاَﻮْھَأ اﻮُﻌِﺒﱠ ﺘَﺗ <br />
Dalam bahasa Arab, al-ghuluw disebutkan dengan kata ”tatharruf” yang berkonotasi makna radikal, ekstrim dan berlebihan <br />
(Q.S. al-Ma’idah [5]: 77). Abdullah, Studi Agama..., hlm. 5-8.; Muchlis M Hanafi, ”Konsep al-Wasathiyyah dalam Islam” <br />
dalam dalam Makalah Lokakarya Nasional Pengasuh Pondok Pesantren se-Jawa Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ <br />
Darul ’Ulum Jombang Kerjasama dengan Puslitbang & Diklat Depag RI, 12-13 Agustus 2009, hlm. 3. <br />
12 <br />
Fazlur Rahman, Islam (Garden City: Anchor Books, 1968), hlm. 117; Amir Sarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum <br />
Islam”, dalam Ismail Muhammad Syah et al. (peny.), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 11. <br />
13 <br />
Mahmûd Syaltût, Al-Islâm: ‘Akîdah wa Syarî‘ah (t.t: Dâr al-Qalam, t. th.), hlm. 21. <br />
14 <br />
Muhammad Sa‘id al-‘Ashmawi, “Syari’ah: Kodifikasi Hukum Islam”, dalam Charles Kursman, (ed.), Wacana Islam <br />
Liberal…, hlm. 41. <br />
15 <br />
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 1; Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran <br />
dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm. 15; Al Yûsuf al-Qardlâwî, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-<br />
Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hlm. 21. <br />
16<br />
Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam..., hlm. 14-15; Al-Qardlâwî, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah.., hlm. <br />
21. <br />
17<br />
Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Logos, 1997), hlm.14; Subhi Mahmashani, “Penyesuaian Fiqih Islam dengan <br />
Kebutuhan Masyarakat Modern”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaruan, terj. <br />
Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 325. <br />
18<br />
Abu Zahrah, Ushul Fiqih..., hlm.3. <br />
19 <br />
Muhyar Fanani, “Sejarah Perkembangan Konsep Qat‘i-Zannî: Perdebatan Ulama tentang Anggapan Kepastian dan <br />
Ketidakpastian Dalil Syari‘at”, Al-Jâmi‘ah 39:2 (2001), hlm. 441-442; Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‘î, Al-Risâlah Ahmad The 9th<br />
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) <br />
<br />
<br />
<br />
Surakarta, 2-5 November 2009 <br />
<br />
<br />
Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada umatnya tanpa ada perubahan dan <br />
penggantian sedikit pun.<br />
20<br />
Sementara al-Sunnah (al-Hadîts) sebagai sumber kedua juga memiliki nilai qath‘î <br />
tetapi berbeda dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘î al-wurûd (memiliki validitas kuat <br />
datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah) dan zhannî al-wurûd (tidak memiliki validitas kuat <br />
datanganya dari Nabi; al-Sunnah al-Ahâd).<br />
21<br />
<br />
Fuqaha’ monokultural menyatakan bahwa teks al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian: Pertama, qath‘î <br />
al-dilâlah adalah teks yang memiliki pengertian yang jelas dan tidak menimbulkan ta’wîl serta tidak ada jalan <br />
untuk dipahami selain dari arti yang jelas itu. Kedua, zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki suatu <br />
pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wîl atau dapat diubah dari pengertian aslinya kepada <br />
pengertian lain.<br />
22<br />
Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai <br />
dan menetapkan ketentuan hukum/fiqih.<br />
23<br />
<br />
Sementara itu, fuqaha’ multikultural mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah firman literal dan final <br />
dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama menyampaikan misinya sering menjelaskan dan <br />
mengelaborasi arti atau makna teks al-Qur’an, dan menambahkan keputusan-keputusannya melalui <br />
perkataan (statemen) dan perbuatan (action) serta persetujuannya pada para pengikutnya (sahabat Nabi) <br />
berdasarkan kepentingan kultural (kemaslahatan) umat. Keputusan Nabi ini kemudian dikenal sebagai al-<br />
Sunnah yang dijadikan sumber kedua oleh umat Islam.<br />
24<br />
<br />
<br />
2. Paradigma Ijtihad Fiqih Monokultural dan Multikultural <br />
Dalam perspektif historis, sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam <br />
Madinahnya menjadi dasar hukum fiqih bagi legalitas multikulturalisme. Piagam Madinah ini adalah konsesi <br />
atas Hijrah Nabi Muhammad saw yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah.<br />
25<br />
<br />
Dalam perkembangannya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, proses pembentukan hukum fiqih <br />
mulai mengalami perdebatan seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahatan umat) dan wahyu (yang <br />
berasaskan teks/nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat antara Umar ibn al-Khattab <br />
dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian muallaf dan pembagian harta rampasan perang. Umar <br />
berpijak pada kepentingan kultural masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada <br />
tradisi formal-legalistik.<br />
26<br />
Perkembangan perdebatan fiqih di dunia Islam, khususnya di Indonesia, juga tidak <br />
lepas dari persoalan peran teks dan kultur tersebut.<br />
27<br />
<br />
Tarik menarik antara peran teks dan kultur menimbulkan polarisasi paradigmatik dalam pembaruah <br />
fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih multikultural yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan <br />
fiqih yang sesuai dengan kepentingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua, paradigma <br />
ushul fiqih monokultural yang meletakkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pijaknya dalam <br />
menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap tidak mampu menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan <br />
<br />
Muhammad Sakir (ed.), [Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.], hlm. 56-57; Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic <br />
Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1990)., hlm. <br />
18. <br />
20<br />
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978), hlm. 34; Moh Dahlan, Epistemologi Hukum <br />
Islam: Studi Atas Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, [Disertasi S-3 : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006] <br />
21 <br />
Ibid., hlm. 42. <br />
22 <br />
Ibid., hlm. 35; Abî Bakar Ahmad al-Râzî al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur’ân Jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993) hlm. 5-6; <br />
Wahbah al- Zukhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî Jilid II [Beirut: Dâr al-Fikr, 1986], hlm. 1052-1054; Muhammad Abû <br />
Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th.), hlm. 218 dan 227. <br />
23<br />
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972), hlm. 19 dan 25. <br />
24<br />
Menurut fuqaha’ multikultural, teks yang qath‘î al-dilâlah adalah teks yang universal dan mengandung nilai-nilai <br />
kemanusiaan, sedang teks yang zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki arti jelas dan rinci serta mengancam nilai-<br />
nilai kemanusiaan, ekslusif, dan diskriminatif. Abdullahi Ahmed An-Na‘im, “Human Rights in the Muslim World: Socio-<br />
Political Conditions and Scriptural Imperatives”, Harvard Human Rights Journal 3 (1990), hlm. 17; Abdullahi Ahmed An-<br />
Na‘im, “The Contingent Universality of Human Rights: The Case of Freedom of Expression in African and Islamic <br />
Contexts”, Emory International Law Review 11 (1997), hlm. 49. <br />
25<br />
Mustato’, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural”, Agustus 2008, dalam Arsip Blog. <br />
26<br />
Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh…, hlm. 98-99. <br />
27<br />
Amin Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), <br />
Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 541; Ahmad Baso, Islam Liberal Sebagai Ideologi, <br />
Gerbang, Vol. 06, No.03. 2000,hlm. 125 The 9th<br />
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) <br />
<br />
<br />
<br />
Surakarta, 2-5 November 2009 <br />
<br />
<br />
Sunnah yang jelas dan rinci. Demikian juga kultur tidak memiliki peran strategis dalam merumuskan <br />
ketentuan fiqih.<br />
28<br />
<br />
<br />
3. Mujtahid Yang Berwawasan Monokultural dan Multikultural <br />
Ijtihad merupakan usaha yang sungguh-sungguh dari mujtahid dalam menemukan hukum-hukum <br />
syar‘î. Mujtahid harus memenuhi tiga syarat: Pertama, pengerahan segala kemampuan dari mujtahid. <br />
Kedua, usaha yang sungguh-sungguh itu adalah untuk mencari hukum-hukum syar‘î yang bersifat zhannî. <br />
Ketiga, pencarian hal-hal yang zhannî itu adalah dari teks syar‘î (al-Qur’an dan al-Sunnah).<br />
29<br />
<br />
Syarat mujtahid meliputi beberapa hal berikut: Pertama, syarat umumnya adalah baligh, berakal, <br />
memahami masalah, dan beriman. Kedua, syarat utamanya adalah mengetahui bahasa Arab, ilmu ushul <br />
fiqih, ilmu mantiq (logika), dan mengetahui hukum asal. Ketiga, syarat yang pokok adalah mengetahui al-<br />
Qur’an, al-Sunnah, maqâsid al-syar‘î, asrâr al-syar‘î, dan mengetahui qawâid al-fiqhiyyah.<br />
30<br />
<br />
Adapun mujtahid meliputi tiga tingkatan: Pertama, mujtahid al-madzhab adalah seorang mujtahid yang <br />
mengikuti (yuqallidu) teori ijtihad dari salah satu imam madzhab, sedangkan produk hukumnya boleh <br />
berbeda. Kedua, mujtahid al-mas’alah adalah seorang mujtahid yang boleh melakukan ijtihad dengan hanya <br />
berbekal pengetahuan yang berhubungan dengan satu persoalan yang akan dipecahkan dan produk <br />
hukumnya boleh berbeda. Ketiga, mujtahid al-mutlaq adalah seseorang yang memiliki kemampuan <br />
mencetuskan teori dan rumusan ketentuan hukum syar‘î. Di luar tiga hal tersebut adalah muqallid, yang <br />
tindakannya sering disebut “taqlîd”.<br />
31<br />
<br />
Salah satu contoh gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar yang menempatkan gagasan <br />
fiqihnya yang berbasis kultural, kepentingan penduduk setempat, dalam masalah harta rampasan perang <br />
(baca: al-Qur’an 59: 6-10). Gagasan Umar itu mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat <br />
setempat, sehingga ia dapat mengamalkan pesan living tradition dari Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi dalam <br />
wujud tindakan baru yang sudah mengalami the autonomisation of action –meminjam istilah Ricoeur- dari <br />
pelaku aslinya, Nabi.<br />
32<br />
<br />
Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada apresiasi luar biasa terhadap kepentingan kultural <br />
kemanusiaan melalui urf. Misalnya, Imam Hanafi menolak qiyâs demi mempertahankan urf/tradisi yang <br />
baik. Demikian juga Imam Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih yang valid.<br />
<br />
Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid pada hakikatnya juga memiliki <br />
perhatian terhadap aspek kultural/urf.<br />
33<br />
<br />
Dalam kehidupan Indonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab memiliki arti penting untuk <br />
memberikan sumbangan penting bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam agar mereka <br />
memiliki paradigma (fiqih) Islam yang berwawasan multikultural, bukan paradigma (fiqih) Islam yang <br />
bertitik tolak pada pemikiran dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang hanya berpijak <br />
pada akar pemikiran rasional dan empiris.<br />
34<br />
Hal ini penting untuk menjawab kelemahan padarigma ushul <br />
fiqih di Indonesia yang monolitik (single entities) dan berwawasan taqlid.<br />
35<br />
<br />
<br />
28<br />
Ada dua paradigma interpretasi: Pertama, penafsiran multikultural yang berlandaskan konteks baik konteks kalimat <br />
ataupun konteks kultural (konteks turun atau kekiniannya). Kedua, penafsiran monokultural yang berlandaskan nas-nas <br />
al-Qur'an yang jelas dan rinci. Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh” dalam Budhy Munawar-Rachman <br />
(ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t.th.), hlm. 8-10; Al-Syathibi, Al-Muwafaqat <br />
fî Ushul al-Syari’ah Jilid I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997); Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic <br />
Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1970), hlm. 180; Akh. Minhaji, “Review Article: Mencari <br />
Rumusan Ushul Fiqh untuk Masa Kini”, Al-Jâmi’ah No. 62, Yogyakarta, 2001, hlm. 247; Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hlm. <br />
560; Al-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami.., hlm. 803 dan 821. . <br />
29<br />
Muhâmî Munîr Muhammad Thâhir al-Syawwâf, Tahâfut al-Qirâ’ah al-Mu‘âshirah (Cyprus: Al-Syawwâf li al-Nasyr wa al-<br />
Dirâsât, 1993), hlm. 450; Muhammad Kamâl al-Dîn Imâm, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî (Iskandariyah: Dâr al-Mathbû‘ al-<br />
Jâmi‘iyyah, t.th.), hlm. 309-310. <br />
30<br />
Asjmuni Abdurrahman, “Sorotan terhadap Beberapa Masalah Sekitar ijtihâd” dalam Ahmad Baidowi, M. Affan dan Ach. <br />
Baidowi Amiruddin (peny.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, [Yogyakarta: SUKA-Press, 2003], hlm. 243-<br />
4. <br />
31<br />
Al-Syawwâf, Tahâfut al-Qirâ’ah., hlm. 453-455 dan 459. <br />
32<br />
An-Na‘im, Toward an Islamic Reformation.., hlm. 28; Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, John B <br />
Thompson (terj. & ed.), [Cambridge: Cambridge University Press, 1982], hlm. 206; M. Amin Abdullah, “Kata <br />
Pengantar”, dalam Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir (Yogyakarta: Pustaka, 2003), hlm. xii. <br />
33<br />
M Noor Harisuddin, “Madzhab Fiqih Berbasis Lokalitas”, dalam Jurnal al-‘Adalah Vol 9 No 3 (Jember: STAIN Press, 2006), <br />
hlm. 123; Nasrun Haroen, Ushul Fiiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 148. <br />
34<br />
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 29; A. Mukti Ali, “Metodologi <br />
Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, The 9th<br />
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) <br />
<br />
<br />
<br />
Surakarta, 2-5 November 2009 <br />
<br />
<br />
<br />
E. Menuju Paradigma Ushul Fiqih Multikultural <br />
Rasulullah SAW mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membangun masyarakat yang beradab. Ia <br />
mengatakan bahwa ajaran fiqih Islam harus menjadi rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi kaum <br />
Muslim untuk berta’aruf dengan keompok-kelompok lain di dalam masyarakat yang berbeda baik dalam hal <br />
agama, sosial maupun budaya.<br />
36<br />
Untuk itu rumusan paradigma ushul fiqih yang relevan adalah “ushul fiqih <br />
multikultural” yang diyakini dapat memproduk hukum-hukum fiqih yang aspiratif dan akomodatif terhadap <br />
pluralitas kultural/kepentingan kemanusiaan, sehingga umat manusia mendapatkan posisi yang setara tanpa <br />
membedakan ras, agama, jenis kelamin dan keturunan. <br />
Paradigma ushul fiqih multikultural itu berdasarkan al-Qur’an: Pertama, surat al-Hujurat yang <br />
menempatkan manusia secara setara.<br />
37<br />
Kedua, surat ar-Rum yang memberikan keabsahan bahwa perbedaan <br />
warna kulit, bahasa, dan budaya harus diterima sebagai sesuatu yang positif dan merupakan tanda-tanda dari <br />
kebesaran Allah swt.<br />
38<br />
Ketiga, surat al-kafirun yang menetapkan prinsip saling menghargai antar pemeluk <br />
agama.<br />
39<br />
Keempat, surat Yunus dan al-Nahl yang memberikan ruang yang terbuka bagi pola hubungan di <br />
antara sesama manusia, termasuk hubungan antar agama, etnis, suku, bangsa, dan budaya berdasarkan asas <br />
kerelaan/kesetaraan kepentingan tanpa ada pemaksaan.<br />
40<br />
Dengan demikian, paradigma ushul fiqih <br />
multikultural ini berusaha menempatkan nilai-nilai kultural dan memberikan kesempatan kepada setiap <br />
generasi untuk memberikan terobosan baru untuk mencapai suatu pengetahuan hukum fiqih yang berbasis <br />
keragaman kepentingan kutlural. Pertimbangan kepentingan kultural memperoleh tempat yang layak. <br />
Dalam konteks ini, penulis perlu mengemukakan perbedaan ketentuan fiqih monokultural dengan <br />
ketentuan fiqih multikultural. Ketentuan fiqih monokultural menandaskan bahwa: Pertama, pembedaan status <br />
kewarganegaraan berdasarkan asas agama dan gender. Kedua, pembedaan dejarat saksi berdasarkan jenis <br />
kelamin atau agama. Ketiga, pembedaan dalam persoalan pernikahan, perceraian dan dzimmî.<br />
41<br />
Sementara <br />
itu ketentuan fiqih multikultural menandaskan bahwa persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan harus <br />
ditegakkan di depan hukum. Demikian juga persamaan kedudukan non-Muslim, baik dalam persoalan hukum <br />
pidana, persaksian maupun perdata.<br />
42<br />
<br />
Dari uraian tersebut, fiqih yang berwawasan multikultural memiliki arti penting karena <br />
masyarakat/bangsa Indonesia terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial, politis, <br />
ekonomis, keagamaan, dan kultural. Masyarakat yang seperti ini memerlukan ketentuan fiqih yang akomodatif <br />
dan apresiatif terhadap keragaman tersebut. Karena itu, identitas hukum fiqih dapat diperluas berdasarkan <br />
keragaman identitas yang berkembang di masyarakat. Sebab, identitas yang diharapkan bukanlah identitas <br />
yang statis tetapi identitas yang dinamis.<br />
43<br />
Keragaman yang ada yang berlandaskan identitas keagamaan itu <br />
diharapkan oleh paradigma ushul fiqih multikultural ini akan bersinergi, sehingga keberagaman identitas tidak <br />
berjalan sendiri-sendiri, tetapi keragaman identitas baik budaya, agama, maupun kultur sama-sama semakin <br />
diperluas dan diperkaya. <br />
F. Kesimpulan <br />
Arti penting paradigma ushul fiqih multikultural adalah sebagai berikut: Pertama, ia menekankan pada <br />
pengambilan nilai-nilai dasar kultural kemanusiaan sebagai prinsipnya dalam merumuskan hukum (fiqih) <br />
Islam. Kedua, ia mendorong kaum Muslim untuk selalu menangkap realitas aktual kekinian. Konsekuensinya, <br />
perlu pergeseran paradigma dari ushul fiqih monokultural ke ushul fiqih multikultural. Ketiga, ia dapat <br />
melahirkan produk hukum yang mampu menghargai dan menghormati adanya keragaman gaya hidup bangsa <br />
<br />
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm.. 47; Moh Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”, dalam Jurnal Citra Ilmu <br />
(Temanggung: STAINU Press, 2008), hlm.21-35. <br />
35<br />
A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian <br />
Agama…, hlm.. 47; Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”..., hlm.21-35. <br />
36<br />
A Malik Fadjar, “Strategi Pengembangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi” dalam Seminar Internasional di Era <br />
Globalisasi: Tantangan dan Upaya Merumuskan Kembali Orientasi Strategi dan Kurikulum. Kerjasama FAI-UMM dengan <br />
AIPUM Malaysia, di UMM, tgl 22-23 Juni 2007, hlm. 3.; lihat juga Moh Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”…, hlm.21-<br />
35. <br />
37<br />
Lihat; (al-Hujurat :13) ٌ َﻞِﺋﺎَﺒَﻗَو ﺎًﺑﻮُﻌُﺷ ْﻢُﻛﺎَﻨْﻠَﻌَﺟَو ﻰَﺜْﻧُأَو ٍﺮَﻛَذ ْﻦِﻣ ْﻢُﻛﺎَﻨْﻘَﻠَﺧ ﺎﱠﻧِإ ُسﺎﱠﻨﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأ ﺎَﯾ <br />
38Lihat; (ar-Rum:22) ِﻟﺎَﻌْﻠِﻟ ٍتﺎَﯾَﺂَﻟ َﻚِﻟَذ ﻲِﻓ ﱠنِإ ْﻢُﻜِﻧاَﻮْﻟَأَو ْﻢُﻜِﺘَﻨِﺴْﻟَأ ُفﺎَﻠِﺘْﺧاَو ِضْرَﺄْﻟاَو ِتاَوﺎَﻤﱠﺴﻟا ُﻖْﻠَﺧ ِﮫِﺗﺎَﯾَآ ْﻦِﻣَو َﻦﯿِﻤ <br />
39 Lihat; (al-Kafirun: 6) ِﻦﯾِد َﻲِﻟَو ْﻢُﻜُﻨﯾِد ْﻢُﻜَﻟ . <br />
40 Lihat; (Yunus: 99) َأ ﺎًﻌﯿِﻤَﺟ ْﻢُﮭﱡﻠُﻛ ِضْرَﺄْﻟا ﻲِﻓ ْﻦَﻣ َﻦَﻣَﺂَﻟ َﻚﱡﺑَر َءﺎَﺷ ْﻮَﻟَو َﻦﯿِﻨِﻣْﺆُﻣ اﻮُﻧﻮُﻜَﯾ ﻰﱠﺘَﺣ َسﺎﱠﻨﻟا ُهِﺮْﻜُﺗ َﺖْﻧَﺄَﻓ - <br />
َﻦﯾِﺪَﺘْﮭُﻤْﻟﺎِﺑ ُﻢَﻠْﻋَأ َﻮُھَو ِﮫِﻠﯿِﺒَﺳ ْﻦَﻋ ﱠﻞَﺿ ْﻦَﻤِﺑ ُﻢَﻠْﻋَأ َﻮُھ َﻚﱠﺑَر ﱠنِإ ُﻦَﺴْﺣَأ َﻲِھ ﻲِﺘﱠﻟﺎِﺑ ْﻢُﮭْﻟِدﺎَﺟَو ِﺔَﻨَﺴَﺤْﻟا ِﺔَﻈِﻋْﻮَﻤْﻟاَو ِﺔَﻤْﻜِﺤْﻟﺎِﺑ َﻚﱢﺑَر ِﻞﯿِﺒَﺳ ﻰَﻟِإ ُعْدا - <br />
(al-Nahl:125) <br />
<br />
41<br />
An-Na’im, Toward an Islamic Reformation….., hlm. 89-91. <br />
42<br />
Ibid., hlm. 180-181. <br />
43<br />
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hlm. 74. The 9th<br />
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) <br />
<br />
<br />
<br />
Surakarta, 2-5 November 2009 <br />
<br />
<br />
atau masyarakat Indonesia yang mendesak di tengah arus gerakan keagamaan yang sering hanya <br />
mengedepankan unsur normatif fiqih tanpa mengikutkan unsur keragaman historis fiqih, tradisi/urf. <br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA <br />
A. Buku <br />
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Pustaka, 2003 <br />
Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996. <br />
Abdullah, Taufik, dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: <br />
Tiara Wacana, 1989. <br />
Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th.. <br />
, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. <br />
Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Profanitas dan Sakralitas, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak. <br />
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004 <br />
al- Zukhailî, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî Jilid II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986. <br />
Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998. <br />
al-Jashshâsh, Abî Bakar Ahmad al-Râzî, Ahkâm al-Qur’ân Jilid II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. <br />
al-Qardlâwî, Yûsuf, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2001. <br />
al-Syâfi‘î, Muhammad bin Idrîs, Al-Risâlah Ahmad Muhammad Sakir (ed.), Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. <br />
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fî Ushul al-Syari’ah Jilid I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997) <br />
al-Syawwâf, Muhâmî Munîr Muhammad Thâhir, Tahâfut al-Qirâ’ah al-Mu‘âshirah, Cyprus: Al-Syawwâf li al-<br />
Nasyr wa al-Dirâsât, 1993. <br />
An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International <br />
Law, Syracuse: Syracuse University Press, 1990. <br />
Arifin, Syamsul, Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial Tentang Konflik, Kekerasan Agama dan Nalar <br />
Multikulturalisme, Malang: UMM Press, 2009. <br />
Baidowi, Ahmad, M. Affan dan Ach. Baidowi Amiruddin (peny.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, <br />
Yogyakarta: SUKA-Press, 2003. <br />
Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t.th.) <br />
Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001). <br />
Dahlan, Moh, Epistemologi Hukum Islam: Studi Atas Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, Disertasi S-3 : UIN <br />
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006. <br />
Djamil, Fathurahman, Filsafat Hukum Islam, Logos, 1997. <br />
Donohue, John J., dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaruan, terj. Machnun Husein, Jakarta: <br />
Rajawali Pers, 1995. <br />
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999). <br />
Haroen, Nasrun, Ushul Fiiqh I, Jakarta: Logos, 1997. <br />
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Islamabad: Islamic Research Institute, 1970. <br />
Imâm, Muhammad Kamâl al-Dîn, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Iskandariyah: Dâr al-Mathbû‘ al-Jâmi‘iyyah, t.th. <br />
Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, 1978. <br />
, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972. <br />
Nafis, Muhammad Wahyun, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1995. <br />
Rahman, Fazlur, Islam, Garden City: Anchor Books, 1968. <br />
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, John B Thompson (terj. & ed.), Cambridge: Cambridge <br />
University Press, 1982. <br />
Riuh Di Beranda Satu, Jakarta: Depag RI, 2003. <br />
Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: Gunung Mulia, 2004. <br />
Syah, Ismail Muhammad, et al. (peny.), Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. <br />
Syaltût, Mahmûd, Al-Islâm: ‘Akîdah wa Syarî‘ah, t.t: Dâr al-Qalam, t. th.. <br />
Syarifuddin, Amir, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990. <br />
B. Makalah, Jurnal, Internet, dan lainnya <br />
Al-Jâmi’ah No. 62 dan 39:2 Yogyakarta, 2001 <br />
al-‘Adalah, Vol 10 N0 2, Jember: STAIN Press, 2007. <br />
Artikel Peserta Lomba Penulisan Karya Ilmiah bagi Pustakawan Tahun 2006. diakses 01-06-2009. The 9th<br />
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) <br />
<br />
<br />
<br />
Surakarta, 2-5 November 2009 <br />
<br />
<br />
Baidoeri, Tadjoer Ridjal, “Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya Ide-ide Baru dalam Dunia Pesantren” dan <br />
Muchlis M Hanafi, ”Konsep al-Wasathiyyah dalam Islam” dalam Makalah Lokakarya Nasional <br />
Pengasuh Pondok Pesantren se-Jawa Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ Darul ’Ulum Jombang <br />
Kerjasama dengan Puslitbang & Diklat Depag RI, 12-13 Agustus 2009. <br />
Emory International Law Review 11 (1997) <br />
Gerbang, Vol. 06, No.03. 2000 <br />
Harvard Human Rights Journal 3 (1990) <br />
http://re-searchengines.com/muhaemin6-04.html. diakses 01-06-2009. <br />
http://www.shaleholic.com.diakses 01-06-2009. <br />
Jurnal al-‘Adalah Vol 9 No 3, Jember: STAIN Press, 2006. <br />
Jurnal Citra Ilmu, Temanggung: STAINU Press, 2008. <br />
Mustato’, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural”, Agustus 2008, dalam Arsip Blog. <br />
Seminar Internasional di Era Globalisasi: Tantangan dan Upaya Merumuskan Kembali Orientasi Strategi dan <br />
Kurikulum. Kerjasama FAI-UMM dengan AIPUM Malaysia, di UMM, tgl 22-23 Juni 2007. <br />
www.analisadaily.com/index. diakses 01-06-2009.tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-76433146442321684592010-12-31T19:18:00.001-08:002010-12-31T19:18:51.915-08:00Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul FiqhPengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh"<br />
adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui<br />
proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. <br />
<br />
Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari’at yang berbentuk Al-Qur’an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam<br />
pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur’an dan diucapkannya<br />
sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam<br />
mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian<br />
menjadi pengetahuan Ushul Fiqh. <br />
<br />
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan<br />
dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya,<br />
kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan<br />
mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our’an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk<br />
"hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan<br />
dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil. <br />
<br />
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar’i) yang merupakan sumber hukum<br />
dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan<br />
berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu. <br />
<br />
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:<br />
<br />
a.Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab,<br />
syarat, mani’, ’illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).<br />
<br />
b.Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam<br />
kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan<br />
sebagainya.c.Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah<br />
cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya. d.Keadaan atau sesuatu yang<br />
menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha<br />
manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah. e.Masalah istinbath dan istidlal meliputi<br />
makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, ’am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh<br />
dan mansukh, dan sebagainya.f.Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya,<br />
fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.g.Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi<br />
pembahasan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-’urf, syar’u man qablana,<br />
bara’atul ashliyah, sadduz zari’ah, maqashidus syari’ah/ususus syari’ah.h.Masa’ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far’u, illat,<br />
masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya<br />
dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya. Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam<br />
mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan. <br />
<br />
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu<br />
tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu<br />
oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari<br />
kaidahnya. <br />
<br />
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari’at (ajaran Islam). Dengan mempelajari<br />
Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami<br />
apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah<br />
ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap<br />
kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.<br />
<br />
Dengan Usul Fiqh :<br />
<br />
-Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia. -Statis dan jumud dalam ilmu<br />
pengetahuan agama dapat dihindarkan. -Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam<br />
dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman. -Sekurang-kurangnya,<br />
orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman<br />
dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda<br />
yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang<br />
mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya. Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi<br />
Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-<br />
usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam<br />
pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam<br />
segala bidang. <br />
<br />
Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya<br />
secara keseluruhan.tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-65887054729038813822010-12-31T19:17:00.001-08:002010-12-31T19:17:48.786-08:00Pengantar Ushul FiqhTuesday, 09 January 2007<br />
&ldquo;Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.&rdquo; (Al-Amidi)<br />
Definisi Ushul Fiqh <br />
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan<br />
fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri. <br />
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya <br />
Al-Ushul <br />
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna &lsquo;alaihi ghairuhu (dasar segala<br />
sesuatu, pondasi, asas, atau akar). <br />
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang<br />
baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24) <br />
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan: #5D G0' 'D-CE EF 'DC*'( "J)<br />
C0' <br />
(Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur&rsquo;an). <br />
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum,<br />
sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh. <br />
<br />
Al-Fiqh 'DABG AJ 'DD:): 'D9DE ('D4J! H'DAGE DG <br />
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu. <br />
Menurut istilah para ulama: 'DABG: 'D9DE ('D#-C'E 'D419J) 'D9EDJ) 'DEC*3( EF #/D*G' 'D*A5JDJ) <br />
(ilmu tentang hukum-hukum syar&rsquo;i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci). <br />
Penjelasan Definisi 'D-CE: %3F'/ #E1 %DI ".1 %J,'(' #H 3D(' <br />
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah<br />
menghukumi dunia bila kita mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana<br />
kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya. <br />
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan<br />
berakal sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya<br />
itu sah, atau batal. <br />
Ungkapan hukum-hukum syar&rsquo;i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara&rsquo; atau<br />
diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari<br />
sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan<br />
hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara&rsquo;. <br />
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum syar&rsquo;i, begitu juga untuk menjadi faqih<br />
(ahli fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan<br />
mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan<br />
syari&rsquo;at. <br />
Hukum-hukum syar&rsquo;i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan<br />
mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar&rsquo;i yang bersifat<br />
i&rsquo;tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan<br />
termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah). <br />
Ilmu tentang hukum-hukum syar&rsquo;i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses<br />
penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak<br />
PIP PKS UK <br />
http://www.pk-sejahtera.org.uk Menggunakan Joomla! Generated: 1 January, 2011, 03:16termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum<br />
tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan<br />
seseorang tentang hukum syar&rsquo;i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena<br />
pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil. <br />
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah: <br />
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu<br />
orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278). <br />
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara<br />
pada pokok masalah yang bersifat praktis. <br />
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu <br />
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab<br />
Syafi&rsquo;i dengan: E91A) /D'&D 'DABG %,E'D' HCJAJ) 'D'3*A'/) EFG' H-'D 'DE3*AJ/ <br />
(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh<br />
(bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang mujtahid). <br />
Penjelasan Definisi <br />
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada<br />
dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum<br />
berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain. <br />
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang<br />
tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih<br />
rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara<br />
menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada<br />
dalil dan hukumnya, dan seterusnya. <br />
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat<br />
mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur&rsquo;an maupun sunnah Rasulullah saw. <br />
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mendefinisikan ushul fiqh dengan: 'D9DE ('DBH'9/ 'DCDJ) 'D*J<br />
J*H5D (G' %DI '3*F('7 'D#-C'E 'D419J) EF #/D*G' 'D*A5JDJ) <br />
(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk melakukan istinbath hukum-hukum syar&rsquo;i dari<br />
dalil-dalilnya yang terinci). <br />
Penjelasan Definisi <br />
Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap bagian yang ada di bawahnya. <br />
Contoh kaidah umum: 'D#5D AJ 'D#E1 DDH,H( <br />
(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain<br />
yang menjelaskan maksud lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat<br />
43: ((H"*H' 'D2C'))) <br />
(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan<br />
tidak ada ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut<br />
adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil<br />
rinci lain yang sejenis. <br />
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang<br />
shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad<br />
yang benar sesuai batasan-batasan syariat. <br />
Cakupan Ushul Fiqh <br />
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul<br />
fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama: <br />
PIP PKS UK <br />
http://www.pk-sejahtera.org.uk Menggunakan Joomla! Generated: 1 January, 2011, 03:16 - Kajian tentang adillah syar&rsquo;iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur&rsquo;an dan Sunnah)<br />
maupun turunan (Ijma&rsquo;, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).<br />
- Hukum-hukum syar&rsquo;i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah<br />
dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan<br />
dan rahmat Allah.<br />
- Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau<br />
makna tersirat dari ayat Al-Qur&rsquo;an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami<br />
maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain.<br />
- Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana<br />
solusinya.<br />
- Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid. <br />
Tujuan Ushul Fiqh :'J) #H +E1) 9DE 'D#5HD: 'DH5HD %DI E91A) 'D#-C'E 'D419J) ('D'3*F('7 <br />
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat<br />
melakukan istinbath hukum-hukum syar&rsquo;i dari dalil-dalil syar&rsquo;i secara langsung. <br />
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya: <br />
- Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.<br />
- Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.<br />
- Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.<br />
- Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar. <br />
Sandaran Ushul Fiqh1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran Al-Qur&rsquo;an dan Sunnah serta<br />
kedudukannya sebagai sumber hukum/dalil syar&rsquo;i bersumber dari pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifat-<br />
sifat dan perbuatan-Nya yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap kebenaran Muhammad<br />
Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu tauhid.<br />
3. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, maka untuk memahami maksud setiap kata atau<br />
kalimat di dalam Al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama<br />
mengatakan bahwa: 'D#E1 JB*6J 'DAH1 <br />
(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena<br />
para ahli bahasa mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: &ldquo;Ambilkan saya air<br />
minum!&rdquo; lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela. <br />
5. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul: 'D#5D AJ 'D#E1 DDH,H( <br />
(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya adalah: <br />
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab<br />
yang pedih. (An-Nur: 63) <br />
7. Akal, misalnya kaidah ushul: %0' '.*DA E,*G/'F AJ -CE A#-/GE' E.7& <br />
(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya<br />
adalah logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah kemustahilan. <br />
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh <br />
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: &ldquo;Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali<br />
dengan ilmu ushul ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam (&rsquo;alim). Jika ia awam maka wajib<br />
baginya untuk bertanya: <br />
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7) <br />
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang &lsquo;alim,<br />
maka ia tidak bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab tidak boleh<br />
memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak<br />
diwajibkan atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai<br />
ilmu ushul bukanlah fardhu &lsquo;ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a&rsquo;lam.&rdquo; <br />
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh <br />
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar&rsquo;i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang<br />
hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,&hellip;, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah<br />
PIP PKS UK <br />
http://www.pk-sejahtera.org.uk Menggunakan Joomla! Generated: 1 January, 2011, 03:16berdasarkan dalil-dalil yang rinci. <br />
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum<br />
syar&rsquo;i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar<br />
dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya. <br />
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis<br />
dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa,<br />
sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh. <br />
[Sumber: www.dakwatuna.com]tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-14652211427547031242010-12-31T19:15:00.001-08:002010-12-31T19:15:23.746-08:00Menegakkan Kepemimpinan Islam<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b>BAB I</b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b>PENDAHULUAN</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><b><span>I.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><b>Latar Belakang Masalah</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Tidak ada masalah yang lebih penting daripada masalah kepemimpinan. Kepemimpinan –jika diwarnai dengan kebijaksanaan–dapat menciptakan berbagai kemajuan. Sebaliknya, kepemimpinan–jika disertai dengan kebodohan–dapat menghancurkan berbagai prestasi yang telah diraih. Jika Islam menginginkan kemajuan dan kegemilangan bagi Muslimin maka ia harus menetapkan para pemimpin yang cakap, yang memiliki ilmu yang bersumber dari ilham, yang memiliki akal yang sehat, jiwa yang bersih serta akhlak yang terpuji. Dengan kebijakan pemimpin yang adil, maka potensi akal dan berbagai potensi lainnya dapat berkembang, dan umat terdorong untuk berlomba-lomba di dalam kebajikan, demi terciptanya masyarakat Islam yang maju dan beradab.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Isu mengenai kepemimpinan adalah isu yang dapat dikatakan terpopuler di dalam umat Islam. Mulai dari awal lahirnya Islam sampai sekarang pun isu mengenai kepemimpinan masih tetap menjadi pembicaraan hangat. Sebegitu krusialnya isu ini sampai-sampai ada salah satu mazhab dalam Islam yang memasukkan isu kepemimpinan dalam rukun iman mereka. Dalam sejarah Islam, masalah kepemimpinan ini telah memicu konflik yang berkepanjangan. Asy-Syahrastani, pengarang <i>al-Milal wa an-Nihal, </i>menyatakan bahwa tidak ada faktor pertikaian di kalangan umat Islam yang lebih besar daripada masalah kepemimpinan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Imamah atau Kepemimpinan mendapatkan perhatian istimewa dari Rasulullah. Hal ini terbukti ketika beliau berulang kali menyebutkan di dalam khotbahnya, dan topik ini telah dibicarakan dalam berbagai tempat dan waktu dengan cara yang berbeda. Bukti lainnya adalah adanya sebuah hadits yang terkenal di kalangan umat Islam yang mana Rasulullah sering kali memperingatkan secara keras, “Barangsiapa yang mati tanpa mengetahui siapa imam zamannya, ia mati sebagai seorang musyrik.”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Lebih lanjut lagi, tentunya persoalan ini secara alamiah akan dihadapai oleh kaum Muslim setelah meninggalnya Rasulullah Saw. Maka, yang menjadi pertanyaan adalah, “Siapakah yang menjadi penerus Nabi Muhammad dan bagaimana seharusnya persoalan kaum Muslim diatur?”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Sebagai pembuka, apakah kepemimpinan sepeninggal Rasulullah memang ada? Usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini adalah awal mula dari penelitian yang penulis lakukan. Dalam hal ini, persoalan tersebut dibuktikan dengan cara mengemukakan hadits dan kita akan menemukan bahwa imamah atau kepemimpinan sepeninggal Rasulullah Saw memang ada dan hal ini berlangsung terus sepanjang zaman.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><b><span>II.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><b>Rumusan Masalah</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Dalam penyusunan makalah atau penelitian, untuk mempermudah penulis dalam menyusun makalah maka penulis membuat rumusan masalah yang akan dibahas. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Perumusan masalah diperlukan guna menegaskan masalah-masalah yang hendak diteliti sehingga memudahkan dalam pengerjaannya serta dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka penulis merumuskan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 63pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Apakah Imamah itu sebuah keniscayaan dan apa pengertian Imamah (kepemimpinan) dan kekhalifahan itu?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 63pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Bagaimanakah konsep Imamah dalam Islam dan siapa yang menjadi pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam sepeninggal beliau?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 63pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Bagaimana konsep wilayatul Faqih buah pemikiran Imam Khomeini?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b>BAB II</b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b>PEMBAHASAN</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><b>Pengertian Imamah dan Kekhalifahan</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Pada pembahasan kali ini, penulis akan mencoba mengetengahkan permasalahan popular di kalangan umat Islam, yaitu Imamah. Apakah imamah atau kepemimpinan Islam itu sebuah keniscayaan ataukah sebenarnya di dalam Islam tidak di kenal konsep imamah atau kepemimpinan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama yang abadi sampai hari kebangkitan. Kelanjutan Islam sebagai sebuah agama yang abadi adalah prinsip yang telah ditetapkan. Keberlanjutan Islam sebagai sebuah agama abadi sebenarnya meniscayakan kebutuhan akan seorang pemimpin yang akan membimbing umat ini kepada jalan kebenaran. Ketika dahulu Rasulullah masih hidup beliau lah yang menjadi pemimpin umat ini. Beliau-lah tempat bertanya umat Islam pada saat itu. Permasalahan selanjutnya adalah siapakah yang menjadi pemimpin umat sepeninggal Nabi? Apakah sepeninggal Nabi tidak ada lagi pemimpin umat Islam?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Sebenarnya, kebutuhan akan pemimpin adalah persoalan yang disepakati oleh seluruh mazhab dalam Islam, kecuali sekelompok umat Islam yang tidak perlu diperhatikan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Adhuddin Iji, seorang ahli fikih dan ulama Ahlulsunnah, dalam kitab <i>Mawafiq</i> berkata, “Umat Muslim pada tahun-tahun awal pasca wafatnya Rasulullah Saw secara mutawatir telah bersepakat bahwa tidak mungkin ada zaman tanpa seorang imam.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits di dalam <i>Mustadrak Hakim</i>, vol. 1, hal. 77: Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mati dan tidak memiliki imam umatnya, maka ia mati sebagai seorang kafir.” Hakim menganggap hadits ini shahih.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Di dalam Musnad Ahmad pun terdapat hadits yang hampir sama bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mati tanpa seorang imam, maka ia mati sebagai kafir.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[3]</span></span></span></span></a><b> </b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Berdasarkan hadits di atas maka penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa imamah atau kepemimpinan di dalam Islam adalah sebuah keniscayaan dan akan terus berlanjut setiap zamannya. Tidak mungkin ada satu zaman yang kosong dari seorang imam. Karena jika ada satu zaman yang kosong dari imam, maka umat pada zaman tersebut akan mati secara jahiliyah atau kafir. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Jika imamah atau kepemimpinan dalam Islam itu sebuah keniscayaan, lalu apa arti imamah atau kepemimpinan itu? Ada juga sebagian umat Islam yang mengistilahkan imamah dengan istilah lain, yaitu khilafah. Apa pula arti dari khilafah tersebut?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Raghib, seorang <i>lexicographer </i>(ahli kamus) yang terkenal, dalam kitabnya yang berjudul <i>Mufradat </i>menyatakan, “Seorang imam adalah seseorang yang diikuti. Ini dapat berupa orang yang perkataan dan sikapnya diikuti, atau sebuah kitab, dan lain-lain.” Ia juga berkata mengenai khalifah, “Khalifah adalah penerus.”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Imamah dan khalifah<i> </i>adalah penerus Rasulullah sepeninggal kewafatannya, dalam urusan agama dan sosial. Imamah dan khalifah secara praktis tidak dapat dipisahkan. Maksudnya adalah orang yang menjadi imam tentu harus pula seorang khalifah dan penerus Rasulullah Saw. Tidak mungkin untuk menganggap seseorang hanya sebagai imam saja dan yang lainnya sebagai seorang khalifah saja.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Taftazani, seorang ulama Ahlulsunnah dalam kitab <i>Maqasid</i> mendefinisikan imam sebagai, “Kepemimpinan masyarakat seperti khalifah dan penerus Rasulullah Saw dalam urusan agama dan sosial.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[4]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Qushji, seorang teolog besar Ahlulsunnah, memberikan definisi yang sama.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[5]</span></span></span></span></a> Ulama Ahlulsunnah yang lain mengemukakan definisi yang sama atau hampir sama mengenai imamah. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Jadi, Imamah dari segi bahasa berarti kepemimpinan; Imam berarti pemimpin. Dari segi istilah (Islam), Imamah berarti kekuasaan mutlak atas umat Islam dalam semua urusan agama dan duniawi sebagai pengganti nabi. Imam berarti seorang lelaki sebagai pengganti nabi yang mempunyai hak dengan kekuasaan mutlak<span> </span>atas umat Islam dalam semua urusan agama dan duniawi. Lelaki di situ<span> </span>menunjukkan<span> </span>bahwa<span> </span>wanita<span> </span>tidak<span> </span>boleh menjadi Imam. Kekuasaan mutlak tidak termasuk orang-orang yang memimpin dalam sembahyang; mereka dikenali sebagai Imam sembahyang, tetapi tidak mempunyai kekuasaan mutlak. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Khilafah berarti penggantian jika khalifah bermaksud pengganti. Dari segi istilah, Khilafah dan Khalifah memiliki arti<span> </span>yang sama seperti Imamah dan Imam. Agak<span> </span>menarik<span> </span>untuk diterangkan di sini bahwa para nabi yang terdahulu adalah juga menjadi khalifah dari para nabi yang mendahului mereka sebelumnya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Oleh sebab itu, mereka adalah Nabi dan Khalifah sekaligus; sedangkan nabi-nabi lain (yang membawa syariat baru) bukanlah Khalifah dari para nabi; dan terdapat khalifah-khalifah nabi<span> </span>yang mereka itu bukan nabi.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><b>Konsep Imamah</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><b>Konsep Imamah dalam Mazhab Syi’ah dan Ahlulsunnah</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Persoalan Imamah dan Khilafah telah<span> </span>memecah belah umat Islam dan telah mempengaruhi pemikiran dan falsafah pelbagai kelompok dengan begitu kuatnya sehingga bahkan kepercayaan kepada Allah dan Rasul tidak terlepas daripada perselisihan pendapat. Persoalan ini merupakan persoalan utama yang dibahas<span> </span>dalam teologi Islam (bidang pemikiran Islam). Orang-orang Islam telah menulis<span> </span>beribu-ribu kitab tentang imamah dan Khilafah. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Mazhab Syi’ah dan Ahlusunnah dalam hal ini berbeda pandangan dalam definisi imamah, kriteria seorang imam, metode penentuan imam, legitimasi imam, individu-individu imam, dan lain sebagainya. Secara umum, Ahlulsunnah memandang imamah identik dengan <i>khilafah</i> dan membatasi ruang lingkupnya hanya pada ranah politik, sementara Syi’ah memberikan ruang lingkup yang jauh lebih besar kepada imamah.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Menurut Ahlulsunnah bahwa seorang <i>imam</i> atau <i>khalifah</i> adalah seorang pemimpin politik yang hanya bertugas memerintah dan mengatur tatanan sosial-politik. Maka wajar saja jika pemimpin politik yang biasa disebut dengan <i>khalîfah </i>ini tidak perlu terlalu tinggi dalam hal keilmuan atau ketakwaan, melainkan cukup memiliki sifat adil (<i>‘adâlah</i>). Sebagai pemimpin politik sudah sepantasnya imam ini dipilih secara demokratis melalui musyawarah. Musyawarah menyangkut urusan “sosial-politik” ini ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi: “<i>…dan urusan mereka </i>(diputuskan)<i> melalui musyawarah di antara mereka</i>.” (QS 42: 38). Jadi, karena seorang imam ini tidak lebih daripada khalifah yang dipahami sebagai “pemegang kekuasaan politik”, maka syarat “adil” dan “dipilih secara musyawarah” sudah cukup untuk membuat siapa saja mengajukan diri sebagai calon imam.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Berbeda dengan mazhab Syi’ah. Menurut mazhab Syi’ah bahwa imamah memiliki dimensi spiritual yang jauh lebih penting dibandingkan dengan dimensi politiknya. Dimensi spiritual ini menjadi sebuah dasar, sedangkan dimensi politik adalah cabangnya. Seseorang dapat menjadi imam dikarenakan <i>maqâm</i> spiritualnya yang tinggi di sisi Allah dan kualitas keimanannya sempurna di mata Allah. Karena itu, untuk mengetahui imam dalam pengertian ini, mau tidak mau, kita mesti mengacu kepada <i>nash </i>dan petunjuk Allah. Legitimasi seorang imam juga tidak diperoleh lewat musyawarah atau baiat. Imam dalam arti yang demikian menjadi imam bukan karena pengakuan atau kesepakatan orang, melainkan karena kedudukannya yang tinggi di sisi Allah.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Sebenarnya persoalan imamah ini tidak dapat kita kaitkan dengan musyawarah atau kesepakatan publik. Para nabi dan rasul terdahulu tidak mendapatkan kedudukan mereka melalui musyawarah atau pemungutan suara, melainkan melalui penunjukan dari Allah dan ketinggian spiritualnya. Contoh lain misalnya para pakar dalam bidang-bidang keilmuan juga tidak mendapatkan kepakaran mereka melalui kesepakatan dan pengakuan publik, melainkan melalui proses ikhtiar belajar dan penelitian. Jadi, wilayah imamah secara primer bukanlah wilayah publik dimana kesepakatan dan pengakuan memiliki peran esensial, melainkan termasuk dalam wilayah agama yang meliputi wilayah publik.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Imam bukan hanya khalifah yang hanya berperan menggantikan tampuk kekuasaan politik sepeninggal Nabi Muhammad, melainkan juga<span style="font-family: Symbol;">¾</span>seperti tercantum dalam pelbagai hadits Nabi<span style="font-family: Symbol;">¾</span>mereka adalah para pemberi syafa’at, wasilah menuju Allah, pendamping Al-Quran, penjaga agama, pintu menuju Allah, pilar kehidupan di bumi, penopang kebenaran, dan tidak dapat dibandingkan dengan manusia biasa.<a href="" name="_ftnref2"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[6]</span></span></span></span></span></a><span></span><span></span> Mereka ini adalah wali-wali Allah yang berperan sebagai pintu-pintu dan perantara-perantara menuju Allah. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Menurut pandangan Syi’ah, hubungan antara nubuwah dan imamah bersifat irisan (<i>intersection</i>). Yakni, sebagian nabi sekaligus juga imam, tapi tidak semua imam menerima wahyu layaknya seorang nabi. Nubuwah berakhir dengan Baginda Muhammad saww, tetapi imamah tidak berakhir dengan beliau. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Salah satu <i>nash</i> yang dengan jelasnya berbicara mengenai imamah terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 124: “<i>Dan </i>(ingatlah)<i> ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat </i>(perintah dan larangan)<i>, lalu Ibrahim menyempurnakannya. Allah berfirman: Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi manusia. Ibrahim berkata: </i>(Dan aku memohon juga)<i> dan dari keturunanku</i>. <i>Allah berfirman: Janji-Ku tidak mencakup orang-orang yang zalim</i>.” Menurut para mufasir, Nabi Ibrahim ditetapkan Allah sebagai imam setelah beliau menjadi nabi, sehingga status imamah dan nubuwah bergabung pada diri Ibrahim a.s.<a href="" name="_ftnref3"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[7]</span></span></span></span></span></a><span></span><span></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Dalam ayat di atas, Al-Qur’an menyebutkan bahwa imamah Nabi Ibrahim as diperoleh setelah beliau melewati pelbagai cobaan dan ujian. Selain menunjukkan ketinggian status imamah, ayat 124 itu juga menunjukkan bahwa seseorang tidak menjadi imam kecuali dengan bersabar menghadapi pelbagai ujian. Dan masalah kesabaran menghadapi ujian ini ditegaskan juga dalam ayat lain: “<i>Dan kami jadikan di antara mereka </i>(Bani Israil)<i> imam-imam yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan mereka adalah orang-orang yang meyakini ayat-ayat Kami</i>.” (QS 32: 24).</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Dalam ayat di atas, selain masalah kesabaran, Al-Qur’an juga menyebutkan keyakinan sebagai syarat lain seseorang mencapai <i>maqam</i> imamah. Masalah keyakinan ini secara khusus pernah diminta oleh Nabi Ibrahim dalam upayanya mencapai <i>maqam</i> imamah. Allah berfirman: “<i>Dan </i>(ingatlah)<i> ketika Ibrahim berkata: ‘Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku sudah percaya, namun agar semakin tentram hatiku.</i>’…” (QS 2: 260).<i> </i>Keinginan mendapat ketentraman batin ini kemudian diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim. Allah berfirman: “<i>Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan </i>(Kami yang terdapat)<i> di langit dan di bumi, agar dia termasuk dalam golongan orang-orang yang yakin</i>.” (QS 6: 75). </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Melalui kualitas kesabaran dan keyakinan itulah seorang imam memperoleh kemaksuman (<i>’ishmah</i>), kesucian dan penyucian dari Allah (QS 33: 33). Kemaksuman adalah keadaan terbebas dari segala dosa dan kezaliman dalam pelbagai tingkatannya seperti disiratkan dalam surah al-Baqarah ayat 124 di atas “…<i>janji-Ku tidak mencakup orang-orang yang zalim</i>.” Tentu saja, kemaksuman ini tidak diperoleh oleh sembarang orang lewat sembarang cara. Kemaksuman juga bukan merupakan semata-mata anugerah dari Allah. Melainkan kemaksuman diperoleh lewat gerak ikhtiari dengan cara sabar dalam menghadapi pelbagai ujian dalam menuju Allah dan lewat keyakinannya yang mendalam. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Sejujurnya, apabila imam itu kita pahami hanya sebagai seorang pemimpin atau penguasa politik, maka akidah Syi’ah mengenai kemaksuman para imam ini jelas berlebih-lebihan. Dengan mudah orang akan menunjukkan bukti-bukti rasional maupun pragmatis bahwa seorang penguasa atau kepala pemerintahan tidak harus maksum, melainkan cukuplah baginya sifat adil. Namun, masalahnya berbeda bilamana imam ini kita pahami sebagaimana yang termuat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang menuturkan mengenai imam dan imamah.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Selain soal kemaksuman, berdasarkan hadits-hadits yang sedemikian banyak, Syi’ah juga meyakini bahwa alam semesta tidak akan pernah kosong dari imam, baik ia tampak secara indrawi maupun gaib. Puluhan hadits seperti ini sejalan juga dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa para imam bagaikan perahu Nabi Nuh<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[8]</span></span></span></span></a>, bintang-bintang yang menerangi bumi<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[9]</span></span></span></span></a>, tiang-tiang alam raya dan lain sebagainya.<a href="" name="_ftnref4"></a><span></span> Lantaran kedudukan yang sedemikian penting itu, kita tidak bisa menganggap imamah ibarat lembaga-lembaga sosial-politik yang tercipta berdasarkan kesepakatan dan dapat berakhir juga bersadarkan kesepakatan. Berbeda dengan presiden yang bisa naik dan bisa turun, seorang imam tidak bisa turun atau diturunkan oleh masyarakat.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Dalam konteks seperti itulah kita bisa mengerti mengapa Rasulullah saw bersabda bahwa siapa yang mati tanpa (memiliki atau mengenali) imam zamannya, maka matinya bagaikan mati dalam keadaan jahiliah.<a href="" name="_ftnref5"></a><span></span> Dalam versi lain, Rasul bersabda: “Siapa yang mati tanpa memberikan baiat kepada imam, maka ia akan mati dalam keadaan jahiliah.” </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Jelas, bahwa kebergantungan dan kebutuhan manusia kepada para imam yang suci itu terus berlanjut secara abadi. Kecintaan kita kepada Rasul dan para imam itu menjadi ikatan yang akan terus menjaga kita walaupun tubuh kita telah hancur berkalang tanah. Ikatan inilah yang disebut oleh Rasulullah sebagai asas Islam.<a href="" name="_ftnref7"></a><span></span> </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><b>Imam Berjumlah Dua belas dan Semuanya dari Golongan Quraisy</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Pernah penulis berdiskusi dengan beberapa aktivis Islam di kampus mengenai konsep imamah. Kebetulan aktivis Islam tersebut adalah aktivis Islam yang mengusung slogan “Tegakkan khilafah Islamiyah”. Diskusi kami sampai pada pembahasan mengenai konsep imamah. Muncul pertanyaan di tengah-tengah diskusi, di antaranya adalah “Berapa jumlah khalifah/imam sepeninggal Nabi?” “Apakah orang Jawa atau Sunda atau Arab atau Persia boleh menjadi khalifah?”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Aktivis Islam tersebut berpendapat bahwa jumlah khalifah/imam sepeninggal Nabi Saw itu berjumlah banyak dan setiap orang berhak untuk menjadi khalifah. Seorang muslim dapat menjadi khalifah/imam walaupun dia berasal dari Suku Jawa atau Suku Kalimantan atau Suku Arab atau Suku Aborigin. Ketika muslim itu memiliki syarat-syarat menjadi seorang khalifah, maka dia berhak untuk menjadi seorang khalifah. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ketika mendengar pendapat aktivis Islam tersebut, penulis jadi teringat dengan sebuah hadits Nabi yang saya yakin ia ketahui tetapi nampaknya ia berusaha menyembunyikan dan mengingkari hadits tersebut.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Jabir berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Akan ada dua belas pemimpin dan khalifah.’ Kemudian beliau menambahkan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Ayahku berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘Semuanya dari golongan Quraisy.’”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[10]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Muslim pun meriwayatkannya di dalam Shahih Muslim, Jabir meriwayatkan, “Aku dan ayahku pergi menemui Rasulullah Saw. Kami mendengarnya bersabda, ‘Persoalan ini (kekhalifahan) tidak akan berakhir sampai datang dua belas khalifah.’ Kemudian beliau menambahkan sesuatu yang tidak kudengar. Aku menanyakan pada ayahku apa yang Rasulullah sabdakan. Beliau bersabda, ‘Semuanya dari golongan Quraisy.’”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[11]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Dapat disimpulkan dari hadits-hadits di atas bahwa para Imam atau khalifah sepeninggal Rasulullah memang banyak jumlahnya seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi bahwa khalifah sepeninggal beliau itu banyak jumlahnya. Tetapi sebetulnya masih ada hadits lain yang menerangkan lebih spesifik bahwa khalifah sepeninggal Nabi Saw itu berjumlah dua belas khalifah dan kesemuanya dari golongan Quraisy, bukan berasal dari Jawa, bukan pula dari Suku Aborigin. Jadi nampaknya aktivis Islam itu telah mengkhianati prinsip keilmiahan dalam berargumen.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><b>Pemimpin Sepeninggal Nabi</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Kita tinggalkan aktivis Islam itu. Biarlah dia tetap berada pada keyakinannya yang tidak ilmiah itu. Sekarang kita akan mencoba membahas permasalahan lain yaitu siapakah pemimpin selepas wafatnya Nabi Saw? Seperti kita ketahui bersama bahwa Islam terbagi menjadi dua mazhab besar, yaitu mazhab Syi’ah dan mazhab Ahlulsunnah. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar, antara lain mengenai dua peninggalan Rasulullah dan siapakah pemimpin sepeninggal Rasulullah. Kali ini kita hanya akan membahas sebenarnya siapakah pemimpin sepeninggal Rasulullah? Apakah pemimpin versi Syi’ah ataukah pemimpin versi Ahlulsunnah?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ahlulsunnah menganggap bahwa pemimpin atau khalifah sepeninggal Nabi adalah Abu Bakar berdasarkan musyawarah di sebuah tempat bernama Saqifah. Jadi, belum sempat jenazah Rasulullah dikuburkan, Kaum Anshar berkumpul di Saqifah untuk mengangkat seorang pemimpin di antara mereka. Kabar tersebut diketahui oleh Abu Bakar dan Umar. Akhirnya mereka berdua bersama Abu Ubaidah dan beberapa orang lain mendatangi Saqifah. Mereka menemukan kaum Anshar sedang berbincang-bincang. Didatangi dalam kondisi demikian, air muka Saad bin Ubadah berubah dan apa yang ada di tangan mereka terjatuh. Perasaan malu dan salah tingkah menghantui mereka. Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah berhasil menguasai keadaan. Mereka mengenal betul titik-titik lemah yang dimiliki oleh kaum Anshar, dan dengan itu mereka mampu menguasai suasana. Akhirnya terjadilah perdebatan di sana yang ternyata menghasilkan sebuah keputusan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggal Nabi. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Sedikit sekali dari kalangan umat Islam yang paham betul mengenai sejarah pengangkatan Abu Bakar tersebut. Mereka mengira bahwa musyawarah yang terjadi pada saat itu adalah musyawarah yang sehat. Padahal jika kita menelisik lebih jauh lagi, apa yang terjadi di Saqifah tidak lebih dari sebuah pertengkaran orang-orang Arab yang haus akan kekuasaan. Bahkan fenomena adu jotos dan orang terinjak-injak pun terjadi juga. Pada saat yang sama keluarga Nabi memisahkan diri dari kelompok yang haus akan kekuasaan karena mereka sedang sibuk mengurus jenazah suci Rasulullah. Apakah ini yang dinamakan sebuah musyawarah sedangkan keluarga Nabi tidak berpartisipasi di dalamnya. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ada sebagian ulama Ahlulsunnah yang berpendapat bahwa sebenarnya Rasulullah telah memilih Abu Bakar untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau seperti dilaporkan di dalam shahih bukhari. Tetapi menurut penulis, argumen ini pun sangat lemah. Kalau memang Abu Bakar merasa telah dipilih oleh Rasulullah untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau, lalu mengapa ketika terjadi perdebatan di Saqifah Abu Bakar tidak berargumen dengan hadits itu? Padahal jika Abu Bakar berargumen dengan hadits itu, dia akan dapat dengan mudah melegitimasi kekuasaannya. Tetapi ternyata Abu Bakar berargumen dengan argumen yang lain. Abu Bakar<span> </span>berargumen bahwa yang berhak untuk menjadi khalifah Nabi adalah orang-orang yang dekat hubungan kekerabatannya dengan Nabi dan paling dahulu masuk Islam. Seperti dilaporkan dalam kitab-kitab sejarah, ketika Abu Bakar berargumen dengan argumen itu, ada sebagian orang yang berteriak-teriak memanggil nama Ali bin Abi Thalib. Mungkin mereka merasa bahwa Ali memenuhi kedua persyaratan tadi. Ali adalah orang yang paling dahulu masuk Islam.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[12]</span></span></span></span></a> Ali adalah orang yang dekat hubungan kekerabatannya dengan Nabi. Bahkan Nabi telah mempersaudarakan dirinya dengan Ali di hari persaudaraan<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[13]</span></span></span></span></a> sedangkan Abu Bakar dipersaudarakan oleh Nabi dengan Umar bin Khattab. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Lalu bagaimana dengan pemimpin versi syi’ah? Menurut Syi’ah bahwa pemimpin atau khalifah sepeninggal Nabi adalah Ali bin Abi Thalib berdasarkan nash dari Allah dan Rasul-Nya. Seorang Imam sudah pasti seorang khalifah. Khalifah berarti pengganti. Maka sudah barang tentu seorang khalifah akan menggantikan tugas Nabi di tengah-tengah umatnya. Apa tugas Nabi itu? Di antaranya adalah memimpin umat secara kenegaraan, menafsirkan ayat Al-Qur’an, menjadi penjelas terhadap ajaran agama yang masih bersifat umum, membimbing umat menuju jalan kebenaran. Dengan adanya kesamaan tugas, maka hal itu menuntut juga adanya persamaan kriteria. Khalifah memiliki kriteria yang sama dengan Nabi kecuali mendapatkan wahyu. Salah satu di antara sekian banyak kriteria seorang Nabi adalah ma’shum atau terjaga dari kesalahan dan dosa. Dan menurut Al-Qur’an orang yang telah dijaga oleh Allah dari kesalahan dan dosa adalah Ahlulbayt atau keluarga Nabi seperti yang tertuang dalam surat Al-Ahzab ayat 33:</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><i>“<span class="gen">Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”</span></i><span class="gen"> (QS. Al-Ahzab : 33)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Dari Umar ibn Abi Salamah, anak tiri Nabi Saw, pernah menuturkan bahwa ayat ini–yakni: Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlulbayt dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya–turun kepada Nabi Saw di rumah Ummu Salamah. Lalu Nabi memanggil Fatimah, Hasan, dan Husein. Rasulullah Saw pun memberikan pakaian kepada mereka sementara Ali berada di belakang beliau. Beliau kemudian berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah Ahlubaytku. Hilangkanlah dosa-dosa dari diri mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[14]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Jadi khalifah sepeninggal Rasulullah haruslah orang-orang yang ma’shum dan mengerti akan Al-Qur’an dan agama Islam. Mereka itu adalah Ahlulbayt Nabi atau keluarga Nabi yang terdiri dari Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ibnu Hajar berkata, “Hadits-hadits yang menyuruh dan meyakinkan umat untuk berpegang teguh pada Ahlulbayt as menunjukkan adanya kehadiran yang terus-menerus seorang yang saleh dari Ahlulbayt as yang berhak untuk diikuti sampai tibanya Hari Kebangkitan. Hal yang sama juga berlaku untuk kitab suci Al-Qur’an, yang tetap berada dalam kebenaran sampai hari akhir. Dan oleh karena itu, Ahlulbayt as adalah keselamatan bagi makhluk bumi. <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[15]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Hal ini sesuai dengan hadits Nabi riwayat shahih Muslim bahwa Zaid bin Arqam berkata bahwa suatu hari Rasulullah Saw berhenti di tepi telaga Khum antara Mekkah dan Madinah, untuk menyampaikan khotbah. Setelah memuji Allah dan menasehati umat, beliau bersabda, “Wahai Manusia! Aku hanyalah seorang manusia seperti juga engkau, yang dalam waktu dekat akan pergi bersama utusan Allah (Malaikat maut). Akan kutinggalkan dua pusaka berharga untukmu. Pertama, Kitab suci Allah yang di dalamnya terdapat cahaya dan petunjuk, maka berpegang teguhlah.” Beliau kemudian terus menekankah kitab Allah dan menambahkan, “Dan juga Ahlulbaytku, kuperingatkan engkau, demi Allah, tentang Ahlulbaytku. Kuperingatkan engkau, demi Allah, tentang Ahlulbaytku. Kuperingatkan engkau, demi Allah, tentang Ahlulbaytku.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[16]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Di dalam Kanz al-’Ummal pun diriwayatkan hadits yang serupa. Jabir mengutip Rasulullah Saw bersabda, “Kutinggalkan sesuatu untukmu, engkau tidak akan tersesat jika berpegang teguh terhadapnya yaitu Kitab suci Allah dan keluargaku, Ahlulbaytku.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[17]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah Saw menyebut al-Qur’an dan Ahlulbaytnya sebagai ‘<i>tsaql’,</i> karena sesuatu yang berharga untuk disimpan dinamakan <i>‘tsaql’</i>, dan begitu pula kedua hal ini (Al-Qur’an dan Ahlulbayt). Keduanya adalah sumber ilmu pengetahuan Ilahi, rahasia dan kebijakan yang berharga, dan perintah-perintah Islam. Inilah yang menyebabkan Rasulullah meyakinkan secara tegas untuk mengikuti dan mereguk pengetahuan dari mereka. <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[18]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Beliau menambahkan, “Hanya mereka yang dari golongan Ahlulbayt-lah yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci Allah dan hadits Rasulullah Saw (Sunnah) yang menjadi subjek perhatian dan kepercayaan Rasulullah Saw, karena mereka tidak akan terpisah dari kitab suci Allah sampai berada dalam telaga Al-Haud di surga.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[19]</span></span></span></span></a> Setelah menyatakan beberapa kalimat, Beliau bersabda, “Ini karena Allah Yang Maha Besar telah menjauhkan mereka dari dosa dan kejahatan dan menjadikan mereka suci dan bersih.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[20]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Berbeda dengan Ahlulsunnah, Syi’ah berpendapat bahwa pemimpin sepeninggal Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Puluhan hadits yang berkaitan dengan kedudukan Ali sebagai pengganti Nabi tersebar baik di kitab hadits Syi’ah maupun Ahlulsunnah.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Salah satu ayat Al-Qur’an yang mengabarkan kepada kita semua bahwa Ali bin Abi Thalib adalah khalifah sepeninggal Nabi adalah Surat Al-Ma’idah ayat 55</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><i>“Sesungguhnya penolong kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan yang menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah (dalam keadaan ruku’).” </i>(QS. Al-Ma’idah : 55)</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Abu Ishaq ats-Tsa’labi dalam kitab tafsirnya meriwayatkan hadits dari Abu Dzar Al-Ghifari yang berkata: “Aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah pada waktu Dzuhur, lalu ada seorang pengemis di masjid meminta-minta dan tidak ada seorangpun yang memberi. Kemudian si pengemis tersebut mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa: “Ya Allah, saksikanlah aku meminta di masjid Muhammad Saw Nabi-Mu dan tidak ada seorangpun yang memberikan kepadaku sesuatu.” Saat itu Imam Ali sedang melaksanakan shalat dalam keadaan ruku’ lalu beliau mengisyaratkan pada pengemis tersebut agar mengambil cincin yang ada di jari kelingking kanannya, sehingga pengemis itu mendekati Ali dan mengambil cincinnya. Kejadian itu disaksikan langsung oleh Rasul Saw. Kemudian beliau berdoa: “Ya Allah, Tuhan kami, sesungguhnya saudaraku Musa memohon kepada-Mu seraya berkata, ‘Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku supaya mereka mengerti perkataanku dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, yaitu Harun saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.’ (QS. Thaha : 25-32). Lalu Engkau menurunkan Firman-Mu, “Kami akan kuatkan engkau dnegan saudaramu dan Kami akan menjadikan untukmu berdua kekuasaan Diana mereka tidak dapat sampai kepada kamu berdua.” Ya Allah, sesungguhnya aku Muhammad, Nabi-Mu dan pilihan-Mu, maka lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku dan jadikanlah untukku pembantu dari keluargaku, yaitu Ali serta teguhkanlah dengan dia kekuatanku.” Abu Dzar berkata: “Belum selesai Rasul berdoa, Jibril turun atas perintah Allah untuk membawakan satu ayat pada Rasul seraya berkata: “Wahai Muhammad, bacalah “Sesungguhnya pemimpin kamu adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan yang menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah (dalam keadaan ruku’).”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Banyak kalangan ahli tafsir menyampaikan riwayat berkenaan dengan kejadian tersebut, di antara mereka Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya, juz 6, halaman 165 dari jalur Ibnu Abbas dan Utbah bin Abi Hakim serta Mujahid, Al-Wahidi pun menyebutnya dalam kitab Asbabun Nuzul, halaman 148 dari dua jalur, Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, juz 3, halaman 431 dari ‘Atha’ dari Abdullah bin Salam dan Ibnu Abbas dan juga hadits Abu Dzar di atas, dan lain-lain.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Di dalam kitab-kitab hadits Ahlulsunnah pun terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang menjadi pemimpin sepeninggal Nabi. Hadits ini biasa dikenal dengan nama Hadits Ghadir Khum. Hadits ini diucapkan Nabi ketika beliau kembali dari mengerjakan Haji wada’ atau Haji Perpisahan pada 18 Dzulhijjah tahun 10 Hijrah. Hadits yang memusatkan pembahasan pada konsep imamah sepeninggal beliau ini diucapkan di hadapan lebih dari seratus ribu para sahabat.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[21]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Rasulullah bersabda, “Allah adalah maulaku. Dan aku adalah maula bagi setiap mukminin dan aku harus didahulukan oleh mereka ketimbang diri mereka sendiri. Siapa yang aku adalah maulanya, maka ini Ali adalah maulanya juga.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn22" name="_ftnref22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[22]</span></span></span></span></a> Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Hadits di atas adalah Hadits Ghadir Khum. Ada tiga pendapat mengenai hadits ini. Ibnu Taimiyah menganggap bahwa hadits Ghadir Khum adalah hadits yang dho’if. Menurut Abul A’la Al-Maududi bahwa hadits Ghadir Khum itu shahih. Tetapi <i>maula</i> di situ bukan berarti pemimpin–seperti perkataan orang syi’ah. <i>Maula</i> di situ berarti yang dikasihi dan dicintai. Sedangkan Menurut Syi’ah bahwa <i>maula</i> pada hadits tersebut berarti pemimpin.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Tetapi kalau saya boleh berpendapat bahwa saya tidak setuju dengan ketiganya. Saya lebih cenderung menafsirkan <i>maula</i> adalah orang yang didahulukan di atas kepentingan siapapun di kalangan kaum Mukminin. Seperti hadits Nabi, “Allah adalah maulaku. Dan aku adalah maula bagi setiap mukminin dan aku harus didahulukan oleh mereka ketimbang diri mereka sendiri. Siapa yang aku adalah maulanya, maka ini Ali adalah maulanya juga.” Kita punya kepentingan dalam agama ini. Allah dan Rasul-Nya punya kepentingan. Maka kita harus dahulukan apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya ketimbang kepentingan diri kita sendiri. Itulah yang disebut dengan <i>maula.</i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ada seorang ahli kritik hadits yang bernama Al-Dzahabi. Ia menulis buku <i>Mizan al-I’tidal</i> yang isinya mendho’ifkan hampir kebanyakan hadits-hadits. Ia orang yang sangat keras di dalam ilmu hadits. Apa komentar Al-Dzahabi tentang hadits Ghadir Khum?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Kata Al-Dzahabi, hadits Ghadir Khum adalah hadits yang berisikan sabda Nabi: “Siapa yang menjadikan aku sebagai <i>maula</i>nya, hendaknya menjadikan Ali sebagai <i>maula</i>nya.” Kata Al-Dzahabi hadits <i>man kuntu maula fa’aliyun maulahu </i>itu mutawatir. Artinya banyak sekali yang meriwayatkannya sehingga tidak dimungkinkan ada orang yang mendustakannya. “Dan,” kata Al-Dzahabi, “Aku yakin, bahwa Rasulullah pasti bersabda tentang hadits ini.”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Jadi, sebenarnya hadits Ghadir Khum ini hadits yang mutawatir dan ini merupakan hujjah yang kuat guna melegitimasi kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ada sebagian dari kaum Muslimin yang mempertanyakan keabsahan hadits tersebut. Mereka berkata jikalau memang hadits itu benar ada dan hadits itu menunjukkan bahwa Ali adalah khalifah sepeninggal Rasulullah, tentunya hadits itu tidak akan mungkin dilupakan oleh para sahabat. Mana buktinya bahwa para sahabat memang mengetahui akan hadits tersebut?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Ahmad meriwayatkan dari Abu Thufail dia berkata: Ali mengumpulkan sejumlah orang di Rahbah, kemudian dia berkata: Demi Allah, saya menyeru kepada orang-orang yang menyaksikan Rasulullah saat bersabda di Hari Ghadir Khum untuk bersaksi. Maka berdirilah tiga puluh orang dari orang yang ada di tempat itu. Mereka menyatakan kesaksian bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menjadi aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn23" name="_ftnref23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[23]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Tetapi pada akhirnya sebagian besar sahabat Nabi membaiat Abu Bakar setelah terjadi suatu perdebatan di Saqifah. Ada sebagian dari kalangan kaum Muslimin yang bertanya lagi, “Kalau memang benar Ali merasa bahwa dirinya berhak atas kekhalifahan, mengapa ketika Abu Bakar menjadi khalifah Ali tidak melakukan perlawanan untuk merebut kembali haknya sebagai khalifah? Apakah Ali itu seorang yang pengecut?”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Inilah pertanyaan yang sering diajukan sebagian kaum Muslimin yang menolak keyakinan Syi’ah mengenai imamah. Sebenarnya pertanyaan seperti itu mudah untuk di jawab. Bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Wahai Ali kedudukanmu dihadapanku sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahku.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn24" name="_ftnref24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[24]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Jika kita membaca kembali Al-Qur’an maka kita akan paham bagaimana kedudukan Harun di sisi Musa dan bagaimana sejarah Nabi Musa dan Nabi Harun. Jadi suatu saat Nabi Musa pergi menemui Tuhannya. Lalu Nabi Musa menunjuk Harun sebagai pengganti dirinya di tengah-tengah umatnya. Ketika Nabi Musa pergi, ada salah satu pengikut Nabi Musa yang melakukan penyelewengan. Dia bernama Samiri. Dia berusaha mengajak pengikut Nabi Musa yang lainnya untuk mengikuti dirinya. Nabi Harun yang melihat penyimpangan tersebut ternyata hanya berdiam diri saja. Beliau tidak memperingatkan Samiri dan sebagian dari umat Nabi Musa yang telah menyimpang. Sekembalinya Nabi Musa dari bertemu dengan Tuhannya, Nabi Musa melihat penyimpangan yang ternyata telah menyebar luas di kalangan umatnya. Nabi Musa langsung naik darah dan marah kepada Nabi Harun sampai-sampai janggut Nabi Harun dijambak olehnya. Apa yang dikatakan oleh Nabi Harun? Kurang lebihnya bahwa Nabi Musa tidak seharusnya marah kepada dirinya. Nabi Harun selama ini hanya berdiam diri saja karena beliau tidak ingin melihat umat Nabi Musa terpecah belah ketika Nabi Harun mengingatkan pengikut Musa yang telah menyimpang. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Hal ini nampak sesuai dengan janji Rasulullah bahwa kedudukan Ali disisi beliau sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Ali dengan terpaksa harus bersabar diri tidak melakukan perlawanan dikarenakan Ali khawatir umat Islam yang masih muda yang baru saja ditinggal oleh Nabinya akan berpecah belah. Itulah alasan mengapa Ali tidak melakukan perlawanan. Bukan berarti Ali seorang pengecut, tetapi keputusan Ali tersebut lebih kepada memperhatikan pertimbangan kondisi sosial politik yang sedang berkembang pada saat itu.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Kita kembali lagi pada keyakinan Syi’ah mengenai imamah. Seperti penulis sebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa Syi’ah meyakini khalifah atau imam sepeninggal Nabi berjumlah dua belas, diawali oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan di akhiri oleh Imam Mahdi yang saat ini sedang ghaib.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Seorang Yahudi memanggil Na’tsal untuk datang menemui Rasulullah Saw dan berkata, “Wahai Muhammad! Aku memiliki beberapa pertanyaan yang telah lama kusimpan. Jika kau menjawabnya, maka aku akan memeluk Islam dengan pertolonganmu.” Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Amarah! Engkau dapat menanyakannya padaku!” Ia bertanya, “Wahai Muhammad! Beritahukanlah kepadaku penerus-penerusmu, karena tidak ada rasul tanpa penerus. Rasul kami Musa bin Imran as menetapkan Yusya (Joshua) bin Nun sebagai penerusnya.” Rasulullah Saw yang suci menjawab, “Penerusku adalah Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku Hasan dan Husain yang setelahnya akan ada sembilan imam dari keturunan Husain yang datang secara berurutan.” “Katakan nama mereka, wahai Muhammad, “pintanya. Rasulullah Saw menyatakan, “Setelah Husain akan ada putranya Ali (Sajjad), setelah Ali putranya Muhammad (Baqir), setelah Muhammad putranya Ja’far (Shadiq), setelah Ja’far putranya Musa (Kazim), setelah Musa putranya Ali (Ridha), setelah Ali putranya Muhammad (Jawad), setelah Muhammad putranya Ali (Hadi), setelah Ali putranya Hasan (‘Askari), dan setelah Hasan putranya Hujjah Muhammad Mahdi. Maka jumlah mereka adalah dua belas.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn25" name="_ftnref25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[25]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Rasulullah bersabda, “Bumi akan dipenuhi dengan ketidakadilan dan penindasan, dan kemudian seseorang dari keluargaku akan muncul. Ia akan memerintah bumi selama tujuh atau sembilan tahun dan memenuhinya dengan keadilan.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn26" name="_ftnref26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[26]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Rasulullah Saw juga bersabda, “Mahdi adalah dari Ahlulbaytku. Allah akan memenangkannya dalam semalam.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn27" name="_ftnref27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[27]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana ketika Imam Mahdi sedang ghaib. Lalu bagaimana dengan tugas pembimbingan umat kepada jalan kebenaran? Siapakah yang melaksanakan tugas itu? Maka pembahasan itu akan dibahas pada poin selanjutnya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><b>Konsep Wilayatul Faqih</b></div><div class="MsoBlockText" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27.35pt;"><span lang="IN">Perbincangan mengenai konsep wilayatul faqih cukup marak akhir-akhir ini. Akan tetapi sebagian barangkali tidak memahaminya dengan baik. Pada saat yang sama, musuh-musuh Islam sengaja melakukan penafsiran yang menyimpang dan bertentangan dengan konsep aslinya. Karena itu adalah sangat perlu bagi kita memahami konsep ini dengan benar, baik dari segi ilmiah maupun dari segi fiqhiyyah-nya, supaya kita dapat melihat betapa bermaknanya konsep ini.</span></div><div class="MsoBlockText" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27.35pt;"><span lang="IN">Dalam memahami konsep wilayatul faqih ini kita juga perlu memahami landasan utama konsep ini, yaitu prinsip al-wilayah al-ilahiyyah al-ammah atau otoritas umum Tuhan, wilayatun-Nabi, otoritas Nabi, dan wilayah al-aimmah, otoritas para Imam. Selain itu kita perlu memahami dengan benar peran konstruktif wilayatul faqih dalam sebuah Negara Islam. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27.35pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27.35pt;">Pembahasan mengenai kepemimpinan Islam dalam Syi’ah bertolak dari konsep <i>wilayah </i>atau <i>imamah</i>. <i>Wilayah</i> adalah konsep luas yang meliputi juga <i>imamah</i> dan <i>wilayah bathiniyyah,</i> sedangkan <i>imamah</i> adalah kepemimpinan, pemerintahan dalam urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi Saw dan para imam sesudah Nabi. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27.35pt;">Menurut Murtadha Muthahhari, kata <i>wala, walayah, wilayah, wali, maula, </i>dan derivate lainnya, banyak sekali disebut dalam Al-Qur’an. Sebagai kata kerja disebut 124 kali, dan sebagai kata benda disebut 112 kali. Ini menunjukkan betapa pentingnya Al-Qur’an memandang masalah <i>wilayah.</i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Di dalam Islam, kepemimpinan di dasarkan atas empat dasar falsafi:</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><i>Pertama, </i>Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Allah adalah pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hokum. Manusia harus dipimpin dengan kepemimpinan Ilahiah. Sistem hidup yang bersumber pada hal ini disebut system Islam, sedangkan system hidup yang bukan bersumber pada kepemimpinan Ilahiah disebut kepemimpinan Jahiliah. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><i>Kedua, </i>Kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi ialah nubuwwah.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Nabi tidak saja menyampaikan <i>al-qanun al-ilahi</i> dalam bentuk kitab Allah, tetapi juga pelaksana <i>qanun</i> itu. “Seperangkat hokum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum sanggup menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn28" name="_ftnref28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[28]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><i>Ketiga, </i>garis <i>imamah</i> melanjutkan garis nubuwah dalam memimpin umat. Setelah zaman para Nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw, kepemimpinan umat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah dan <i>Ahlulbayt</i>nya. Setelah zaman para Nabi, datang zaman para imam. Jumlah imam ada dua belas. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, dan yang terakhir adalah Muhammad bin Al-Hasan Al-Mahdi Al-Muntadzar, yang sekarang ini sedang dalam keadaan ghaib. Imam Mahdi mengalami dua <i>ghaibah: ghaibah shughra</i>, yakni ketika ia bersembunyi di dunia fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada wakil imam; dan <i>ghaibah kubra,</i> yaitu setelah Ali bin Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman. Pada <i>ghaibah kubra </i>inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para <i>faqih.</i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><i>Keempat,</i> para <i>faqih</i> adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat dibebankan kepada mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi, “Ulama adalah pewaris para Nabi.”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para <i>faqih</i> yang memenuhi syarat-syarat tertentu. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><i>Faqih</i> adalah muslim yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam ilmu dan kesalehan. Seorang <i>faqih</i> disyaratkan “harus mengetahui semua peraturan Allah, mampu membedakan sunnah yang shahih dan yang palsu, yang mutlak dan yang terbatas, yang umum dan yang khusus. Ia juga harus mampu menggunakan akalnya untuk membedakan hadits dari situasi lain, situasi <i>taqiyah</i>, serta memahami kriteria yang telah ditetapkan.”</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Secara terperinci, seorang <i>faqih, </i>antara lain harus mencukupi syarat-syarat berikut:</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>1)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><i>Faqahah</i>: mencapai derajat <i>mujtahid muthlaq</i> yang sanggup melakukan <i>istinbath </i>hukum dari sumber-sumbernya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>2)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><i>‘adalah</i>: memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan sifat <i>istiqamah, al-Shalah, dan tadayyun.</i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>3)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><i>Kafa’ah</i>: memiliki kemampuan untuk memimpin umat; mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang, secara kejiwaan dan ruhani.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Lalu apa kewajiban para Ulama? Kewajiban para Ulama diantaranya adalah:</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>1)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Tugas intelektual: ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan majelis-majelis ilmu, pesantren, atau hauzah; menyusun kitab-kitab yang bermanfaat bagi manusia yang meliputi Al-Qur’an, hadits, <i>aqaid</i>, <i>fiqh</i>, <i>ushul fiqh</i>, ilmu-ilmu <i>‘aqliyah,</i> matematika, <i>tarikh</i>, ilmu bahasa, kedokteran, biologi, kimia, dan fisika, serta membuka perpustakaan-perpustakaan ilmiah.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>2)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Tugas bimbingan keagamaan: ia harus menjadi rujukan dalam menjelaskan halal dan haram. Ia mengeluarkan fatwa tentang berbagai hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>3)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Tugas komunikasi dengan umat: ia harus dekat dengan umat yang dibimbingnya. Akses pada umat diperolehnya melalui hubungan langsung, mengirimkan wakil ke setiap daerah secara permanent, atau menyampaikan khutbah.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>4)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Tugas menegakkan syiar Islam: ia harus memelihara, melestarikan, dan menegakkan berbagai manifestasi ajaran Islam. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>5)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Tugas mempertahankan hak-hak umat: ia harus tampil sebagai pembela kepentingan umat bila hak-hak mereka dirampas. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 81pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>6)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin: ulama adalah mujahidin yang siap menghadapi lawan-lawan Islam, tidak saja dengan pena dan lidah, tetapi juga dengan tangan dan dadanya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Dengan melihat kedudukan, sifat, dan kewajiban ulama seperti dalam system falsafi <i>wilayatul Faqih</i>, kita memahami betapa beratnya tantangan yang dihadapi para fukaha Syi’ah. Mereka harus menjadi <i>faqih,</i> intelektual, pemimpin politik, pelindung umat, dan bahkan pemimpin militer. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Menurut Murtadha Muthahhari seorang <i>wali </i>harus mengingatkan manusia akan musuh-musuhnya dan menanamkan semangat berjuang dan melawan penindas, menanamkan kecintaan kepada keindahan Ilahiyah, menanamkan kepada manusia kebencian akan maksiat dan dosa, menunjukkan asal mula perintah, petunjuk, dan hukum yang harus dipatuhi, melatih manusia untuk melindungi dan memelihara benteng ideology di atas dengan segala resikonya, mengajari manusia untuk memegang teguh dan menjaga syariat setelah memerangi dan menundukkan nafsu-nafsunya yang rendah, dan menanamkan pada diri manusia hasrat untuk <i>taqarrub</i> kepada Allah, berkhidmat kepada manusia, berbuat baik dan penyayang pada semua makhluk Allah.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn29" name="_ftnref29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[29]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Dalam konsep Syi’ah, kepemimpinan manusia bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi. Untuk keselamatan manusia, dipilih-Nya manusia yang sudah mencapai kesempurnaan dalam sifat dan perkembangan kepribadiannya. Manusia-manusia ini adalah para nabi yang menjadi Imam dalam urusan agama, dan pemimpin dalam urusan kemasyarakatan. Para Nabi dilanjutkan oleh para <i>aushiya</i>. Dan para <i>aushiya</i> dilanjutkan oleh para <i>faqih.</i> Kepemimpinan manusia, dengan demikian, merupakan keberadaan kepemimpinan Allah atas manusia.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span> </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b>BAB III</b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b>PENUTUP</b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><b><span>I.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><b>Kesimpulan</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Wingdings;"><span>Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Isu kepemimpinan adalah isu yang bisa dikatakan popular di kalangan umat Islam. Isu ini tidak habisnya dibahas di berbagai kajian-kajian keislaman.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Wingdings;"><span>Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Kepemimpinan Islam adalah sebuah keniscayaan guna keberlangsungan Islam sebagai agama yang abadi. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Wingdings;"><span>Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Imamah dari segi bahasa berarti kepemimpinan. Dari segi istilah (Islam), Imamah berarti kekuasaan mutlak atas umat Islam dalam semua urusan agama dan duniawi sebagai pengganti nabi. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Wingdings;"><span>Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Persoalan imamah ini tidak dapat kita kaitkan dengan musyawarah atau kesepakatan publik. Para nabi dan rasul terdahulu tidak mendapatkan kedudukan mereka melalui musyawarah atau pemungutan suara, melainkan melalui penunjukan dari Allah dan ketinggian spiritualnya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Wingdings;"><span>Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Imam atau pemimpin sepeninggal Rasulullah berjumlah dua belas imam dari Ahlulbayt Nabi, diawali dari Imam Ali bin Abi Thalib sampai dengan yang terakhir yaitu Imam Mahdi.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Wingdings;"><span>Ø<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Imam Mahdi saat ini sedang mengalami ghaib kubra, maka dari itu, fungsi pembimbing umat menuju jalan kebenaran diserahkan kepada para ulama yang memenuhi syarat-syarat tertentu.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><b><span>II.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><b>Proyeksi</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Mengingat begitu pentingnya kepemimpinan dalam Islam, sudah seharusnya kita memiliki seorang pemimpin yang benar-benar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Rasulullah juga bersabda bahwa siapa yang meninggal dengan keadaan tidak mengenal siapa imam zamannya, maka ia mati secara jahiliah. Sudahkah kita memiliki seorang pemimpin? Jika belum, kapankah kita akan memiliki pemimpin? Apakah ketika nafas ini sudah tidak berhembus lagi?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Bukankah di dalam Al-Qur’an ada ayat yang intinya mengatakan bahwa kelak di akhirat kita akan dibangkitkan bersama dengan para pemimpin kita. Lalu siapakah orang yang akan kita baiat sebagai seorang pemimpin? Apakah orang yang bisa saja berbuat salah dan dosa atau orang yang karena ikhtiarnya dapat meraih <i>maqam</i> mulia di sisi Allah SWT? Terserah Anda. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 27pt;">Apa yang penulis coba sajikan di atas belum dapat dianggap benar seratur persen. Artinya bahwa masih banyak dari pembahasan yang penulis sajikan untuk kemudian dapat dikritisi. Masalah kepemimpinan ini amatlah sangat penting, oleh sebab itu mau tidak mau kita harus mendiskusikannya. Umat ini membutuhkan sosok pemimpin ideal. Umat ini membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menyatukan seluruh umat dalam barisan ukhuwah Islamiyah. Kapankah pemimpin itu akan muncul?</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b>DAFTAR PUSTAKA</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;">Al-Amini, Syaikh Abdul Husain, <i>Ali bin Abi Thalib: Sang Putra Ka’bah,</i> Jakarta: Al-Huda,2003</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;">Al-Ashify, Syaikh Muhammad Mahdi, <i>Muatan Cinta Ilahi dalam Doa-Doa Ahlul Bayt, </i>Bandung: Pustaka Hidayah, 1996</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;">As-Suyuthi, Imam Jalaluddin, <i>105 Keutamaan Ahlul Bait, </i>Hasyimi Press, 2001.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;"><u><span> </span></u>, <i>Tarikh Khulafa’</i>, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2002.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;">Al-Tabarsi, Al-‘Allamah, <i>Al-Ihtijaj: Dialog Imamah, </i>Selangor, Malaysia: Al-Wahdah Publications, 1995.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;">Modarrese, Mohammad Reza, <i>Syi’ah Dalam Sunnah, </i>Jakarta: Penerbit Citra, 2005.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;">Muhammad Jawad, Muhammad Kadzim, <i>Mengapa Kita Mesti Mencintai Keluarga Nabi Saw, </i>Jakarta: Penerbit Lentera, 1992. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;">Rakhmat, Jalaluddin, <i>Islam Alternatif Ceramah-Ceramah di Kampus, </i>Bandung: Penerbit Mizan, 1986.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;">Yamani, <i>Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, </i>Bandung: Penerbit Mizan, 2002.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45pt; text-indent: -45pt;"><br />
</div><div><br clear="all" /> <hr align="left" size="1" width="33%" /> <div id="ftn1"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></span></a><a href="" name="_ftn1"><span> </span></a><span></span>Al-Syahrastani, <em>al-Milal wa an-Nihal </em>, Kairo, 1968, jilid I, hal. 99.</div></div><div id="ftn2"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[2]</span></span></span></span></a> <i>Syarh al-Mawafiq,</i> edisi pertama tahun 1419, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Vol. 8, hal. 377.</div></div><div id="ftn3"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[3]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Musnad Ahmad, </i>vol. 4, hal. 96</div></div><div id="ftn4"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[4]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Syarh Maqashid, </i>Vol. 5, hal. 232.</div></div><div id="ftn5"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[5]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Syarh Tajrid</i>, hal. 399</div></div><div id="ftn6"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 9pt; text-indent: -9pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[6]</span></span></span></span></a><span> </span>Lebih lanjut, rujuk Muhammad ar-Rasysyahri, <i>Ahlul Bait fil al-Kitab wa as-Sunnah,</i> Muassasah, Dar al-Hadits, tanpa tahun.</div></div><div id="ftn7"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[7]</span></span></span></span></a><span> </span>Sayyid Kamal Al-Haydari, <i>Bahtsun Haul Al-Imamah, </i>Dar al-Shadiqin, Qum, 1999, hal. 93</div></div><div id="ftn8"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[8]</span></span></span></span></a><span> </span>Al-Hakim, <i>Mustadrak al-Shahihain </i>2:343<i>; Kanz al-‘Ummal </i>6:216</div></div><div id="ftn9"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[9]</span></span></span></span></a><span> </span>Al-Hakim, <i>Mustadrak al-Shahihain </i>3:149</div></div><div id="ftn10"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[10]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Shahih Bukhari</i>, Vol. 4, hal. 168</div></div><div id="ftn11"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[11]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Shahih Muslim, </i>Vol. 6, hal.3</div></div><div id="ftn12"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[12]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Mustadrak Al-Hakim, </i>Juz 3, Hal. 136.</div></div><div id="ftn13"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[13]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Tarikhul Khulafa</i>, hal. 114</div></div><div id="ftn14"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 9pt; text-indent: -9pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[14]</span></span></span></span></a> Hadits ini dikeluarkan oleh Imam At-Turmudzi dalam <i>Sunan</i>-nya dan <i>kitab tafsir al-Qur’an,</i> bab surat al-Ahzab, hadits nomor 3205.</div></div><div id="ftn15"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[15]</span></span></span></span></a><span> </span>As-Shawa’iq Al-Muhriqah</div></div><div id="ftn16"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[16]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Shahih Muslim</i>, Vol. 7, Hal. 122</div></div><div id="ftn17"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[17]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Kanz al-‘Ummal</i>, Vol. 1, Hal. 167</div></div><div id="ftn18"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[18]</span></span></span></span></a><span> </span><i>As-Sawa’iq al-Muhriqah,</i> Hal. 40</div></div><div id="ftn19"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[19]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Ibid.</i></div></div><div id="ftn20"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[20]</span></span></span></span></a><span> </span><i>Ibid.</i></div></div><div id="ftn21"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 9pt; text-indent: -9pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[21]</span></span></span></span></a><span> </span>Lihat Umpamanya Al-Khatib, <i>Tarikh Baghdad, </i>Baghdad 1950, VIII, hlm. 290; Al-Suyuti, <i>Tarikh<span> </span>Khulafa’, </i>Cairo 1340 H, hlm. 130.</div></div><div id="ftn22"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[22]</span></span></span></span></a><span> </span>Al-Suyuti, <i>Tarikh Khulafa’,</i> Pustaka Al-Kautsar, hlm.196</div></div><div id="ftn23"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref23" name="_ftn23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[23]</span></span></span></span></a><span> </span>Imam As-Suyuti, <i>Tarikh Khulafa’</i>, Pustaka Al-Kautsar, Hal. 196</div></div><div id="ftn24"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref24" name="_ftn24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[24]</span></span></span></span></a><span> </span>Imam Jalaluddin as-Suyuthi, <i>105 Hadits Keutamaan Ahlulbayt, </i>Hasyimi Press, Hal. 86-87</div></div><div id="ftn25"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 9pt; text-indent: -9pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref25" name="_ftn25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[25]</span></span></span></span></a> Al-Hafiz Sulaiman bin Ibrahim al-Qanduzi al-Hanafi, <i>Yanabi a-Mawaddah,</i> edisi ke-VIII. Dar al-Kutub al-Iraqiyyah 1385, Bab 76, hal. 440.</div></div><div id="ftn26"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref26" name="_ftn26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[26]</span></span></span></span></a> <i>Musnad Ahmad, </i>Vol. 3, Hal. 28</div></div><div id="ftn27"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref27" name="_ftn27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[27]</span></span></span></span></a> <i>Musnad Ahmad, Musnad al-Asyrah, no. 610. </i>Juga <i>Sunan Ibn Majah, Kitab al-Fitan, </i>no. 4075<i>.</i></div></div><div id="ftn28"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref28" name="_ftn28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[28]</span></span></span></span></a> Salim Azzam (Ed.), <i>Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1983, hal. 122.</i></div></div><div id="ftn29"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref29" name="_ftn29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[29]</span></span></span></span></a> Dalam buku <i>Al-Wala wa Al-Wilayah</i></div></div></div>tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-71373792374550196792010-12-31T19:14:00.001-08:002010-12-31T19:14:43.554-08:00HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT<!--[if !mso]> <style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
table.MsoTableGrid
{mso-style-name:"Table Grid";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
border:solid windowtext 1.0pt;
mso-border-alt:solid windowtext .5pt;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-border-insideh:.5pt solid windowtext;
mso-border-insidev:.5pt solid windowtext;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <o:shapedefaults v:ext="edit" spidmax="2051"/> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <o:shapelayout v:ext="edit"> <o:idmap v:ext="edit" data="1"/> </o:shapelayout></xml><![endif]--> <br />
<div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: Al-Homam; font-size: 16pt;">حكم تارك الصلاة </span></b></div><h3><span style="font-size: 40pt;">HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT </span></h3><div class="MsoNormal"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt;">Oleh :</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><h2 dir="RTL"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt;">SYEIKH </span></h2><h2 dir="RTL"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt;">MUHAMMAD BIN SHALEH AL UTSAIMIN</span></h2><h4><b><span style="font-size: 18pt;"> </span></b></h4><h1><b><span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 11pt;"> </span></b></h1><h1><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">Penerjemah:</span></b></h1><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt;">MUHAMMAD YUSUF HARUN, MA.</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><h1><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">Editor :</span></b></h1><div class="MsoHeading7"><span style="font-size: 12pt;">DR.Muh.Mu’inudinillah Basri,MA</span></div><div class="MsoHeading7"><span style="font-size: 12pt;">Bakrun Syafi'i Yahya ,MA</span></div><div class="MsoHeading7"><span style="font-size: 12pt;">Muhammadun Abd.Hamid</span><span style="font-size: 12pt;"> ,MA</span><span style="font-size: 12pt;">. </span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 12pt; font-weight: normal;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">Fir'adi Nasruddin,Lc</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><img height="102" src="file:///C:/DOCUME%7E1/SHIFTN%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image003.jpg" width="338" /></span></div><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 18pt;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="position: relative; z-index: 1;"><span style="height: 48px; left: -10px; position: absolute; top: -55px; width: 432px;"><img height="48" src="file:///C:/DOCUME%7E1/SHIFTN%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image004.gif" width="432" /></span></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 30pt;">حكم تارك الصلاة</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 20pt;">تأليف :</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt;">الشيخ محمد بن صالح العثيمين (رحمه الله)</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 20pt;">ترجمة :</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt;">محمد يوسف هارون</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 20pt;">مراجعة :</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt;">د. محمد معين دين الله بصري</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt;">بكرون شافعي يحي</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt;">محمدون عبدالحميد</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt;">فيرعادي نصر الدين أبو جعفر</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"><img height="102" src="file:///C:/DOCUME%7E1/SHIFTN%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image003.jpg" width="338" /></span><b><span dir="LTR" style="font-size: 16pt;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span></b><span dir="LTR">PENDAHULUAN</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span> </span>اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ. أَمَّا بَعْدُ :</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Segala pujian hanya milik Allah <i>Ta'ala</i> kita memuji-Nya,meminta pertolongan,memohonkan ampunan dan bertaubat kepada-Nya.Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan dari keburukan amalan-amalan yang telah kita perbuat.Barang siapa yang telah mendapatkan hidayah Allah,maka tak seorangpun yang dapat menyesatkan jalannya dan sesiapa yang telah disesatkan-Nya maka tiada seorangpun yang mampu memberikan sinar petunjuk kepadanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><span> </span>Saya bersaksi bahwasannya tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah semata,tiada sekutu bagi-Nya,dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya,semoga shalawat dan salam Allah sentiasa tercurahkan kepada beliau,keluarga dan sahabat-sahabatnya dan siapa yang mengikutinya dengan baik hingga akhir zaman,amiiin.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Wa ba'du :</span></b></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Sungguh, banyak diantara kaum muslimin sekarang ini yang meremehkan masalah shalat dan melalaikannya, dan bahkan ada yang meninggalkannya sama sekali, karena menganggapnya hal yang sepele.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Oleh karena masalah ini termasuk salah satu masalah besar, yang melanda umat pada saat ini, dan menjadi ajang perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan para imam mazhab dari dulu hingga kini, maka penulis ingin memberikan sumbangsihnya dalam permasalahan tersebut melalui tulisan yang sederhana ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Pembicaraan tentang masalah ini akan diringkas dalam dua bahasan :</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Pertama</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"> : hukum orang yang meninggalkan shalat.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Kedua</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"> : konsekwensi hukum karena <i>riddah</i> (keluar dari Islam), disebabkan karena meninggalkan shalat, atau sebab lainnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Semoga Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> dengan taufiq-Nya menunjukkan kita semua kepada kebenaran.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><h3><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">1</span></b></h3><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt;">HUKUM </span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt;">ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT</span></b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Imam Ahmad bin Hanbal</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"> mengatakan : “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Sementara <b>Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i</b> mengatakan : “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut <b>Imam Malik</b> dan <b>Syafi’i</b> “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut <b>Imam Abu Hanifah</b> “diancam hukuman ta’zir (diasingkan) , bukan hukuman mati”.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> dan sunnah Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>, karena Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ</span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"> }</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span><span> </span>“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.”. </span></i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. As Syura, 10).</span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div align="left" class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.5in; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Dan <span> </span>Allah juga berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً }</span></b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span>“Jika kamu belainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”.</span></i></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;"><span> </span>( QS. An Nisa’, 59 ).</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Oleh karena masing masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu diantara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center; text-indent: 0.5in;"><b><u><span dir="LTR" style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 12pt;">Pertama <span> </span>: Dalil dari Al-Qur'an :</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman dalam surat At Taubah ayat 11 :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ</span></b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"> }</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. At Taubah; 11).</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dan dalam surat Maryam ayat 59-60 , Allah berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا , إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئًا }</span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun”. </i></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. Maryam, 59-60).</span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang orang yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya :” <i>kecuali orang yang bertaubat, beriman</i> …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat :</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol; font-size: 11pt;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol; font-size: 11pt;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan </span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol; font-size: 11pt;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Hendaklah mereka menunaikan zakat.</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama dengan kita.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama ; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Cobalah anda perhatikan firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> dalam ayat qishash karena membunuh :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ َمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ</span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"> }</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span><span> </span>“Maka barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)”. </span></i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. Al Baqarah, 178).</span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Dalam ayat ini, Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا }</span></b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. </i></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. An Nisa’, 93).</span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: 1.3pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ , إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ }</span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduannya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. Al Hujurat, 9).</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Di sini Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shaheh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud <i>radhiallahu ‘anhu</i>, bahwa Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan keluar dari Islam) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Jika ada <b>pertanyaan</b> : Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Jawabnya</b> adalah : Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad <i>rahimahullah</i>.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah <i>radhiallahu ‘anhu</i>, bahwa Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan dibagian akhir hadits :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia menjadi kafir, maka tidak akan ada jalan baginya menuju surga.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dengan demikian <i>manthuq</i> (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada <i>mafhum</i> (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa <i>manthuq</i> lebih didahulukan dari pada <i>mafhum</i>.</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><u><span dir="LTR" style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 12pt;">Kedua <span> </span>: dalil dari As Sunnah <span> </span>:</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span>1-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah <i>radhiallahu ‘anhu</i>, bahwa Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(HR. Muslim, dalam kitab : Al-Iman) .</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span>2-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib <i>radhiallahu ‘anhu</i>, ia berkata : aku mendengar Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(HR.Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam, karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 1.3pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span>3-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Diriwayatkan dalam shaheh Muslim, dari Ummu Salamah <i>radliallahu 'anha</i>, bahwa Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :</span></div><div align="left" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt; text-align: right;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" سَتَكُوْنُ أُمَـرَاء ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِـرُوْنَ ، فَمَنْ عَرَفَ بَرَئَ ، وَمَنْ أَنْكَـرَ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ ، قَالُوْا : أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ : لاَ مَا صَلُّوْا ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan selamat), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka ?, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :” Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”</i></span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>4-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Diriwayatkan pula dalam shaheh Muslim, dari Auf bin Malik <i>radhiallahu ‘anhu</i> ia berkata : Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :</span></div><div align="left" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt; text-align: right;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ ، وَشِرَارُ</span></b><span dir="LTR"></span><b><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"><span dir="LTR"></span> </span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ ، قِيْلَ:</span></b></div><div align="left" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt; text-align: right;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span> </span>يَا رَسُـوْلَ اللهِ ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ ؟ قَالَ : لاَ ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukai kamu, serta mereka mendo'akanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”</i></span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span></span></i><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Kedua hadits yang terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kakafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit <i>radhiallahu ‘anhu</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt; text-indent: -1.3pt;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان.</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau, diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”</i></span><i><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.</span></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-align: center; text-indent: -0.5in;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-align: center; text-indent: -0.5in;"><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">*****</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. Kalaupun ada hanyalah nash-nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “<b>La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah</b>”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Jika ada pertanyaan</b> : Apakah nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya ?</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Jawab</b> : Tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya :</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Pertama</b> : Menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah<span> </span>dan dijadikan sebagai dasar hukum.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman : <i>”Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”</i>, Nabi Muhammad <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> pun tidak bersabda : ”<i>Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir</i>”.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Seandainya pengertian ini yang dimaksud oleh Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> dan Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa oleh Al Qur’an.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ</span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"> }</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …”. </i></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. An Nahl, 89).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ }</span></b><i><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka …”. <span> </span></i></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. An Nahl, 44).</span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Kedua</b> : Menjadikan atribut yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Kalau ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal-hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan apapun, maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar jika nash-nash tersebut dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit <i>radhiallahu ‘anhu</i> ia berkata : Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> telah berwasiat kepada kita :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا ، وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا ، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ</span></b><span dir="LTR"></span><b><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"><span dir="LTR"></span> </span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">خَرَجَ مَنَ الْمِلَّةِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barang siapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Demikian pula jika hadits ini kita kenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata <b>“shalat”</b> secara khusus dalam nash-nash tersebut tidak ada gunanya sama sekali. </span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barang siapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui.</span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"> Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil <b>sam’i atsari</b> (Al -Qur’an dan As Sunnah), maka menurut dalil <b>'aqli nadzari</b> (logika ) pun demikian.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Bagaimana seseorang dikatakan memiliki iman, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama. Dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk segera melaksanakan dan mengerjakannya. Serta ancaman bagi orang yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Jika ada pertanyaan</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"> : Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah (yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersaba :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: 1.3pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ : اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu : mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Jawab</b> : Pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan :</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Pertama</i></b> : bahwa Nabi Muhammad <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan batas ialah yang membedakan apa saja yang dibatasi, serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Kedua</i></b> : Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Ketiga</i></b> : Di sana ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yang dengan kekafirannya menyebabkan ia keluar dari Islam.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga nash-nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Keempat</i></b> : Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang meninggalkan shalat beliau bersabda :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”. </i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(HR. Muslim, dalam kitab al iman).</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt;"><span> </span></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Di sini digunakan kata <b>“Al ”</b>, dalam bentuk ma’rifah (definite), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah</b> dalam kitabnya yang bernama <i>Iqtidha ashshirath al mustaqim</i> cetakan <i>As Sunnah al Muhammadiyah,</i> hal 70, ketika menjelaskan sabda Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> : </span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: 1.3pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ : اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu : mencela keturunan dan meratapi orang mati”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Ia mengatakan : sabda Nabi “ <i>Keduanya merupakan kekafiran</i>” artinya : kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia, jadi kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Namun, tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi mu’min.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Penggunaan kata <b>“Al Kufr”</b> dalam bentuk ma’rifah (dengan kata “ al”) sebagaimana disebut dalam sabda Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 1.3pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(HR. Muslim, dalam kitab al iman) .</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt;"><span> </span></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Berbeda dengan kata “ Kufr ” dalam bentuk nakirah (tanpa kata “ al ”) yang digunakan dalam kalimat positif.</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">*****</span></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy Syafii, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> :</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">{ فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا , إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئًا }</span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun”. </i></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;">(Q.S. Maryam, 59-60).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Disebutkan pula oleh <b>Ibnu Al Qayyim</b> dalam “ Kitab Ash Shalat ” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i, Ath Thahaqi pun menukilkan demikian dari Imam Syafii sendiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dan pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (consensus) para sahabat.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Abdullah bin Syaqiq</b> mengatakan : ”Para sahabat Nabi <i>radhiallahu 'anhum </i>berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat”. </span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(Diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim ).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Ishaq bin Rahawaih </b><i>rahimahullah<b> </b></i>, seorang Imam terkenal mengatakan : “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dan Nabi Muhammad <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dituturkan oleh <b>Ibnu Hazm</b> <i>rahimahullah</i> bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya, dan ia berkata : “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi pendapat mereka ini ”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri dalam kitabnya <i>At Targhib Wat Tarhib</i>, dan ada tambahan lagi dari para sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’ <i>rodhiallohu ‘anhu</i>, ia berkata lebih lanjut : “ dan diantara para ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha'i, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani, Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lain lainnya.”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Jika ada pertanyaan</b> : Apakah jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir ?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b>Jawab</b> : Tidak disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan yang semisalnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Bagian pertama</i></b> : Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak membawa hasil.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Bagian kedua</i></b> : Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> :</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">{ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء</span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"> }</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari ( syirik ) itu yang Dia kehendaki ”.</i></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. An Nisa’, 48).</span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Firman Allah “ </span><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">مَا دُوْنَ ذَلِكَ</span></b><span dir="LTR"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 14pt;"><span dir="LTR"></span> </span></b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">” artinya : “dosa dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “ dosa yang selain syirik ”, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Andaikata kita menerima bahwa firman Allah “ </span><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">مَا دُوْنَ ذَلِكَ</span></b><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span> ” artinya adalah “dosa dosa selain syirik”, niscaya inipun termasuk dalam bab <i>Al Amm Al Makhsus</i> (dalil umum yang bersifat khusus), dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Bagian ketiga</i></b> : Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Contohnya : Sabda Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal <i>radhiallahu ‘anhu</i> :</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">" مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Inilah salah saru lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan Itban bin Malik <i>radhiallahu ‘anhum </i>.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Bagian keempat</i></b> : Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalknan shalat.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Contohnya : Sabda Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> dalam hadits yang dituturkan oleh Itban bin Malik <i>radhiallahu ‘anhu</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dan sabda Nabi <i>shalallahu ‘alaihi wa sallam</i> dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal <i>radhiallahu ‘anhu</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka”. </i></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(HR. Bukhari).</span><i><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat dengan keikhlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan, karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat merupakan sendi Islam, serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Maka apabila ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apapun yang dapat menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi penghalangnya.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat “<b><i>La Ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah</i></b>” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah, dan mengikuti tuntunan Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>, karena hal itu termasuk syarat syarat syahadat yang benar.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><b><i>Bagian kelima</i></b> : Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yag menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Contohnya : Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia menuturkan bahwa Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">يُدْرَسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يُدْرَسُ وَشْيُ الثَّوْبِ " وفيه " وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ يَقُوْلُوْنَ : أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا </span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata :”kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka) ”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Shilah berkata kepada Hudzaifah :” Tidak berguna bagi mereka kalimat “<b><i>La Ilah Illallah</i></b>”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat.”, maka Hudzaifah <i>radhiallahu ‘anhu</i> memalingkan mukanya dengan menjawab :” wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulangkali dia katakan seperti itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Orang-orang yang selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu dima'afkan untuk tidak melaksanakan syari'at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja, kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum diperintahkannya syari'at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan syari'at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum sempat mengenal syari'at ia meninggal dunia.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat husus dengan adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, untuk itu harus dikenakan kepadanya konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah (keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat (alasan) nya”.</span></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">2</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAH</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah ( keluar dari Islam ) :</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.75in; text-indent: -1.25in;"><b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 12pt;">Pertama :<u>Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Duniawi</u><span> </span>:<span> </span></span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.75in; text-indent: -1.25in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>1-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Kehilangan haknya sebagai wali.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Oleh karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan wali untuk anak-anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang berada dibawah kewaliannya.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Para</span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"> ulama fiqh kita - <i>Rahimahumullah</i> – telah menegaskan dalam kitab-kitab mereka yang kecil maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “Tidak sah orang kafir menjadi wali bagi seorang wanita muslimah”.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Ibnu Abbas</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"> <i>radhiallahu ‘anhu</i> berkata : “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtadan dari Islam.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in; text-indent: -55.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ</span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"> }</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span><span> </span>“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri …”</span></i><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"> </span></i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;">(QS. Al Baqarah, 130).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>2-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Kehilangan haknya untuk mewarisi harta kerabatnya.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Sebab orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid <i>radhiallahu ‘anhu</i>, Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.3pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>" لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ ".</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span>“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim”. </span></i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(HR.Bukhari dan Muslim).</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>3-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Berdasarkan firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> :</span></div><div align="left" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: -3.2pt; text-align: right; text-indent: 3.2pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـذَا</span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"> }<span> </span></span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span><span> </span>“Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” </span></i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. At Taubah, 28).</span><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>4-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Diharamkan makan hewan sembelihannya.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Seperti onta, sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab (yahudi dan nasrani), adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Al Khazin</span></b><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"> dalam kitab tafsirnya mengatakan : “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang-orang majusi dan orang-orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai al kitab, haram hukumnya.”</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Dan <b>Imam Ahmad</b> mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.”</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>5-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.</span></u></b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></u></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Berdasarkan firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَىَ قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُواْ وَهُمْ فَاسِقُونَ }</span></b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span><span> </span>“Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik”.</span></i></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;"><span> </span>(QS. At Taubah, 84).</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Dan firman-Nya :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ , وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلاَّ عَن مَّوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ }</span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahim, dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu, tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”</span></i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;"> (QS. At Taubah, 114-114).</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Do'a seseorang untuk memintakan ampun dan rahmat bagi orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam do'a, dan merupakan suatu bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan terhadap tuntunan Nabi <i>shallallahu 'alaihi wa sallam </i>dan orang orang yang beriman.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendo'akan orang yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampunan dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah ? sebagaimana firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-indent: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ مَن كَانَ عَدُوًّا لِّلّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ }</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"><span dir="LTR"></span> </span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuhnya orang orang kafir”.</i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;">(QS. Al Baqarah, 98 ).</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh orang-orang yang kafir. Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ,إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ </span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">}</span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku” . </i></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;">( QS. Az Zukhruf, 26 –27 ).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dan firman-Nya :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاءٌ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ }</span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” </i></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;">( QS. Al Mumtahanah, 4 ).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Untuk mencapai derajat demikian adalah dengan mutaba’ah (meneladani) Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>, Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَأَذَانٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ } </span></b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Dan ( inilah ) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang orang musyrik ”. </i></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;">(QS. At Taubah, 3 ).</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.5in; text-indent: -0.5in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>6-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Dilarang menikah dengan wanita muslimah.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: -3.2pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ <span> </span>} </span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Hai orang orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang orang kafir, mereka tidak halal bagi orang orang kafir itu, dan orang orang kafir itu tidak halal bagi mereka …”</i></span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. Al Mumtahanah, 10).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dikatakan dalam kitab <b>Al Mughni</b>, jilid 6, hal 592 : “Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa wanita-wanita dan sembelihan sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita-wanita yang murtad (keluar dari Islam) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa dihalalkan.” (seperti wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent).</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dan disebutkan dalam bab “ <b>orang murtad</b> ”, jilid 8, hal 130 : “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula</span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"> </span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">pelaksanaan pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Sebagaimana diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki-laki yang murtad.</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dikatakan pula dalam kitab <b>Al-Mughni</b>, jilid 6, hal 298 : “Apabila salah seorang dari suami istri murtad sebelum sang istri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing-masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika ia murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat : <b><i>pertama</i></b> : segera dipisahkan, <b><i>kedua</i></b> : ditunggu sampai habis masa iddah.”</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Dan disebutkan dalam <b>Al-Mughni</b>, jilid 6, hal 639 : “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum sang istri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi riddah setelah digauli, maka batallah pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat <b>Imam Malik</b> dan <b>Abu Hanifah</b>, dan menurut pendapat <b>Imam Syafi'i</b> : ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut <b>Imam Ahmad</b> ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Kemudian disebutkan pula pada halaman 640 : “Apabila suami istri itu sama sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah ? ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;"><span> </span>Selanjutnya disebutkan bahwa menurut <b>Imam Abu Hanifah</b>, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan (kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus, pent), karena dengan demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh pengarang Al Mughni dari segala segi dan aspeknya.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki-laki atau perempuan yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila tidak melaksanakan shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Hal ini berbeda dengan pernikahan orang-orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang istri masuk Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu : apabila sang suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi istrinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, sejak sang istri masuk Islam.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Pada zaman Nabi Muhammad <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama istri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila suami istri itu berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua, karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Masalah ini tidak seperti halnya orang muslim, yang </span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">menjadi kafir karena meninggalkan shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu awalnya kafir bukan karena murtad, untuk itu, jika ada seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki-laki itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>7-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Bagi pihak istri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada bahasan pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu :</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol; font-size: 11pt;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Jika sang suami tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat (yang meragukan), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam nasab.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol; font-size: 11pt;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Namun jika sang suami itu mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan baginya.</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 1.5in; text-indent: -102.2pt;"><b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 12pt;">Kedua : <u>Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Ukhrawi</u> :</span></b></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 117pt; text-indent: -81pt;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>1-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Dicaci dan dihardik oleh para malaikat.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Bahkan para malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bagian depan dan belakangnya.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ وَلَوْ تَرَى إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِينَ كَفَرُواْ الْمَلآئِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوقُواْ عَذَابَ الْحَرِيقِ , ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيد }ِ</span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata) : “Rasakanlah olehmu siksa nereka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, sesungguhnya Allah sekali kali tidak menganiaya hamba-Nya ”. </span></i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS. Al Anfal, 50–51).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>2-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena ia termasuk dalam golongan mereka.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ , مِن دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيم }ِ</span></b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span><span> </span>“(Kepada para malaikat diperintahkan) : “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta orang-orang yang sejenis mereka dan apa-apa yang menjadi sesembahan mereka, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka ”.</span></i><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt;">(QS.Ash Shaffat, 22–23).</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Kata “ </span><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">أَزْوَاج</span></b><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span> ” bentuk jama’ dari “ </span><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">زَوْج</span></b><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span> ” yang berarti : </span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 11pt;">jenis, macam. Yakni : “Kumpulkanlah orang-orang yang musyrik dan orang-orang yang sejenis mereka, seperti orang-orang kafir dan yang dzalim lainnya.”</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span>3-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><u><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Kekal untuk selama-lamanya di dalam neraka.</span></u></b></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Berdasarkan firman Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: -1.4pt;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا , خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَّا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا , يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاْ }</span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak balikkan dalam neraka, mereka berkata : Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah, dan taat (pula) kepada Rasul ”. </span></i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;">(QS. Al Ahzab, 64 – 66).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="margin-right: 0.75in;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">PENUTUP</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>demikianlah apa yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak umat manusia .</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Pintu taubat masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku se Islam, segeralah bertaubat kepada Allah <i>ta'ala</i> , dengan ikhlas semata mata karena-Nya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memperbanyak amal keta'atan.</span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Allah <i>subhaanahu wa ta’aala</i> berfirman :</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span>{ إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا , وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا }</span></b><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span><i>“Kecuali orang orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan, dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang, dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya ”. </i></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 10pt;">(QS. Al Furqan, 70 – 71).</span><i><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"></span></i></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita semua jalan</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt;"><span dir="RTL"></span>-</span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Nya yang lurus, jalan orang-orang yang dikaruniai ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang-orang yang dimurkai atau orang-orang yang tersesat. </span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt;">Selesai ditulis oleh :</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><i><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt;">Al faqir Ilallahi ta’ala</span></i></b></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><u><span dir="LTR" style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt;">Muhammad bin Shaleh Al Utsaimain</span></u></b></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><span dir="LTR" style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt;">(rahimahullah)</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;"></span></div><div align="center" class="MsoBodyText2" dir="RTL" style="text-align: center;"><span dir="LTR" style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Pada tanggal 23 Shafar 1407 H.</span></div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">DAFTAR ISI :</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-collapse: collapse; border: medium none;"><tbody>
<tr> <td style="border: 1pt solid windowtext; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div align="center" class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">NO</span></b></div></td> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: solid solid solid none; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div align="center" class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">MATERI</span></b></div></td> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: solid solid solid none; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div align="center" class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt;">HAL</span></b></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">1</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 12pt;">Pendahuluan</span></b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 12pt;"> <span> </span>………………………………….</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">2</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">2</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Bahasan Pertama</span></b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"> :</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 1in; text-align: justify; text-indent: -0.95in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol; font-size: 11pt;"><span><img alt="*" height="12" src="file:///C:/DOCUME%7E1/SHIFTN%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" width="12" /><span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Hukum orang yang meninggalkan shalat….</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">3</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -23.4pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">a. Dalil-dalil dari Al-Qur'an ……………….</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">5</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -23.4pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">b. Dalil-dalil dari As-Sunnah ………………</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">9</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.2in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"><span> </span>Pertanyaan-pertanyaan & jawabannya…</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">12</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">3</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.7in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Bahasan Kedua</span></b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;"> :</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 1in; text-align: justify; text-indent: -0.95in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol; font-size: 11pt;"><span><img alt="*" height="12" src="file:///C:/DOCUME%7E1/SHIFTN%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" width="12" /><span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Konsekwensi hukum karena riddah ………..</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">23</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -23.4pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">a. Konsekwensi hukum bersifat duniawi…</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">23</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -23.4pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">b. Konsekwensi hukum bersifat ukhrawi…</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">32</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">4</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Penutup …………………………………………….</span></b></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">34</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">5</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">Daftar Isi …………………………………………….</span></b></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Calisto MT"; font-size: 11pt;">35</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.45in;" valign="top" width="43"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 3.5in;" valign="top" width="336"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; margin-left: 0.75in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 38.2pt;" valign="top" width="51"> <div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoBodyText2" dir="RTL"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div>tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-2165106836944896762010-12-31T19:13:00.001-08:002010-12-31T19:13:12.521-08:00Teori Keillatan Hukum dan Refleksinya<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <br />
<div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%;"><span style="font-size: 14pt; line-height: 210%;">BAB<span> </span>I</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 12pt;"><span style="font-size: 14pt; line-height: 210%;">PENDAHULUAN</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin: 0in 0in 6pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>A.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Latar Belakang Masalah.</div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Untuk memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan Allah Swt. -- yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia -- bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakekatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk mengetahui dan memahami<span> </span>keberadaan dan alasan-alasan apa yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut -- di samping terkait pula dengan prosedur apa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui alasan-alasan dimaksud.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Persoalan yang disebut terakhir ini tidak saja merupakan suatu hal yang<span> </span>penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar makna dan nilai<span> </span>suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan Allah betul-betul dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia sesuai dengan tujuan dari penetapan hukum tersebut.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Dalam kegiatan <i>Istinbâth</i></span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 13pt; line-height: 210%;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 13pt;">[1]</span></b></span></span></span></span></a><span style="font-weight: normal;"> hukum yang dilakukan oleh<span> </span>para ulama ushul -sepanjang sejarah pemikiran hukum – salah satu persoalan yang<span> </span>paling mendasar dan yang banyak menimbulkan diskusi di kalangan mereka adalah menyangkut <i>alasan-alasan</i> apa saja yang mendasari atau yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum syara‘.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah pasti mempunyai alasan-alasan tertentu dan<span> </span>mengandung <i>hikmah</i> yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut pasti terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Secara lebih tegas lagi dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah baik perintah maupun larangan, di samping bertujuan<span> </span>untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, juga mempunyai alasan-alasan atau latarbelakang tersendiri. Sejalan dengan maksud ini, maka Alyasa Abubakar<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></span></a> menyebutkan bahwa setiap perintah dan larangan pasti mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum) dan tujuannya masing-masing.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Pandangan ini memberikan pengertian bahwa suatu ketentuan hukum itu tidaklah lahir atau ditetapkan begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mendorong keberadaannya itu. Di kalangan Ulama Ushul Fiqh, hal yang disebut terakhir ini dijadikan sebagai dasar pijakan atau landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara‘ tersebut.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong (alasan-alasan logis) dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama ushul berupaya meneliti Nash al-Qur`an dan al-Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang yang mendasarinya (Causal - Connection). Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu<span> </span>teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan <i>‘illat</i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[3]</span></span></span></span></span></a><span> </span>hukum atau <i>Ta‘lîl al-A<u>h</u>kâm</i> </span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-weight: normal;"><span dir="RTL"></span>(</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;">تعليـل الأحـكام</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-weight: normal;">)</span><span dir="LTR"></span><span style="font-weight: normal;"><span dir="LTR"></span>, yaitu teori ke-<i>‘illat</i>-an hukum.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Teori ke-<i>‘illat</i>-an hukum atau <i>‘illat</i> hukum (<i>ta‘lîl al-a<u>h</u>kâm</i>) pada prinsipnya mengkaji<span> </span>dan<span> </span>membicarakan<span> </span>tentang<span> </span>apa<span> </span>yang menjadi <i>‘illat</i> atau <i>manâth al-hukm</i> </span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-weight: normal;"><span dir="RTL"></span>(</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;">مناط الحـكم</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-weight: normal;">)</span><span dir="LTR"></span><span style="font-weight: normal;"><span dir="LTR"></span>, yaitu pautan hukum serta apa pula yang menjadi indikator bahwa <i>‘illat</i> yang dimaksud adalah merupakan alasan yang dijadikan dasar dalam penetapan hukum tersebut.<span> </span>Di samping itu, bagaimana pula prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan dan menetapkan suatu <i>‘illat </i>hukum serta apa-apa saja yang menjadi keriteria atau persyaratan dari suatu <i>‘illat </i>tersebut. Kemudian, pembahasan tentang <i>‘illat</i> hukum ini juga akan melihat eksistensi, fungsi dan hubungannya dengan tujuan pensyari’atan hukum (<i>maqâshid<span> </span>al-syarî‘ah</i>).</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan faktor-faktor pendorong untuk dilakukannya pengkajian tentang <i>‘illat</i>. Artinya, dari sini akan terlihat bagaimana eksistensi dan posisi <i>‘illat</i> yang dipandang sebagai faktor penentu atau alasan yang tidak dapat dipisahkan dari pensyari‘atan hukum syara‘.<span> </span>Bertitik tolak dari sini ulama <span> </span>ushul merumuskan teori <i>‘illat </i>hukum yang dapat dijadikan sebagai alat dalam kegiatan <i>istinbâth al-a<u>h</u>kâm</i> (penggalian dan penetapan hukum). </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Atas dasar kerangka pemikiran ini, maka ulama Ushul Fiqh mendeduksikan suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan hukum akan terpaut dengan <i>ada </i>dan </span><span lang="SV"><span> </span></span><span lang="SV" style="font-weight: normal;">tidak <i>adanya</i> <i>‘illat</i></span><span lang="SV">.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[4]</span></span></span></span></span></a><span style="font-weight: normal;"> </span><span style="font-weight: normal;">Artinya <i>‘illat</i>-lah yang menjadi pautan hukum. Dalam hubungan ini Khallâf</span> <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[5]</span></span></span></span></span></a><span style="font-weight: normal;"> menyebutkan: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;">تـد ور الأحـكام و جـودا وعــد ما مع عللهـا لا مـع حــكـمـهـا" </span><span dir="LTR"></span><span style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;"><span dir="LTR"></span><span> </span>“. </span><span style="font-weight: normal;">Maksudnya bahwa hukum-hukum syara‘ itu dilatarbelakangi<span> </span>oleh ada dan tidak adanya <i>‘illat</i>, bukan oleh hikmahnya.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi, posisi dan fungsi <i>‘illat</i> dalam hubungannya dengan pensyari‘atan atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu <i>‘illat </i>menjadi kata kunci yang sangat menentukan dalam upaya untuk memahami apa yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum syara‘ tersebut.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Akan tetapi, pandangan di atas mengundang suatu pertanyaan, yaitu apakah setiap penetapan hukum oleh Allah terpaut dan tunduk kepada <i>‘illat-</i>nya dan bagaimana hal tersebut dapat dipahami? Ternyata, dalam prakteknya, menimbulkan perdebatan di kalangan ulama kalam yang kemudian diikuti ulama ushul</span>,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[6]</span></span></span></span></span></a><span style="font-weight: normal;"> karena tidak semua ketentuan hukum dapat dipahami dan ditangkap oleh akal manusia apa yang menjadi <i>‘illat </i>pensyari‘atannya. Banyak ketentuan hukum syara‘ tidak dapat dipahami secara rasional apa yang menjadi <i>‘illat</i> penetapannya. </span><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Aspek inilah yang kemudian oleh Ulama Ushul dikategori-kan kepada persoalan – <i>ta‘abbudî</i>.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya setiap ketentuan hukum ada <i>‘illat</i>-nya. Tegasnya setiap perintah dan larangan syara‘ mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum), dan alasan-alasan logis itu sebagian ada yang disebutkan secara jelas dan sebahagian lain diisyaratkan saja, serta ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu.<span> </span>Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini, para ulama Ushul menyatakan bahwa <i>‘illat</i> hukum itu selalu ada, hanya saja sebagian dari <i>‘illat</i> itu tetap saja tidak dapat dijangkau oleh akal atau nalar manusia hingga sekarang, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan ibadah<i>.</i> </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dijangkau <i>‘illat</i>-nya oleh nalar manusia, jumhur ulama ushul mengelompokkannya kepada urusan <i>ta‘abbudî,</i> dan<span> </span>terhadap persoalan yang disebut terakhir ini, mereka -- ulama ushul -- menyebutnya dengan <i>sebab</i>. Artinya antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang melatarbelakangi penetapannya tidak dapat diketahui hubungannya oleh akal secara jelas. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 12pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Sebagai contoh, bahwa di dalam al-Qur`an diperintahkan untuk mengerjakan shalat Zhuhur setelah tergelincirnya mata hari</span><span lang="SV">. </span><span style="font-weight: normal;">Allah berfirman: </span></div><div class="MsoTitle" dir="RTL" style="direction: rtl; line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.85pt; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;">أقــم الـــصلوة لــدلـوك الشـمس. (</span><span lang="AR-EG" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;">الإسراء/١٧:٧٨)</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 110%; margin: 0in 0in 0.25in 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27.35pt;"><i><span style="font-weight: normal;">Dirikanlah shalat (Zhuhur) ketika tergelincir matahari (QS. Al-Isrâ`/17:78)</span></i></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Di sini, hubungan antara perintah mengerjakan shalat Zhuhur dengan tergelincirnya<span> </span>matahari<span> </span>tidak<span> </span>dapat<span> </span>diketahui<span> </span>dan sulit<span> </span>dipahami oleh akal. </span><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Oleh karena itu, hal ini tidaklah<span> </span>dinamai dengan <i>‘illat</i>, tetapi disebut dengan <i>sebab</i>.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[7]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"><span> </span></span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Banyak ketentuan hukum syara‘ yang sulit dan tidak dapat dipahami oleh akal manusia bagaimana hubungan logisnya dengan alasan-alasan yang melatar-belakanginya. Bila berhadapan dengan persoalan seperti ini, maka sebagian ulama ushul mengatakan haruslah dilihat dari segi nilai yang terkandung di dalamnya dan tujuan disyari‘atkannya hukum syara‘.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[8]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"><span> </span></span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Nilai dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan di dalam nash -- baik perintah maupun larangan -- adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi umat manusia baik memberi manfaat bagi manusia maupun menghindarkan mereka dari kemudaratan.<span> </span>Oleh karena itu, yang mendorong penetapan suatu ketentuan hukum syara‘ adalah kemaslahatan itu sendiri. Jadi berdasarkan pandangan yang disebutkan terakhir ini ternyata tujuan hukum dijadikan sebagai <i>‘illat</i> yang melatar-belakangi penetapannya. Tujuan hukum itu di kalangan ulama disebut dengan <span>hikmah</span></span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[9]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;">. Jika demikian halnya, maka penetapan hukum didasarkan kepada <i>hikmah</i>. Artinya, setiap ketentuan hukum syara‘ dibangun atas dasar hikmah dan hikmah itu pula yang menjadi pautan hukum atau <i>‘illat</i>.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 12pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Pandangan ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul<span> </span>antara yang menerima dan yang menolak hikmah dijadikan sebagai <i>‘illat</i> atas penetapan hukum syara‘, karena apa yang disebut dengan hikmah itu pada dasarnya sesuatu yang samar-samar, perkiraan dan anggapan saja yang kepastiannya belum dapat diakui. Dalam hubungan ini, contoh kasus berikut ini dapat dijadikan bahan perbandingan. Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa bagi orang yang sakit dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. </span><span style="font-weight: normal;">Allah berfirman: </span></div><div class="MsoTitle" dir="RTL" style="direction: rtl; line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 2pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR" style="font-weight: normal;"><span> </span></span><span dir="RTL"></span><span lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;"><span dir="RTL"></span>... فمن كان منكم مريضا أو على سـفـر.... (البقرة/٢:١٨٢)<span> </span></span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span lang="AR-EG" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;"></span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 110%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-weight: normal;"><span dir="LTR"></span>… Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan (boleh tidak berpuasa) maka hendaklah ia perhitungkan pada hari-hari yang lainnya… (QS. Al-Baqarah/2:182)</span></i></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 110%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 110%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><br />
</div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Berdasarkan ayat di atas berlaku ketentuan hukum bolehnya orang sakit tidak berpuasa. Namun ketetapan hukum syara‘ dibolehkannya orang sakit tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tidak dapat diketahui secara pasti apa <i>‘illat</i> yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pemikiran berpaling kepada hikmah<i> </i><span> </span>yang dijadikan sebagai <i>‘illat</i> yang mendorong ketetapan hukum syara‘ tersebut, yaitu untuk menghilangkan kesulitan atau apa yang disebut dengan istilah <i>masyaqqat</i>.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Akan tetapi, kesulitan <i>(masyaqqat)</i> yang dijadikan sebagai pendorong dibolehkannya bagi orang sakit tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebetulnya hal yang samar-samar dan tidak pasti. Sebab, ternyata tidak semua orang mempunyai kondisi yang sama; ada yang merasakan kesulitan dan banyak pula orang yang tidak merasakannya. Dengan demikian, adalah tidak tepat menetapkan suatu hukum hanya berdasarkan kepada hikmah yang keberadaannya samar-samar. </span><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Oleh karena itu kalangan jumhur menolak ber-<i>‘illat </i>dengan hikmah semata-mata. Akan tetapi, al-Amidî</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[10]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> menerima</span><span lang="SV"> </span><span lang="SV" style="font-weight: normal;">hikmah sebagai <i>‘illat </i>secara bersyarat, yaitu hikmah itu harus jelas dan jika tidak jelas maka tidak dapat dijadikan sebagai <i>‘illat</i> yang mendasari ketetapan hukum syara‘.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Lebih jauh terlihat pula ada ulama yang tidak membolehkan mengaitkan ketetapan hukum syara‘ kepada <i>‘illat</i> sama sekali, karena hal tersebut menurut mereka berarti menganggap Allah tidak sempurna. Padahal segala sesuatu yang ditetapkan Allah tidak tergantung kepada yang lain; Allah berbuat menurut pilihannya sendiri.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[11]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> Kelompok ini dikenal dengan sebutan <i>nafy<span> </span>al-ta‘lîl </i></span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-weight: normal;"><span dir="RTL"></span>(</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;">نفى الـتعليـل</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-weight: normal;">)</span><span dir="LTR"></span><span lang="SV" style="font-weight: normal;"><span dir="LTR"></span> yaitu golongan<span> </span>yang<span> </span>menolak ke-<i>‘illat-</i>an hukum. Mereka ini terdiri dari sebagian pengikut Asy‘ariyah, sebagian dari filosof </span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[12]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> dan di kalangan ulama ushul antara lain adalah Zhahirîyah</span><span lang="SV">.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 12pt;">[13]</span></b></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Bila dicermati lebih jauh, perbedaan ini tidak saja terjadi dalam melihat apa yang menjadi <i>‘illat</i> dari suatu ketentuan hukum, tetapi juga dalam penyebutan atau penamaan terhadap <i>‘illat</i> tersebut serta prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menetapkannya. Dan juga dalam persyaratan yang digariskan bagi eksistensi <i>‘illat </i>tersebut.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Akibat dari perbedaan tersebut di atas, tampak dengan jelas pengaruh terhadap eksistensi <i>‘illat</i> itu sendiri dan nilai atau warna hukum yang dihasilkan. Dengan kata lain, perbedaan seperti digambarkan di atas membawa pengaruh yang cukup luas dalam penetapan hukum syara‘. Hal ini tidak saja terlihat pada kasus-kasus yang ada nashnya, sebagaimana dicontohkan di atas, tetapi lebih-lebih lagi pada kasus–kasus baru atau masalah-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang setiap saat bermunculan sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Terhadap kasus-kasus yang ada nashnya dan telah ditetapkan ketentuan hukumnya di kalangan ulama juga terdapat perbedaan dalam memahami <i>‘illat-</i>nya. Misalnya kasus yang berkaitan dengan kebolehan musafir melakukan <i>qashar </i>shalat<i>.</i> Tentang <i>qashar</i> shalat ini terdapat dua pandangan yang berbeda dalam penetapan <i>‘illat</i>-nya. Pandangan pertama mengatakan bahwa <i>‘illat </i>bolehnya musafir melakukan <i>qashar</i> shalat tersebut adalah karena adanya kesulitan (<i>masyaqqat)</i>. Artinya, jika tidak ada kesulitan tentu tidak ada keizinan atau dibolehkan melakukan <i>qashar</i> shalat bagi musafir. Sebaliknya, pandangan kedua mengatakan bahwa bolehnya musafir melakukan <i>qashar</i> shalat <i>‘illat</i>-nya bukan “kesulitan”, tetapi <i>safar</i> itu sendiri.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Terhadap kasus ini Alyasa Abubakar</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[14]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> mengatakan bahwa suatu keadaan yang abstrak dan tidak dapat diukur tidak dapat dijadikan <i>‘illat</i>. Oleh karena itu kasus <i>qashar</i> <i>shalat</i> dengan<span> </span><i>‘illat masyaqqah </i><span> </span>(kesulitan) tidak dapat diterima karena akan berbeda pada setiap orang dan relatif tidak ada ukurannya. Apalagi dalam perkembangan dunia modern sekarang ini apa yang disebut <i>masyaqqah </i>itu untuk mengerjakan shalat bagi musafir dalam perjalanan relatif hampir tidak ada lagi.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Jadi, dapat dipahami bahwa kebolehan <i>qashar</i> shalat bagi musafir itu sebetulnya terkait dengan hubungan <i>sebab akibat</i> dan dalam pandangan Alyasa Abubakar,</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[15]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> inilah yang disebut dengan <i>sebab</i>, dan tidak dinamai dengan <i>‘illat</i>.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Demikian juga halnya dengan kasus-kasus baru dan atau masalah-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang banyak ber-<i>‘illat</i> kepada nilai dan tujuan yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum. Contoh kasus tentang ini adalah keputusan Komisi Fatwa MUI pusat tentang hukum memakan dan budidaya kodok.<span> </span>Dalam keputusan tersebut dijelaskan, membudidayakan kodok hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[16]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Terkesan bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI di atas tidak tegas, karena tidak semua ulama menerima keputusan ini, sebab lebih condong mempertimbangkan nilai ekonomi meskipun persoalan kodok ini, jauh sebelumnya telah menjadi perdebatan di kalangan ulama mazhab.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 12pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Mencermati apa yang telah dipaparkan di atas, maka masalah <i>‘illat</i> hukum ini sangat perlu untuk diteliti dan dikaji secara mendalam agar diperoleh gambaran yang lebih jelas terhadap eksistensinya dan fungsinya dalam pembinaan hukum.<span> </span>Kecuali itu, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan ulama, yang mempengaruhi corak pemikiran hukum syara‘ sudah tentu tidak dapat dipisahkan dari perbedaan pemahaman mereka tentang teori <i>‘illat</i> yang berkembang dan penerapannya dalam pembinaan hukum pada setiap kurun waktu.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin: 0in 0in 6pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>B.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="SV">Pembatasan dan perumusan masalah</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Dalam penelitian ini, sengaja membatasi kajiannya pada teori ‘<i>illat</i> hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metodologi penetapan hukum Islam (<i>thar</i></span><i><span style="font-family: Transliterasi; font-weight: normal;">î</span></i><i><span style="font-weight: normal;">qat Istinb</span></i><i><span style="font-family: Transliterasi; font-weight: normal;">â</span></i><i><span style="font-weight: normal;">th al-Ahk</span></i><i><span style="font-family: Transliterasi; font-weight: normal;">â</span></i><i><span style="font-weight: normal;">m</span></i><span style="font-weight: normal;">). <span> </span>Kajian tentang <i>‘illat</i> hukum adalah menyangkut persoalan yang sangat penting, karena ia akan membahas alasan-alasan yang melatarbelakangi lahirnya ketetapan hukum syara’.<span> </span></span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Oleh sebab itu, agar kajian ini lebih fokus, maka yang menjadi permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah apa sebenarnya <i>‘illat</i> hukum itu dan bagaimana fungsi/kedudukannya dalam pembinaan hukum syara’?<span> </span>Dari pertanyaan pokok ini, maka permasalahn pokok dapat dirumuskan sebagai berikut; (1) bagaimana rumusan <i>‘illat</i> dan syarat-syarat<span> </span>yang ditetapkan baginya?; (2) prosedur apa saja yang ditempuh dalam penetapan <i>‘illat</i> tersebut?; (3) apa saja yang dijadikan landasan sebagai sumber penetapan ‘<i>illat?</i>; (4) bagaimana fungsi dan kedudukan ‘illat dalam pembinaan hukum?<i><span> </span><span> </span></i></span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 12pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Permasalahan-permasalahan pokok yang disebutkan ini akan dikembangkan dalam pembahasan berkutnya, antara lain; (a) ‘<i>illat</i> dan kaitannya dengan tujuan hukum (<i>maq</i></span><i><span style="font-family: Transliterasi; font-weight: normal;">â</span></i><i><span style="font-weight: normal;">shid al-syar</span></i><i><span style="font-family: Transliterasi; font-weight: normal;">î</span></i><i><span style="font-weight: normal;">’ah</span></i><span style="font-weight: normal;">), (b) <i>‘illat</i> dan pengembangan hukum Islam serta (c) <i>‘illat</i> dan masalah-masalah kontemporer.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>C.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Tujuan<span> </span>dan Kegunaan Penelitian.<span style="font-weight: normal;"> </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Berpijak<span> </span>dari rumusan dan batasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan yang mendalam tentang eksistensi teori <i>‘illat</i> dan fungsinya dalam pembinaan hukum syara‘ yang meliputi, rumusan <i>‘illat </i>dan syarat-syaratnya, prosedur yang ditempuh dalam penetapannya, landasan yang menjadi pijakan dalam penetapan <i>‘illat</i>, fungsi dan kedudukan <i>‘illat </i>dalam pembinaan hukum syara‘, <i>‘illat </i>dan kaitannya dengan tujuan hukum syara‘ (<i>maqâshid al-syarî‘ah), ‘illat </i>dan pengembangan hukum Islam serta <i>‘illat </i>dan masalah-masalah kontemporer.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 12pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Kemudian dari segi kegunaannya penelitian ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu: </span><i>pertama,</i> <span style="font-weight: normal;">secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah yang berharga bagi pengembangan ilmu hukum Islam, khususnya pada bidang kajian Ilmu Ushul Fiqh. Temuan-temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini nantinya akan dapat memberikan dorongan bagi para peneliti berikutnya untuk melahirkan teori-teori baru dalam rangka pengembangan teori hukum Islam. Lebih-lebih persoalan <i>‘illat </i>hukum ini belum banyak diteliti secara mendalam dalam kaitannya dengan perkembangan hukum syara‘ dan perkembangan zaman. Sedangkan yang </span><i>kedua</i><span style="font-weight: normal;">, secara praktis bahwa hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan sumbangan pemikiran dalam upaya pembinaan hukum syara‘, terutama bagi para ulama dan para Hakim Agama selaku praktisi yang selalu berhadapan dengan berbagai persoalan hukum.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 220%; margin: 0in 0in 6pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>D.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Tinjauan Pustaka.</div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 220%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Sejauh yang dapat penulis telusuri bahwa terdapat beberapa karya baik yang berbentuk buku ataupun hasil penelitian yang telah mengkaji persoalan <i>‘illat</i> hukum ini. Buku tersebut adalah karya Imam al-Ghazâlî (450-505H/1058-1111) yang ditahqiq oleh <u>H</u>ammâd al-Kubaisî dengan berjudul “<i>Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân al-Syabh wa al-Mukhayyal wa Masâlik al-Ta‘lîl</i>”.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[17]</span></span></span></span></a> </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 220%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Kajian yang diuraikan dalam buku ini menjelaskan persoalan <i>‘illat </i>dan <i>qiyâs</i>. Pada bagian muqadimah dari buku ini menjelaskan masalah <i>qiyâs</i> dan pembagiannya, makna <i>‘illat </i>dan <i>dilâlah</i>. Pada bagian berikutnya membahas cara mengetahui sifat <i>‘illat </i>dan langkah-langkah yang ditempuh dalam penetapannya, perbedaan <i>‘illat</i> dengan <i>sabab</i>, penetapan <i>‘illat </i>dengan <i>ijmâ‘, istidhlâl</i> dengan <i>‘illat munâsabah</i> dan pandangan ulama. Pada bagian berikutnya membahas apa saja yang dapat dijadikan <i>‘illat</i>, macam-macam <i>al-munâsabah</i> dan batasannya, serta dalil-dalil penggunaannya, <i>maqaşid al-syarî‘ah</i> dan <i>‘illat.</i> Pada bagian akhir ini buku ini menguraikan penggunaan hikmah sebagai<i> ‘illat</i> hukum.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 3pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Kemudian, Musthafâ Syalabî</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[18]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;">, juga menulis tentang <i>‘illat </i>hukum, dengan judul “<i>Ta‘lil al-A<u>h</u>kâm; ‘Ard wa Ta<u>h</u>lîl Tharîqat al-Ta‘lîl wa Tathawwarâtihâ fî ‘Uşūr al-Ijtihâd wa al-Taqlîd</i>”. Musthafâ Syalabî menguraikan dalam buku ini hal-hal yang meliputi ; <i>‘illat </i>pada masa sebelum penyusunan Ushul Fiqh dan periode Ijtihad. Pembahasan berikutnya menjelaskan cara penunjukkan al-Qur`an dan al-Sunnah tentang peng-<i>‘illat-</i>an hukum, cara sahabat dalam menentukan <i>‘illat,</i> <i>‘illat </i>pada periode penyusunan Ushul Fiqh dan pendekatan dikalangan para ulama tentang <i>‘illat </i>hukum, hakekat <i>‘illat </i>di kalangan ulama Ushul, <i>‘illat </i>dan syarat-syaratnya<i>, </i>dan hikmah, <i>al-munâsabah</i> dan pembagiannya. Musthafâ Syalabî juga membahas persoalan <i>maşlahat</i> dan kaitannya dengan <i>‘illat </i>serta <i>istihsân</i> dengan <i>maşlahat</i>.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 3pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Selanjutnya kajian tentang <i>‘illat </i>berupa hasil penelitian disertasi dan tesis dapat pula dikemukan berikut ini Karya Juhaya S. Praja</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[19]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> misalnya, dalam penelitian disertasinya yang judul “<i>Epistimologi Hukum Islam (Suatu Telaah tentang sumber, ‘illat dan Tujuan Hukum Islam serta Metoda-metoda Kebenarannya Dalam Sistem Hukum Islam Menurut Ibnu Taimiyah”</i>.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 3pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Dalam penelitian ini Juhaya S. Praja membahas <i>‘illat </i>sebagai salah satu sub bab dari Disertasinya dan menempatkannya pada bab Metodelogi Hukum Islam. Pembahasan ini mengungkapkan pandangan Ibnu Taimiyah tentang <span> </span><i>‘illat </i>yang meliputi pengertian <i>‘illat, ‘illat </i>dan tujuan hukum serta cara-cara mengetahui <i>‘illat</i>.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 3pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Hasil penelitian lain adalah juga penelitian disertasi yang ditulis oleh Rafi’i Nazari</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[20]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> yang berjudul “‘Illat dan Dinamika Hukum Islam”.<span> </span>Penelitian ini memang merupakan penelitian yang secara khusus mengkaji persoalan <i>‘illat </i>hukum. Dalam penelitian ini Rafi’i Nazari membahas dan menguraikan <i>‘illat </i>dan syarat-syaratnya. Cara penentuan <i>‘illat</i>, dan landasannya, Peranan <i>‘illat</i> dalam Pembentukan hukum Islam serta<i> ‘illat </i>dan dinamika Hukum Islam. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 3pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Penelitian serupa dapat pula ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yazwardi</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[21]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-weight: normal;"> dengan judul “Konsep <i>‘illat</i> Dalam Qiyas Menurut al-Ghazali”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis yang berupaya mengungkapkan pemikiran Imam al-Ghazâlî tentang <i>‘illat </i>yang meliputi Pengertian <i>‘illat</i>, ruang lingkup metodologi <i>‘illat </i>dan klasifikasinya serta kesalahan dalam metodologi <i>‘illat</i>. Penelitian Yazwardi ini hanya melihat dan mengkaji kedudukan <i>‘illat </i>dalam hubungannya dengan <i>qiyâs</i> menurut pemikiran al-Ghazâlî.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Dari beberapa hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas belum terlihat pembahasan atau kajian yang menjelaskan secara mendalam tentang <i>‘illat </i>dalam kaitannya dengan pembinaan hukum syara‘; terutama yang berhubungan dengan eksistensi <i>‘illat </i>dan pengembangan hukum serta keterkaitannya pula dengan masalah-masalah kontemporer yang terus muncul dari waktu ke waktu. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 12pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Pengkajian <i>‘illat </i>dalam hubungannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran Ushul Fiqh. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, karena belum dibahas secara mendalam oleh peneliti-peneliti terdahulu. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span lang="FI"><span>E.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span lang="FI">Judul Penelitian dan Penjelasan Istilah.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Seperti telah disebutkan di muka bahwa disertasi ini diberi judul “Teori <i>‘illat</i> dan Fungsinya dalam Pembinaan Hukum”. Untuk memahami maksud dari judul disertasi ini, penulis memandang perlu menjelaskan beberapa kata kunci berikut:</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Kata “teori” adalah berkaitan dengan konsep keilmuan. As-Hornby</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn22" name="_ftnref22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[22]</span></span></span></span></span></a><span lang="FI" style="font-weight: normal;"> menyebutkan bahwa teori itu adalah penjelasan tentang prinsip-prinsip ilmu tentang suatu seni atau suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian teori adalah menyangkut prinsip-prinsip dasar dari suatu cabang ilmu pengetahuan.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Selanjutnya kata “<i>‘illat”</i> berasal dari bahasa Arab yaitu </span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-weight: normal;"><span dir="RTL"></span>"</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 210%;">عــلــة</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-weight: normal;">"</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-weight: normal;"><span dir="LTR"></span> </span><span lang="FI" style="font-weight: normal;">yang belum ada padanannya atau menjadi serapan bahasa Indonesia. <i>‘illat</i> dalam konteks kajian Ushul Fiqh, sebagaimana dijelaskan oleh Abd al-Wahâb Khalâf</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn23" name="_ftnref23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[23]</span></span></span></span></span></a><span lang="FI" style="font-weight: normal;"> adalah berarti sesuatu yang menjadi “<i>tambatan</i>” atau <i>pautan</i> hukum”. Secara istilah <i>‘illat </i>diartikan dengan suatu sifat yang berfungsi sebagai dasar pembinaan hukum</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn24" name="_ftnref24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[24]</span></span></span></span></span></a><span style="font-weight: normal;"> <span lang="FI">Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa <i>‘illat </i>sesungguhnya adalah sifat yang dapat dijadikan dasar dan alasan yang melatarbelakangi ditetapkannya hukum syara‘. </span></span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Kemudian kata “Fungsi” yang semula berasal dari bahasa Inggeris disebut dengan <i>function</i></span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn25" name="_ftnref25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[25]</span></span></span></span></span></a><i><span lang="FI" style="font-weight: normal;">, </span></i><span lang="FI" style="font-weight: normal;">yang oleh A.S. Hornby diartikan dengan ”<i>purpose of</i> <i>thing</i>”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn26" name="_ftnref26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="FI" style="font-size: 12pt;">[26]</span></span></span></span></a> yang berarti kegunaan sesuatu. Kata ”fungsi” ini <span> </span>telah diserap menjadi bahasa Indonesia yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan”kegunaan suatu hal”</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn27" name="_ftnref27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[27]</span></span></span></span></span></a><span lang="FI" style="font-weight: normal;">. Dalam konteks judul disertasi ini maksudnya ialah menyangkut tentang kegunaan atau fungsi dari <i>‘illat</i> hukum. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Selanjutnya, kata “Pembinaan” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn28" name="_ftnref28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[28]</span></span></span></span></span></a><span lang="FI" style="font-weight: normal;"> berarti proses, cara membina atau suatu usaha dan tindakan yang dilakukan secara berdaya guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Kemudian kata “hukum” yang dalam konteks ini, maksudnya adalah hukum syara‘. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Menurut Amir Syarifuddin</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn29" name="_ftnref29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-weight: normal;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[29]</span></span></span></span></span></a><span lang="FI" style="font-weight: normal;">, kata hukum dihubungkan dengan Islam atau <i>syara‘</i> (hukum syara‘), maka hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia <i>mukallaf</i> yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”. Oleh karena itu, istilah hukum yang dimaksudkan dari judul disertasi ini adalah “hukum” dalam pengertian yang disebutkan terakhir ini.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-bottom: 12pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Berdasarkan uraian di atas, maka maksud judul disertasi yang telah dirumuskan ini, yaitu <i>“Teori ‘Illat Dan Fungsinya Dalam Pembinaan Hukum”</i> adalah membahas dan mengkaji secara mendalam dan konprehensip tentang konsep <i>‘illat </i>baik yang berkaitan dengan<span> </span>rumusan dan dasar titik tolak perumusannya,syarat-syarat dan prosedur penetapannya, fungsi dan kedudukannya, landasan penetapannya, serta<i> </i>dan kaitannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin: 0in 0in 6pt 17.85pt; text-align: justify; text-indent: -17.85pt;"><span>F.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Metode<span> </span>Penelitian.</div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-weight: normal;"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-weight: normal;">Jenis dan Sumber Data.<span> </span><u><span> </span></u></span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin: 0in 0in 6pt 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-weight: normal;">Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada tela’ah kepustakaan, maka jenis data yang dibutuhkan adalah data<span> </span><i>kualitatif</i> yang sepenuhnya akan diperoleh dari berbagai sumber tertulis<span> </span>yang mengkaji masalah <i>‘illat </i>hukum. Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber <i>primer</i> adalah akan diperoleh dari semua kitab-kitab Ushul Fiqh klasik dari berbagai Mazhab; diantaranya kitab <i>Matn Jam‘i al-Jawâmi‘</i><span> </span>karya ibn al-Subkî, kitab <i>al-Mustaşfâ</i> karya al-Ghazâlî: <i>al-Ib<u>h</u>aj fî Syar<u>h</u> al-Min<u>h</u>aj</i> karya Abd al-Kâfî al-Subkî, kitab <i>Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhayyal wa Masâlik al-Ta‘lîl</i> karya Imam al-Ghazâlî yang ditahqiq oleh <u>H</u>ammâd al-Kubaisî, kitab <i>Irsyâd al-Fu<u>h</u>ûl</i> karya Muhammad al-Syaukanî; kitab <i>al-Burhân</i> karya Imam al-Haramain al-Juwainî; kitab <i>Ghâyat al-Wushûl Syar<u>h</u> Lubb al-Ushul</i> karya Abû Ya<u>h</u>ya Zakariyâ al-Anşârî al-Syâfi‘i dan kitab <i>al-Muwâfaqât fi Uşûl al-Syarâ‘ah</i> karya Abû Is<u>h</u>âq al-Syâtibî. Sementara itu, data sekunder akan diambil dari berbagai buku Ushul Fiqh kontemporer, diantaranya, kitab <i>Ushûl Fiqh </i>karya Syaikh Khudari Beik; kitab <i>‘Ilm Ushûl Fiqh</i> karya Abd al-Wahhâb Khallâf; <i>Ushûl Fiqh al-Islâmî</i> karya Zaky al-Din Sya‘bân; <i>Al-Wâjiz Fî Ushûl al-Fiqh</i> karya Abd al-Karîm Zaidân; <i>Ta‘lîl al-A<u>h</u>kâm</i>, karya Muştafâ Syalabî; Kitab <i>Asr al-Ikhtilâf fî al-Qawâ‘id al-Ushûlîyah fî Ikhtilâf al-Fuqahâ</i>` karya Muştafâ Sâ‘id al-Khin; <i>Ushûl al-Fiqh al-Islâmî</i> karya Wahbah Zuhaili; <i>Ushûl Fiqh</i> karya Amir Syarifuddin dan kitab <i>Ushûl Fiqh</i> karya Mu<u>h</u>ammad Abû Zahrah serta berbagai sumber lainnya yang mendukung penyelesaian penelitian disertasi ini. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-weight: normal;"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-weight: normal;">Pengumpulan</span> <span style="font-weight: normal;">Data.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-weight: normal;">Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka cara yang ditempuh dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan teknik dokumenter dengan melakukan tela’ahan atas berbagai sumber dari berbagai buku teks baik klasik maupun kontemporer. Menurut Hadari Nawawi,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn30" name="_ftnref30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt;">[30]</span></span></span></span></a> teknik dokumenter ini sangat tepat digunakan untuk penelitian kualitatif dan sangat lazim dipakai, terutama yang berhubungan dengan buku-buku teks yang berisi pendapat-pendapat dan teori-teori yang berkembang dalam konteks sosial-historis. Untuk itu, maka teknik dokumenter ini sangat tepat digunakan dalam rangka pengumpulan data untuk meneliti <i>Teori ‘illat dan Fungsinya dalam Pembinaan Hukum Syara‘</i>, karena keseluruhannya terkait dengan berbagai pendapat, pandangan dan teori-teori yang terdapat di dalam berbagai literatur dan buku-buku teks. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-weight: normal;"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-weight: normal;">Analisa</span> <span style="font-weight: normal;">Data</span>.</div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-weight: normal;">Setelah semua data dihimpun, lalu diklasifikasikan dan dikelompokkan berdasarkan kategori masalah, kemudian dianalisa dengan pendekatan <i>content analysis</i></span> <span style="font-weight: normal;">(analisa isi) dan <i>komparatif</i>. Pendekatan <i>content analysis</i> dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah menela’ah dan menganalisa pandangan atau pendapat baik yang menyangkut kerangka <i>epistimologi, ontologi</i> maupun <i>aksiologi</i> dari teori <i>‘illat </i>yang terdapat dalam berbagai sumber yang telah ditulis oleh berbagai tokoh atau pakar Hukum Islam. Kemudian penggunaan pendekatan <i>komparatif</i> adalah karena teori <i>‘illat </i>hukum ini juga terkait dengan berbagai pendapat para pakar Ushul Fiqh -- yang mana antara satu dengan yang lainnya tidak luput dari perbedaan-perbedaan pendapat. Untuk mendapatkan kejelasan dan pemahaman komprehensif, maka membandingkan diantara pemikiran yang berbeda-beda itu adalah sangat tepat dan sangat diperlukan. Lebih-lebih persoalan <i>‘illat </i>hukum ini tidak bisa lepas dari perbedaan pendapat di kalangan Ulama Ushul Fiqh. Selanjutnya,<span> </span>hasil penelitian <span> </span>akan ditulis secara <i>deskriftif<span> </span>kualitatif</i>.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>G.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Sistematika<span> </span>Penulisan.</div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Dalam sistematika penulisan disertasi ini, penulis ingin menggambar-kan pola dan alur pemikiran secara sistematis dengan mengelompokannya kepada bab-bab dan sub-sub bab berdasarkan pokok/rumusan dan batasan masalah. Pengelompokan<span> </span>kepada bab-bab dan sub-sub bab tersebut adalah sebagai berikut:</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;">Bab I, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan persoalan <i>‘illat</i> hukum sebagai latarbelakang pemikiran dengan merumuskan beberapa masalah pokok yang menjadi bahasan utama dalam disertasi ini. Pada bab pendahuluan ini, disamping mengemukakan tujuan penelitian, juga menjelaskan metodologi dan langkah-langkah yang ditempuh serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.</span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Bab II menjelaskan teori-teori pembinaan hukum. Pada bab ini diuraikan berbagai teori yang digunakan oleh para mujtahid dalam rangka pembinaan hukum. Teori-teori tersebut meliputi teori <i>bayânî,</i> <i>qiyâsi</i> dan <i>istishlâ<u>h</u>i</i>. Ketiga teori ini merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya dengan pembinaan hukum. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="FI" style="font-weight: normal;">Bab III berbicara rumusan teori-teori <i>‘illat </i>hukum. Pada bab ini pembicaraan berkisar pada berbagai rumusan <span> </span>dan pengertian <i>‘illat hukum</i> serta perkembangan pemikiran tentang <i>‘illat.</i> </span><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Perbedaan <i>‘illat </i>dan sebab, pembagian <i>‘illat</i> dan syarat-syaratnya. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Bab IV menjelaskan prosedur penetapan <i>‘illat </i>hukum. Pembahasan pada bab ini<span> </span>meliputi langkah-langkah yang ditempuh dalam menetapkan <i>‘illat</i>, landasan penetapan <i>‘illat, </i>eksistensi dan kedudukan <i>‘illat </i>dalam pembinaan hukum.<span> </span></span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Bab V menguraikan <i>‘illat</i> dan relevansinya<i> </i>dalam pembinaan hukum. Pembahasan dalam bab ini meliputi <i>‘illat </i>dan hubungannya dengan <i>maqâshid al-syarî‘ah, ‘illat </i>dan pengembangan hukum Islam serta <i>‘illat </i>hukum dan masalah-masalah kontemporer. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="SV" style="font-weight: normal;">Bab VI adalah merupakan bab penutup yang menggambarkan hasil akhir atau kesimpulan dari penelitian ini dan beberapa saran yang dipandang perlu untuk menjadi perhatian bagi lembaga/institusi yang berwenang. </span></div><div class="MsoTitle" dir="LTR" style="line-height: 210%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><br />
</div><div><br clear="all" /> <hr align="right" size="1" width="33%" /> <div id="ftn1"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></span></a> Secara bahasa, kata <i>istinbâth</i> <span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA"><span dir="RTL"></span>(</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 11pt;">استـنـباط</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">)</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span><span> </span>berarti mengambil air dari sumber mata air. Adapun menurut istilah syara‘, ialah menggali dan menetapkan hukum berdasarkan pengertian yang dipetik dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan. Lihat: Muhammad al-Jurjânî,<span> </span><i>Kitâb al-Ta‘rîfât </i>(Singapore – Jeddah: al-<u>H</u>aramain, t.t), h, 22.</div></div><div id="ftn2"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[2]</span></span></span></span></a> Lihat: Alyasa Abubakar, ”Teori ‘illat dan Penalaran Ta’lili”, dalam Tjun Surjaman (Edit),<span> </span><i>Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek</i> (Bandung: PT. Remaja Rosada Karya, 1991), h, 177.</div></div><div id="ftn3"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[3]</span></span></span></span></a> Kata <i>‘illat (al-‘illat)</i> belum ada padanannya dalan bahasa Indonesia, oleh karena itu, untuk penyebutan selanjutnya dalam tulisan ini akan tetap ditulis atau dibaca dengan sebutan <i>‘illat</i>. Hal ini dimaksudkan agar tidak bergeser dari arti dasarnya. Dalam kajian Ushul Fiqh kata <i>‘illat</i> diartikan dengan sesuatu yang menjadi pautan hukum. Artinya suatu ketetapan hukum dari <i>Syâri‘</i> terpaut dengan <i>‘illat</i> (alasan) yang melatarbelakanginya. Lihat: Abd al-Wahhâb Khallâf, <i>Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî Mâ Lâ Nashkh Fîh</i> (Kuwait: Dâr al-Qolam, 1972), h. 49.</div></div><div id="ftn4"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[4]</span></span></span></span></a> Deduksi tersebut dikalangan ulama ushul dibakukan menjadi kaedah <i>ushûlîyah</i>. Memang diakui bahwa dalam beberapa ketentuan Ushûl Fiqh baik klasik maupun kontemporer redaksinya beragam. Al-Subkî, misalnya menyebutnya dengan istilah <span dir="RTL"></span><span dir="RTL"><span dir="RTL"></span><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 12pt;">ثـبـوت الحكـم بـثــبـوتـه هو كونـه علة</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">"</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> Namun demikian, pada pokoknya terdapat satu kesamaan padanya bahwa hukum terpaut dengan <i>‘illat</i>-nya. Uraian lebih lanjut lihat: Abd al-Kâfî al-Subkî, <i>al-Ib<u>h</u>âj fî Syar<u>h</u> al-Min<u>h</u>âj</i> (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, 1984), h. 71.</div></div><div id="ftn5"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 27pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[5]</span></span></span></span></a> Abd al-Wahhâb Khallâf, <i>Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, </i>h. 50.</div></div><div id="ftn6"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[6]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Perdebatan tersebut melahirkan beberapa pendapat. Asy‘ariyah dan Zhahiriyah mengatakan bahwa tidak boleh<span> </span><i>menta‘lîlkan</i> (mengaitkan) ketetapan hukum <i>syara’</i> dengan <i>‘illat</i>. Sementara golongan Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa <i>‘illat</i> itu merupakan suatu tanda bagi ketentuan hukum. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Mu‘tazilah dan Maturidiyah yang mengatakan bahwa andaikata hukum-hukum Allah tidak di-<i>‘illat</i>-kan (berdasarkan <i>‘illat</i>), tentu<span> </span>perintah Allah sia-sia dan Allah suci atau terbebas dari segala sesuatu yang sia-sia tersebut. Lihat dalam M. Hasbi Ashshidieqi, <i>Filsafat Hukum Islam</i> (Jakarta: Bulan Bintang,<span> </span>1975), h. 181-183.</span></div></div><div id="ftn7"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[7]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Uraian lebih lengkap tentang sebab dan kaitannya ketentuan hukum yang disyari’atkan akan diuraikan pada bab II tulisan ini. Selanjutnya, untuk mengetahui pengertian <i>sebab</i>, lihat: Abd al-Wahhâb Khallâf, <i>‘Ilm Ushûl al-Fiqh </i>(Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmîyah, 1990), h. 67–68</span></div></div><div id="ftn8"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[8]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Abd al-Karîm Zaidân, <i>al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh </i>(Baghdad: al-Dâr al-Arâbîyah li al-Tibâ‘ah, 1977), h. 383</span></div></div><div id="ftn9"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[9]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Lihat: Muhammad Abû Zahrah, <i>Ushûl al-Fiqh </i>(Kairo: Dâr al-Fikr al-Arâbî, 1958), h. 249–250.</span></div></div><div id="ftn10"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[10]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Al-Amûdî, <i>al-I<u>h</u>kâm fî Ushûl al-A<u>h</u>kâm </i>Jil. III (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmîyah, t.t), h. 180-181. Lihat pula: Zakî al-Dîn Sya‘bân, <i>Ushûl al- Fiqh al-Islâmî</i> (Mesir: Dâr al-Ta`lîf, 1965),</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="SV"><span dir="RTL"></span> </span><span lang="SV">h. 133 dan Muhammad al-Syaukanî<i>, Irsyâd al- Fu<u>h</u>ûl Ilâ ta<u>h</u>qîq al-Haqq min Ilm al-Ushûl</i> (Beirut: Dâr al-Fikr<i>, </i>t.t), h. 138.</span></div></div><div id="ftn11"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[11]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Lihat: Muşthafâ Syallâbî, <i>Ta‘lîl al-A<u>h</u>kâm </i>(</span><span lang="SV" style="font-size: 9pt;">Beirut: Dâr al-Nahdhah al-Arâbîyah, 1981</span><span lang="SV">), h. 97.</span></div></div><div id="ftn12"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[12]</span></span></span></span></a><span> <span lang="SV">Mustafa Syalabi, <i>Ta’l</i></span></span><i><span lang="SV" style="font-family: Transliterasi;">î</span></i><i><span lang="SV">l al-Ahk</span></i><i><span lang="SV" style="font-family: Transliterasi;">â</span></i><i><span lang="SV">m.</span></i><span lang="SV"> H. 97.</span></div></div><div id="ftn13"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[13]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Abd al-Karîm Zaidân, <i>al-Wajîz fî Uşûl al-Fiqh, </i>h. 219</span></div></div><div id="ftn14"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[14]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Lihat: Alyasa Abubakar, <i>Hukum Islam di Indonesia, </i>h. 180.</span></div></div><div id="ftn15"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[15]</span></span></span></span></a><span> <span lang="SV">Alyasa Abubakar, <i>Hukum Islam di Indonesia</i>. h. 180.</span></span></div></div><div id="ftn16"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[16]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Keputusan komisi Fatwa MUI ini, secara eksplisit tidak menyebutkan apa yang menjadi <i>‘illat</i>-nya. Akan tetapi dapat dipahami -- baik langsung maupun tidak -- bahwa agaknya <i>‘illat</i>-nya adalah berpegang kepada hikmah atau tujuan hukum, sebab, dalam keputusannya secara tegas disebutkan “… Untuk hanya diambil manfaatnya”. Pernyataan untuk diambil manfaatnya adalah jelas mengandung nilai dan tujuan yang hendak dicapai, yaitu kemaslahatan. Untuk ini, MUI telah menetapkan atau menggunakan <i>‘illat</i> hikmah sebagai dasar penegakan untuk<span> </span>menetapkan hukum<span> </span>masalah kontemporer yaitu budidaya kodok untuk diambil manfaatnya. </span><span lang="FI">Lihat: Majelis Ulama Indonesia, <i>Kumpulan Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia </i>(Jakarta: PT. </span><span lang="SV">Pustaka Panjimas, 1984), h. 178.</span></div></div><div id="ftn17"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[17]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Karya ini diterbitkan: (Baghdad: al-Irsyâd, 1390 H/1971 M).</span></div></div><div id="ftn18"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[18]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Karya Muşthafâ Syallâbî ini semula merupakan karya ilmiyah (disertasi) doktoralnya di Universitas Al-Azhar Kairo tahun 1944 dalam bidang Fiqh dan Uşûl Fiqh. Dicetak pertama kali tahun 1949 atas biaya Universitas Al-Azhar. Kemudian tahun 1981 dicetak kembali oleh penerbit Dâr al-Nahdhah al-Arabîyah li Tibâ‘ah wa al-Nasyr Beirut.</span></div></div><div id="ftn19"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[19]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Disertasi Program Doktoral pada Program Pascasarjana UIN Jakarta tahun 1988.</span></div></div><div id="ftn20"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[20]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Disertasi Program Doktoral pada Program Pascasarjana UIN Jakarta tahun 1991.</span></div></div><div id="ftn21"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[21]</span></span></span></span></a><span lang="SV"> Tesis Program Magister pada Program Pascasarjana UIN Jakarta tahun 1998.</span></div></div><div id="ftn22"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[22]</span></span></span></span></a> Lihat: AS. Hornby, <i>Oxford Advanced Learne’s Dictionary of Current English </i>(London: Oxford University Press, t.t), h. 896.</div></div><div id="ftn23"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref23" name="_ftn23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[23]</span></span></span></span></a> Lihat: Abd al-Wahhâb Khallâf, <i>Maşâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, </i>h. 49</div></div><div id="ftn24"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref24" name="_ftn24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[24]</span></span></span></span></a> Abd al-Wahhâb Khallâf, <i>‘Ilmu Uşûl al-Fiqh, </i>h 60</div></div><div id="ftn25"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref25" name="_ftn25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[25]</span></span></span></span></a> As.Hornby, <i>Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English.</i>(London: Oxford University Press, 1987),<i> </i>h. 350</div></div><div id="ftn26"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref26" name="_ftn26" title=""></a><span> </span><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[26]</span></span></span></span> AS. Hornby, <i>Oxford Advanced Learner’s, </i>h. 350.</div></div><div id="ftn27"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref27" name="_ftn27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[27]</span></span></span></span></a><span lang="FI"> Tim Penyusun, <i>Kamus Besar Bahasa Indonesia </i>(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 245.</span></div></div><div id="ftn28"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref28" name="_ftn28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[28]</span></span></span></span></a><span> <span lang="FI"><span> </span>Tim Penyusun<i>, Kamus Besar Bahasa Indonesia</i>. h. 117.</span></span></div></div><div id="ftn29"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref29" name="_ftn29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[29]</span></span></span></span></a><span lang="FI"> Lihat: Amir Syarifuddin, <i>Ushul Fiqh</i> Jil. I, (Jakarta: Logos, . 1997), h. 5</span></div></div><div id="ftn30"> <div class="MsoFootnoteText" dir="LTR" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref30" name="_ftn30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[30]</span></span></span></span></a><span lang="FI"> Lihat: Hadari Nawawi, <i>Metode Penelitian Bidang Sosial </i>(Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1987), h. 3</span></div></div></div>tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-59352993952145239522010-12-31T19:12:00.000-08:002010-12-31T19:12:05.652-08:00Cara Pengobatan Dengan Al Quran<!--[if !mso]> <style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <o:OfficeDocumentSettings> <o:RelyOnVML/> <o:AllowPNG/> </o:OfficeDocumentSettings> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
table.MsoTableGrid
{mso-style-name:"Table Grid";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
border:solid windowtext 1.0pt;
mso-border-alt:solid windowtext .5pt;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-border-insideh:.5pt solid windowtext;
mso-border-insidev:.5pt solid windowtext;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
text-align:right;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <o:shapedefaults v:ext="edit" spidmax="1027"/> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <o:shapelayout v:ext="edit"> <o:idmap v:ext="edit" data="1"/> </o:shapelayout></xml><![endif]--> <br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-size: 24pt; line-height: 115%;">Cara Pengobatan Dengan Al Quran</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 20pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span>﴿ كيف تعالج مريضك بالرقية الشرعية ﴾</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">]</span><span dir="LTR"></span><span lang="ES-AR" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span dir="LTR"></span><span> </span>Indonesia – Indonesian –</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="ES-AR" style="font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span dir="RTL"></span> </span><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">[ </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 12pt; line-height: 115%;">إندونيسي</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span lang="TR" style="font-size: 16pt;">Abdullah Al-Sadhan</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 16pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span class="divx11"><b><span lang="ES-AR" style="font-size: 16pt;">Terjemah</span></b></span><b><span lang="ES-AR" style="font-size: 16pt;"> </span></b><span class="divx11"><b><span lang="ES-AR" style="font-size: 16pt;">: </span></b></span><span lang="TR" style="font-size: 16pt;">Muzaffar Sahidu</span><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 16pt;"></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span class="divx11"><b><span lang="ES-AR" style="font-size: 16pt;">Editor</span></b></span><b><span lang="ES-AR" style="font-size: 16pt;"> : </span></b><span lang="ES-AR" style="font-size: 16pt;">Eko Haryanto Abu Ziyad</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span lang="ES-AR" style="font-size: 14pt; line-height: 115%;"><span dir="LTR"></span>2009 - 1430</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: maroon; font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 14pt; line-height: 115%;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 14.2pt; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.islamhouse.com/"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;"> </span></a><b><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="color: maroon; font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 16pt;"></span></b></div><div class="MsoNormal" dir="RTL"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span lang="AR-SA" style="color: maroon; font-family: mylotus; font-size: 20pt; line-height: 150%;">﴿ كيف تعالج مريضك بالرقية الشرعية ﴾</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 12pt; line-height: 115%;">« باللغة الإندونيسية »<span class="divx11"><b><span style="color: windowtext; line-height: 115%;"></span></b></span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><span lang="AR-EG" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;"><span> </span>عبد الله </span><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;">بن محمد </span><span lang="AR-EG" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;">السدحان</span><span class="divx11"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: mylotus; font-size: 18pt;"></span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><span class="divx11"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: mylotus; font-size: 18pt;">قدم له:</span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 50%; margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><span class="divx11"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: mylotus; font-size: 14pt; line-height: 50%;">الشيخ: عبد الله المنيع</span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 50%; margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><span class="divx11"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: mylotus; font-size: 14pt; line-height: 50%;">الشيخ: عبد الله الجبرين</span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 50%; margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><span class="divx11"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: mylotus; font-size: 14pt; line-height: 50%;">الشيخ: ناصر العقل</span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 50%; margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><span class="divx11"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: mylotus; font-size: 14pt; line-height: 50%;">الشيخ: محمد الخميس</span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 50%; margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><span class="divx11"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: mylotus; font-size: 14pt; line-height: 50%;">الشيخ: عبد المحسن العبيكان</span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 14.2pt; margin: 7.5pt 0in; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><b><span lang="AR-SA" style="color: #993300; font-family: mylotus; font-size: 16pt;">ترجمة:</span></b><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 16pt;"> مظفر شهيد محصون </span><span lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 16pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><b><span lang="AR-EG" style="color: #993300; font-family: mylotus; font-size: 16pt;">مراجعة:</span></b><span lang="AR-EG" style="font-family: mylotus; font-size: 16pt;"> أبو زياد إيكو هاريانتو</span><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 16pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-size: 14pt; line-height: 115%;"><span dir="LTR"></span>2009 - 1430</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: maroon; font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 14pt; line-height: 115%;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 14.2pt; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.islamhouse.com/"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;"> </span></a><b><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="color: maroon; font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 16pt;"></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span><span> </span></span></b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"> </div><table cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody>
<tr> <td> <div> <div class="MsoNormal" dir="RTL"><span lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 6pt; line-height: 115%;">ا</span><span dir="LTR" style="font-size: 6pt; line-height: 115%;"></span></div></div></td> </tr>
</tbody></table><span lang="AR-SA" style="font-family: "PT Bold Heading"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ</span><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: #943634; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 18pt; line-height: 115%;">KEUTAMAAN AL-QUR'AN DAN MEMBACANYA</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">P e r s e m b a h a n</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kepada setiap orang yang mengarahkan dirinya untuk mencari kebenaran, bertaqwa kepada Allah, dan mengembalikan pemahamannya secara textual pada nash sebagimana yang telah tetapkan oleh para ulama, sebagai orang yang ahli dalam bidang ilmu syara', aqidah dan sebagai spesialisasinya sehingga pemahaman tersebut sesuai dengan standar sayara' yang benar, demi mengantisifasi segala kekurangan dan kerancuan serta melaksanakan perintah <i>Allah Azza Wa Jalla</i>: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَلَـوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُوليِ اْلأَمْـرِ مِنْـهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِـطُوْنَهُ مِنْـهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعـْتُمُ الشَّـيْـطَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan kalau mereka menyerahkan kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)."<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[1]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Kepada setiap orang yang memahami dengan baik apa yang terkandung di dalam buku ini; bukan seperti orang yang dikatakan oleh Al-Taqiyyus Subky rahimahullah dalam kitabnya <i>(Qoidah Fil Jarhi Wat Ta'dil</i>, hal. 93) ia berkata: "Aku melihat banyak orang yang mendengar sebuah perkataan namun memahaminya bukan seperti apa yang dimaksudkan, sehingga merubah isi kitab, maksud pengarang, sebagai orang yang bergelut dan mengamalkan isi kitab tersebut. Padahal, sang penulis tidak menghendaki pemahaman yang disimpulkan oleh sang pendengar tersebut".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Kepada setiap orang yang melandaskan pendapatnya pada dalil lalu meyakini kebenarannya dan bukan sebaliknya, sebab seorang yang bertqlid buta -semoga Allah mengampuni kita dan mereka- terkadang mengingkarimu hanya karena pendapatmu bersebrangan dengan pendapat seorang penimba ilmu yang tidak didasarkan pada dalil. Mereka seperti apa yang diungkapkan oleh Al-Mawardi rahimahullah dalam kitabnya: <i>Adabud Dunia Wad Din</i> hal. 78, dia berkata: "Aku telah melihat contoh orang yang termasuk di dalam kelompok ini; seorang lelaki yang berdebat pada sebuah majlis yang dihadiri oleh khalayak, lawannya telah mengemukakan dalil-dalil yang benar, sebagai jawaban balik terhadap dalil tersebut dia mengatakan: "Sesungguhnya ini adalah penyimpulan hukum yang salah dan kesalahannya adalah karena guru saya tidak menyebutkan masalah tersebut dan sesuatu yang tidak disebutkan oleh guru saya tidak memiliki nilai kebaikan padanya. Akhirnya lawan debatnya diam terheran".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Ibnu Qutaibah rahimhullah berkata di dalam kitabnya, <i>Muqaddimah Ishlahi</i> <i>Galathi Abi Ubaid</i>, hal. 47: "Dahaulu kita memohon maaf karena kebodohan kita, namun sekarang kita memohon maaf karena ilmu yang kita miliki, dahulu kita berterima kasih kepada orang lain karena dia mengingatkan dan menunjuki kita, namun sekarang kita rela dengan sikap diam, keadaan ini bukanlah hal yang aneh saat kondisi telah berubah, dan tidak pula diingkari saat zaman telah berubah. Hanya kepada Allah kita berharap agar diberikan pengganti yang baik dan hanya kepadaNyalah kita mohon pertolongan".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabtnya,,,.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Kata Pengantar</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Abdullah bin Sulaiman Al-Mani'</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kepala Pengadilan Tinggi Bagian Barat Makkah Al-Mukarramah dan Anggota Majlis Ulama Kerajaan Saudi Arabia</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Segala puji bagi Allah, Tuhan yang memlihara manusia, Sembahan manusia, Tuhan yang menguasai subuh, apa yang dikehendakiNya pasti terjadi, dan apapun yang tidak dikehendakiNya pasti tidak akan pernah terjadi, tiada daya dan upaya kecuali dengan kehendakNya, shalawat dan salam kepada Rasul Allah, keluarga dan para shahabatnya, Amma Ba'du:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Aku telah membaca buku ini, yang telah ditulis oleh yang mulia Syekh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Sadhan, yang membahas tentang ruqyah syari'yah dan pengaruhnya, sebagai terapi dari berbagai macam penyakit, terutama penyakit <i>ain<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[2]</span></b></span></span></span></a></i> berdasarkan sabda Rasulullah <i>Shallallahu Alaihi Wa Sallam</i>: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْحَمَةٍ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Tidak ada ruqyah kecuali karena penyakit ain atau (imflikasi sengatan yang) beracun". Saya melihatnya sebagai hasil tulisan yang yang sangat berharga dan bermanfaat, sumbernya adalah kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya <i>Shallallahu Alaihi Wa Sallam</i> serta apa-apa yang dibukakan oleh Allah bagi para hambanya berupa do'a, rintihan pengaduan, permohonan dan ketergantungan hanya kepada Allah; tidak kepada selainNya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tidak meragukan lagi bahwa pembahasan tentang masalah ini sangat penting dan dibutuhkan pada setiap zaman dan tempat, penulisnya adalah seorang yang sudah dikenal kelurusan aqidahnya, kelurusan pemikiran dan ketaqwaannya, semoga Allah memberikan balasan yang baik bagi dirinya, dan menjadikan tulisan ini, ilmu dan upaya pengarang yang hanya mencari keredhaan Allah sebagai usaha yang memberikan manfaat bagi saudara-saudaranya yang seiman, yaitu mereka yang terjengkit penyakit hasad, orang-orang yang bersifat hasad dan orang yang terkena penyakit ain (Ma'yun) serta orang-orang yang menyebarkan penyakit ain (Aa'in).</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sangat disayangkan, sebagian orang berprasangka buruk terhadap saudaranya sendiri, padahal sebagian dari prasangka buruk adalah dosa, dan ini merupakan prasangka buruk yang mendatangkan dosa bagi pelakunya. Mereka berprasangka negatif terhadap aqidah dan pemikiran saudaranya sendiri saat melihat atau mendengar bahwa ia bertanya kepada pasiennya: Apakah ada orang terabayang di dalam benakmu? (saat meruqyah seorang pasien) dan prasangka ini bukan pada tempatnya, padahal saudaranya tersebut sedang mempraktikkan sabda Rasulullah <i>Shallallahu Alaihi Wa Sallam</i> saat beliau meruqyah Sahl bin Hunaif: "Apakah engkau mencuriagai seseorang?". Dia dengan apa yang ditanyakannya sedang melaksanakan dan menjalani sunnah Rasulullah <i>Shallallahu Alaihi Wa Sallam. </i>Dia telah menyebutkan bahwa beberapa pasien saat diruqyahnya dan bertanya kepadanya: Apakah engkau mencurigai seseorang?, Apakah ada orang yang tergambar di dalam benakmu? Apakah engkau melihat sesuatu yang menyakitimu di dalam mimpimu?, dan wawancaranya ini bersama pasien bukanlah tindakan yang mesti menimbulkan keraguan di dalam aqidah dan kebenaran kayakinannya, sebagaimana hal ini juga tidak termasuk praktik paranormal, kebohongan dan perdukunan saat dirinya menampilkan tindakan seakan-akan mengetahui seluk beluk penyakit, sebab-sebab dan obatnya. Saudara yang kita cintai ini sangat jauh dari apa yang dituduhkan tersebut dan tidak termasuk golongan mereka yang sesat.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Allah telah memberikan manfaat dengan ruqyahnya tersebut orang-orang yang telah terserang penyakit jiwa dan pasien yang lainnya, dari mereka yang terjangkit penyakit jasmani, dan Allah memberikan nikmat baginya dengan kesuksesan menjalankan praktik ruqyah, hal ini termasuk karomah dari Allah. Dan semoga sebab keberhasilan ini adalah karena ketaqwaannya kepada Allah, dan harapan hanya untuk mendapakan pahala dan bertaqarrub kepada Allah serta memberikan manfaat bagi saudaranya yang seiman. Dan tidak diragukan lagi bahwa buku ini menyingkap hakekat pemikirannya dan keselamatan dirinya dari apa yang diprasangkakan, juga tidak diragukan lagi bahwa perkaranya seperti apa yang sebutkan oleh Allah: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنَّ بَعْـضَ الظَّـنِّ إِثْـمٌ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[3]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Untuk menyempurnakan manfaat pembahasan buku ini, aku sangat senang mempersembahkan sebuah tulisan yang berhubungan dengan ruqyah syar'iyah agar menjadi bagian dari buku anak kita ini, yang mulia syekh: Muhammad Al-Sadhan, semoga Allah memberikan taufiq dan inayahNya bagi pengarang buku ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ditulis pada tanggal 6/3/1422 H.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Kata Pengantar</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syekh Abdullab bin Abdur Rahman bin Al-Jibrin</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan sebab musabbab, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, Tuhan semua tuhan, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>, dan kepada keluarga dan shahabatnya. Wa Ba'du:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Aku telah membaca risalah yang cukup penting, yang berhubungan dengan ruqyah syar'iyah, dalil-dalil dan metodenya, yang telah disusun oleh salah seorang murid saya syekh Abdullah bin syekh Muhammad bin Abdur Rahman Al-Sadhan, dia termasuk seorang murid yang mengkhususkan dirinya dalam membahas ruqyah dan do'a-do'a yang bersumber dari Rasulullah. Banyak buku-buku serupa yang telah ditulis, semoga Allah memberikan manfaat dengannya, di mana buku-buku tersebut mendapat sambutan yang hangat dari kalangan para pembaca untuk menggali manfaat yang terdapat padanya. Surve membuktikan bahwa bahwa <i>ain </i>(sihir mata) diikuti oleh setan dari jenis jin untuk mempengaruhi obyeknya dengan izin Allah secara <i>kauni qodarii</i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></span></a> berdasarkan sabda Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam: </i></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ حَـقُّ وَلَوْ كَانَ شَيْئُ سَابِـقُ اْلقَـدَرِ سَبَقَتْـهُ الْعَيْنُ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ain itu hak dan seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului qodar, maka mesti didahului oleh ain".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dan telah jelas, bahwa pada dasarnya saat seseorang mengobati seorang pasien maka dia dituntut untuk mengetahui Aa'in, sebab Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> bertanya kepada keluarga pasien (Ma'yun/Maa'in): "Siapakah orang yang kamu curigai", namun jika Aa'in tidak diketahui maka barulah dianjurkan membaca ruqyah, berdasarkan sabda Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَوْ حُمَةٌ </span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Tidak ada ruqyah kecuali karena penyakit ain dan sengatan beracun). Dan sebatas pengetahuan saya, buku ini sangat baik dalam bab yang membahas masalah ini, banyak orang yang memanfaatkannya, di mana dia mengarahkan masyarakat kepada terapi dengan menggunakan Al-Qur'an dan do'a-do'a yang <i>ma'tsur</i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></span></a> serta membentengi diri dari wabah dan penyakit dengan menggunakan zikir kepada Allah dalam semua kondisi, sebagaimana disebutkan oleh Allah Ta'ala tentang hambaNya dalam sebuah firmanNya:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">َألَّذِيْنَ يَذْكُـرُوْنَ اللهَ قِـيَامًا وَقُـعُوْدًا وَعَلىَ جُـنُوْبِهِـمْ </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Orang-orang yang menyebut Allah baik dengan berdiri, duduk dan berbaring".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[7]</span></b></span></span></span></a> </span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Maka dengan berzikir kepada Allah seorang muslim akan selamat dari racun lisan dan fitnah ungkapan:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَلاَ تَكُـوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُـوْا اللهَ فَأَنْسَاهُـمْ أَنْفُسَهُمْ أُوْلئِكَ هُـمُ اْلفَاسِقُوْنَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan janganlah </span></i><span dir="RTL"></span><i><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></i><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq".</span></i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><i><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="LTR"><span dir="RTL"></span><span class="MsoFootnoteReference"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt; line-height: 115%;"><span dir="RTL"></span>[8]</span></span></span></span></i></span></a><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Maka barangsipa yang memuji seseorang yang lalai maka setan akan memanfaatkan kelalaiannya untuk menyakitinya saat dia lupa menyebut nama Allah, Tuhannya. Maka wajib bagi kita untuk membentengi diri dengan berzikir kepada Allah Ta'ala agar kita selamat dari tipu daya setan dan pengikutnya. Kemudian kami tegaskan bahwa metode <i>Ittiham</i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></span></a> tidak membuka pintu permusuhan dan saling benci sebagaimana yang diduga oleh sebagian orang, sebab bahaya penyakit ain terkadang tidak terbayangkan di dalam benak seorang Aa'in, dan bertanya tentang orang yang dicurigai ini dilakukan untuk mengamalkan hadits Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> agar memudahkan seseorang untuk mengambil bekas dirinya baik keringat atau ludahnya atau sesuatu yang pernah dipegangnya seperti alat untuk mencuci sepatu<span> </span>atau pakaiannya atau kedua bekas tangannya sekalipun tanpa sepengetahuan dirinya, lalu bekas tersebut ditumpahkan kepada pasien yang sedang sakit maka dia akan bisa sembuh dan bermanfaat dengan izin Allah Ta'ala sebagaimana yang dibuktikan oleh pengalaman dan diperkuat oleh hadits yang shahih. Oleh karenanya, tindakan ini jangan sampai membuka peluang terjadinya permusuhan dan saling memutus hubungan, maka jadikanlah itu sebagai pengalaman yang bermanfaat dan sebab terjadinya persatuan dan saling mencintai dengan memberikan manfaat yang baik kepada seorang muslim dan menghindarkannya dari kemudharatan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Semoga Allah melindungi dan menjaga kita dari setiap bahaya dan keburukan, berlindung kepadaNya dari kedengkian orang yang dengki dan tipu daya orang yang menipu. Hanya Allah yang mengetahui, shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabatanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ditulis pada tanggal 17/8/1418 H.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Kata Pengantar</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syekh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al-Aql</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dosen Universitas Islam Imam Ibnu Su'ud, jurusan Ushuluddin, bagian Aqidah dan pemikiran moderen.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Wa Ba'du: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Saya telah membaca buku yang berjudul: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 15pt; line-height: 150%;">كَيْفَ تُعَالِجُ مَرَضَكَ بِالرُّقْيَةِ اّلشَرْعِيَّةِ </span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 15pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">karangan syekh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Sadhan, membacanya lebih dari sekali, dan saya menyimpulkannya sebagai buku ilmiyah yang sangat bermanfaat yang menggabungkan antara <span style="color: black;">orisinalitas syara' dan pengalaman yang benar, dan tidak nampak bagiku di dalam kitab tersebut sesuatu yang menyalahi prinsip-prinsip aqidah. Fenomena yang muncul pada akhir-akhir ini tentang <i>takhyil (</i>ilustrasi), di mana saya telah membahasnya dengan syekh Abdullah, maka saya menemukan pemikiran beliau yang benar sesuai dengan syara', alhamdulillah. Dan kita telah sepakat bahwa gambaran apapun yang menghampiri seorang pembca ruqyah (roqi) atau ilustrasi apapun yang tersirat pada benaknya tentang pribadi beberapa orang yang tidak ada di hadapannya, yang dianggap menyebabkan terjadinya mudharat bagi seseorang baik dengan penyakit ain, sihir dan yang lainnya tidak mempunyai dasar secara syara'. Namun jika pasien tersebut mengingat dan menyadari suatu peristiwa, sikap dan kalimat atau yang lainnya, di mana dia bisa menyebutkan seseorang yang dicurigai menyebabkan penyait ain pada keadaan tersebut atau sesuatu yang menyakitinya, maka perbuatan ini mempunyai landasan di dalam syara' seperti yang sebutkan dalam sabda Rasulullah </span><i>shallallahu alaihi wa sallam</i><span style="color: black;">: "Sipakah yang engaku curigai?", atau Allah memuliakan orang yang dikehendakiNya dengan memberikannya karomah tertetentu atau mimpi baik yang memberikan manfaat baginya, maka dia adalah sebagian dari tanda datangnya kabar gembira apabila memenuhi syarat-syarat syar'i.</span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Adapun jika seorang <i>qori/roqi(</i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[10]</span></span></span></span></a><i>)<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[11]</span></b></span></span></span></a></i> memaksakan diri untuk berilustrasi dan menjadikannya sebagai dalil yang<i> qoth'I</i> (pasti) untuk mengetahui aa'in atau orang yang menyebabkan penyakit ain maka perbuatan ini tidak mempunyai dasar syar'I, sebatas yang saya ketahui, bahkan bisa menjadi medan bagi tipu daya jin dan setan. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Inilah yang bisa saya tulis, saya mohon kepada Allah semoga kita semua mendapat taufiq, kebenaran dan petunjukNya. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluaraga dan para shahabatnya. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Ditulis pada tanggal, 20/8/1418 H.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Kata Pengantar</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syekh DR. Muhammad bin Abdur Rohman AL-Khamis</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dosen Universitas Islam Imam Ibnu Su'ud, jurusan Ushuluddin, bagian Aqidah dan pemikiran moderen.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Wa Ba'du:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kepada Saudara: Abdullah Al-Sadhan<span> </span><span> </span>Semoga Allah menjaganya.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Assalamu Alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuhu.</span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Saya<span> </span>telah membaca kitab anda yang berjudul:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">كَيْفَ تُعَالِجُ مَرَضَكَ بِالرُّقْيَةِ اّلشَرْعِيَّةِ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">saya mendapatkannya sebagai sebuah buku yang sangat bermanfaat yang menggabungkan antara adanya pengaruh dan manfaat ruqyah syar'iyah dan berda'wah dengannya, serta antara adanya pengaruh obat medis yang materi dan tidak mengingkari manfaatnya. Buku ini telah berusaha untuk menggabungkan anatara dua proses terapi ini, yang diperkaya dengan <i>atsar-atsar</i> yang menjelaskan masalah ini, dan didukung oleh pengalaman panjang sang penulis (buku ini) di dalam bidang yang bersangkutan, terlebih pada zaman kita sekarang ini, di mana banyak orang yang dijangkiti berbagai penyakit karena meremehkan syari'at Allah dan lalai mengingatNya. Banyak di antara mereka yang tidak menoleh kepada ruqyah syar'iyah dan tidak memberikan perhatian baginya, hanya mencukupkan diri dengan memanfaatkan obat-obatan medis yang bersifat materi semata. Sebagian orang membantah adanya penyakit ain dan pengaruhnya, sehingga tidak menganjurkan mempergunakan ruqyah syar'iyah. Fenomena ini terjadi pada saat penyembhan secara medis tidak mampu menagani banyak penyakit. Oleh karena itulah, saya mendapatkan buku ini terbit pada waktu yang tepat dan sangat bermanfaat di dalam bidangnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Saya mohon kepada Allah semoga Dia berkenan memberikan ganjaran yang baik bagi penulis dan menjadikannya pada timbangan amal kebaikannya pada hari kiamat.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluaraga dan para shahabatnya</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Muqaddimah Cetakan Ke-empat</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Segala puji hanya milik Allah, kami memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan prilaku kami, barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah maka tiada seorangpun yang mampu menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkanNya tiada sorangpun yang mampu memberikannya petunjuk. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Wa ba'du:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Saya telah mengajukan materi yang terdapat di dalam kitab ini kepada beberapa ulama, mereka -dengan rahmat Allah- mendukung metode yang saya dalam buku ini, yaitu <i>Ittiham</i> ( sebuah metode terapi yang berlandaskan pada prasangka terhadap seseorang) dan meruqyahnya dengan niat memberikan petunjuk dan penyembuhan, namun sebagian kecil dari penuntut ilmu tidak puas dengan metode ini, hal ini kembali pada ketidakadaan gambaran di dalam benak mereka tentang masalah ini, dan hukum terhadap sesuatu didasarkan gambaran tentang sesuatu tersebut, atau karena tidak dipraktikkan, karena taqlid atau keinginan untuk membantah, atau alasan ingin bersikaf wara' yang tercela.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Oleh karenanya, seorang yang kuatt agamanya dan bersikap wara' membutuhkan pengetahuan yang banyak tentang kitab, sunnah dan pemahaman yang mendalam tentang agama, sebab jika tidak demikain, sikaf wara' yang menyimpang lebih banyak merusak daripada memberikan manfaat, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan para ahli bid'ah, seperti kelompok Khawarij, Rawafidh dan yang lainnya".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[12]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% white; direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Maka, orang yang membela pendapat yang tidak kuat dengan kedok bersikap wara', sangat tepat baginya hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu bahwa <span style="color: black;">Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> bersabda:</span></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% white; direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">مَنْ نَصَرَ قَوْمَهُ عَلىَ غَيْرِ اْلحَقِّ فَهُوَ كَالْبَعِيْرِ الَّذِي رُدِّي فَهُوَ يُنْزَعُ بِذَنَبِهِ</span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% white; direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Barangsiapa yang membela kaumnya bukan dengan landasan kebenaran, sama seperti onta yang terpeosok, lalu ekornya ditarik (untuk menyelamatkannya)".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[13]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Perbuatan seperti ini bisa membunuh potensi berfikir yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah RasulNya <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>, imam Al-Syaukani berkata: "Sesungguhnya sikap obyektif seseorang tidak akan terbentuk sampai orang tersebut mengambil setiap bidang ilmu dari spesialisnya, siapapun orangnya. Namun jika seseorang menimba ilmu dari yang bukan ahlinya, menguatkan pendapat orang yang berilmu pada suatu bidang yang dia tidak ahli padanya, dan berpaling dari pendapat orang yang ahli pada bidangnya, maka dia akan mengacau dan mencampur adaukkan masalah, juga akan mengemukakan perkataan dan menguatkan pendapat yang jauh dari standar penguasaan, dan dia mesti menemui kenyataan tersebut".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[14]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Seorang penyair berkata:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَسَأْتَ إجَابَةً وَأَسَأْتَ فَهْمًا</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ حُسْنُ فَهْمٍ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.5in; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jika anda tidak memiliki penguasaan yang baik</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1in; text-align: center; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Anda akan buruk saat menjawab dan memahami.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Demi Allah!. Tidak ada seorangpun yang berdiskusi dengan kami dalam masalah <i>ittiham</i> (dalam rangka pengobatan penyakit ain) kecuali mereka membutuhkan metode seperti ini-dengan karunia Allah semata. Semoga Allah membukakan segala kesulitannya! Agar Allah berkenan menampakkan yang hak dengan kalimahNya, sungguh kami telah meninggalkan berdebat dalam masalah ini dan mencukupkan diri dengan sabda Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>, sang penunjuk jalan kebenaran:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ اْلَجنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ اْلِمرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقَّا<span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Saya akan menjamin sebuah rumah di sebuah tempat di surga bagi orang yang meninggalkan berdebat seklipun dia benar".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[15]</span></span></span></span></a>, Aku berpesan kepada orang yang berjalan dengan metode ini: Berjalanlah dengan curahan berkah dari Allah, dan camkanlah perkataan Imam Wahab bin Manbah: (Tinggalkanlah bangga diri dan perdebatan. Sungguh, engaku tidak pernah dikalahkan oleh dua orang: orang yang lebih alim dari kamu, sebab bagimana mungkin anda akan mendebat orang yang lebih alim dari dirimu? Dan orang, di mana anda lebih mengerti dari dirinya, bagaimana mungkin anda akan memusuhi dan mendebat orang di mana anda lebih mengerti dari dirinya, sementara dia tidak memberikan manfaat apapun bagimu".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[16]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Berangkat dari firman Ta'ala:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَئٍ فَرُدُّوْهُ إِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"<i>Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rsaul (sunnahnya)".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[17]</span></b></span></span></span></a>. </i>Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk memahami nash-nash wahyu sebagaimana mestinya dan sesuai dengan metode yang telah ditetapkan oleh syara' yaitu dengan kembali kepada ulama umat ini. Pada mulanya, saya mengajukan kitab ini kepada syeikh Abdullah bin Jibrin semoga Allah memanjangkan umurnya, maka beliau mendukung kami dengan ungkapan yang terukir dengan tinta emas dan memberikan motifasi bagi kami untuk melanjutkan pembahasan-semoga Allah menjadikannya sebagai amal shaleh bagi diri beliau-lalu saya mengajukannya kepada syeikh Abdul Aziz bin Baz-semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau-pada saat beliau masih hidup, saya juga memperoleh dukungan yang penuh dari beliau, kitab ini telah dibacakan kepada beliau oleh yang mulia syeikh Muhammad Musa,- semoga Allah menjaganya- selaku penanggung jawab kantor beliau pada saat itu. Di dalam kitab ini beliau memberikan dua catatan sebagai masukan: Pertama: Masalah meminum bekas aa'in (orang yang menjadi sebab penyakit ain). Syeikh menegaskan bahwa pada dasarnya dalam masalah ini adalah seseorang yang terkena harus mandi (dengan air bekas orang yang menjadi sebab penyakit ain), sebab nash menerangkan hal yang demikian. Lalu saya bertanya: "Apakah ada larangan jika seseorang meminumnya?, sebab realita ini sudah dikenal oleh masyarakat di negeri ini?. Lalu syekh menambahkan: Pada dasarnya hanya dengan mandi saja". Lalu seorang yang hadir berkata:<span> </span>"Demi Allah wahai syekh kami tidak sembuh kecuali dengan meminumnya". Maka syekh tersenyum, lalu saya segera bertanya: "Bagaimana paendaptamu wahai syaekh?" Beliau menjawab dengan satu kata: "Jika demikian maka dia boleh mandi dan meminumnya".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[18]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Masukan yang kedua, tentang tulisan saya di dalam buku ini yang menjelaskan adanya gelombang kekuatan tertentu yang terkandung di dalam ludah, keringat, rambut, kuku dan darah seseorang. Beliau bertanya: Apakah gelombang ini dapat dibuktikan secara ilmiyah?. Aku menjawabnya bahwa gelombang ini adalah kekuatan permanent yang telah pastikan keberadannya di dalam ilmu radiology yang dikaji di Eropa, dan saya sendiri telah meneliti tentang kenyataan ini melalui alat video back. Maka syekh -Semoga Allah mencurahkan rahmat baginya- mengatakan: "Jika ia dipastikan wujudnya secara ilmiyah, maka aku mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah menundukan ilmu pengetahuan untuk membuktikan kebenaran agama ini".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Setelah wafatnya syekh bin Baz<i> rahimahullah</i>, aku mengajukan buku ini kepada guru kami, yang mulia syaekh Muahmmad bin Utsaimin <i>rahimhullah</i> pada masa hidup beliau, dan merupakan kemuliaan bagi saya untuk bisa bertemu dengan beliau dan beberapa penuntut ilmu selama dua bulan, beliau menyetujui dan mendukung penulisan buku ini, beliau menegaskan: "Manfaatkanlah sesuatu apapun yang (dibolehkan)<span> </span>untuk pengobatan".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Terakhir saya mengajukan buku ini kepada yang mulia guru kami Abdullah bin Sulaiman Al-Mani', semoga Allah menjaganya dan menjadikannya bermanfaat bagi umat ini, beliau –alhamdulillah-mengakui kebolehan metode ittiham, sebab fatwa yang diputuskan oleh badan riset<span> </span>ilmiyah dan fatwa kerajaan Saudi Arabia berhubungan dengan larangan terhadap metode penyembuhan secara <i>takhyiil</i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[19]</span></span></span></span></a> (yaitu mengkhayalkan atau menggambarkan tentang rupa orang yang tertuduh menjadi sebab terjadinya penyakit ain. Pen.), sebab metode ini mengandung unsur kerja sama sengan setan. Dan syaekh-semoga Allah menjaganya-teramsuk salah satu anggota yang teragabung di dalam badan fatwa yang terhormat ini, dan beliau pasti telah mengetahui tentang isi fatwa tersebut. Saya sangat tertarik untuk mengetengahkan metode ittiham terhadap aa'in dan kebolehannya secara syara', serta perebedaan antara metode<i> takhyiil</i> yang diharamkan dan metode ittiham yang perbolehkan di dalam hadits, dengan tujuan memutuskan jalan pemikiran orang yang meragukan kebolehannya dan orang yang masih mancari tentang kebolehan secara syara' bagi experiment yang terdapat dalam kitab ini, di mana saya berusaha secara maksimal untuk mengembalikan kitab ini pada dasarnya yang syar'I, segala puji saya ucapkan hanya kepada Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad. </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أُلئِكَ آباَئيِ فَـجِئْنِي بِمِثْلِهِمْ <span> </span>إِذَا جَمَعَتْنَا يَا جَرِيْرُ الْمَجَامِعُ</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Mereka adalah bapak-bapakku, berikanlah aku orang seperti mereka</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Saat kita dipertemukan wahai Jarir, dalam sebuah pertemuan.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Abdullah Al-Sadhan, Ramdhan yang penuh berkah 1/ 9 / 1422 H.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Pendahuluan</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Segala puji bagi Allah yang telah berfirman:</span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada dalam) dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[20]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muahmmad yang telah bersabda:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنَّ اللهَ لَمْ يُنْـزِلْ دَاءً إِلاَّ وَأَنْـزَلَ لَهُ شِـفَاءً عَلِمَهُ مَـنْ عَلِمَهُ وَجَهِلـَهُ مـَنْ جَهِلَهُ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan baginya penawar, diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[21]</span></span></span></span></a> Amma Ba'du:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Di akhir-akhir ini muncul fenomena terafi dengan Al-Qur'anul Karim,<span> </span>tentu ini adalah sebuah fenomena yang bagus. Akan tetapi, hal yang sangat mengherankan dan disayangkan adalah terjunnya orang-orang yang bodoh yaitu orang-orang tidak memiliki ilmu syara' padanya, akhirnya berubah menjadi transaksi yang beroirentasi keuntungan materi dan memakan harta orang dengan cara yang bathil. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat masih sangat respect terhadap pengobatan jasmani semata dan meninggalkan pengobatan secara syar'I. Realita inilah yang mendorong saya untuk menyusun buku yang sederahana ini, yaitu saat saya menyaksikan kebutuhan masayarakat, khususnya para ahli ruqyah untuk merivisi aqidah yang mereka yakini (padahal mereka adalah umat yang bertauhid), dengan menjauhkan mereka dari ketergantungan kepada perbuatan bid'ah, mantra-mantra dan khurofat para pelaku tasauf yang datang dari luar, di samping kelalaian para dokter dengan asfek keimanan dalam mengobati penyakit dan sikap mereka yang meremehkan ruqyah syara' yang benar.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Harus ada batasan-batasan tertentu yang menjadi rambu-rambu, dan harus ada klinik Al-Qur'an untuk menjaga aktifitas ini dari pemanfaatan para dukun dan para pembohong, dibarengi dengan penjelasan tentang hukum-hukum syara' tentang masalah ruqyah ini, yang didasarkan pada dalil-dalil yang benar, Al-Qur'an dan As-Sunnah. Klinik Al-Qur'an ini diupayakan berdampingan dengan klinik-klinik kedokteran jasmani dan pengobatan kejiwaan di berbagai rumah sakit dibawah payung yang remsi. Bersamaan dengan itu, harus dibarengi dengan upaya menyeleksi para pembaca ruqyah yang<span> </span>handal, yang sudah diakui kebaikan akhlaqnya dan kemampuan ilmu syara'nya<span> </span>berdasarkan standar pengawasan yang baku, sehingga dengan aktifitas ini akan terhimpun dua landasan, yaitu landasan penyembuhan, yaitu ruqyah syariyah, dan sebab penyembuhan yaitu upaya-upaya medis. Dan metode inilah yang dikembangkan oleh Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>dalam mengobati suatu penyakit, beliau bersabda:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 15pt; line-height: 150%;">عَلَيْكُمْ بِالشِّفَائَيْنِ الْقُرْآنُ وَالْعَسَلُ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 15pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 15pt; line-height: 150%;">"</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Hendaklah kalian memanfaakan dua pengobatan: Al-Qur'an dan madu".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn22" name="_ftnref22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[22]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Imam Al-Suyuthi berkata: "Dalam sabda ini Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> menggabungkan dua usaha penyembuhan yaitu usaha manusiawi dan penyembuhan ilahiy".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn23" name="_ftnref23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[23]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sebab, biasanya beberapa penyakit disebabkan oleh ain, dan makna <span style="color: black;">hadits Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>: "</span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";">ا</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">َلْعَيْنَ حَقٌّ</span><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>" Ain itu adalah haq adalah sebuah ungkapan (kekaguman, pujian dan lain-lain) tanpa dibarengi menyebut nama Allah (Dia adalah racun lidah), yang dimaksud bukan indra mata. Namun dinamakan dengan nama (ain) sebab matalah yang tahu tentang realita sesuatu, maka pada saat itulah setan-setan yang hadir disekitar dirinya meluncur (bersama ungkapan tersebut) dan berjalan untuk menyakiti obyek (orang yang disifati) dengan izin Allah, dan difinisi syar'I tentang masalah ini-sepengetahuan saya- belum disebutkan oleh para ulama. Oleh karena itulah saya sangat memperhatikan dan memperkuat urgensinya secara syara' dengan meminta bantuan Allah <i>Azza Wa Jalla</i>, kemudaian bantuan guru-guru kami yang secara khusus membidangi aqidah, dan inilah yang terpenting.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn24" name="_ftnref24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[24]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Mulia, Tuhan Arsy yang agung memberikan manfaat dengan tulisan ini setiap orang yang membacanya dan menyebarkannya serta berdo'a bagi pengarangnya: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنْ أُرِيْدُ إِلاَّ اْلإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ</span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn25" name="_ftnref25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[25]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluaraga dan para shahabatnya</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">P A S A L<span> </span>P E R T A M A</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">C A R A<span> </span>P E N G O B A T A N</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sebelum mengobati penyakit apapun, terdapat beberapa langkah dan kaidah-kaidah penting yang harus dimanfaatkan, yaitu:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1-Firasat</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Firman Allah Ta'ala:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنَّ فِي ذلِكَ َلآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِيْنَ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda".</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> QS. Al-Hijr: 75. Pirasat menempati salah satu kedudukan "</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإَِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>" sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitabnya: <i>Madarijus Salikin</i>. Mujahid menafsirkan ayat (</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">لِلْمُتَوَسِّمِيْنَ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>) dengan mengatakan: bagi orang-orang yang berfirasat, Ibnu Abbas <i>radhiallahu anhu</i> berakata: bagi orang-orang yang memperhatikan, Qotadah berkata bagi orang-orang yang mengambil ibrah, dan Muqotil berkata bagi orang-orang yang berfikir.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Firasat adalah menjadikan keadaan yang terlihat untuk menyingkap situasi yang tidak terlihat. Landasan kita dalam masalah ini adalah hadits riwayat Ummu Salamah bahwa Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> melihat seorang wanita di rumahnya, dan pada wajahnya terdapat <i>saf'ah</i>, maka beliau bersabda: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">ا</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 15pt; line-height: 150%;">ِسْتَرْقُوْا لَهَا فَإِنَّ بِهَا </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">النَّظْرَةَ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> "Ruqyahlah dia, sesungguhnya dia ditimpa penyakit yang disebabkan oleh pengelihatan". Kata "<i>Saf'ah</i>" Ibnu Hajar mengatkan di dalam kitab Fathul Bari: Ibrahim Al-Harbi mengatakan: warna kehitam-hitaman yang menyelimuti wajah, Al-Ashma'I mengatakan: warna kemerah-merahan yang diliputi warna hitam, dikatakan juga maknanya adalah warna kekuning-kiningan, Ibnu Qutaibah berkata: sebuah warna (yang menempel pada wajah) yang berbeda dengan warna wajah, semua penafsiran di atas saling berdekatan, jika warna asli wajah adalah merah maka <i>saf'ah </i>berwarna hitam pekat, jika kulit wajah putih maka <i>saf'ah </i>berwarna kuning, dan jika kulit wajah berwarna hitam maka <i>saf'ah </i>berwarna merah yang diliputi warna hitam.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn26" name="_ftnref26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[26]</span></span></span></span></a> Oleh karenanya harus melihat pada perubahan warna wajahnya jika orang yang terkena tersebut seorang lelaki, adapun permpuan maka tidak diperbolehkan untuk melihat pada wajahnya keculai jika orang yang membaca ruqyah tersebut sebagai mahrom bagi perempuan tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>2-Mendiagnosa Jenis Penyakit.</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Tindakan memukul, mencekik, memasukkan zat tertentu ke dalam hidung dan strum listrik pada tahap awal adalah tindakan yang terkadang tidak mendatangkan manfaat, bahkan bisa membawa pada akibat yang fatal baik bagi orang yang membaca ruqyah atau pasien yang diruqyah. Oleh karenanya, bertahap dalam langkah pengobatan dibutuhkan, sebab masuknya jin secara total atau sebagiannya ke dalam kemungkarannya harus dirubah sesuai dengan derajat kemungkaran yang sedang dilakukan. Dan mengawali pengobatan dengan membaca ruqyah kepada pasien, pada dasarnya termasuk proses penyembuhan. Pada saat yang sama, dibarengi mengajak jin yang sedang merasuki tubuh tersebut kepada hidayah. Kalau kita perhatikan keadaan orang-orang sakit karena kesurupan jin dan cara Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dalam mengobatinya maka engkau akan tahu setelahnya hikmah dan pengaruh bacaan tersebut. Di antaranya: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Abbas <i>radhiallahu anhu</i> bahwa seorang wanita datang dengan membawa anaknya dan mengadu kepada Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">: "Wahai Rasulullah! anakku ini mengidap penyakit gila. Terkadang, saat kami makan siang atau makan malam dia tidak sadar dan akhirnya membuat kerusakan", Ibnu Mas'ud melanjutkan: Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> mengusap dadanya dan berdo'a baginya; akhirnya anak tersebut terbatuk-batuk dan keluar dari tenggorokannya sesuatu seperti anak anjing hitam lalu berjalan".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn27" name="_ftnref27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[27]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Ummu Abban binti Al-Wazi', dari bapaknya, dia bercerita: bahwa kakeknya pergi menemui Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dengan seorang anakknya yang mengidap penyakit. Rasulullah berkata kepadanya: "Dekatkanlah dia kepadaku dan jadikanlah punggunggnya menghadapku", Maka beliau mengumpulkan ujung atas dan bawah bajunya lalu memukul punggungnya sambil berkata: "Hinalah kamu wahai musuh Allah", setelahnya, anak tersebut berbalik dan memandang dengan pandangan yang benar. Dalam riwayat Ibnu Majah dari Utsman bin Abil Ash diriwayatkan dengan lafaz: "Keluarlah wahai musuh Allah".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn28" name="_ftnref28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[28]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab <i>Dala'ilun Nubuwah</i> dalam sebuah hadits yang panjang riwayat Usamah bin Zaid berkata: Aku keluar bersama Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji, lalu datanglah seorang wanita di sebuah tempat bernama Bathnir Rauha' sambil membawa seorang anak lelakinya dan mengadu kepada Rasulullah</span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">: Wahai Rasulullah anakku ini tidak pernah sadar sejak aku melahirkannya samapai hari ini", maka Rasulpun mengambil anak tersebut lalu meletakkannya di antara dada beliau dan tunggangan ontanya dan meludah pada mulutnya sambil berkata: "Keluarlah wahai musuh Allah, sesungguhnya saya adalah Rasulullah", kemudian beliau memberikannya kepada ibunya: "Ambillah, dia tidak apa-apa".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn29" name="_ftnref29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[29]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dari Hansy Al-Shan'ani dari Abdulah bin Mas'ud bahwa dia membaca ruqyah pada telinga seorang yang ditimpa penyakit, kemuidan orang tersebut sadar, maka Rasulullah berkata kepadanya: Apa yang engkau baca pada telinganya? "Aku membaca firman Allah Ta'ala: "</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا ,,،</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";">,</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>" <i>Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main…."</i> Beliau membaca dari surat Al-Mu'minun ayat 115-118. Maka Rasulullah menjawab: "Seandainya seorang lelaki yang diberikan taufiq oleh Allah membacanya di hadapan gunung-gunung, niscaya gunung tersebut akan lenyap". Al-Haitsami berkata: dalam sanad hadits tersebut terdapat Ibnu Luhai'ah dan dinyatakan lemah, haditsnya hasan sementara sanad-sanad yang lain shahih.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn30" name="_ftnref30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[30]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keberagaman ini disebabkan adanya keberagaman keadaan dan cara pengobatan, kenyataan inilah yang bisa menjelaskan bagi kita kegagalan beberapa pembaca ruqyah saat menghadapi pasien; mereka berpegang secara monoton pada satu keadaan saja.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>3. Al-Qur'an adalah Penyembuh bagi segala penyakit.</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pada dasarnya, setiap pengobatan harus menggunakan Al-Qur'an, setelahnya barulah menggunakan obat-obatan sekalipun pada penyakit jasmani. Tidak seperti yang diyakini oleh para pembaca ruqyah yang bodoh, bagi orang yang berpenyakit jasmani diharuskan ke rumah sakit, dan orang yang berpenyakit jiwa wajibkan pergi ke rumah sakit jiwa dan jika penyakitnya bersifat rohani, maka pengobatannya dengan menggunakan bacaan ruqyah!!, Dari mankah mereka mendapatkan pembagian seperti ini?. Al-Qur'an adalah penawar dan obat bagi hati, penyehat badan dan penyembuh baginyanya, Allah berfirman</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَنُنَزِّلُ مِنَ اْلقُـرْآنِ مَا هُـوَ شِـفَاءٌ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><i><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span> </span></span></i><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn31" name="_ftnref31" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[31]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Perhatikan ungkapan Al-Qur'an pada kata: </span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span>شِـفَاءٌ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>(yang berariti penawar dalam bahsa Indonesia) dan tidak dengan menggunakan kata </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">دَوَاءٌ</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(yang berarti obat) sebab hasilnya nyata, sementara obat, mungkin dengan sebab obat tersebut orang bisa sembuh atau terkadang tidak mempunyai pengaruh. Ibnul Qyyim dalam kitabnya Zadul Ma'ad mengatakan: Al-Qur'an sebagai penawar total bagi semua penyakit, baik penyakit hati dan penyakit badan, di dunia dan ahkirat. Dan tidak semua orang diberikan kesiapan dan kemudahan untuk sembuh dengan Al-Qur'an, jika orang yang sakit berobat dengan cara yang baik (dengan ruqyah), dan mengobati penyakitnya dengan keyakinan yang mantap, iman yang kuat, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang teguh, dan memenuhi semua syaratnya niscaya penyakit tidak akan mampu menghadapinya, bagaimana mungkin suatu penyakit mampu menghadapi firman Allah, Tuhan langit dan bumi, yang apabila firman tersebut diturunkan kepada gunung-gunung niscaya dia meluluhkannya atau kepada bumi niscaya akan menghancurkannya.<span> </span>Dan tidaklah ada penyakit baik, penyakit hati dan badan kecuali Al-Qur'an telah menunjukkan baginya cara pengobatan dan sebab-sebab penyembuhannya. Orang yang tidak sembuh dengan Al-Qur'an tidak akan disembuhkan oleh Allah, orang yang tidak mencukupkan diri dengan Al-Qur'an, maka dia tidak akan pernah dicukupkan oleh Allah".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn32" name="_ftnref32" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[32]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Oleh karenanya harus diberengi dengan keyakinan dan berbaik sangka kepada Allah: (sebab di antara syarat agar obat bermanfaat bagi seorang yang sakit adalah sikapnya yang menerima obat tersebut dan meyakini manfaatnya bagi kesembuhan dirinya)<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn33" name="_ftnref33" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[33]</span></span></span></span></a> dan firman Allah tidak boleh dijadikan sebagai obyek experiment sebab tindakan ini adalah cermin kerancuan di dalam keyakinan, namun sendainya seseorang mencoba air zam-zam dan hal tersebut bermanfaat bagi kesembuhannya, maka hendaklah diyakini dan dipercayai bahwa manfaat tersebut datang dengan izin Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pembahasan tentang penyambuhan dengan mempergunakan Al-Qur'an untuk penyakit jasmani adalah pembahasan yang panjang, namun demikian saya ingin memberikan beberapa contoh: Terdapat beberapa penyakit baik jasmani atau kejiwaan, di mana setan berperan besar dalam perkembangan penyakit tersebut, hal itu disebabkan karena setan mempunyai kemampuan dalam mengendalikan peredaran darah sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Sesungguhnya setan</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">berjalan dalam diri anak Adam dalam peredaran darahnya".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn34" name="_ftnref34" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[34]</span></span></span></span></a> Di antara hal negatif yang diperankan adalah:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Memunculkan Marah. Marah adalah sebab utama bagi timbulnya berbagai penyakit, oleh karena itulah Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> berpesan kepada seorang yang berkata kepada beliau: "Berikanlah aku wasiat", beliau <span style="color: black;">mengaskan: "Janganlah engkau marah", beliau mengualngi wasiatnya berkali-kali: "Janganlah engkau marah".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn35" name="_ftnref35" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[35]</span></span></span></span></a> Pengaruh marah terahdap badan sangat</span><span style="color: red;"> </span><span style="color: black;">jelas, seperti luk pada lambung (stomach ulcer) yang dibarengi rasa panas dan radang usus besar (nervus spastic colon) adalah akibat marah yang berlebihan. Begitu juga dengan penyakit gula (diabetes) pada sebagian orang adalah akibat rasa cemas yang disebabkan oleh marah. Banyak lagi penyakit dalam yang diakibatkan oleh marah. Di kepala, seperti penyakit rasa pusing, tersendatnya pembuluh darah (thrombosis), tersumbatnya pembuluh darah di dalam otak (cerebral thrombosis), dan lumpuh yang mendadak. Begitu juga penyakit di dalam</span><span style="color: red;"> </span><span style="color: black;">hati, seperti penyakit kejang jantung (angina pectoris) di mana marah memiliki peran yang besar dalam menimbulkan dan memuncaknya penykit tersebut. Dia adalah sebab utama terjadinya semua keburukan. Marah berasal dari setan. Firman Allah <i>Subhanhu</i><i> Wa</i> <i>Ta'ala</i>:<span> </span></span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَاذْكُـرْ عَبْدَ أَيُّوْبَ إِذْنَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika dia menyeru Tuhannya; "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn36" name="_ftnref36" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[36]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> Sampai dikatakan bahwa Ayyub ditimpa dengan seluruh penyakit baik penyakit jasmani dan jiwa. Maka firman Allah yang mengatakan: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ</span><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> yaitu keletihan, penyakit dan kepedihan jiwa, dan smuanya dinisbatkan kepada setan, sebab dialah yang menyebabkannya, sebagai sikap berdab kepada Allah.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn37" name="_ftnref37" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[37]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Dan segala pujiku bagi Allah, ruqyah telah banyak dibaca untuk menanggulangi berbagai penyakit, khususnya penyakit cronis yang mungkin disebabkan oleh ulah setan, seperti penyakit kanker, tersumbatnya pembuluh darah, asma yang berkepanjangan (acut), lumpuh pada seluruh tubuh (quadrplegia), mandul, diabetes, penyakit hati dan lain-lain, dan semua dapat sembuh dengan karunia dan pertolongan Allah. Sama seperti penyakit tidak teraturnya masa menstrubasi pada sebagian wanita, baik terlambat datangnya atau masanya yang melampaui batas tanpa ada sebab yang jelas, maka sebabnya adalah jin, dan Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> pernah ditanya dua kali tentang masalah tersebut, pada jawaban pertma beliau menjawab: "Itu adalah urat darimu"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn38" name="_ftnref38" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[38]</span></span></span></span></a> Pada jawaban yang kedua, pada saat beliau ditanya oleh Hamnah binti Jahsy, dia beratanya: Aku sedang dilanda menstrubasi yang berlebihan, maka beliau menjawab: "Sesungguhnya kejadian itu adalah sebab dari hentakan setan".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn39" name="_ftnref39" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[39]</span></span></span></span></a> Maka setan berusaha untuk menahan sebagian darah lalu darah tersebut keluar kembali setelah berlalunya masa haid agar wanita tersebut tidak shalat dan tidak pula membaca Al-Qur'an!. Atau setan tersebut melukai tempat darah untuk membuat wanita tersebut bingung sehingga tidak bisa membedakan darah tersebut. Akibatnya, dia terhenti shalat. Begitu juga dengan penyakit lumpuh, jin menahan anggoa tubuh yang terkena lumpuh pada sebagian orang yang menderita lumpuh sehingga menghentikan gerakannya, keadaan ini dibarengi dengan rasa: tekanan jiwa, dada sesak dan pusing yang berkelanjutan. Namun jika<span> </span>dibacakan ruqyah pada bagian tersebut dia merasakan kesemutan pada bagian yang ditimpa kelumpuhan, senadainya dia tidak merasakan kesesmutan berarti jin telah meninggalkan tempat tersebut setelah merusak bagian tubuh yang ditempatinya dan bagian tubuh tersebut tetap pada penyakitnya sampai melewati masa yang cukup panjang, keadaan seperti sangat kronis dan membutuhkan kesabaran serta tetap membacakan ruqyah baginya secara berkesinambungan dengan niat agar disemuhkan oleh Allah untuk mengembalikannya pada fungsi yang semula.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Contohnya: penyakit pada alat-alat pencernaan, urat dan tulang, penanggulangannya dengan cara seorang <i>roqi</i> meletakkan tangannya pada bagian yang sakit sambil membaca:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">7x </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَعُوْذُ بِقُدْرَةِ اللهِ وَعِـزَّتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِر))</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"> </span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>))</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">rasa sakit akan hilang dengan izin Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Adapun penyakit jiwa yang ditimbulkan oleh setan adalah:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Schizophrenia. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sebuah penyakit pada otak yang sangat berbahaya, di mana para ahli jiwa mengobatinya dengan tablet atau suntikan, sangat<span> </span>sedikit pasien yang sembuh secara total, dan sungguh Allah telah memberikan manfaat yang sangat besar dengan ruqyah ini bagi mereka yang menderita penyakit seperti ini, di mana mereka kembali sembuh seperti semula.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Hyipochondriasis</span><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">(Was-was, cemas</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dan sedih yang tidak beralasan) adalah suatu penyakit yang terkadang disebabkan oleh jin (karena jin tersebut berusaha memutuskan hubungan hamba dengan penciptanya) dia memulai dari wudhu' lalu melangkah menanmkan keraguan kepada manusia dalam masalah aqidah, adapun penyembuhannya: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertama: Was-was dalam pikiran: Peyambuhannya dengan berzikir kepada Allah dan tidak menghiraukan was-was tersebut, bahkan harus menentangnya, lalu berlindung dari setan sambil meniup ke sebelah kiri, serta menyibukkan dirinya dan pikiran dengan berzikir kepada Allah, berbuat yang bermanfaat, berkumpul bersama teman dan bersilaturrahmi.</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="LTR" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Was-was dalam perasaan</span><span dir="LTR" style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span dir="LTR" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">(Para psikolog menyebutnya dengan obsessive</span><span dir="LTR" style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span dir="LTR" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">compulsive) Penyakit ini lebih berbahaya dari was-was dalam pikiran, di mana seseorang meraskan sakit yang tidak tertentu pada bagian tubuhnya. Penanggulangannya -selain apa yang telah disebutkan sebelumnya-hendaklah</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"> di mengobatinya dengan tindakan yang nyata: Orang tersebut harus banyak beraktifitas menghilangkan keamalasan dengan mengunjungi kerabat, berkumpul bersama teman-teman, silaturrahmi, mandi dengan air yang dingin untuk mengaktifkan peredaran darah, berolah raga, safar, membangkitakan semangat optimisme, senyum di hadapan saudar semuslim dan rela dengan segala qodar Allah atas dirinya. Dia seperti orang yang berjihad di jalan Allah, Allah Subahanahu Wa Ta'ala berfirman </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">atas lisan Ayyub Alaihis Salam: </span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَاذْكُـرْ عَبْدَ أَيُّوْبَ إِذْنَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika dia menyeru Tuhannya; "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn40" name="_ftnref40" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[40]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> Allah tidak mengatkan berzikirlah kepada Allah untuk mengusir setan tersebut, sebab dia adalah was-was yang bersifat real, maka penanggulangannya haris bersifat nyata pula, bahkan Allah menegaskan: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أُرْكُـضْ بِـرِجْلِكَ هذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَـرَابٌ</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>(Allah berfirman): "Hentakanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn41" name="_ftnref41" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[41]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Yang dipandang adalah keumuman mkana yang dikandung oleh suatu lafaz bukan kekhususan sebabnya, seperti yang diungkapakan oleh para ulama ushul fiqh.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Lihatlah kepada Imam Ahmad rahimahullah, sebagaimana yang diceritakan oleh seorang muridanya, Abu Bakr Al-Marwazi: Aku keluar bersama Abi Abdullah …menuju mesjid, pada saat memasuki mesjid maka dia bangkit untuk shalat dua rekaat, dan aku melihatnya mengeluarkan tangannya dari telapak tangannya, yaitu memberi isyarat dengan dua jarinya dan menggerakkan keduanya; pada saat dia menyelesaikan shalatnya, aku bertanya: Wahai Abu Abdullah aku melihatmu memberi isyarat dengan dua jarimu saat engkau sedang shalat? Ia menjawab: Sesungguhnya setan datang menghampiriku dan mengatakan: Engkau belum mencuci kakimu. Aku berkata: Datangkan dua orang saksi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn42" name="_ftnref42" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[42]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Defressi Mental:</span><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Pengobatannya dengan tinggal di dalam mesjid, Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam </span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">bersbada:</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="RTL"></span> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَجُعِلَتْ قُـرَّةُ عَـيْنِي فِي الصَّلاَةِ<span> </span></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Dan dijadikan kesenanganku pada shalat"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn43" name="_ftnref43" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[43]</span></span></span></span></a> Dan Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> jika didatangi oleh perkara yang berat<span style="color: black;">. Jin berusaha agar manusia menyendiri untuk mempermudah mengendalikan dirinya, oleh karena itulah seseorang dilarang menyendiri baik saat tidur, terjaga dan safar. Sehingga apabila setan tidak mampu menggodanya, dia berusaha mengisolirnya secara perasaan, akhirnya dia tidak merasakan keberadaan dirinya di tengah-tengah orang banyak, berfikir yang tidak menentu dan bercerai berai.</span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Berbicara tentang cara menanggulangi penyakit jasanai dan rohani dengan Al-Qur'an adalah pembahasan yang panjang, pembahsan lebih luas harus merujuk pada kitab zadul Ma'ad karangan Ibnul Qoyyim, dan cukuplah (sebagai bukti yang harus) kamu ketahui bagaimana syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengobati penyakit jasmani dengan Al-Qur'an pada saat dia menuliskan sebuah ayat bagi orang yang sedang pendarahan: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَقِيْلَ يَاأَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَاسَـمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيْضَ اْلَماءُ وَقُـضِيَ اْلأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى اْلُجوْدِيِّ وَقِيْلَ بُعْدًا ِللْقُـوْمِ الظَّالِمِيْنَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu dan hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahterapun berlabuh di atas bukit Judi dan dikatakan: Binasalah orang-orang yang zalim."<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn44" name="_ftnref44" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[44]</span></b></span></span></span></a> </span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Lihatlah pada keagungan firman Allah yang bukan semata untuk angin topan, syaikhul Islam mengumpamakan manusia dengan bumi, dan ini pada dasarnya metode Al-Qur'an di dalam penyembuhan.<span> </span>Ambillah kata bumi di dalam Al-Qur'an dan kiaskanlah dia dengan manusia: Dan Penyakit tegang dalam urat dan rematik, bacakanlah firaman Allah <i>Azza Wa Jalla</i> atasnya: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَإِذَا اْلأَرْضُ مُدَّتْ وَأَلْقَتْ مَا فِيْـهَا وَتَخَلَّتْ وَأَذِنَتْ لِرَبِّـهَا وَحُقَّتْ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan apabila bumi diratakan, dan memunathkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada Tuhannya dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia akan mengetahui akibat perbuatannya).<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn45" name="_ftnref45" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[45]</span></b></span></span></span></a>. </span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Dan untuk penyakit dada, firman Allah <i>Azza Wa Jalla</i>: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَلَمْ نَشْـرَحْ لَكَ صَدْرَكَ وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ الَّذِي أَنْقَـضَ ظَهْـرَكَ</span><span dir="LTR" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami telah menghilangkan daripdamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu".</span></i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn46" name="_ftnref46" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[46]</span></span></span></span></span></a><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Dan untuk penyakit dalam firman Allah Ta'ala:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِذَا زُلْزِلَتِ اْلأَرْض زِلْزَالَهَا</span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat)".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn47" name="_ftnref47" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[47]</span></b></span></span></span></a> </span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Begitulah selanjutnya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn48" name="_ftnref48" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[48]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Kesimpulan pembahasan kita di dalam bab ini adalah perintah Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> kepada Aisyah saat beliau masuk kepadanya, sementara seorang wanita sedang mengobatinya, Rasulullah memerintahkan: </span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">عَالِجِيْهَا<span> </span>بِكِتَابِ اللهِ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"><span> </span></span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span><span> </span></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Obatilah dia dengan kitab Allah".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn49" name="_ftnref49" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[49]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Peringatan Penting: Dengan penjelasn ini bukan berarti seseorang meninggalkan pengobatan secara medis!. Seperti pergi ke rumah sakit untuk mendiagnosa jenis penyakit, akan tetapi pengobatan suatu penyakit pada dasarnya menggunakan terapi Al-Qur'an dan do'a-do'a yang warid dari Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam<span style="color: black;">, </span></span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">di tembah dengan pengobatan secara medis, yang dibarengi dengan suatu keyakinan bahwa kesembuhan datangnya dari Allah, maka apabila Allah menurunkan kesembuhan bagi seseorang maka obat tersebut akan bermanfaat bukan sebaliknya. Sebab Allah Ta'ala berfirman:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَإِذَا َمرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِي</span><span dir="LTR" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">" Apabila aku sakit maka Dialah yang menyembuhkan aku"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn50" name="_ftnref50" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[50]</span></b></span></span></span></a>.</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Oleh karenanya, menggunakan obat medis adalah salah satu bentuk terapi, dan Nabi</span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> shallallahu alaihi wa sallam </span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">dalam sebagian haditsnya<i> </i>telah mengisyaratkan<span style="color: black;"> pada tuntunan ini, seperti apa yang disebutkan dalam sebuah hadits: </span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ بَرِئَ بِإِذْنِ اللهِ عَـزَّ وَجَلَّ</span><span dir="LTR" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Setiap penyakit mempunyai obat, maka apabila suatu obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan izin Allah Azza Wa Jalla".</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn51" name="_ftnref51" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="LTR"><span dir="RTL"></span><span class="MsoFootnoteReference"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt; line-height: 115%;"><span dir="RTL"></span>[51]</span></span></span></span></span></a><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Dalam sabda yang lain beliau menegaskan: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنْ كَانَ فِي شَيْئٍ مِنْ أَدْوِيَتِكمْ خَيْرٌ<span> </span>فَفِي شرْطَةِ مِحْجَمٍ<span> </span>أَوْ شُـرْبَةِ عَسَلٍ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Jika pada obat-oabatan ada manfaat yang baik maka hal itu ada pada belahan untuk berbekam atau minum madu".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn52" name="_ftnref52" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[52]</span></span></span></span></a> Maka ucapa Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنْ كَانَ فِي شَيْئٍ مِنْ أَدْوِيَتِكمْ خَيْرٌ</span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">(Jika pada obat-oabtanmu ada manfaat yang baik) maka pengertiannya adalah terkadang<span> </span>suatu obat tidak bermanfaat, sebab dia adalah terapi semata, dan pada dasarnya pengobatan tersebut dilakukan dengan menggunakan ruqyah syar'iyah. Dalam hadits yang lain Nabi</span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">عَلَيْكُمْ بِـهذِهِ الْحَبَّةِ السَّـوْدَاءِ فَإِنَّ فِيْهَا شِفـَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَّ السَّامَ وَالسَّامُ اْلمَوْتُ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Hendaklah kalian mempergunakan habbah sauda' sebab di dalamnya terdapat penawar bagi setiap penyakit kecuali penyakit al-saam, yaitu mati".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn53" name="_ftnref53" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[53]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Dan beliau memerintahkan kepada seorang lelaki yang perutnya terasa bergerak-gerak: "Minumkanlah madu kepadanya".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn54" name="_ftnref54" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[54]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Dari Usamah bin Syarik berkata: Aku berada di sisi Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">, lalu orang-orang badui datang kepadanya dan berakta: Wahai Rasulullah! Apakah kita harus berobat? Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam </span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">menjawab:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 15pt; line-height: 150%;">نَعَمْ عِبَادَ اللهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ اْلَهرَمِ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ya kalian harus berobat, sebab sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali Dia telah mennurunkan baginya obat, kecuali satu yaitu penyakit tua".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn55" name="_ftnref55" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[55]</span></span></span></span></a> Maka ucapan Rasulullah: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">تَدَاوَوْا</span><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> berarti berobatlah atau pakailah obat-obatan, tetapi obat-obatan ini pada dasarna tidak menyembuhkan hanya sebagai sebab semata.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>4. Bacaan secara imijinatif</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Tidak cukup sekedar membaca ruqyah saja, akan tetapi harus mengimijinasikan makana-makna ayat tersebut dan terlarut padanya, dan jika engkau mengiginkan kekuatan pengaruh bacaan ini terhadap jin atau penyakit jasmani, maka hendaklah engkau mengimijinasikan makna yang terkandung di dalam ayat tersebut. Bacaan ini terhadap jin akan berpengaruh<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn56" name="_ftnref56" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[56]</span></span></span></span></a> dan terhadap anggota tubuh akan menyebabkan kesembuhan, lihatlah kepada cara yang diterapkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pada pembahsan yang telah lewat, bagimana dia mengimijinasikan bacaan tersebut dengan imijinasi yang bersifat terapi untuk penyakit pendarahan, di mana beliau menyerupakan bumi dengan manusia, dan pendarahan tersebut ditelan bumi, sumber pendarahan mengering, pendarahan menghilang, dan perkaranya telah diputuskan serta berakhir!. Akhirnya, penyakit tersebut sembuh.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jika engkau ingin agar khusyu' di dalam shalat, dalam membaca Al-Qur'an dan ruqyah maka bacalah sebagaimana para shahabat membaca:<span> </span>Salah seorang di antara mereka menggambarkan adanya surga di samping dirinya, maka dia tersentuh dengan kenikmatan surga tersebut, dan disebelah kirinya tergambar neraka dengan panas apinya yang membakar dan kepedihannya, maka mereka tersentuh dengan pengaruh kepedihannya yang mendorong diri mereka berlindung darinya, juga mengimijinasikan arsy Ar-Rahaman di hadapan mereka dan diri mereka tenggelam padanya, terdengar di dalam diri mereka suara isak tangisan seakan suara air yang mendidih di dalam periuk karena khusyu', hilanglah rasa diri mereka dari dunia ini, seandainya tembok mesjid terjatuh niscaya mereka tidak akan merasakan hal tersebut!. Kita menginginkan imijinasi dan keyakinan yang seperti ini, niscaya semua penyakit kita akan bisa disembuh, dan Al-Qur'an ini jika diturunkan kepada gunung-gunung niscaya akan meluluhkan gunung tersebut, apakah dia tidak cocok untuk tubuh yang hanya terdiri dari gumpalan daging dan darah.</span></div><ol start="5" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="color: black; direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kesembuhan Di Tangan Allah Saja.</span></b></li>
</ol><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Terakadang terapi dilaksanakan secara sempurna seperti membaca ruqyah syar'iyah dan pengobatan secara medis, adanya kesiapan dari pasien untuk menerima pengobatan secara ruqyah dan medis, namun bersamaan dengan hal tersebut sang pasien tidak juga sembuh! Kesembuhan bukanlah hal yang pasti turun. Sebab, setelah melaksanakan terapi tersebut ada kehendak Allah Azz Wa Jalla (sebagai penentu kesembuhan). Hal ini jelas, sama seperti terjadinya gempa pada suatu daerah, dan Allah menghendaki hancurnya suatu gedung yang mengakibatkan korban kematian bagi orang-orang tertentu, sementara yang lain hidup padahal bersama dalam menghadapi bencana yang menimpa orang yang telah meninggal tersebut, begitu juga halnya dengan sesorang yang telah menyempurnakan sebab-sebab yang lazim untuk menyihir orang lain, namun bersamaan dengannya,<span> </span>sihir tidak berpengaruh pada orang yang dimaksud, sebab Allah Ta'ala telah mengaskan:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَمَا هُمْ بِضَارِّيْنَ بِهِ مِنْ أَحَـدٍ إِلاَّ بِإذْنِ اللهِ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn57" name="_ftnref57" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[57]</span></b></span></span></span></a>.</span></i><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Terkadang Allah menghendaki bertahannya suatu penyakit pada seseorang bersamaan dengan sempurnanya tindakan<span> </span>medis yang pernah dijalankan, karena suatu hikmah yang dikehendaki oleh Allah, yaitu agar orang tersebut menyerahkan urusannya kepada Allah, mencuci dosa-dosa, atau suatu ujian baginya karena Allah mencintainya, sebagaimana terjadi pada Nabi Ibrahim <i>Alaihis Salam</i> dan -pada Nabi kita Muhammad </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">-, yaitu saat Nabi Ibrahim <i>Alaihis Salam</i><span style="color: black;"> dicampakkan ke dalam api neraka dan terlempar ke dalamnya, api menyentuhnya dengan kepanasan yang membakar, pada saat tersebut Allah berfirman:</span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">قُلْنَا ياَ نَارُ كُوْنيِ بَرْدًا وََسَلاَمًا عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ<span> </span></span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">"Kami berfirman: Wahai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn58" name="_ftnref58" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[58]</span></b></span></span></span></a>.</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> Maknanya adalah "<i>Kami berfirman: "Wahai api</i>", pada saat Nabi Ibrahim berada di dalam api tersebut. Namun apakah pengaruh Al-Qur'an terhadap seorang yang diuji dengan penyakit tersebut? Yaitu dengan diturunkannya pada dada seorang yang sakit tersebut kehangatan harapan sehat, yakin dengan penuh kesabaran akan janji sembuh yang akan diberikan oleh Allah, sehingga dirinya tenang bersama penyakit yang menimpanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">6-Ain Adalah sebab yang paling banyak menimbulkan berbagai penyakit yang terjadi pada manusia, sementara yang lain adalah penegcualian saja.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Dalil atas ungkapan ini adalah sabda Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:<span> </span></span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span>أَكْثَرُ مَنْ يَمُوْتُ مِنْ أُمَّتِي بَعْدَ قَضَاءِ اللهِ وَقَدَرِهِ بِالْعَيْنِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Sebagian besar orang yang meninggal dari umatku setelah taqdir Allah (kepada mereka), juga disebabkan oleh penyakit ain".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn59" name="_ftnref59" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[59]</span></span></span></span></a></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ تدْخِلُ الرَّجُلَ الْقَبْرَ وَالْجَمَلَ اْلقِدْر</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Penyakit ain bisa menggeret seseorang ke dalam kubur dan memasukkan onta ke dalam panci". <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn60" name="_ftnref60" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[60]</span></span></span></span></span></a><span style="color: black;"></span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Kita menemukan banyak orang yang meninggal dunia karena penyakit dan penderitaan yang bermacam-macam, seperti penyakit menular, kanker, tabrakan dan lain-lain, serta banyak penyakit dan penderitaan yang disebabkan oleh ain setalah qodho' dan qodar Allah Azza Wa Jalla.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Setelah menggunakan firasat dalam usaha menemukan sebab penyakit, seperti yang dijelaskan di atas bahwa adanya <i>As-Suf'ah,</i> yaitu menguningnya kulit wajah dan perbuahan warna yang terjadi padanya. Dengan tanda ini diketahui bahwa sebagian besar orang yang sakit, terjangkiti penyakit ain, yaitu ain jiwa yang kotor dan ain orang yang hasad. Suatu istilah tidak perlu diperdebatkan, sebutlah dengan nama yang engkau kehendaki, dan penjelasannya akan diketengahkan pada pembhasan di bawah ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Banyak roqi yang salah menduga-semoga Allah memberikan mereka petunjuk- dengan menimbulkan kekacauan dan kebencian pada benak pasien dan mengatakan bahwa di dalam dirinya ada sihir putih atau merah, atau jin sedang menguasai dirinya baik pada bagian bawah atau bagian atasnya, sehingga mengakibatkan putus asa dari rahmat Allah, dan menyiksanya dengan memukul atau mencekiknya dan jin menguasai dirinya dengan rasa was-was, hal ini tidak termasuk tuntunan agama, hendaklah mereka yang membaca ruqyah ini bertqwa kepada Allah dan janganlah menjadi penolong setan terhadap saudaranya semuslim.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Adapun sihir, maka dia ada namun tidak seperti tersebarnya penyakit ain, dan sebagian besar datang bersamaan dengan para tenaga kerja yang ke negeri ini, dan kalau diperhatikan, ternyata tempat terbanyak bagi tersebarnya sihir ada di tempat orang-orang Yahudi, dalilnya adalah Lubaid Ibnul A'sham yang telah menyihir Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam, </span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">dan di laut<i> </i>serta sungai<span style="color: black;">, sebab iblis membangun istananya di lautan, dari sanalah dia mengutus para utusannya untuk membuat kerusakan antara manusia.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn61" name="_ftnref61" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[61]</span></span></span></span></a></span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Adapun cinta (kecintaan seorang jin) sangat sedikit, atau menyakiti seseorang karena orang tersebut menyakti jin, keadaan ini ada, terkadang sebabnya adalah saling menyakiti, pengobatnnya dengan membaca ruqyah syar'iyah, namun membutuhkan waktu dan kesabaran agar dia terbebas dari jin tersebut dengan izin Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Inilah beberapa langkah real yang harus dipegang saat akan membaca ruqyah terhadap pasien. Wallahu A'lamu.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">PASAL KEDUA</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">A L – A I N U<span> </span>H A Q</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> bersabda:<span> </span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ حَقٌّ وَيَحْضُرُهَا الشَّيْطَانُ وَحَسَدُ ابْنُ آدَمَ</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"(Penyakit yang ditimbulkan oleh) mata adalah benar adanya, yang dibarengi oleh setan dan sifat dengki anak Adam".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn62" name="_ftnref62" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[62]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Hadits ini mejelaskan bahwa setiap manusia dikelilingi oleh jin dan setan yang siap menjerumuskannya, setiap manusia mungkin bisa terjerumus pada penyakit hasad bahkan hampir setiap individu tidak terlepas darinya kecuali mereka yang dijaga oleh Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syaekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya, Al-Suluk: (Hasad adalah salah satu jenis penyakit jiwa, dan penyakit ini menyebar sampai tidak ada seorangpun yang mampu selamat darinya kecuali sedikit, sehingga ada sebuah ungkapan mengatakan: "Tidak ada satu jasadpun yang terbebas dari penyakit hasad, namun orang berjiwa hina menampakkannya padahal Allah yang Maha Mulia menyembunyikannya". Makna ungkapan: "Orang yang hina menampakkannya" yaitu ungkapan kekaguman seorang dalam menyifati saudaranya semuslim tanpa menyebut nama Allah (seperti masyaallah dan lain-lain). Al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya: Apakah seorang muslim bisa dijangkiti penyakit hasad? Beliau menjawab: "Apakah yang melupakanmu dengan cerita saudara-saudara Yusuf, <span style="color: black;">tidak ada bapak</span><span style="color: #993366;"> </span><span style="color: black;">bagimu (ungkapan bermakna mengecam)</span> rasa bimbang karena kedengkian menggelora di dalam dadamu, dan dia tidak akan memudaratkanmu selama engkau tidak melampiaskanya dengan tindakan tangan dan lisan".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn63" name="_ftnref63" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[63]</span></span></span></span></a> Sebagian ulama salaf mengatakan: "Penyakit hasad adalah maksiat pertama terhadap Allah yang terjadi di langit, yaitu kedengkian iblis terhadap Adam as, dan kemaksiatan pertama terhadap Allah yang terjadi di bumi, yaitu kemaksiatan salah seorang anak Adam terhadap saudaranya sampai ia membunuhanya"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn64" name="_ftnref64" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[64]</span></span></span></span></a>, Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> bersabda:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَكْثَرُ مَنْ يَمُوْتُ مِنْ أُمَّتِي بَعْدَ قَضَاءِ اللهِ وَقَدَرِهِ بِالْعَيْنِ</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Sebagian besar orang yang mati dari umatku selain karena ketentuan qodha' dan qodar Allah juga karena penykait yang disebabkan oleh ain".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn65" name="_ftnref65" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[65]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: Barangsiapa yang merasakan kedengkian di dalam dirinya terhadap orang lain maka hendaklah dia mengobatinya dengan taqwa dan kesabaran, niscaya dia akan membenci sifat tersebut dari dirinya. Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> bersabda: Tiga hal di mana tidak ada seorangpun bisa selamat darinya, yaitu: hasad, buruk sangka dan <i>thiayarah, </i>dan saya akan memberitahukan kepada kalian tindakan yang bisa mengeluarkan kalian dari penyakit tersebut; jika engkau hasad janganlah marah, jika berburuk sangka janganlah wujudkan buruk sangka tersebut, dan jika engkau merasa sial (untuk bepergian) karena keyakinan berupa thiarah maka pergilah". HR. Ibnu Abid Dunia Dalam kitab sunan disebutkan bahwa <span> </span>Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ اْلأُمَـمِ قَبْـلَكُمْ<span> </span>اَلْحَسَـدُ وَاْلبَغْـضَاءُ وَهِـيَ اْلحَالِـقَةُ لاَ أَقُـوْلُ تَحْـلِقُ الشّـَعْرَ وَلكِنْ تَحْـلِقُ الِّدِيْن</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Telah merasuk kepada kalian penyakit umat-umat sebalum kalian, yaitu penyakit dengki dan saling membenci, inilah penyakit yang memotong kalian, akau tidak mengatkan memotong rambut akan tetapi memotong agama". Rasululullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> menamakannya penyakit.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn66" name="_ftnref66" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[66]</span></span></span></span></a></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kita kembali kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah secara marfu':<span> </span><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ حَقٌّ وَيَحْضُرُهَا الشَّيْطَانُ وَحَسَدُ ابْنُ آدَمَ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"(Penyakit yang ditimbulkan oleh) mata adalah benar adanya, yang dibawa oleh setan dan sifat dengki anak Adam".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn67" name="_ftnref67" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[67]</span></span></span></span></a> Ibnu Hajar berkata: (Sebagian orang merasa bingung, mereka bertanya:<span> </span>Bagaimanakah cara kerja ain sehingga bisa memudharatkan orang dari jarak yang jauh?, sudah banyak sekali orang yang tertimpa sakit dan kekuatannya melemah hanya karena pandangan mata, semua itu terjadi karena Allah menciptakan<span> </span>di dalam unsur ruh suatu kekuatan yang bisa memberikan pengaruh, dan<span> </span>karena pengaruh tersebut sangat berkaitan dengan mata maka pengaruh yang ditimbulkannya disebut al-ain (mata), sebenarnya bukan mata yang memberikan pengaruh akan tetapi yang sebenaranya terjadi adalah pengaruh ruh, maka pandangan yang keluar melalui mata seorang (yang hasad atau kagum) adalah panah maknawi yang jika mengenai suatu jasad yang tidak berprisai maka panah tersebut akan mempengaruhi badan dan jika tidak berpengaruh berarti ia tidak mengenai sasarannya akan tetapi kembali kepada pemiliknya, persis sama dengan panah biasa"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn68" name="_ftnref68" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[68]</span></span></span></span></a>. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Oleh karenanya, panah yang keluar dari mata adalah panah berupa ungkapan tentang sifat seseorang, ia adalah racun lisan, buktinya adalah seorang yang buta bisa menimpakan penyakit ain kepada orang lain, dan setan yang selalu mengintai melahap ungkapan lisan yang tidak dibarengi dengan menyebut nama Allah sehingga bisa berpengaruh pada jasad orang yang didengki dengan izin Allah jika jasad tersebut tidak dibentengi (dengan zikir dan wirid).</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kategori Aa'in (Orang Yang Menyebarkan Penyakit Ain)</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Aa'in berjiwa busuk, yaitu orang yang tidak percaya dengan qodho' dan qodar Allah, jiwa yang lemah imannya, jiwanya tidak tenang kecuali dengan hilangnya nikmat dari orang lain, maka orang tersebut mengungkapkan suatu perkataan yang tidak dibarengi dengan menyebut nama Allah atau do'a keberkahan, maka dilahaplah ungkapan tersebut oleh setan yang mengintainya dan siap untuk menyakiti orang mu'min, akhirnya ungkapan tersebut -dengan kehendak Allah dan keberadaan jasad yang tanpa benteng -menjadi sebab kebinasaan, proses inilah yang disebut oleh Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ تدْخِلُ الرَّجُلَ الْقَبْرَ وَالْجَمَلَ اْلقِدْر</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Penyakit ain bisa menggeret seseorang ke dalam kubur dan memasukkan onta ke dalam panci". Rasa dengki seperti ini adalah rasa dengki Yahudi dan orang-orang seperti mereka. (Semoga Allah melindungi kita darinya).</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Aa'in berjiwa baik, namun dalam gelanggang perlombaan<span> </span>seseorang melemparkan suatu ungkapan yang tidak dibarengi dengan zikir kepada Allah, maka setan yang telah siap mengintai melahap ungkapan tersebut lalu berusaha menyakiti sasarannya baik pada jasad dan anggota badannya, atau meyakiti jiwanya dengan menanamkan rasa sesak dan takut yang bergelora di dalam dadanya dan lain-lain. Dia sebatas penyakt ain yang menimbulkan gangguan semata. Dan pengobatan penyakit ini sangat mudah dengan izin Allah. Contoh bagian ini adalah apa yang diriwayatkan dalam hadits yang shahih riwayat Amir bin Rubai'ah<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn69" name="_ftnref69" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[69]</span></span></span></span></a> dan Sahl bin Hunaif, dan hadits tersebut akan kami cantumkan pada pembahasan berikutnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Hendaklah diketahui bahwa setiap orang bagaimanapun tingkat ketaqwaannya bisa memudharatkan saudaranya -seizin Allah-dengan satu syarat: Dia mengungkapkan tentang sifat saudaranya tanpa dibarengi dengan zikir kepada Allah. Perbuatan ini hukumnya haram sebab dia termasuk racun lidah yang dilarang melakukakannya. Ibnu Hajar berkata: Sesungguhnya penyakit ain bisa terjadi karena adanya perasaan kagum seklipun perasaan tersebut tidak dibarengi dengan rasa dengki, walaupun datangnya dari seorang yang mencintai dirinya atau orang yang shaleh. Maka sepantasya bagi seorang yang kagum dengan sesuatu yang terdapat pada diri temannya untuk secepatnya berdo'a bagi keberkahan sesuatu yang dikaguminya tersebut, dan hal itu sebagai ruqyah baginya dari penyakit ain.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn70" name="_ftnref70" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[70]</span></span></span></span></a> </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Adapun cerita tentang Amir bin Rabi'ah dan Sahl bin Hunaif diriwayatkan oleh Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, ia berkata: Bapakku Sahl bin Hunaif mandi di kali al-KHarrar, sebuah sungai di kota Madinah, saat melapas jubah yang dipakainya Amir bin Rabi'ah memandang kepadanya, Sahl adalah seorang yang putih dan berkulit halus, saat memandangnya Amir terkagum: "Aku tidak pernah melihat seperti apa yang aku lihat<span> </span>pada hari ini,<span> </span>dan tidak ada kulit yang tersembunyi (dalam sebuah<span> </span>pakaian), yang seakan kulit gadis (sehalus yang aku lihat), akhirnya Sahl mengidap panas yang tinggi pada badannya, maka Rasulullahpun diberitahukan tentang panas yang menimpanya, dikatakan kepada beliau: "Dia tidak bisa mengangkat kepalanya", Rasulullahpun berkata: Apakah kalian mencurigai seseorang?, mereka manjawab: "Amir bin Rabi'ah". Maka Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memanggilnya sambil marah dan berkata kepadanya: "Dengan apakah seseorang membunuh saudaranya?", Tidakah engkau berdo'a agar diberikan berkah baginya?, mandilah untuknya!". Maka Amir bin Rabi'ahpun mandi untuknya, dia mencuci wajahnya, kedua tangan, siku, lutut, ujung kaki dan bagian dalam sarungnya sambil (mengumpulkan bekas air mandi tersebut) dalam sebuah bejana lalu ditumpahkan kepada Sahl dari arah belakangya,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn71" name="_ftnref71" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[71]</span></span></span></span></a> akhirnya dia sembuh pada saat itu juga)).<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn72" name="_ftnref72" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[72]</span></span></span></span></a> Dalam riwayat yang lain disebutkan:<span> </span>((Dan aku menyangka dia berkata: Maka Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memerintahkan kepadanya, lalu dia mengambil beberapa teguk air untuk diminumnya)).<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn73" name="_ftnref73" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[73]</span></span></span></span></a> Dalam sebuah riwayat disebutkan: ((Amir bin Rabi'ah berkata: Aku memandang kepada Sahl, lalu menimpakan penyakit ain kepadanya, dan aku mendengar gelmbung air, maka aku datang dan memanggilnya namun<span> </span>tidak menjawabku, lalu saya pergi menemui Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dan memberitahukan kepada beliau apa yang terjadi, maka beliau bergegas pergi dan mencebur ke dalam air sampai sekan diriku melihat pada kedua betisnya yang putih, lalu beliau memukul dada Sahl sambil berkata: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">اَللّهُمَّ أَذْهِبْ عَنْهُ حَرَّهَا وَبرَْدَهَا وَوَصَبَهَا</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ya Allah jauhkanlah dirinya dari kepanasannya, kedinginannya dan keletihannya". Kemudian, barulah dia sadar. Lalu Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda: Barangsiapa di antara kalian yang melihat dari dirinya, hartanya, atau saudaranya sesuatu yang disenanginya maka hendaklah dia berdo'a agar diberikan berkah padanya, sebab ain itu benar-benar ada".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn74" name="_ftnref74" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[74]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ibnul Qoyyib berkata di dalam kitabnya, Zadul Ma'ad: Sesungguhnya lekuk-lekuk persendian, ujung anggota badan bagian belakang dan bagian dalam sarung adalah tempat yang istimewa bagai jiwa-jiwa setan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn75" name="_ftnref75" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[75]</span></span></span></span></a> Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dengan sanad yang hasan bahwa Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> berlindung dari kejahatan jin dan mata manusia.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn76" name="_ftnref76" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[76]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kesimpulan yang dapat diambil dari hadist ini adalah:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertama: Pada saat Amir mensifati Sahl, sementara dia tidak menyebut nama Allah dan berdo'a agar diberikan keberkahan, pada saat itulah setan melesat dari Amir dengan penuh rasa kagum terhadap sifat yang telah disebutkan tadi, lalu menimpakan penykait kepada Sahl, maka para shahabat segera bergegas menuju Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dan memberitahukan kejadian tersebut. Lalu pertanyaan pertama yang ditanayakan Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> kepada mereka adalah: Apaka kalian mencurigai seseorang?. Pertanyaan ini akan diikuti oleh pertanyaan lainnya dan harus diterima oleh seorang yang sedang ditimpa penyakit ain, yaitu:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1-Adakah kalian curiga terhadap seseorang yang menyebutkan ciri-ciri dirimu dengan suatu sifat tertentu?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2-Apakah seseorang memberithukan kepadamu bahwa ada orang lain yang menyebutkan ciri-ciri dirimu?.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">3-Apakah engkau bermimpi melihat seseorang yang menyakitimu secara terus menerus?.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">4-Apakah engkau pernah bermimpi melihat hewan, seperti anjing, onta, kucing, monyet, ular, kalajengking dan kumbang yang menyerangmu?<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn77" name="_ftnref77" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[77]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jika jawaban atas pertanyaan yang pertama adalah "Ya", maka diharuskan untuk mengambil bekas orang yang mensifati tersebut, baik liur atau keringatnya lalu dicampur dengan air, kemudian dituangkan satu kali pada kepala orang yang terjangkiti penyakit ain tersebut, dan air tersebut juga diminum jika penyakit ainnya menimpa perut, namaun mengumpulkan dua cara pengobatan tersebut lebih baik.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jika jawaban atas pertanyaan yang keempat adalah "Ya", maka hendaklah sesorang berindak seperti apa yang disebutkan di dalam sebuah hadits Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent";"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">لِلرُّؤْيَا كُنًى وَأَسْمَاءٌ فَكُنُّوْها وَاعْتَبِرُوْها بِأَسْمَاِئهَا<span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 18pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Mimpi itu menyimpan makna kuniyah dan nama-nama maka berikanlah kuniyah kepada mimpimu tersebut dan bayangkanlah nama-nama tersebut".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn78" name="_ftnref78" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[78]</span></span></span></span></a> Oleh karenanya, kita harus bertanya kepada orang yang sedang sakit ini, apakah hubungan hewan tersebut dengan keluarga, teman dan tetanggamu, atau kita bertanya kepadanya: Di manakah engkau melihat hewan tersebut?, dan akan tergambar di dalam benaknya sekelompok orang; hendaklah dia mengambil bekas orang-orang tersebut dengan tetap berbaik sangka kepada mereka, sebab seorang yang selalu berzikir kepada Allah secara terus menerus sebenarnya sedang menyakiti setan yang merasuki dirinya melalui<span> </span>kata-kata tersebut dengan zikir yang selalu diucapkannya. Oleh karena itulah, orang tersebut akan bermimpi melihat orang yang menyebabkan penyakit ain baginya atau hewan yang mengisyaratkan tentang orang yang menyebarkan penyakit ain, sehingga dia melepas dirinya dari keadaan yang menimpanya, sekan setan (berwujud hewan) tersebut berkata: inilah orang yang menyebarkan penyakit ain itu, ambillah bekasnya dan bebaskanlah aku dari siksa ini; sebab Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda: </span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُنْصِي -وَفِي رِوَايَةٍ لَيُضْنِي- شَيْطَانَهُ كَمَا يُنْصِي أَحَدُكُمْ بَعِيْرَهُ فِي السَّفَرِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Sesungguhnya seseorang di antara kalian akan membuat letih setannya sebagaimana dia membuat letih bagi ontanya di dalam perjalanan".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn79" name="_ftnref79" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[79]</span></span></span></span></a> Yaitu membuatnya letih dengan banyak berzikir.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kedua: Berdo'a agar diberikan keberkahan saat mengungkapakan tentang sesuatu (yang dilihatnya secara lisan) dan berzikir kepada Allah akan mencegah masuknya jin kepada <i>ma'yuun</i> (orang yang menjadi obyek penyakit ain tersebut). Dan sabda Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> yang mengatakan: </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Tidakah engkau berdo'a agar diberikan berkah baginya?. Mengandung makna di atas. Dan Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">سِتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ قَوْلُ بِسْمِ اللهِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Pemisah antara mata jin dan aurat bani Adam adalah ucapan:</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span>بِسْمِ اللهِ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn80" name="_ftnref80" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[80]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ketiga: Perintah Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> kepada Amir untuk mandi. Ibnul Qoyyim berkata: "Lekuk-lekuk tubuh dan ujung badan mempunyai arti penting bagi setan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn81" name="_ftnref81" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[81]</span></span></span></span></a> Artinya manusia mempunyai bau yang khusus bagi dirinya, di mana setiap indifidu tidak mempunyai bau yang sama dengan yang lainnya, hal ini sangat diketahui oleh anjing pelacak dan setan yang keluar dari <i>aa'in</i>. Maka pada saat seseroang <i>aa'in</i> diambil bekas dirinya, keringat atau ludahnya lalu dipergunakan untuk mandi atau minum, maka jika penyakit ain itu menyakti perutnya, maka setan akan menjauh darinya sebab dia sedang terikat dengan kata-kata (tentang sifat tubuh) yang dikaguminya, maka <i>aa'in</i> seakan menguasai setan yang masuk itu setelah masuknya keringat tersebut ke dalam tubuh <i>ma'yun</i> ini, maka saat itulah setannya akan terlepas darinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keempat: "</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">صُبَّ عَلَيْهِ مِنْ وَرَائِهِ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>" yaitu dari belakang bagian tubuh yang dilihat oleh Aa'in. Sebab setan yang meluncur karena kata-kata yang dilontarkannya,<span> </span>yaitu putihnya kulit, tersebar di seluruh tubuhnya, maka dia harus diguyur dengan air agar air tersebut bisa membasahi seluruh tubuhnya yang telah dikuasai oleh penyakit ain, seandainya seorang yang terkena penyakit ain karena banyak makannya sehingga menimbulakan ras sakit di dalam tubuhnya, maka bekas<i> aa'in</i> tersebut baik ludah dan keringat harus sampai ke dalam perutnya, sebab penyakit tersebut ada di dalam perutnya, dan begitu juga kasus yang lainnya, sehingga orang ini tidak perlu mandi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn82" name="_ftnref82" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[82]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; text-indent: 34.35pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Point penting. Telah terbukti secara ilmiyah bahwa ludah, keringat, rambut, kuku dan darah mengirim gelombng tertentu dari badan pemiliknya seklipun anggota badan ini telah berpisah dari tubuh, oleh karena itulah, seorang penyihir biasanya mempergunakan kuku dan rambut dalam proses penyihiran karena adanya gelombang (yang terdapat di dalam bagian tubuh tersebut) yang dimanfaatkan oleh jin sehingga menjdikan obyek sihir tersebut menderita.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kelima:<span> </span>Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memukul dada Sahl radhiallahu anhu seraya berkata</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">:<span> </span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">َللّهُمَّ أَذْهِبْ عَنْهُ حَرَّهَا وَبرَْدَهَا وَوَصَبَهَا</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ya Allah jauhkanlah dirinya dari kepanasannya, kedinginannya dan keletihannya". </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Hal ini menunjukkan secara yakin bahwa ain diikuti oleh setan </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">sehingga menyebabkan orang yang terkena penyakit ain ini menderita pada bagian tubuhnya dan membuat dadanya merasa sempit –karena tekanan yang dilakukan oleh setan-, dan di antara tanda masuknya setan di dalam dirinya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, yaitu punggung yang panas, ujung tubuh yang dingin dan keletihan pada seluruh bagian tubuh, ditambah dengan perasaan sempit yang terwujud dalam bentuk keinginan untuk sering muntah, menguap dan cepat marah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jika tidak mencurigai seseorang maka berulah ditanggulangi dengan membacakan ruqyah kepadanya, namun sebelumnya harus mengingatkan orang yang sakit tersebut dengan beberapa perkara dan akan disebutkan pada halaman berikut ini ini…</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Bagaimanakah cara mengetahui bahwa seseorang terkena penyakit ain?</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Di antara tanda bahwa seseorang terkena penyakit ain adalah kepala pusing, wajah yang menguning, banyak berkeringat, banyak kencing, sering ingin muntah dan menguap, sedikit tidur atau banyak tidur, tidak mempunyai nafsu makan, basah pada kedua tangan dan kaki yang disertai dengan kesemutan, hati bergetar, perasaan takut yang tidak normal, marah dan temperamental yang berlebihan, sedih dan sempit di dalam dada, terasa nyeri pada bagian bawah punggung dan antara dua pundak serta tidak bisa tidur pada waktu malam. Tanda-tanda ini terkadang ada baik semuanya atau sebagiannya, tergantung pada kekuatan ain tersebut dan banyaknya orang yang menyebabkan penyakit ain, sebagaimana tanda-tanda ini juga terdapat pada orang yang tidak terkena penyakit ain atau karena orang tersebut dijangkiti penyakit pada anggota badannya atau jiwanya…</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Perkara Yang Diharuskan Bagi Seorang Pembaca Ruqyah sebelum meruqyah.</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Yakin dan berbaik sangka kepada Allah, yaitu meyakini bahwa Al-Qur'an ini adalah penwar dari semua penyakit, dan firman Allah tersebut tidak dijadikan sebagai obyek percobaan namun uantuk diyakini.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Membaca secara imijinafi, yaitu orang yang membaca ruqyah dan dibacakan baginya ruqyah tersebut menggambarkan di dalam benaknya bahwa ayat-ayat yang dibaca tersebut bisa menyebabkab bagi kesembuhan orang yang sakit dan memberikan kesadaran serta petunjuk bagi jin yang sedang mengganggunya, dengan inzin Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Mengembangkan metode <i>Ittiham</i>. Yaitu mencurigai seseorang, seperti yang disebutkan dalam kisah Amir yang terdahulu disebutkan: "</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">مَنْ تَـتَّهِمُوْنَ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>" (Siapakah yang kamu curigai?), dan ini adalah hadits shahih, maka wajib beramal dengan perintah Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dalam menetapkan kecurigaan kepada orang yang tergambar di dalam perasaan dan akalnya. Ini tidak termasuk zalim dan merusak, sebab orang yang dibacakan ruqyah diharuskan berbaik sangka kepada orang yang dicurigai dan ungkapan tentang dirinya yang keluar (dari seorang <i>aa'in</i>) adalah canda dan bersenda gurau semata, dan keluarnya ungkapan tersebut tidak dibarengi dengan zikir sehingga setan memanfaatkan moment ini untuk menyakiti orang tanpa diketahui oleh orang yang mengugkapkan sifat tersebut (<i>wasif)</i>. Oleh karena gangguan setan yang disebabkan oleh kata-kata tersebut bersifat external, maka dia mengganggu dan menyakiti dari luar, namun mempunyai kekuatan pengaruh di dalam tubuh, sehingga menimbulkan perubahan di dalam susunan kimiawi badan, seperti rasa dingin pada ujung setiap bagian tubuh, rasa panas pada punggung, kedua mata, mulut menjadi kering, temperamental yang berlebihan dan lintasan pikiran yang aneh. Berarti merasuknya jin bersifat farsial bukan menyeluruh ke dalam bagian tubuh, sehingga memudahkan untuk berkomunikasi dengannya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn83" name="_ftnref83" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[83]</span></span></span></span></a> Maka dia menjadi bagian dari metode ittiham yang dianjurkan oleh Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">, yaitu mengimijinasikan orang tertentu di dalam benak tentang pribadi yang dicurigai menjadi sebab penyakti ain tersebut, maka hal ini termasuk bagian metode ittiham.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">BAB KETIGA</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">AYAT-AYAT DAN WIRID-WIRID YANG DIBACA UNTUK ORANG YANG TERKENA PENYAKIT AIN</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Di antara ayat-ayat tersebut adalah surat Al-Fatihah, awal surat Al-Baqarah, ayat kursi, penutup surat Al-Baqarah, awal surat Aali Imron, akhir surat Al-Hasyr, firman Allah Ta'ala:<span> </span></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="RTL"></span><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">فَسَيَكْـفِيْكَهُمَ اللهَ وَهَـوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn84" name="_ftnref84" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[84]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَإِنْ يَكَادُ الَّذِيْـنَ كَفَـرُوْا لِيَـزْلِقُوْنَكَ بِأَبْصَارِهِـمْ لَمَّا سَـمِعُوْا الذِّكْرَ وَيَقُوْلُوْنَ إِنَّهُ لَـمَجْنُوْنٌ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendenarkan Al-Qur'an dan mereka berkata: "Sesungguhnya<span> </span>ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila".</span></i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn85" name="_ftnref85" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[85]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلىَ مَاآتاَهُـمُ اللهِ مِنْ فَـضْلِهِ فَقَـدْ آتَـيْنَا آلَ إِبْـرَاهِيْمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُـمْ مُلْكًا عَـظِيْمًا</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?, Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan hukmah kepada keluarga Ibarhim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn86" name="_ftnref86" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[86]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُـطُوْرٍ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Maka lihatlah berulang-ulang, adakah yang kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn87" name="_ftnref87" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[87]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">يَاقَوْمَنَا أَجِيْـبُوْا دَاعِيَ اللهِ وَآمِنوْا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوْبِكُمِ وَيُـجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan brimanlah kepada-Nya, niscaaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn88" name="_ftnref88" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[88]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَنُنَـزِّلُ مِنَ اْلقُـرْآنَ مَا هُـوَ شِـفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارً ا</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah bagi orang-orang yang zalim selain kerugian".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn89" name="_ftnref89" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[89]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">قٌـلْ هُـوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُـوْا هُدًى وَشِـفَاءٌ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Katakanlah: Al-Qur'an adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn90" name="_ftnref90" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[90]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Hai mannusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn91" name="_ftnref91" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[91]</span></b></span></span></span></a>.</span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">َويَشْـفِ صُـدُوْرَ قَـوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Serta melegakan dada orang-orang yang beriman"</span></i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn92" name="_ftnref92" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 115%;">[92]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">َوإَذَا مَرِضْتُ فَـهُوَ يَشْفِيْنِ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn93" name="_ftnref93" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[93]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Dan di antara do'a yang harus diucapkan:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="RTL"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span>((أَسْـأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَـرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ)) </span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>7x</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhan arasy yang agung agar Dia berkenan menyembuhkanmu".</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="RTL"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span>((أُعِيْذُكَ بِكُلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ)) </span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>3x</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Aku melindungi kamu dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap tipu daya setan dan dari binatang yang berbisa, dan dari setiap mata yang jahat".</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="RTL"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 15pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span>((اَللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ اْلبَاسْ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ<span> </span>شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";">)) </span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>3x</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ya Allah Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah! Engkaulah yang menyembuhkan,<span> </span>tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang Engkau kehendaki, yaitu kesembuhan yang tidak emninggalkan penyakit".</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="RTL"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span>((حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُـوَ عَلَيْهِ تَـوَكَّلْتُ وَهُـوَ رَبُّ الْعَـرْشِ اْلعَظِيْمِ))</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>7x</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Cukuplah Allah bagiku, tiada tuhan kecuali Dia, kepadanyalah kami bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan arasy yang agung". </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="RTL"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span>((بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَئٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ)) </span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>3x</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span dir="RTL"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dengan menyebut nama Allah, yang (jika menyebutnya) sesautu apapun tidak akan (ditimpa) bahaya baik di bumi atau di langit dan Dia adalah Tuhan Yang Maha Mendengar atau Maha Mengetahui".</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="RTL"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span>((اَللّـهُمَّ أَذْهِبْ عَنْهُ حَـرَّهَا وَ بَرْدَهَا وَوَصَبَهَا))</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ya Allah, hilangkanlah darinya rasa panasnya, dan rasa dingin serta keletiahan yang ditimbulkannya".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Beberapa Peringatan Penting:</span></div><ul style="margin-top: 0in;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Semua ayat-ayat Al-Qur'an adalah ruqyah jika diniatkan untuk penyembuhan dan petunjuk.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ruqyah mempunyai cara yang telah dijelaskan oleh Nabi saw, yaitu: </span></li>
</ul><ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Membaca ruqyah bersama tiupan yang dibarengi dengan sedikit ludah pada akhir bacaan setiap ayat atau beberapa ayat atau pada akhir bacaan semua ayat.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Membaca ruqyah tanpa dibarengi dengan tiupan.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Membaca ruqyah kemudian mengambil ludah dengan jari, lalu mencampurnya dengan tanah, barulah mengusap bagian tubuh yang merasakan sakit dengannya.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Membaca ruqyah yang dibarengi dengan mengusap tempat penyakit.</span></li>
</ol><ul style="margin-top: 0in;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Yang lebih utama agar seseorang tidak memperbanyak bacaan ruqyah atas pasien pada tahap awal, dan cukup dengan bebearapa bacaan ruqyah saja, sebab dia berfungsi seperti obat, maka tidak boleh kurang atau lebih, sehingga tidak menimbulkan kebosanan baik bagi orang yang meruqyah atau diruqyah, dan kisah tentang seorang yang disengat lalu diruqyah hanya dengan Al-Fatihah adalah dalil atas apa yang kami katakan ini.</span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Bab Keempat</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">HUBUNGAN ANTARA HASAD DAN SIHIR</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Macam-Macam Hasad</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1. Hasad yang dianjurkan, disebut Gibthah, yaitu: Sikap tidak suka atas kelebihan orang lain atas dirinya, sehingga mendorongnya berusaha agar menjadi seperti orang tersebut atau lebih baik darinya tanpa berniat buruk agar kelebihan orang tersebut hilang dari dirinya. Ini adalah bentuk berlomba-lomba<span> </span>dalam kebaikan, seperti apa yang dilakukan oleh Umar radhiallahu anhu saat dia berkata keapda Abu Bakr radhiallahu anhu: "Aku tidak bisa mengunggulimu<span> </span>dalam sesuatu apapun selamanya" saat dia datang dengan membawa seluruh hartanya (sebagai infaq di jalan Allah). Syaikhul Islam berkata: Apa yang dikerjakan oleh Umar, baik berlomba dalam kebaikan dan gibthah yang diperbolehkan adalah hal yang terpuji, dan keadaan Abu Bakr Al-Shiddiq lebih baik dari dirinya, di mana dia terbebas dari sikap ingin bersaing secara mutlaq dan dia melakukan kebaikan tersebut tanpa melihat kepada orang lain.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn94" name="_ftnref94" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[94]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Begitu juga keadaan seorang shahabat yang diceritakan oleh Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">يَدْخُلُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Akan masuk kepada kalian seorang lelaki dari penduduk surga), Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> mengucapkannya tiga kali, lalu pada saat Abdullah bin Amru bertanya (langsung) kepada orang (yang diceritakan oleh Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">) tersebut tentang Apakah yang menyebabkan dirinya masuk surga), orang tersebut menjawab: "Aku tidak (memendam) di dalam diriku terhadap seorang muslimpun perasaan ingin mengelabui atau perasaan dengki atas kebaikan yang diberikan oleh Allah atas dirinya". Lalu Abdullah berkomentar: "Tingkatan yang kamu rasakan inilah yang tidak bisa kami raih",<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn95" name="_ftnref95" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[95]</span></span></span></span></a> Begitu juga dengan Musa alahis salam terhadap Nabi kita, Muhammad </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> pada peristiwa Isro' ketika Nabi Musa alaihis salam menangis. Itulah perasaan gibthah yang disebut oleh Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> sebagai hasad, seperti yang dijelaskan di dalam Sabdanya: </span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَـهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ وَرَجُـلٌ آتَاهُ اللهُ الْمَالَ فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ فِي الْحَقِّ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Tidak dibolehkan hasad kecuali dalam dua hal: Soerang lelaki yang diberikan oleh Allah Al-Qur'an dan dia beramal dengannya pada waktu malam dan siang dan seorang lelaki yang diberikan oleh Allah harta dan dia menginfakkannya dalam kebenaran pada waktu malam dan siang".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn96" name="_ftnref96" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[96]</span></span></span></span></a>Oleh karena itulah iman Abu Bakr menyamai berat iman umat ini karena sifat terebut, dia termasuk orang yang dikatakan oleh Allah:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلسَّابِـقُوْنَ السَّابِـقُوْنَ أُولئِكَ اْلُمقَـرَّبُوْنَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang-orang yang didekatkan oleh Allah".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn97" name="_ftnref97" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[97]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2. Hasad Mubah (yang dibolehkan), yaitu pada perakara-perkara duniwai, dengan dua syarat: Berdo'a agar mendapat berkah dan dibarengi dengan berzikir kepada Allah dan tidak berangan-angan agar nikmat tersebut hilang (dari orang lain).</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>3. Hasad Makruh (yang dibenci), yaitu mengungkapkan sifat saudaranya tanpa disertai dengan do'a agar diberikan keberkahan padanya atau tidak menyebut nama Allah padanya. Orang yang mengerjakannya, berarti membuka peluang bagi setan untuk mengganggu sekalipun dia tidak berangan-angan hilangnya nikmat tersebut (dari saudaranya), namun karena tidak dibarengi dengan zikir, maka dia berbalik menjadi sesuatu yang tercela, sebab pada dasarnya setiap orang harus berzikir kepada Allah pada setiap waktu, di mana Allah memuji mereka yang selalu berzikir kepadaNya baik dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Dan bukan sekedar berzikir semata, tetapi harus dibarengi dengan tidak membuka pintu bagi setan untuk menyakiti orang lain, seperti yang terjadi pada diri Amir bersama Sahl radhiallahu Anhuma.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn98" name="_ftnref98" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[98]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>4. Hasad yang diharamkan. Apabila terlepas dari sifat-sifat yang telah kami sebutkan di atas, yaitu tidak berdo'a agar diberikan keberkahan pada saat mengungkapkan sifat (sesuatu yang mengagumkan), dan berangan-angan agar nikmat tersebut sirna dari orang lain, maka dia akan menyebarkan penyakit ain yang bisa mematikan, dan dia tidak muncul kecuali dari jiwa yang busuk, kita berlindung kepada Allah dari jiwa yang buruk. Dan hal ini sama seperti hasadnya orang Yahudi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn99" name="_ftnref99" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[99]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Apakah Hubungan Sihir Mata (mata) Dengan Sihir?</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ketika Allah Subhanhu Wa Ta'ala menjelaskan:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَمِنْ شَـرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي اْلعُقَدِ وَمِنْ شَرِّحَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan Dari </span></i><span dir="RTL"></span><i><span dir="RTL" style="font-family: "Arabic Transparent";"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></i><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">kejahatan orang yang dengaki apabila ia dengki."<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn100" name="_ftnref100" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[100]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Dalam ayat ini Allah menyebut secara bersama antara sihir dan hasad, hal ini menunjukkan adanya hubungan antara keduanya, yaitu orang yang menyihir menghembus pada buhul-buhul seperti rambut atau kuku (yang dimanfaatkan) untuk mengikat setan demi menyakiti orang yang disihir, sementara<span> </span>seorang yang dengki (aa'in) akan mengikat setan dengan sifat yang dikaguminya, yang tidak disertai dengan menyebut nama Allah untuk menyakiti sasarannya (<i>ma'yun</i>), maka setiap mereka berdua bertujuan yang sama dalam menimbulkan kemudharatan; yaitu sama hasil kemudharatannya, namun berbeda<span> </span>dalam cara (menimbulkan kemudharatan tersebut).</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Point Penting: Firman Allah Ta'ala:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَمِنْ شَـرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي اْلعُقَدِ</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul".</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> (Apakah sebabnya Allah menyebtukan kata: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">النَّفَّاثَاتِ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> dalam bentuk ma'rifat (yang sudah jelas) sementara kata yang sebelumnya atau sesudahnya disebutkan dalam bentuk nakiroh (umum)?,( yaitu pada kata: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">غاسق</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">dan</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">حاسد</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>) seabab setiap orang yang menghembus/tukang sihir pasti memiliki kejahatan, dan tidak semua malam dan orang yang dengki mempunyai kejahatan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn101" name="_ftnref101" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[101]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 6pt; text-align: justify; text-indent: 24pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Point penting: Orang-orang awam mengatakan: Apabila seorang <i>aa'in</i> mengetahui bahwa bekas dirinya telah diambil, maka bekas tersebut tidak bermanfaat. Keyakinan ini salah karena bertentangan dengan apa yang telah dijelaskan dalam hadits tentang kisah Amir dan Shal, di mana Rasulullah memerintahkan kepada Amir b: Mandilah untuk saudaramu, dan dia mengetahui (bahwa bekas mandinya akan diambil), namun penyakit ain tersebut berhenti.</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 6pt; text-align: justify; text-indent: 24pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Point penting:</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pandagan beracun sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, begitu juga dengan apa yang terjadi pada ular yang berekor pendek dan pada punggungnya terdapat dua garis, diberikan kekuatan dasar untuk menyemburkan racun sebagaimana yang terjadi pada ayam jantan, diberikan pengelihatan yang tajam sehingga bisa melihat malaikat, anjing dan himar dalam melihat setan, adapun kekuatan beracun yang terdapat pada manusia bukanlah kekuatan yang bersumber dari diri sendiri, melainkan datang dari sebuah ungkapan kata karena tidak dibarengi dengan menyebut nama Allah, sebagaimana </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">ditegaskan dalam sebuah hadits: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">َلْعَيْنُ حَـقٌّ يَحْضُرُهَا الشَّيْطَانُ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"(Penyakit yang ditimbulkan oleh) mata adalah benar adanya, yang dibawa oleh setan". Penyakit ini terjadi bukan dengan perantara indra mata (melainkan perantara setan), sebagiamana yang tegaskan oleh Ibnu Hajar dalam pembahsan yang</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">telah lewat, makna ini diperjelas oleh perbuatan Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">, di mana beliau berlindung kepada Allah dari kejahatan jin dan mata manusia, karena adanya hubungan antara keduanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 6pt; text-align: justify; text-indent: 24pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Point Penting. Orang awam mengatakan: "Apabila jin merasuki sesorang, maka mesti di dalam tubuh seorang wanita terdapat jin lelaki dan di dalam diri seorang lelaki terdapat jin wanita, keyakinan ini bertentangan dengan hadits Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> yang mengatakan:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اُخْرُجْ عَدُوَّا للهِ إِنِّي رَسُوْلُ الله</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Keluarlah wahai musuh Allah sungguh saya adalah Rasulullah" Kalimat ini beliau ucapkan bagi seorang lelaki yang sedang kerasukan jin lelaki.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 6pt; text-align: justify; text-indent: 30pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Point penting. Sebagian ulama menyebutkan tentang manfaat yang terdapat pada daun bidara dan mandi dengannya untuk menghilangkan sihir, keyakinan ini tidak didasarkan pada hadits Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">, melainkan<span> </span>pengalaman Wahb bin Manbah sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang kitab<span> </span>Fatul Bari, kelebihan daun bidara ini adalah bisa mengingatkan jin dengan sidratul muntaha, tempat surga al-ma'wa, juga mengingatkannya dengan pohon bidara yang tidak berduri di dalam surga, sebab jin memiliki perasaan yang tajam dan peka, oleh karenanya memakai daun bidara untuk menghilangkan sihir atau lainnya bisa<span> </span>menyakiti jin dan manfaat bidara ini tidak hanya untuk kesembuhan sihir saja.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 6pt; text-align: justify; text-indent: 0in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Symbol;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Point Penting tentang urgensi ruqyah syar'iyah untuk berdakwah ke jalan Allah. Firman Allah Ta'ala:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; margin: 0in 6pt 0.0001pt 0in; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى اْلخَيْرِ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan"</span></i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn102" name="_ftnref102" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><i><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="LTR"><span dir="RTL"></span><span class="MsoFootnoteReference"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 11pt; line-height: 115%;"><span dir="RTL"></span>[102]</span></span></span></span></i></span></a><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> Syekh Utsaimin rohimahullah mengomentari ayat ini dengan bertanya: Meyeru siapa? Obyek seruan bagi ayat tersebut tidak disebutkan, Berarti obyeknya mencakup semua mahluk yang harus menerima da'wah, yaitu semua manusia, dan apakah jin termasuk dalam obyek tersebut? Ya, jinpun juga terkena dengan perintah ini, oleh karena itulah obyek perintah berd'wah tersebut tidak disebutkan agar pengertiannya tetap pada maknanya yang umum"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn103" name="_ftnref103" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[103]</span></span></span></span></a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Bab Kelima</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Membentengi Diri Dari Penyakit<span> </span>Ain, Sihir Dan Lainnya</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Diantara tindakan prefentif untuk membentengi diri dari bencana sebelum terjadinya -dengan izin Allah- adalah: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>1-Seorang hamba harus menjaga perintahTuhannya, seperti menjaga shalawat lima waktu secara berjama'ah di mesjid, Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 15pt; line-height: 150%;">مَنْ صَلىَّ الصُّبْح فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللهِ فَلاَ يَطْلُبنًَّكُمُ اللهُ بِشَئٍ</span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Barangsiapa yang shalat subuh secara berjama'ah maka dia sedang berada di dalam tanggaungan Allah, oleh karenanya jangan sampai Allah menuntutmu dengan sesuatu…".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn104" name="_ftnref104" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[104]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Selain itu berbakti kepada kedua orang tua, puasa dan shalat sunnah serta membaca Al-Qur'an …., dan menjauhi laranganNya dengan menjauhi pandangan yang diharamkan, tidak menonton film-film cabul, meninggalkan nyanyian dan mendengarkannya dan tidak mendatangi pesta-pesta yang menghadirkan kemungkaran, niscaya engkau akan menang dengan penjagaan Allah bagimu, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn105" name="_ftnref105" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[105]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2-Memperanyak membaca zikir dan wirid. Yaitu zikir yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah yang suci, dan selalu berzikir kepada Allah dalam semua waktu, seperti zikir-zikir setelah shalat, wirid harian dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah, wirid pagi dan petang, do'a seblum dan sesudah tidur, firman Allah Ta'ala:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; margin-right: 6pt; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn106" name="_ftnref106" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[106]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tindakan Untuk Menghilangkan Penyakit Setelah Terjadi</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1-Yakin dan berbaik sangka kepada Allah Azza Wa Jalla saat membaca ruqyah syar'iyah, oleh karenanya dia tidak boleh mengatkan saya ingin mencoba firman Allah ini akan tetapi dia harus meyakini bahwa di dalam firman tersebut terdapat kesembuhan dan itulah penawar yang utama dalam proses penyembuhan. Firman Allah Ta'ala: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; margin-right: 1.65pt; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُـرْآنِ مَا هُـوَ شِـفَاءٌ وَرَحْمَـةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah bagi orang-orang yang zalim selain kerugian".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn107" name="_ftnref107" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[107]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2-Mengagungkan Allah, sang Pencipta dan kembali kepdaNya, serta bergantung, bertaubat dan berdo'a kepadaNya, hanya Dialah yang bisa menyembuhkan. Ruqyahmu terhadap diri sendiri lebih baik dari ruqyah orang lain bagi dirimu.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">3-Berbuat baik kepada manusia dan bersehedeqah kepada mereka. Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنَ يَسَّرَ عَلىَ مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآَخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَ اللهُ فِي عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Barangsiapa yang meringankan bagi seorang mu'min satu kesusahan di dunia niscaya Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">, barangsiapa yang mempermudah kesulitan orang sedang kesulitan niscaya Allah akan mempermudah kesulitannya di dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat, dan Allah akan selalu membantu seorang hamba selama hamba tersebut membantu saudaranya".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn108" name="_ftnref108" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><i><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[108]</span></b></span></span></i></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dari Abi Umamah <i>radhiallahu anhu</i> berkata: Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">دَاوَوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan bersedeqah".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn109" name="_ftnref109" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[109]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Di Bawah Ini Beberapa Do'a Pilihan <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn110" name="_ftnref110" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 115%;">[110]</span></span></span></span></a> Yang Dibaca Setiap Hari Baik Setelah Shalat Fajar Dan Setelah Shalat Magrib</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn111" name="_ftnref111" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"><span dir="RTL"></span><span class="MsoFootnoteReference"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><span dir="RTL"></span>[111]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;"></span></div><table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-collapse: collapse; border: medium none;"><tbody>
<tr> <td style="border: 1pt solid windowtext; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" valign="top" width="196"> <div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Wirid Harian</span></b></div></td> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: solid solid solid none; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" valign="top" width="140"> <div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Jumlah bacaan</span></b></div></td> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: solid solid solid none; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" valign="top" width="207"> <div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Keutamaan dan manfaat</span></b></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" width="196"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Membaca Ayat Kursi<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn112" name="_ftnref112" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[112]</span></span></span></span></a></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" valign="top" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca Satu kali pada waktu pagi<span> </span>,sore, saat akan tidur dan setelah melaksanakan shalat fardhu.</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" valign="top" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dijaga oleh malaikat, mengusir setan dari rumah dan sebab masuk surga</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" width="196"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dua ayat terakhir surat Al-Baqarah</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" valign="top" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca satu kali pada waktu sore, atau sebelum tidur atau dibaca dirumah</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" valign="top" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Akan menjagamu dari kejahatan segala sesuatu dan akan mengusir setan selama tiga hari</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" width="196"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan Al-Nas</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca 3x pada waktu pagi dan 3x pada waktu sore, satu kali saat akan tidur dan setiap shalat fardhu.</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Menjagamu dari kejahatan segala sesuatu dan menjagamu dari kejahatan jin dan mata manusia</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">لاَحَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Memperbanyak mengucapkannya tanpa pembatasan jumlah tertentu</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Simpanan harta di surga dan sebagai obat bagi 99 macam penyakit, penyakit yang terendah ialah rasa bimbang</span></div></td> </tr>
<tr style="height: 42.9pt;"> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; height: 42.9pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" valign="top" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">بِسْمِ اللهِ الذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اْسمِهِ شَئٌ في اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; height: 42.9pt; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca 3x pada waktu pagi dan 3x pada waktu sore</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; height: 42.9pt; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Pencegah bahaya dan tidak ditimpa oleh bencana yang mendadak, atau dimudharatkan oleh sesuatu apapun.</span></div></td> </tr>
<tr style="height: 37.5pt;"> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; height: 37.5pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامََّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 17pt; line-height: 150%;"></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; height: 37.5pt; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca 3x pada waktu sore</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; height: 37.5pt; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" valign="top" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Benteng bagi suatu tempat dari keburukan dan Penawar bagi racun yang disebabkan oleh sengatan kalajengking dan yang lainnya</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" valign="top" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهَوَ رَبُّ اْلعرْشِ اْلعَظِيْمُ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 17pt; line-height: 150%;"></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca 7x pada waktu pagi dan 7x pada waktu sore</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Pencegah kebimbangan dunia dan akhirat</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" valign="top" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحدَه لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلُملْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهوَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيْر</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca 10x pada waktu pagi, dan 10 x pada waktu sore, 100 x atau lebih dalam sehari.</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Benteng diri yang agung, ditulis baginya 100 kebaikan, dihapuskan 100 keburukan, mendapat pahala seperti pahala memerdekakan 10 budak</span></div></td> </tr>
<tr style="height: 77.5pt;"> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; height: 77.5pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" valign="top" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحدَه لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلُملْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهوَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيْريُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَـيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ اْلخَيْرُوَهـُوَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيْـر</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; height: 77.5pt; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca 1x saat memasuki pasar</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; height: 77.5pt; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" valign="top" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Akan ditulis baginya beribu-ribu kebaikan, dihapuskan darinya beribu-ribu keburukan dan akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" valign="top" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلىَ اللهِ وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ</span><span dir="LTR" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;"></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">1x saat akan keluar dari rumah</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" valign="top" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Tiga lipat kekuatan penjagaan dari setan: Allah akan mencukupkan dan menjaganya, serta setan akan menjauh darinya</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" valign="top" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">أَعُوْذُ بِاللهِ اْلعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ اْلكَرِيْمِ وَبِسُلْطَانِهِ اْلقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 17pt; line-height: 150%;"></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dibaca sekali saat memasuki masjid</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Akan dijaga dari tipu daya setan sehari penuh</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">أَسْتَغْفِـرُاللهَ الَّذِي لاَ إِلهَ إِلاَّ هوَ الْحَـيُّ اْلقَـيُّوْمُ وَأَتُـوْبُ إِلَيْهِ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 17pt; line-height: 150%;"></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dianjurkan untuk banyak megucapkannya</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Untuk menghilangkan kebimbangan, mendatangkan rizki dan aman dari azab Allah</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" valign="top" width="196"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Memperbanyak mengucapkan shalwat kepada Nabi saw, seperti mengucapkan:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span>اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ مُحَمَّدٍ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">atau membaca shalawat Ibrahimiyah dan shalawat </span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="RTL"></span><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">inilah yang lebih afdhal </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" valign="top" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tidak ada batasan bagi jumlah bacaan, paling sedikit 10x pada waktu pagi dan 10x pada waktu sore</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" valign="top" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Menghindarkan seseorang dari kebimbangan, akan mendapat pengampunan dosa, penghimpun kebaikan di dunia dan akhirat dan untuk mendapatkan syafa'at Nabi saw</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" width="196"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Menjaga shalat berjama'ah di masjid dan tetap menjaganya</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Shalat lima waktu</span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Menjaga diri dari tipu daya setan, jin dan manusia, serta semua kejahatan</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="-moz-border-bottom-colors: none; -moz-border-image: none; -moz-border-left-colors: none; -moz-border-right-colors: none; -moz-border-top-colors: none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-right: 1pt solid windowtext; border-style: none solid solid; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 147.35pt;" width="196"> <div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 17pt; line-height: 150%;">أَسْـتَوْدِعُكُمُ اللهَ الَّذِي لاَ تَضِـيْعُ وَدَائِـعُهُ</span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 104.9pt;" width="140"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Dibaca satu kali pada setiap sesuatu yang ingin dijaga</span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"></span></div></td> <td style="border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-style: none solid solid none; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 155.4pt;" width="207"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Untuk menjaga harta, anak dan lainnya dari kerusakan dan pencurian</span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">BAB KEENAM</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">BEBERAPA PERTANYAAN TENTANG PENYAKIT AIN</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 6pt; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertanyaan Pertama:<span> </span>Bagaiamanakah cara membedakan antara hasad dan kagum?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawaban: Orang yang kagum adalah orang yang tidak berangan-angan hilangnya nikmat (dari seseorang) bahkan berkeingnan agar dia mendapat nikmat yang sama, dan apabila dia mengungkapkan tentang sesuatu tanpa dibarengi dengan do'a agar mendapat keberkahan pada sesuatu yang dikagumi tersebut, sementara setan ada pada tempat itu, maka ungkapan ini akan menyekiti orang yang dikagumi dengan perantara setan, hal ini bisa terjadi dari orang yang mencintai atau orang yang shaleh tanpa disengaja.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Adapun orang yang hasad, -semoga Allah menjauhkan kita darinya-yaitu soerang berangan-angan agar nikmat tersebut sirnah dari orang yang didengki, maka apabila dia mengungkapkan suatu sifat tanpa diiringi dengan do'a keberkahan sementara setannya ada pada tempat itu, maka dia pasti membinasakan orang yang didengki dengan izin Allah, inilah kedengkian patal yang menjerumuskan onta ke panci (sebab dia harus disemblih karena sakit) dan seseorang ke dalam kubur (karena penyakit ain yang dideritanya) serta menjatuhkannya dari jurang yang tinggi, dan kedengkian ini tidak muncul kecuali dari jiwa yang busuk, memiliki kerancuan dalam memehami iman terhadap qodha' dan qodar, hasad yang seperti ini sama seperti hasadnya orang-orang Yahudi dan orang yang seperti mereka.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertanyaan Kedua: Bagaiamankah cara mengambil bekas seseorang, dan apakah bekas tersebut bermanfaat jika Aa'in mengetahui bahwa bekas dirinya diambil?</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawaban: Cara mengambil bekas seseorang: Mengambil bekasnya dari apa yang pernah disentuh oleh Aa'in baik berupa liur atau keringat, sebab maksud pengambilan ini adalah bau Aa'in yang berguna untuk mengusir setannya yang merasuki ma'yun (orang yang terkena penyakit ain), seseorang bisa mengambil bekas makan atau minumnya, atau barang-barang mubah yang disentuh oleh tangannya seperti gagang pintu, sekalipun satu kali, hal ini bermanfaat insyaallah sebagaimana yang kita buktikan. Dan tidak perlu mengambil bekas aa'in secara berulang-ulang, sebab dia sama seperti imunisasi yang cukup dengan sekali saja. Adapun pengetahuan Aa'in bahwa bekas dirinya diambil maka pengetahuan ini tidak memberikan pengaruh negatife sedikitpun, seperti kisah Amir sebagai Aa'in yang diperintahkan oleh Nabi </span><i><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"> untuk mandi bagi saudaranya, seperti </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">yang disebutkan dalam sabdanya:<span> </span></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِغْتَسِلْ ِلأَخِيْكَ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Mandilah untuk saudaramu!" dan dia mengetahui bahwa dirinya telah menyebabkan Sahl tertimpa penyakit ain.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertanyaan ketiga: Bagaimanakah cara memperaktikkan metode ittiham (dalam kaitannya dengan penyakit ain)?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawaban: Baik dengan cara mendengar atau cerita dari orang lain bahwa seseorang telah mengungkapkan sebuah sifat tentang diri<i> ma'yun</i> yang tidak diiringi dengan do'a keberkahan (bagi ma'yun) atau ma'yun bermimpi melihat sesuatu yang mengarah kepada inisil Aa'in. Adapun timbulnya perasaan tidak enak atau sikap tidak layak terhadap sebagian orang tanpa sebab yang jelas, atau saat seseorang dibacakan Al-Qur'an lalu tergambar pada diri ma'yun beberapa orang yang dicurigai biasanya sebagai aa'in, maka cara seperti ini perkiraan semata yang tidak membawa kepastian akan tetapi bisa dimanfaatkan untuk proses pengobatan yang diiringi dengan sikap husnuz zhon kepada semua orang. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertanyaan Keempat: Bagaimanakah cara membedakan antara metode ittiham dan metode takhyil?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawab: Perbedaan keduanya sangat besar, metode ittiham adalah perintah Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dalam hadits yang shahih saat beliau bertanya kepada ma'yun: "Siapakah orang yang kamu curigai?", Perbuatan ini diperintahkan berdasrakan hadits dari Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Adapun <i>takhyil</i> adalah bentuk meminta bantuan kepada setan untuk mengetahui penyakit ain dan sihir, perbuatan ini diharamkan, dan lembaga tetap urusan riset dan fatwa Saudi Arabia telah memfatwakan tentang haramnya perbuatan tersebut dalam fatwanya nomer (20361) tanggal 17/4/1427 H.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertanyaan Kelima: Apakah penyakit ain bisa menimbulkan gangguan jasmani, problmatika materi dan sosial?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawab: Benar bahwa penyakit ain bisa berimflikasi pada jasmani sehingga mengakibatkan penyakit tersebut tidak sembuh bahkan membuatnya kambuh, begitu juga bisa menimbulkan problematika dalam urusan materi, hubungan suami istri dan musibah lainnya, bagaimana hal itu bisa dipungkiri sebab Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> telah bersabda:<span> </span></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَكْثَرُ مَنْ يَمُوْتُ مِنْ أُمَّتِي بَعْدَ قَضَاءِ اللهِ وَقَدَرِهِ بِالْعَيْنِ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Sebagian besar orang yang meninggal dari umatku setelah taqdir Allah (kepada mereka), juga disebabkan oleh penyakit ain".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn113" name="_ftnref113" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[113]</span></span></span></span></a> Maka musibah yang lebih ringan dari kematian lebih mudah dijangkiti penyakit ain.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertnyaan Keenam: Apakah cukup dengan mengambil satu kali bagi bekas aa'in atau harus berualng-ulang?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawab: Cukup mengambil bekasnya satu kali saja, sebab tindakan ini seperti imunisasi sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, dan tidak dianjurkan mengulanginya sebab bisa membuka pintu bagi tipu daya setan, kecuali orang yang sudah terkenal sebagai penyebar penyakit ain maka dianjurkan mengambil bekasnya secara berulang-ulang karena setannya terlalu banyak, seyogyanya untuk berbaik sangka kepda aa'in dan tidak memutuskan hubungan atau benci terhadapnya sebab setiap orang berpotensi untuk (menjadi aa'in)</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertanyaan Ketujuh: Apakah menambah air dan minyak yang sudah diruqyah secara berkesimabungan akan melemahkan pengaruh pengobatan ain?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawab: Sebaliknya, dia tidak sekali-kali memperlemah pengaruhnya, sebab Al-Qur'an adalah penawar bagi penyakit, dia adalah cahaya yang tidak akan pernah terputus selamanya, penglaman membuktikan hal tersebut, seperti yang ditegaskan dalam sebuah sabda Rasulullahh </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">مُدُّوْهُ مِنَ اْلمَاءِ فَـإِنَّهُ لاَ يَزِيْدُهُ إِلاَّ طَيِّبًا</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Berikanlah air baginya sebab dia tidak menambah kecuali keabaikan".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn114" name="_ftnref114" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[114]</span></span></span></span></a> Dan sabda Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> ini, berhubungan kelebihan air wudhu' beliau yang diberikan kepada sebagian shahabat, untuk disiramkan pada tanah yang telah dijadikan sebagai tempat ibadah mereka (pada masa sebelumnya), lalu tempat ibadah tersebut dihancurkan dan dibagun sebuah mesjid padanya. Dan (siraman air tersebut) sebagai upaya mengambil berkah dari kelebihan air wudhu' beliau </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">, kalau hal ini dilakukakn<span> </span>karena keberkahan air dari bekas wudhu' Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> maka bagaiamana dengan dengan keberkahan air karena bacaan kalam Allah Yang Maha Pencipta.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertanyaan Kedelapan: Apabila air bekas seorang Aa'in diambil, apakah air tersebut dipergunakan (untuk pengobatan) sebagaimana adanya atau harus direbus samapai mendidih?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawab: Yang lebih afdhal adalah menggunakan air tersebut sebgaimana adanya sekalipun satu tegukan, mudah-mudahan bermanfaat, namun jika direbus sampai mendidih atau dikurangi maka tidak berefek negatife insyaallah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pertanyaan Kesembilan: Apakah boleh mengumpulkan bekas beberapa aa'in atau setiap aa'in harus dengan bekasnya masing-masing?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Jawaban: Kedua cara tersebut bermanfaat dengan izin Allah, pada dasarnya harus segera mengambilnya dan secepatnya membebaskan diri dari ain.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Kesepuluh: Apakah mengambil bekas seseorang bisa menimbulkan permusuhan?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Mengambil bekas yang sedikit bisa memberikan manfaat dengan izin Allah, dan tidak akan menimbulkan permusuhan, dan metode ittiham adalah metode yang bersifat praduga yang tidak memiliki kepastian, akan tetapi diamalkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Kesebelas: Apakah bekas yang menempel pada gagang pintu akan tetap ada seklipun banyak tangan yang telah memeganganya atau jika masanya sudah berlalu lama? </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Benar, bahwa bekasnya pasti tetap ada, maksudnya adalah bau orang yang menjadi aa'in, contoh yang paling nyata adalah anjing yang bisa mencium bau sesuatu seklipun masanya telah berlalu lama, maka apalagi setan, mahluk yang indra penciumnya lebih peka, sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; margin-right: 6pt; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنَّ الشَّيْـطَانَ حَسَّاسٌ لحَـَّاسٌ فَاحْذَرُوْهُ عَلىَ أَنْفُسِكُمْ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Sesungguhnya setan adalah mahluk yang sangat peka dan penjilat maka jagalah diri kalian dari tipu dayanya".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn115" name="_ftnref115" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[115]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Petanyaan Keduabelas: Apakah seseorang bisa terkena penyakit ain jika dia membentengi diri dengan zikir, dan apakah orang yang alim bisa terkena juga?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Benar, seseorang akan terkena jika tempramentnya tegang, terutama kemarahan, sebab dia datang dari setan, dan bisa memperlemah kekuatan pembentengan dirinya sehingga menjadi pintu bagi masuknya setan, dan bukti yang paling nyata adalah peristiwa Abban bin Utsman pada saat dia membacakan sebuah hadits dari Nabis </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> yang mengatakan: "Barangsiapa yang membaca:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">باِسْمِ اللهِ الذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اْسـمِهِ شَـئٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Maka tidak ada sesuatupun yang akan memberikan kemudharatan baginya".</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Akhirnya, teman bicaranya memandang (kepadanya dengan pandangan keheranan</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">) </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">sebab keadaannya yang telah ditimpa kelumpuhan. Dia bertanya: Mengapa kamu memandang saya (dengan pandangan kehearanan)? Demi Allah aku tidak berbohong kepada Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">, akan tetapi aku marah (sehingga aku ditimpa kelumpuhan). Orang yang alim ini ditimpa padahal dialah yang menceritakan hadits ini, maka orang yang lebih rendah kedudukannya lebih besar kemungkinan terkenanya, maka barangsiapa yang tidak bisa mengontrol tempramentalnya maka hendaklah dia mengulang kembali pembentengan dirinya (dengan zikir).</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertnyaan Ketigabelas: Apakah memusuhi aa'in akan menjaga seseorang dari penyakit ain?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Tidak benar, tidak ada yang menjaga seseorang dari penyakit ain kecuali membentengi diri (dengan zikir) dengan izin Allah dan itulah yang bermanfaat.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertnyaan Keempatbelas: Apakah penyembuhan (dengan riqyah) berfungsi untuk menanggulangi penyakit jasmani dan jiwa saja?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Tidak benar, ruqyah adalah dasar penyembuhan sementara yang lainnya adalah sebab pengobatan, yang lebih baik adalah tidak menghamburkan uang yang banyak untuk suatu penyakit yang belum jelas, mendiagnosa dan mempergunakan sinar lasser, mengorbankan waktu, usaha dan harta, membebani negara dengan uang yang banyak, padahal bisa diimbangi dengan membuka klinik ruqyah secara resmi dan standar yang ketat untuk menseleksi para <i>raaqi</i> yang professional dari kalangan penuntut ilmu yang hanya mengarap pahala dari Allah semata, juga dibarengi dengan sebab-sebab lain berupa pengobatan untuk penyakit jasmani atau penyakit jiwa, sebagai aplikasi sabda Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam:</span></i></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">عَلَيْكُمْ بِالشِّفَائَيْنِ اْلقُرْآنُ وَالْعَسَلُ<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Hendaklah kalian menggunakan dua penawar, Al-Qur'an dan madu".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn116" name="_ftnref116" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[116]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Kelimabelas: Apakah rahsia sebab berkuasanya setan pada masa kita sekarang ini khususnya, dan sebab menyebarnya penyakit ain?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Tidak diragukan bahwa berkuasanya setan jin dan manusia pada masa sekarang ini sangat mengundang perhatian, hal tersebut kembali kepada beberapa sebab yaitu: Tekanan hidup dan godaannya yang telah berubah menjadi kesibukan inti manusia, dan menghancurkan ikatan-ikatan Islam bersamaan dengan minimnya berzikir, dalam kondisi inilah setan menemukan kesempatannya untuk menerkam hati-hati yang kosong dari berzikir kepada Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Adapun tentang menyebarnya penyakit ain pada masa ini, Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> telah menjelaskannya dalam sebuah sabdanya: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; margin-right: 6pt; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَكْثَرُ مَنْ يَمُوْتُ مِنْ أُمَّتِي بَعْدَ قَضَاءِ اللهِ وَقَدَرِهِ بِالْعَيْنِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Sebagian besar orang yang meninggal dari umatku setelah taqdir Allah (kepada mereka), juga disebabkan oleh penyakit ain".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn117" name="_ftnref117" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[117]</span></span></span></span></a> , beliau mengingatkan para shahabat dalam sebuah sabdanya: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 15pt; line-height: 150%;">مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلِكنْ أَخْشَى عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا فَتَـتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Bukanlah kemiskinan yang aku takutkan akan menimpa kalian, akan tetapi aku takut jika dibukakan dunia lalu kalian bersaing sebgaimana mereka bersaing, akhirnya dia mencelakakan kalian sebagimana dia telah mencelakakan mereka." Sebagiaimana yang disabdakan oleh Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">. Pada zaman dahulu para shahabat makan dan minum dari satu bejana, jika di antara mereka terpendam rasa dengki maka hal itu akan terkikis dengan terambilnya bekas mereka pada saat makan dan minum bersama. Adapun sekarang, setiap orang makan, minum dan berpakian secara sendiri-sendiri, akhirnya banyak orang yang terjangkit kesurupan pada masa sekarang ini, maka muncullah kebutuhan yang mendesak akan didirikannya sebuah klinik resmi yang menggunakan Al-Qur'an dan ruqyah, sama dengan ilmu-ilmu Islam lainnya yang telah tertata secara resmi, dan masyarakat pada zaman dahulu tidak membutuhkan ruqyah sebab mereka selalu membaca zikir pada sebagian besar waktu mereka sehingga setan tidak mempunyai peluang dalam diri mereka. Namun, pada zaman kita sekarang ini seklipun banyak buku-buku tentang zikir yang telah dicetak dan direkam tetapi sangat disayangkan tidak diamalkan sesuai dengan cara yang ajarkan, zikir tersebut tidak dibaca kecuali saat dibutuhkan atau pada waktu luang dan dipraktikkan dalam bentuknya sebagai kebiasaan lebih dominan dari praktiknya sebagai ibadah. <span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Keenambelas: Apakah sebab kegagalan sebagian orang yang membaca ruqyah dalam menghadapi pasiennya? Dan apakah tanggapan bapak dengan sikap sebagian dokter yang mengingkari peran ruqyah syar'iyah dalam mengobati penyakit jasmani seperti patah tulang, dia mengatkan bahwa tidak ada hubungan antara patah tulang dengan ruqyah, penyembuhannya dengan menggunakan perban.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>(</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ ِلمَا قُرِئَ لَهُ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> Al-Qur'an untuk apa yang niatkan saat membacanya). Qo'idah ini harus melekat di dalam diri kita, Al-Qur'an di pada saat membaca ruqyah berfungsi tiga hal: 1) Penyembuh bagi penyakit-penyakit jasmani dan yang lainnya. 2) Sebagai petunjuk bagi jin dan manusia yang memasuki tubuh manusia, firman Allah Ta'ala: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">قُـلْ هُـوَ لِلَّذِِيْنَ آمَـنُوْا هُـدًى وَشِِـفَاءٌ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Katakanlah</span></i><span dir="RTL"></span><i><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="RTL"></span>:</span></i><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> "Dia bagi orang-orang yang beriman sebagai petunjuk dan penyembuh".</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> 3) Sebagaimana juga dimanfaatkan untuk membakar jin yang berada di dalam jasad manusia yang dirasukinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sangat disayangkan, sebgian besar para pemabaca ruqyah melalaikan pemanfaatan yang pertama dan kedua, dan memanfaatkan untuk kepentingan yang ke tiga saja, yaitu untuk membakar jin, sehingga menimbulkan penolakan dan keletihan saat menghadapi jin yang merasuki seseorang baik bagi orang yang diruqyah dan yang membaca ruqyah secara bersama,<span> </span>akhirnya masa pengobatan menjadi lama bahkan bertahun tahun, lain halnya jika dia berfikir untuk memberikan petunjuk bagi jin yang merasuki tersebut tanpa harus berkomunikasi dengannya niscaya orang tersebut akan sembuh<span> </span>dalam waktu kurang dari tiga hari. Orang yang sakit tersebut akan kembali pulih seperti semula. Kami telah mencoba metode da'wah ini dan ternyata memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan air dan minyak zaitun jika dibaca dengan niat seperti ini, yaitu penyembuhan dan petunjuk niscaya dia akan memberikan manfaat yang sangat jelas.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kita kembali kepada pertnyaan selanjutnya, yaitu apakah ruqyah bermanfaat bagi orang yang patah tulang? Kami katakan: "Ya" dengan setegasnya, bahkan<span> </span>kesembuhannya sangat cepat sebagaimana yang kita saksikan, contohnya orang yang sudah ditetapkan untuk mencabut perbannya setelah dua bulan dari awal pemasangannya, namun dengan menggunakan ruqyah syar'iyah anggota yang diperban telah sembuh dalam jangka yang kurang dari dua bulan dengan izin Allah, sebagaimana yang kita lihat, dan kenyataan ini terbukti dalam catatan medis, jauh sebelumnya sebuah riwayat sebagai bukti dalam masalah ini, yaitu kisah seorang yang disengat oleh kalajengking di mana dia kembali pulih setelah dibacakan ruqyah, dan sengatan adalah penyakit jasmani, dan di antara kita dengan para dokter-dokter professional yang menerapkan metode ruqyah terdapat kerjasama yang besar dengan izin Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertnyaan Ketujubelas: Apakah syarat sebuah percobaan agar bisa sebut sebagai parktik yang sesuai dengan syara'? Dan apakah ruqyah termasuk sebuah ilmu atau praktik ibadah?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Ilmu-ilmu umum (terapan) didasarkan pada percobaan, begitu juga ruqyah syar'iyah didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang khusus, dan syarat agar dia sesuai dengan syar'iat adalah: 1) Harus dikonsultasikan kepada para ulama yang memahami syara'. 2) <span> </span>Tidak mengandung syirik, seprti yang disebutkan dalam hadits Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقىَ مَا لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ شِـرْكٌ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Perlihatkanlah ruqyahmu kepadaku, tidak mengapa dengan ruqyah selama terbebas dari kesyirikan".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ruqyah adalah bidang ilmu yang berdiri sendiri, bahkan dia adalah dasar pengobatan, namun sayang sekali, diremehkan. Bahkan syakhul Islam Ibnu Taimiyah menganggapnya sebagai bentuk jihad, yaitu jihad para Nabi dan<span> </span>para reformis dalam menghadapi musuh yang abstrak ini, yaitu setan yang terkutuk, dia adalah ilmu dan ibadah, kalau orang-orang barat berlomba-lomba dalam membangun klinik-klinik rohani dan konsen dalam menyediakan orang yang membidanginya pada rumah sakit-rumah sakit yang ada di barat, maka kita umat Islam lebih utama dan berhak sebab kita adalah umat pembawa misi, maka ruqyah syar'iyah bukan untuk mendapat keberkahan semata,</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">dia adalah bidang ilmu yang memiliki keriteria, oleh karenanya seseorang tidak dianjurkan menggelutinya kecuali setelah mengetahui keiteria khusus yang harus dipenuhinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertnyaan Kedelapanbelas: Apakah cukup bagi sesorang mengambil bekas yang sedikit dari seorang aa'in atau mesti mandi dengan bekasnya tersebut?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Berdasarkan pengalaman, bekas yang sdikit cukup bagi seseorang dengan izin Allah, maksud sebanarnya adalah bau khusus bagi seorang aa'in, dan jika mandi dengannya maka hal itu labih baik, namun secara umum maksudnya adalah mendapatkan bau (khusus bagi aa'in). Dan jika dimasak sampai mendidih untuk menghindari penularan penyakit dan kotoran, maka hal itu tidak mengapa.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertnyaan Kesembilanbelas: Bagaimanakah cara menjaga diri dari penyakit ain?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Menjaga diri dari penyakit ain dengan dua cara: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertama: Menjaga diri dengan zikir kepada Allah secara terus menerus bersama bacaan wirid pagi dan petang. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kedua: Menjaga keindahan diri yang dikhawatirkan bisa menyebabkan terkena penyakit ain, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bagawi<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn118" name="_ftnref118" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[118]</span></span></span></span></a> bahwa Utsman radhiallahu anhu melihat seorang anak kecil yang ganteng, maka dia berkata: "minyakilah lesung pipitnya agar dia tidak terkna penyakit ain". (Karena lesung pipitnya tersebut bisa mengundang kekaguman orang lain, sehingga orang lain memujinya tanpa dibarengi berzikir kepada Allah. Pen.)</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Keduapuluh: Sebagian pembaca ruqyah mensyaratkan bagi ruqyahnya dengan waktu tertentu, seperti waktu tenggelamnya matahari, bagaimanakah pendapat syekh dengan hal tersebut?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Ruqyah adalah bentuk pengobatan yang jika dibutuhkan oleh sesorang maka dia memanfaatkannya tanpa pengkhususan dengan waktu tertentu, dan barangsiapa yang mengkhususkannya maka dia harus mendatangkan dalil.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertnyaan Keduapuluh satu: Sebagian pemabca ruqyah terkadang merasa letih saat meruqyah seorang pasien, terkadang dia menguam atau ingin muntah, lalu berkata kepada orang yang sakit tersebut: "Engkau terkena penyakit ain, sebab aku menguam atau ingin muntah, bagaimanakah kebenaran peraktaan tersebut?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Ini adalah dalil yang jelas bahwa orang yang meruqyah tersebut terkena penyakit ain namun dia tidak mengetahuinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keduapuluh Dua: Hadits Utsman bin Abil Ash ketika Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memukul dadanya, dan berkata kepada setannya:<span> </span>(Keluarlah wahai musuh Allah!), riwayat ini sebagai dalil dibolehkannya menggunakan kekerasan saat menjalankan aktifitas ruqyah, padahal di sisi lain ruqyah digunakan dengan niat kesembuhan bagi tubuh ini dan petunjuk bagi jin yang sedang merasuki tubuh tersebut, bagaimanakah cara mengkompromikan antara hadits ini dengan kenyataan tersebut?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Permulaan hadits ini sebagai jawaban atas pertanyaan ini, Utsman bin Abil Ash mengadu kepada Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> dengan ucapannya: Ada sesuatu yang menggangguku dalam shalatku sampai aku tidak mengetahui berapa rekaatkah aku shalat, maka Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda: "Itu adalah setan", maka ini adalah kondisi khusus yang membutuhkan sikap keras sebab dia adalah setan kafir, dalilnya adalah dia tidak ingin shalat, dan Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memaksanya keluar dan tidak membunuhnya, maka ini adalah salah satu cara merubah dan menghilangkan kemungkaran, tidak mesti hal ini menjadi sebuah kaidah, dan bertahap dalam merubah kemungkaran adalah tuntutan syara'. Wallahu A'alamu.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keduapuluh Tiga: Sebagian ahli jiwa tetap menganggap <i>metode ittiham</i> -yang dibenarkan oleh syara'- sebagai <i>metode takhyiil</i> (menggambarkan tentang seseorang) dan tidak mau membedakan antara keduanya serta melemahkan hadits yang mengatakan:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";">"</span><span dir="RTL"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span> </span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 15pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ حَقٌّ وَيَحْضُرُهَا الشَّيْطَانُ وَحَسَدُ ابْنُ</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> آدَمَ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Bagaimankah pendapat syekh tentang hal tersebut?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Benar, sebagian besar mereka menganggap demikian, semoga Allah memaafkan mereka, bahkan mereka menganggapnya sebagai salah satu cara pengobatan jiwa yang sudah lama, atau apa disebut dengan <i>iha'</i> (daya ilustrasi), dan orang yang mencari kebenaran di antara mereka pasti akan mendapatkan (perbedaannya), adapaun berdebat, maka kami telah<span> </span>meninggalkannya, padahal kami tahu bahwa kami benar demi mengharap pahala dari Allah. Adapun hadits tersebut telah diteliti kwalitasnya pada bab yang kedua dari buku ini, maka hendaklah dia kembali memeriksanya. Seandainya hadits tersebut lemah, maka dia mempunyai penguat lain dalam Shahih Muslim dari riwayat Jabir, dia berkata:<span> </span>Aku telah mendengar Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">إِنَّ الشَّيْطََانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْئٍ مِنْ شَأْنِهِ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Sesungguhnya setan menyertai salah seorang di antara kalian dalam setiap kondisinya".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn119" name="_ftnref119" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[119]</span></span></span></span></a> Aku bertanya: Apakah dia tidak menyertainya saat terjadi penyakit ain?, semenatara Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda:<span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْئٍ </span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span>Maha Suci Allah! Ya Allah, tunjukanlah kepada kami kebenaran sebagai sesuatu yang benar dan berikanlah kemampuan bagi kami untuk mengikutinya, dan tunjukanlah kepada kami kebathilan serta berikanlah kemampuan bagi kami untuk menjauhinya, shalawat dan salam kepada Nabi kita dan seluruh keluarganya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keduapuluh Empat: Apakah dalil bagi dianjurkannya meminum bekas seorang yang menjadi aa'in?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Pada akhir hadits Sahl binHunaif terdapat tambahan: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Aku menyangka dia berkata:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">فَأَمَرَهُ فَحَسَا مِنْهُ حَسَوَاتٍ (أَيْ شَرِبَ مِنْهُ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(menyuruhnya lalu dia meneguk beberapa tegukan air dan meminum darinya)<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn120" name="_ftnref120" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[120]</span></span></span></span></a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keduapuluh Lima: Apakah mungkin bagi seseorang memanfaatkan jin yang shaleh?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Memanfaatkan jin yang sholeh dibolehkan oleh sebagian ulama, seperti syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah, pendapat saya adalah boleh dimanfaatkan secara teori, adapun prkatiknya sangat sulit direalisasikan, karena beberapa sebab: Perbedaan penciptaan antara kedua mahluk, ketidak tahuan manusia tentang jin tersebut, kemungkianan penipuan jin (terhadap manusia), di mana mereka (secara sengaja) memberitahukan seorang muslim dengan kesholehannya; mendorong seseorang untuk berzikir demi menyibukkannya dari perbuatan yang lebih afdhal, memberikan hukuman kepada orang tersebut jika meninggalkan ketaatan agar terbentuknya rasa takut kepada jin bukan kepada Allah, dan berbagai konspirasi lainnya, dan prilaku ini bisa merusak aqidah seseorang karena melemahkan rasa tawakkal dan memohon bantuan seseorang kepada Allah, kitab Allah dan sunnah Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> sudah mencukupi segala sesuatu.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dalam Sebuah Seminar, Pada Hari Selasa Di Kantor Koran "Al-Riyadh", Di Mana Penulis Teramsuk Peserta Yang Ikut Dalam Seminar Tersebut. Seminar Juga Dihadiri Oleh Beberapa rooqi, Saat Itu, Kami Mengajukan Beberapa Pertanyaan Kepada Syekh DR. Nashir Bin Abdul Karim Al-Alql-Dekan (Lama) Jurusan Aqidah Dan Pemikiran Moderen Universitas Islam Imam Ibnu Su'ud, yaitu:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Keduapuluh enam: Apakah ruqyah bertentangan dengan tawakkal?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Ruqyah tidak bertentangan dengan tawakkal, sebab dia adalah salah satu tindakan yang disyari'atkan. Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> telah melakukannya dan mengakuinya, bahkan memerinthakannya; termasuk di dalam pengertian umum hadits Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> yang shahih ketika ditanya tentang berobat: "Benar, wahai hamba Allah, beobatlah…." Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memerintahkan Asma' binti Umais menggunakan ruqyah dalam sebuah sabda beliau: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">مَا لِي أَرَى أَجْسَامَ بْنَ أَخِي ضَارِعَةً تُصِيْبُهُمُ الْحاَجَةُ ؟ قَالَتْ: لاَ, وَلكِنْ الْعَيْنَ تُسْرِعُ إِلَيْهِمْ, قَالَ: اِرْقِيْهِمْ, قَالَتْ: فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ, فَقَالَ: اِرْقِيْهِمْ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Kenapa tubuh-tubuh anak saudara saya lesu seakan menginginkan sesuatu? Lalu Asma' menjawab: "Tidak, akan tetapi penyakit ain telah menyerang mereka, Rasulullah memerintahkan: "Ruqyahlah mereka" Lalu dia berkata: "Maka aku menawarkan kepadanya untuk meruqyah mereka" Namun beliau menjawab: "Bacakanlah ruqyah kepada mereka".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn121" name="_ftnref121" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[121]</span></span></span></span></a> Dan Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> jika mengidap sesuatu maka Jibril Alaihis Salam meruqyahnya sebagaimana yang dijelaskan di dalam Shahih Muslim. Sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah hadits tentang ruqyah apakah bisa menolak taqdir Allah? Maka Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bersabda: Dia termasuk taqdir Allah. Bahkan Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memerintahkan untuk memanfaatkan ruqyah yang terbebas dari kesyirikan, yaitu ruqyah yang memenuhi syarat syar'I, seperti yang dijelaskan dalam sabdanya: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقىَ مَا لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ شِـرْكٌ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ajukanlah ruqyahmu kepadaku, tidak mengapa dengan ruqyah selama terbebas dari kesyirikan".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Keduapuluh Tujuh: Apakah ruqyah bersifat tauqifiyah seperti ibadah-ibadah lainnya atau dia tergntung ijtihad dan pengalaman sebagaimana sabda Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقىَ مَا لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ شِـرْكٌ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Ruqyah tunduk pada ketentuan ijithad dan pengalaman dengan syarat-syaratnya, yaitu: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1-Mempergunakan kalam Allah Ta'ala yaitu Al-Qur'an, do'a-do'a yang datang dari Rasulullah saw dan do'a-do'a yang benar yang tidak mengandung kesyirikan, bid'ah dan dipahami, berdasarkan sabda Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">ِاعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقىَ مَا لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ شِـرْكٌ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ajukanlah ruqyahmu kepadaku, tidak mengapa dengan ruqyah selama terbebas dari kesyirikan".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2-Terbebas dari tanda-tanda yang tidak dimengerti, tulisan-tulisan mantra, do'a-do'a yang tidak dipahami atau gerakan-gerakan yang tidak jelas.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">3-Orang yang meruqyah dan diruqyah meyakini bahwa yang menyembuhkan hanyalah Allah semata, dan semua terapi yang dilakukan hanya bisa bermanfaat dengan taqdir Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">4-Ikhlash dalam berniat dan mengharap kepada Allah semata saat membaca ruqyah atau berdo'a.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Keduapuluh Delapan: Apakah ruqyah syar'iyah bermanfaat untuk mengobati penyakit jasmani dan penyakit jiwa, dan apakah hukum orang yang mengejek praktik ruqyah syar'iyah yang muncul dari kalangan dokter dan para ilmuan, dan bagaimanakah pendapat syekh dengan orang yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara bacaan ruqyah dengan penyakit-penyakit ini dan ini adalah salah satu bentuk khurofat?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Benar bahwa ruqyah adalah sebab syar'I yang ditaqdirkan oleh Allah bisa bermanfaat untuk penyembuhan dengan izin Allah bagi penyakit<span> </span>jiwa dan jasmani, pengakuan terhadap manfaat ini sangat bergantung pada iman dan ketundukan diri kepada Allah Ta'ala serta apa-apa yang datang dari Allah dan Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">, seperti yang diceritakan dalam kisah orang yang disengat (yaitu orang yang disengat oleh kalajengking lalu ditimpa oleh racunnya) maka Allah menyembuhkannya dengan bacaan surat Al-Fatihah baginya, lalu Nabi saw</span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> membenarkan tindakan pembaca ruqyah tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Seorang muslim, baik sebagai dokter atau lainnya wajib menerima apa yang telah terbukti secara syar'I tentang penyembuhan dengan menggunakan ruqyah apalagi ruqyah yang berasal dari Al-Qur'an, di mana Allah menyebutnya sebagai (</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">هُدًى وَشِـفَاءٌ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>) dan</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَشِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>)</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">dan</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">benar bahwa Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> diruqyah oleh Jibril Alahis Salam dengan membaca: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">بِسْمِ اللهِ يُبْرِيْكَ وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيْكَ</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Dengan menyebut nama Allah yang akan membebaskanmu dan menyembuhkanmu dari setiap penyakit".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn122" name="_ftnref122" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[122]</span></span></span></span></a> Dan ucapan Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">مِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيْكَ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> sebagai dalil bagi ruqyah yang bersifat gelobal bagi setiap jenis penyakit baik rohani atau jasmani. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dalam pembuktian yang dijelaskan oleh sunnah bahwa penyakit-penyakit yang dapat sembuh dengan ruqyah pada masa Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> adalah penyakit-penyakit jasmani, dan mereka tidak mengenal penykait rohani yang banyak terjadi pada zaman kita sekarang ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Adapun, ungkapan mereka yang mengatakan bahwa ini adalah bentuk khurofat, dan Al-Qur'an tidak mempunyai hubungan apapun dengan penyembuhan berbagai jenis penyakit ini, adalah bukti nyata akan kebodohan mereka dengan agama Allah, dan sedikitnya pemahaman meraka dengan syara' Allah. Banyak di antara mereka yang menjadikan ilmu-ilmu terapan sebagai standar kebenaran terapi yang bersifat syar'I, dan ini adalah kesalahan dalam keyakinan beragama bagi seseorang, semoga Allah menyelamatkan kita darinya. Seandainya mereka menyadari bahwa Allahlah yang mengajarkan bagi mereka ilmu-ilmu alam seperti ilmu tentang kedokteran, Dialah yang mensyari'atkan bagi hambaNya untuk melakukan terapi syar'I (sebab-sebab yang bersifat abstrak bukan medis) seperti ruqyah dan mengambil bekas bagi aa'in, niscaya mereka tidak akan mengingkari apa yang disyari'atkan oleh Allah berupa ruqyah dan pengaruhnya yang sudah terbukti. Adapun sebab-sebab yang tidak disyari'atkan seperti meramal, tulisan–tulisan mantra dan sihir dan yang lainnya adalah terapi yang diharamkan oleh Allah Ta'ala.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Keduapuluh sembilan:<span> </span>Imam Ibnu Hajar Rahimhullah berkata: (Penyakit ain bisa terjadi karena rasa bangga seseorang sekalipun tanpa dibarengi dengan perasaan dengki, bisa terjadi dari orang yang mencintai atau orang yang shaleh…), Saya sangat mengahrapkan agar syekh berkenan menerangkan kalimat ini, dan apakah mesti seorang aa'in harus dengki? Dan bisakah penyakit ain muncul dari teman, keluarga dan orang yang shaleh baik hanya karena bergurau atau memuji?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Pada dasarnya penykit ain terjadi dari orang yang dengki, bisa juga terjadi karena perasaan gibthah (perasaan iri tapi tidak menghendaki nikmat tersebut hilang darinya) tanpa dibarengi dengan hasad yang jelas. Penyakit<span> </span>Ain juga bisa terjadi dengan sebuah ungkapan yang<span> </span>tidak dibarengi perasan dengki; baik yang muncul dari seorang teman atau kerabat, akan tetapi kalimat tersebut bisa mempengruhi jin yang selalu menyertai manusia, seperti yang disebutkan dalam riwayat yang muttafaq alaihi tentang seorang yang mendapatkan warna kemerah-merahan pada wajahnya, Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memerintahkan: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِسْتَرْقُوْا لَهَا فَإِنَّ بَهَا النَّظْرَةَ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"> </span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span>(Bacakanlah ruqyah baginya sebab pada dirinya ada tanda-tanda (terkena penyakit yang disebabkan) pandangan. Karena jin. Oleh karenanya penyakit ain bisa disebabkan oleh seorang teman, kerabat dan orang yang shaleh karena ungkapan yang lontarkannya, dengan bersenda gurau atau pujiannya baik pada saat serius atau saat main-main. Dengan kata lain bahwa seorang teman, kerabat dan orang shaleh bisa menyebabkan terjadinya penyakit ain baik dengan seganja atau tanpa sengaja dan inilah yang sering terjadi.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertanyaan Ketigapuluh:<span> </span>Disebutkan dalam hadits Umamah bin Sahl bin Hunaif sabda Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">مَنْ تَتَّهِمُوْنَ؟</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span>(Sapakah yang engkau curigai/tuduh) apakah makna <i>Ittiham</i>, dan tingkat kebolehannya secara syara' dalam mengobati penyakit ain? Dan apakah harus memberitahukan orang yang dicurigai menyebabkan penyakit ain, baik karena dengki atau bangga dalam rangka mengambil bekas dirinya, atau bekas tersebut diambil tanpa sepengetahuan aa'in, baik keringatnya atau liurnya agar tidak menimbulkan permusuhan?</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jawab: Makna <i>Ittiham</i> sudah jelas, yaitu orang yang yang ditimpa penyakit ain dianjurkan untuk mengingat-ingat kondisi yang telah berlalu yang mungkin menyebabkan dirinya tertimpa ain, dengan menggambarkan di dalam benaknya orang-orang yang mungkin mengungkapakan tentang sifat dirinya yang bisa menimbulkan perasaan dengki, gibthah atau mengungkapkan sebuah sifat di sisi orang lain, atau melihat darinya sesuatu yang menumbuhkan sifat gibthah atau iri.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Hal ini dipertegas oleh ucapan salah seorang shahabat ketika Nabi </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">bertanya: "Siapakah yang engaku curigai?" yaitu orang yang menyebabkan Sahl tertimpa penyakit ain. Mereka menjawab: Amir bin Rabi'ah, sebab mereka mendengarnya berkata bahwa kulit Sahl seperti kulit seorang wanita pingitan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Adapun tentang memberitahukan orang yang dituduh sebagai aa'in, maka hal ini kembali pada perkara yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut dan akibat yang muncul jika dilaksanakan; jika orang yang dituduh tersebut dewasa dan menerima kenyataan ini tanpa menimbulkan kerusakan, maka lebih baik diberitahukan dan diminta untuk mandi atau dia sendiri yang mengusap bekasnya dirinya. Namun jika perkaranya tidak seperti apa yang disebutkan di atas, maka sebaiknya bekasnya diambil tanpa sepengeatahuannya, dan semuanya bermanfaat insyaallah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">BAB KETUJUH</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">KISAH NYATA TENTANG PENGARUH RUQYAH SYAR'IYAH</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1) Cerita tentang seorang yang pingsan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Seorang wanita selalu pingsan dalam acara ( gembira) apapun, baik perayaan hari raya atau pernikahan, dia merasa tercekik secara terus menerus pada setiap acara tersebut namun berkuarang pada hari-hari lainnya, lalu pada saat ruqyah dibacakan dia menyebut salah seorang kerabatnya, maka Al-Roqi menyuruhnya untuk segera mengambil bekas kerabat tersebut tanpa sepengetahuannya dan berbaik sangka kepadanya, namun dia mengindahkan perintah tersebut. Akhirnya, pada sebuah acara pernikahan anaknya, wanita tersebut kembali pingsan di dalam ruang acara pernikahan tersebut, lalu dia dibawa dengan mobil ambulan menuju<span> </span>salah satu rumah sakit spesialis dan dimasukkan ke dalam ruang perwatan<span> </span>dalam kondisi pingsan dan sulit diharapkan sembuh, akibatnya pernikahan dibatalkan, lalu salah seorang putrinya pergi mengambil bekas makan wanita yang dicurigai lalu dimasukkan dalam sebuah botol air, kemudian dia membawanya menuju ruang perawatan intensif dan meletakkan sebagian bekas tersebut pada mulut ibunya, hingga menimbulkan perkara yang mengagetkan! Di mana wanita tersebut bangkit dari pingsannya dan duduk pada hamparan dipan lalu terbatuk-batuk dengan keras, yang menyebabkan para dokter dari inggris bertepuk tangan terheran, lalu wanita tersebut keluar dari rumah sakit pada hari yang sama dalam keadaan sehat yang sempurna, lalu seorang seorang suster menutup catatan wanita tersebut sambil berkomentar: (Terkadang badan tersebut mengobati dirinya secara langsung). Maha Suci Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2) Seorang yang lumpuh!!</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";">Seorang lelaki datang membawa anaknya yang tertimpa lumpuh pada seluruh tubuhnya dalam sebuah selimut, dia mengadu kepada seorang Roqi: Aku telah mengelilingi sebagian besar negara-negara di dunia ini untuk mengobati anakku dengan berbagai pengoatan medis, aku telah rugi tenaga, harta dan waktu, semua referensi medis menegaskan bahwa kelumpuhan ini bukan disebabkan oleh sebab-sebab medis!! Lalu roqi membacakan ruqyah baginya (dengan niat penyembuhan dan hidayah bagi jin yang bersarang pada dirinya), kemudian dia bertanya kepada anak tersebut: Apakah engkau mencurigai seseorang? Pertanyaan ini diajukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi saw: Siapakah yang engkau curigai?" Maka anak tersebut menjawab: Aku tidak berfikir saat ini kecuali bapakku ini!, lalu bapaknya terheran-heran sambil berkata: Apakah aku yang menyebabkannya tertimpa penyakit ain padahal aku telah mengerahkan harta dan waktuku bagi kesembuhannya!, Lalu sang roqi menjelaskan bahwa ain tersebut bisa dipancarkan dari seorang yang paling disayang, dan bukan menajdi syarat bahwa ain tersebut mesti dari orang yang dengki dan pemarah, akan tetapi pada saat seseorang mengungkapkan kekagumannya tanpa dibarengi dengan zikir kepada Allah, biasanya setan menghadiri keadaan tersebut danm memanfaatkannya, seperti yang dijelaskan dalam sabda Nabi saw:<span> </span></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ حَقٌّ وَيَحْضُرُهَا الشَّيْطَانُ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span dir="RTL"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"(Penyakit yang ditimbulkan oleh) mata adalah benar adanya, yang dibarengi oleh setan". Setan tidak melihat pada kabikan niat orang yang mengungkapkan pujian tersebut, dia hanya mengetahui apakah seseorang berzikir atau orang yang dikagumi apakah dia membentengi dirinya atau tidak dengan zikir atau yang lainnya untuk mencegah masuknya setan kepada orang yang dipuji tersebut, berdasarkan sabda Nabi saw: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">سِتْرُ مَا بَيْنَ عَوْرَاتِ اْلإِنْسَانِ وَالْجِنِّ قَوْلُ بِسْمِ اللهِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Penghalang antara aurat seseorang dengan jin adalah ucapan: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">بِسْمِ اللهِ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Lalu bekas orang tuanya diambil melalui segelas the yang diminumnya, maka anaknyapun meminumnya, akhirnya muncullah keajaiban yang tidak terduga!, Di mana anak tersebut mulai bergerak tanpa kehendaknya, dia mulai merayap ke bumi, lalu bangkit sedikit demi sedikit dengan berat, kemudian dia menggerak-gerakkan seluruh anggota badannya, lalu melangkah beberapa langkah lalu terjatuh dan ia kembali bangkit! Bapakanya menangis terharu lalu berkata: Aku mengingat, dua tahun yang silam saat para tamu berkunjung ke rumah, aku memuji anakku ini karena pelayanannya yang baik kepada para tamu, namun pujian itu tanpa dibarengi zikir kepada Allah. "Demi Allah, tidak ada anak yang bermamfaat bagiku kecuali anak ini" Pujiku baginya tanpa menyebut nama Allah. Setelah itu anakku ini merasakan sakit yang kronis sampai dia lumpuh selama dua tahun, dan tidak ada dokter yang specialis penyakit lumpuh baik di dalam negeri atau di luar negeri kecuali aku pergi kepadanya. Akhirnya, orang tuanya berterima kasih kepada roqi sambil berkomentar:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">حَامِلُ دَاهُ بُرْدَاهُ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Pembawa penyakit dirinya pada selimutnya, maksudnya: Dia capek mencari obat di luar padahal dia sendiri yang menjadi sebab penyakit tersebut), akhirnya anak tersebut pulang sambil membawa selimut yang dipakainya. Segala puji bagi Allah atas karuniaNya.</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">3) Usus Yang Berlilit.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Seorang penuntut ilmu syara' menghadiri jamuan makan pada sebuah pesta untuk walimah. Saat makan berlangsung, dia selalu membantu teman-temannya memotong daging lalu membagikannya kepada para tamu. Lalu salah seorang mereka bercanda:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">بَطْنُكَ كَالْكَسَّارَةِ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Perutmu seperti pemecah batu). Akhirnya para tamu tertawa dengan kalimat tersebut. Di akhir walimah orang orang tersebut merasa sakit pada perutnya, selalu ingin muntah dan mencret. Lalu dia segera ke dokter dan mendiagnosa tempat yang sakit dengan sinar<span> </span>lasser, ternyata ususnya berlilit di dalam perutnya, dan harus menempuh jalan oprasi untuk meluruskan usus-usus yang berlilit tersebut. Proses operasi berlangsung sukses dan dia boleh meninggalkan rumah sakit setelah beristirahat padanya satu bulan penuh untuk meniunggu kesembuhan luka pada oprasi tersebut, saat berjalan pulang dan sampai di pintu keluar, orang tersebut terserang rasa sakit pada tempat yang sama di perutnya, lalu proses diagnosapun diulangi oleh seorang dokter yang telah menanganinya sebelum ini dan terheran dengan berlilitnya usus dalam waktu yang cepat. Dan dokter tersebut memutuskan untuk menjalankan operasi kedua kalinya untuk meluruskan usus yang sedang berlilit, lalu beristirahat di rumah sakit tersebut selama satu bulan tambahan, saat sudah sembuh dan ingin keluar, dia kembali merasakan rasa sakit yang sama, namun pada saat ini, dokter memutuskan mustahil menjalankan operasi ketiga kalinya sebab kelemahan badan untuk menahan tiga kali operasi untuk jenis penyakit yang sama. Dokter menerangkan bahwa penyakit ini adalah yang pertama terjadi di dunia dan tidak diketahui sebabnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pasien keluar dengan membawa rasa sakitnya, lalu seorang roqi membacakannya ruqyah dengan niat penyembuhan dan petunjuk dan menyebutkan orang yang dicurigai. Lalu sang roqi menyuruhnya untuk berbaik sangka padanya dan mengambil bekas dirinya baik liur atau keringat. Lalu sang pasien mengambil bekas tersebut dan disiramkan pada badannya namun tidak memberikan pengaruh apapun,<span> </span>rasa perihpun masih tetap dirasakan, kemudian mengadu kepada roqi, dan sang roqopun bertanya kepadanya: "Apakah engkau telah meminum bekas tersebut? "Tidak" Jawanya. "Aku hanya menyiramkannya pada tubuhku" Jelasnya. Lalu sang roqi menjelaskan: Penyakit ain ini telah menimpa perutmu dan bekas tersebut seharusnya sampai di tempat yang ditimpa penyakit ain tersebut. Lalu dia kembali mengambil bekas aa'in dan meminumnya, akhirnya usus-ususnya kembli pada posisi semula dan pasien hidup seperti sediakala, kemudian dia kembali ke rumah sakit untuk meyakinkan tentang kondisinya, pihak rumah sakit menegaskan kesehatan ususnya dengan karunia Allah semata.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">4) Penyakit Yang Tidak Diketahui Jenisnya. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Kami tulis seperti apa yang diceritakan oleh yang bersangkutan)</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sebelum sepeuluh tahun yang silam aku terkena penyakit ginajl yang kronis sampai aku kencing darah (Semoga Allah memuliakanmu). Aku pergi ke sebuah rumah sakit terbesar dan mendapatkan darinya hasil diagnosa yang terlampir di bawah. Para dokter menegaskan: Penyakit ini tidak mempunyai obat sama sekali, dan tidak mempunyai sebab yang jelas di dalam teori kedokteran, penyakit ini disebut: IGA. Bertahanlah di rumah, engkau tetap akan decontrol saja sebab tidak ada seorangpun yang bisa selamat dari penyakit sejenis ini, bahkan bisa berakibat pada kegagalan ginjal yang cepat semoga Allah tidak memperkenankan hal itu terjadi.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Setelahnya dunia sempit bagiku kecuali dari rahmat Allah, lalu aku pergi menuju syekh Abdullah Al-Sadhan-semoga Allah memberikan gajnaran baik baginya-untuk dibacakan ruqyah. Beliau berkata: Saya akan membacakan beberapa ayat-ayat Allah bagimu dan semoga Allah menyembuhkanmu isyaallah dan aku membacanya dengan niat penyembuhan dan ittiham dalam rangka mengamalkan hadits yang mengatakan:</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">مَنْ تَتَّهِمُوْنَ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> (siapakah yang engkau curigai?). Saat membaca ruqyah dia bertnya kepadaku: Apakah engkau mencurigai ada orang yang pernah mengungkapakan sebuah kaliamat tentang dirimu? Apakah engkau pernah melihat sebuah peristiwa atau mimpi? Apakah di dalam benakmu tergambar seseorang yang pernah menimpakan penyakit ain bagimu? Dalil-dalil ini berdifat praduga yang tidak dipastikan namun tetap dilaksnakan dan dibarengi dengan baerbaik sangka kepada mereka yang diambil bekas dirinya. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Setelah pertnyaan ini, aku mencurigai beberapa orang lalu aku mengambil bekas mereka, maka darah tersebut terhenti secara tiba-tiba, kecuali rasa perih. Pada euqyah yang kedua aku melihat orang lain lalu akupun pergi mengambil bekas mereka maka rasa sakitpun hilang. Segala puji hanya bagi Allah. Kemudian aku mengecek badanku ternyata kesehatanku membaik 70%, lalu pada saat dibacakan ruqyah yang ketiga kalinya penyakit tersebut hilang secara semppurna dan segala puji hanya bagi Allah, akhirnya keadaanku mnejadi stabil.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Oleh karenanya, saya menasehatkan kepada saudara-saudaraku yang sedang sakit untuk memanfaatkan ruqyah syar'iyah, sebagai dasar penyembuhan yang sudah diremehkan, dan pergola menuju pembaca ruqyah yang hanya mengharap pahala dari Allah.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">FATWA PENEGASAN PARA ULAMA TENTANG KEBOLEHAN</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">M E T O D E<span> </span>I T T I H A M</span></b></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Yang mulia: syekh kami Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin semoga Allah tetap melindunginya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Assalamu alaikum Wa Rahmatullahi Wa Baraktuhu</span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sebagian orang mengingkari kami dengan praktik pengalaman ruqyah yang tidak bertentangan dengan syara', bahkan masuk dalam penertian hadits Rasulullah saw</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">:<span> </span></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقىَ مَا لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ شِـرْكٌ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Perlihatkanlah ruqyahmu kepadaku, tidak mengapa dengan ruqyah selama dia terbebas dari kesyirikan". (HR. Muslim, Mukhtashar Shahih Muslim no: 1462, dipahami dari sabda Rasulullah yang ini:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ َ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Perlihatknlah kepadaku penglamanmu dalam ruqyah). Dan penglaman ini telah kami perlihatkan kepada kepada yang mulia syekh Abdul Aziz bin Baz, syekh Ibnu Utsaimin, syekh Abdul Muhsin Al-Ubaikan, dan yang lainnya dan kepada yang syekh sendiri, sebagian besar mereka mendukungnya.<span> </span>Semuanya terwujud karena karunia Allah semata. Di antara yang kami perlihatkan adalah: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1) Membaca ruqyah kepada orang yang ma'yun dengan niat mengekang setan yang mersuk, kemudian dikatakan kepada Ma'yun: Siapakah yang engkau curigai?, maka akan terbayang di dalam benaknya orang yang menjadi Aa'in, berdaarkan hadits: "</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span> <span lang="AR-SA">مَنْ تَتَّهِمُوْنَ</span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>", kemudian diambillah bekas aa'in baik liur atau keringat lalu dipergunakan untuk mandi dan minum maka setan aa'in akan meninggalkannya dengan izin Allah, begitu juga dianjurkan mengamalkan hadits Abi Hurairah yang marfu': </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ حَقٌّ وَيَحْضُرُهَا الشَّيْطَانُ وَحَسَدُ ابْنُ آدَمَ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"(Penyakit yang ditimbulkan oleh) mata adalah benar adanya, yang dibarengi oleh setan dan sifat dengki anak Adam". (Fathul Bari 10/12). Pengalaman menunjukkan tentang manfaat metode ittiham ini, bahkan dengan karunia Allah engkau tidak mendapatkan sakit kembali pada keadaannya semula. Pengalaman ini tidak bisa pungkiri oleh siapapun.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2) Membaca Al-Qur'an dengan niat penyrmbuhan dari berbagai penyakit; baik penyakit rohani atau penyakit jasmani, berdasarkan firman Allah Ta'ala: </span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar".</span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Kata ((</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">شِفَاءٌ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>))</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> bermakna umum yang tidak dibatasi dengan sesuatu. Dan ketika Jibril Alaihis Salam meruqyah<span> </span><i>Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam</i>, dia membaca:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">بِسْمِ اللهِ يُبْرِيْكَ وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيْكَ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Dengan menyebut nama Allah yang akan membebaskanmu dan menyembuhkanmu dari setiap penyakit". (Mukhtashar Shahih Muslim no: 1443, maka kata: (</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span> َمِنْ كُلِّ دَاءٍ</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>) umum untuk setiap penyakit, tidak seperti apa yang dipahami oleh orang-orang terdahulu yang membatasinya hanya pada penyakit ain,seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah <i>Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam</i>: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"> </span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span>(Tidak ada ruqyah kecuali karena penyakit ain), dan makna yang shahih bagi hadits ini adalah: Tidak ada utama yang lebih utama mendapat ruqyah kecuali orang yang tertimpa penyakit ain dan racun sengatan". Mereka membantah praktik yang berdasarkan pada penglaman yang tidak bertentangan dengan syara' dengan anggapan bahwa praktik tersebut akan memabawa pada kesyirikan, mereka akhirnya memantah praktik pengobatan dengan meniup pada air dan berobat dengan daun bidara, bahkan di antara mereka ada yang berlebihan dalam mengingkarinya generasi terdahulu umat ini, karena mereka menjalankan praktik ruqyah ini dan penegasan mereka tentang kebolehannya, seperti Imam Ahmad Bin Hambal, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim <i>rahimhumullah</i> dan ulama umat di negara ini dengan alasan, sebagiamana<span> </span>yang disebutkan oleh penulis kitab: <i>Al-Nazirul Uryan?</i>. Hai ini adalah sikap merendahkan kedudukan Al-Qur'an sebagai penwar bagi penyakit dan meremehkan para ulama, (Janganlah engkau bertanya tentang kebiansaan suatu ummat yang bisa menimpa orang yang merendahkan kedudukan ulamanya). Saya mengharapkan kepada syekh untuk menjelaskan masalah ini, semoga Allah memberikan taufiqnya kepadamu dan meluruskan langkah-langkahmu dan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad. <span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 2in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 3in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Abdullah Muhammad Al-Sadhan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 2in; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Jawaban syekh Abdullah Bin Jibrin</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Asslamu alaikum warahmatullahi wabaraktuhu</span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Saya setuju dengan apa yang anda tulis tentang perkataan Syekh bin Baz, Ibnu Utsaimin dan Ibnu Ubaikan, saya tegaskan bahwa penglaman ini bermanfat dan berguna dengan izin Allah, dan tidak mesti setiap ruqyah harus bersifat manqul<span> </span>(dari Rasulullah <i>Shallallahu Alaihi Wa Sallam</i>) akan tetapi setiap ruqah yang memberikan pengaruh positif yang terbebas dari kesyirikan boleh dikerjakan berdasarkan hadits yang disebutkan di atas, baik ruqyah tersebut untuk penyakit ain atau kerasukan dan penyakit lainnya, dengan syarat bahwa ruqyah tersebut terbebas dari kata-kata yang tidak diketahui maknanya, terbebas dari catatan mentera atau huruf-huruf yang terputus-putus atau yang sepertinya, berjalanlah pada jalan yang engkau tempuh dengan curhan berkah dari Allah, Allah bersamamu dan tidak akan mengurangi pahala amal kalian. Semoga Allah memberikan ganjaran yang baik bagimu. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syekh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, pada tanggal 2/1/ 1416 H.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">P E N U T U P</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tidak diragukan lagi bahwa lisan bisa membawa seseorang beruntung atau binasa, banyak ucapan yang menjerumuskan pelakunya pada neraka Jahannam. Semoga Allah melindungi kita darinya. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:<span> </span></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 18pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span>وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسُ عَلىَ مَنَاخِـرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتـِهمْ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 18pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Dan tidakkah banyak munusia yang digeret pada batang hidungnya kecuali karena jebakan lidah-lidah mereka?". Lisan adalah alat yang paling besar yang dipergunakan oleh setan untuk menimpakan kemudharatan bagi kaum muslimin, khususnya mata yang didorong kedengkian, oleh karena itulah menjaga lisan termasuk upaya yang paling besar untuk melawan setan, maka seharusnya bagi seorang muslim untuk tidak berkata kecuali dengan perkataan yang bermanfaat, Nabi <i>Shallallahu Alaihi Wa Sallam</i> bersabda:<span> </span></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ اْلَمرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Termasuk tanda kebaikan keisalman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Inilah yang bisa saya ungkapakan dalam catatan yang kecil ini tentang pengalaman saya pada medan yang besar ini, yaitu ruqyah syar'iyah, yang dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah: Termasuk perbuatan yang paling afdhal, aktifitas para Nabi dan orang-orang yang shaleh, sesungguhnya para Nabi dan orang-orang shaleh senantiasa menghalau setan-setan dari Bani Adam dengan jalan yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jika aku diberi taufiq padanya, maka segala puji bagi Allah dengan pujian yang semestinya, yang sesuai dengan kemuliaan wajahMu dan keagungan kekuasaanMu, namun jika yang terjadi sebaliknya,<span> </span>maka aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-indent: 0.5in;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">إِنْ أُرِيْدُ إِلاَّ اْلإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيْقِي إِلاَّ بِاللهِ عَلَيْهِ<span> </span>تَوِكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Aku hanya menginginkan perbaikan semampuku, dan tidak ada yang memberikan taufiq kepadaku kecuali Allah, kepadaNyalah aku bertwakkal dan kepadaNya pula aku kembali".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">مَادَعْوَةٌ أَنْفَعُ يَا صَاحِبِي <span> </span><span> </span>مِنْ دَعْـوَةِ الْغَائِبِ لْلْغَائِبِ</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 0.5in;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">نَاشَدَتُّكَ الرَّحْمنَ يَاقَارِئًا<span> </span>أَنْ تَسْأَلَ اْلغُفْرَانَ لِلْكَاتِبِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tiada do'a bermanfaat wahai shahabatku</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dari do'a orang yang gaib bagi orang yang gaib</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Demi Zat Yang Pengasih, wahai pembaca</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Mintalah ampunan bagi bagi penulis buku ini</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 3.5in; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Riyadh</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">, 1 Ramhdan 1422 H.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 4in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Penulis</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="RTL"></span> </span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span>Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Sadhan</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">P.O.<span> </span>Box. 154033, Riyadh 11736</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">RISALAH</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">PEMBEDA ANTARA TERAPI SECARA SYAR'I DAN KHUROFAT PARA DUKUN</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Yang Mulia Syekh <span> </span>Abdullah bin Sulaiman Al-Mani'</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Segala puji bagi Allah, aku memujinya, memohon ampunan dan bartaubat kepadaNya, aku berlindung kepada Allah dari keburukan perilakuku, aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Esa yang tiada sekutu bagiNya dalam uluhiyah, rububiyahNya dan kesempurnaan zat dan sifatNya, persaksian yang dengannya aku bertemu dengan Tuhanku. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, imam orang-orang yang bertaqwa dan penghulu para Rasul, pemimpin orang-orang yang bercahaya mukanya padahari kiamat. Semoga Allah memberikan kesejateraan baginya sampai hari kiamat. Amma Ba'du: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Allah telah menciptakan manusia dengan tanganNya yang mulia, dan meniupkan baginya ruh yang suci, menjadikannya menjelma dengan ruh dan jasad, menjadikan ruh sebagai inti kehidupan, Dia telah menjamin kelanggengan hidupnya, menjadikan jasad sebagai sebagai sarana yang menjaganya sampai batas waktu tertentu, pengikat kemampuannya dari kebebasan terbang dan bergentayangan pada penjuru kecuali pada saat jasad terbujur tidur, ruh tersebut bebas bergentayangan pada saat tidur saja, firman Allah Ta'ala: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; line-height: 150%;">اَللهُ يَتَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا اْلَموْتَ وَيُرْسِلُ اْلأُخْـرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذلِكَ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Allah memgang jiwa orang ketika matinya, dan memgang jiwa orang yang belim mati ketika tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematinnya Dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn123" name="_ftnref123" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[123]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Hanya Allahlah yang memiliki kesempurnaan yang mutlaq, menetapkan bagi mahluknya kekurangan dalam harta, jiwa dan buah-buahan karena hikmah yang dikehendakiNya, dan rahasia yang ditunutut oleh kebijakasanaan, pengetahuan dan ilmuNya, firman Allah Ta'ala: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَئٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn124" name="_ftnref124" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[124]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Manusia adalah satu bagian dari mahluk Allah yang terbentuk dari unsur ruh dan jasad, dan setiap unsur tersebut memiliki kekurangan dalam penciptaan, prilaku, perasaan dan kepekaan. Ruh adalah zat yang hidup yang mempunyai kekurangan dan keteledoran, bisa dijangkiti penyakit jiwa seperti kebingungan, kebimbangan, kegoncangan jiwa, defresi mental, temperament yang tidak menantu dalam perasaan dan pikiran, kekhawatiran yang membawa pada sikap ragu-ragu dan was-was, minder dan mentalitas yang labil.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Dan jasad adalah zat yang hidup selama ruh menempatinya, dan dia bisa ditimpa penyakit jasmani yang bermacam-macam, baik pada pendengaran, pengelihatan dan kekuatannya yang beragam yaitu kekuatan lahir dan bathin.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Melihat bahwa Allah telah membedakan manusia dalam penciptaannya dan melebihkannya dari mahluk yang lain dengan aqal yang dimilikinya, dia mengetahui dengannya sesuatu yang baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, diberikan hati untuk berifir dan melihat, dan otak yang menunjukkannya kepada jalan yang sesuai dengan fitrah yang telah tetapkan oleh Allah bagi ciptaannya. Selain itu, Allah memberikan kepada manusia kemampuan untuk maju dalam ilmu pengetahuan dan menembus lapisan alam demi menyingkap keistimewaan dan keajaibannya, kemudian memanfaatkan kandungan alam ini untuk membangun peradaban yang akan memudahkan segala urusan hidupnya, baik untuk menjaga diri dan hak-haknya, dan sebagai sarana untuk menjaga keselamatan pribadinya dari berbagai penyakit sehingga membuatnya mampu mengemban amanah membangun bumi dan mejalankan tugas menjadi khalifah di dunia. Selain itu, hidup yang penuh dengan nilai peradaban ini juga mampu menjamin terjaganya kemuliaan, kelebihan dan keutamaan manusia dari berbagai mahluk yang telah diciptakanNya. Lebih dari itu,<span> </span>Allah menjaga manusia agar selalu istiqomah dalam jalan yang benar dan jalan petunjuk dengan mengirim bagi mereka para Rasul dan Nabi-NabiNya, Allah menurunkan bagi mahlukNya kitab-kitab sebagai penjelasan bagi setiap sesuatu, sebagai petunjuk, nasehat dan kabar gembira bagi orang yang berakal.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Telah terebentuk pada manusia sarana-sarana untuk mencapai kebagaiaan, ketenangan, keistimewaan dan meraih ilmu dari wahyu Allah dan hasil kerja aqal, sehingga menjadikannya mampu megarahkan bahtera kehidupan dunia menuju apa yang kita lihat sekarang ini berupa kemajuan pada berbagai bidang<span> </span>ilmu untuk memenuhi kebutuhan ruh, jasad dan kehidupan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Di sana ada ilmu tentang hikmah exsistensi dan kebenaran zat yang menciptakannya, ilmu tentang filosofi alam, ilmu social yang membahas tentang perbedaan dan aktifitas suatu masyarakat, potensi mereka, sebab-sebab kemajuan dan kemunduran mereka, ilmu jiwa dan ilmu tentang kesehatan jasmani, ruh memiliki bidang ilmu tersendiri, disebut ilmu jiwa, dan jasmani inipun memiliki bidang ilmu tersendiri, disebut dengan ilmu kedokteran umum, dan setiap bidang ilmu tersebut memilki dokter dan obat-obtan yang khsus.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Melihat bahwa ruh adalah zat yang hidup, yang urusannya diserahkan kepada Allah, rahsianya hanya Allah yang mengetahuinya, maka ruh terkadang dijangkiti penyakit yang mengakibatkan sulit baginya untuk memberikan rasa bahagia bagi tempat bersemayamnya, yaitu jasad. Maka untuk menanggulangi berbagai penyakit ruh, telah berkembang berbagai macam terapi, di antaranya ada terapi dengan menggunakan jarum medis, terapi dengan metode menembus dinding jiwa atau dengan do'a dan ruqyah syar'iyah. Bersamaan dengan itu, telah menjamur berbagai klinik yang menangani jiwa yang ditangani oleh orang-orang spesialis, sekaligus penyediaan obat-obtan yang khusus baginya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Pembahasan kita adalah klinik jiwa yang khusus menangani penyakit jiwa dan gangguan setan, yaitu suatu penyakit yang secara hakiki ada. Dia menyerupai ruh dari sisi keberadaan ruh tersebut secara hakiki dan dari sisi hakekat ruh yang tidak bisa dijangkau secara indrawi, baik indra pendengaran, pengelihatan dan perasa.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Sekelompok orang yang exstrim dalam mengagungkan rasio dan perasaan mengingkari keberaadaan penyakit seperti ini, begitu juga terapi pengobatannya, dengan alasan kebebasan jasmani dari penyakit ruh seperti ini, dan mengingakari adanya suatu penyakit di dalam tubuh yang tidak mempunyai tempat yang nyata (secara indrawi). Semua itu-menurut mereka –adalah iliusi dan khayal.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Sebab munculnya fenomena ini, kembali kepada kesempitan di dalam memandang sesuatu dan mengingkari keberadaan (suatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra), kurang iman dan mengandalkan akal dalam menentukan keberadaan atau meniadakan sesautu, serta membatasi keberadaan sesuatu tersebut pada apa yang bisa dilihat saja.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Kebenaran yang didukung oleh realita adalah keberadaan sesuatu tidak terbatas pada apa yang bisa diraba dan dilihat saja.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Arus listrik, sebagai sesuatu yang hidup yang mengalir dalam kawat-kawat kabel, adalah kekuatan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan yang beragam, dia adalah kekuatan yang bisa menghancurkan, kekuatan ini tidak bisa dibedakan (secara indrawi) oleh orang yang menghubungkannya pada dua saluran, salah satunya dihubungkan dengan tenaga listrik sedang yang lain tidak dihubungkan dengan aliran listrik, begitu juga dengan angin dan topan, dia adalah kekuatan yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, dan Allah juga mengirimnya untuk keperluan pembiakan, dan membawa berita gembira bagi datangnya rahmat Allah, bersamaan dengan itu, kekuatan tersebut tidak bisa didengar dan diraba secara indrawi. Ruh anak manusia, jin dan malaikat, hewan dan tumbuh-tumbuhan adalah ruh yang ada secara hakiki, dan tidak ada seorangpun yang berakal sehat yang membantah keberadannya, serta tidak mungkin untuk dilihat dan diraba.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Kenyataan ini, memberikan kepuasan bagi kita tentang adanya pengaruh nyata bagi proses kerja yang tidak bisa dijangkau indra, baik indra pendengaran, pengelihatan dan peraba.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Melihat bahwa kenyataan alami ini adalah sesuatu yang telah diyakini dan diterima oleh seluruh penganut ajaran samawi, khususnya umat Islam, maka sungguh, telah ditemukan adanya orang yang mengaku memiliki ilmu dan pengetahuan (tentang maslah ruh) yaitu mereka yang menyebut dirinya sebagai ulama dalam berbagai penyakit ruh dan jiwa, terlebih ilmu yang berhubungan dengan mantra, jimat dan do'a-do'a, mereka mengetahuinya dengan menggeluti bidang perduknan, dan peramalan dengan memanfaatkan setan dan jin nakal, mereka menggunakan racikan dan simbol-simbol tertentu. Akhirnya, mereka terjerumus memberikan label pengobatan secara syar'I bagi prkatik ini untuk penyakit yang berhubungan dengan rohani dan jasmani sebagai bentuk pengelabuan, penyesatan dan mencampur antara hak dengan bathil, antara hakikat dan khayal.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Oleh karenanya, bagi orang yang memiliki kelebihan dan ilmu, yaitu orang yang memiliki akidah yang lurus dan iman yang benar untuk menjelaskan bagi kaum muslimin jalan petunjuk dan tetap mengingatkan masyarakat pada bahaya pelaku kebohongan, khurofat dan para dukun, dari golongan orang penyembah jin dan setan. Mereka diwaspadai karena perbuatan syirik dan pengelabuan yang mereka lakukan, juga tindakan mereka yang memanfaatkan kesempatan untuk mengambil harta orang lain, menguasai harga diri orang, merusak jiwa dan hati, para ulama harus menjelaskan tentang perbedaan antara mantra dan ruqyah syar'iyah dengan apa yang tampilkan oleh para dukun yang pombohong dari bentuk keburukan, kejelekan, kesesatan dan<span> </span>penyesatan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Maka ruqyah syar'iyah dan do'a-do'a yang disyari'atkana adalah terapi<span> </span>bagi jiwa yang harus diterima tanpa ragu dan harus diakui, apalagi bagi seorang muslim yang meyakini rububiyah dan uluhiyah Allah Ta'ala, sebagai Tuhan yang menyembuhkan dan menyehatkan, yang tiada daya dan upaya kecuali karena Allah Ta'ala, apa yang inginkanNya maka pasti terjadi dan apa-apa yang tidak dikehendakiNya maka dia tidak akan pernah terjadi.<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Banyak sekali dalil-dalil syara dari kitab dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan tentang manfaat Al-Qur'an sebagai petunjuk dan penyembuhan, firman Allah Ta'ala: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">قٌـلْ هُـوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُـوْا هُدًى وَشِـفَاءٌ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Katakanlah: Al-Qur'an adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn125" name="_ftnref125" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[125]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; margin-right: 1.65pt; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah bagi orang-orang yang zalim selain kerugian".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn126" name="_ftnref126" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[126]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَإِمَّا يَنْـزَغَـنَّكَ مِنَ الشَّـيْطَانِ نَـزْغٌ فَاسْتَـعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُـوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan jika kamu ditimpa suatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui".</span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">َوإَذَا مَرِضْتُ فَـهُوَ يَشْفِيْنِ</span><i><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn127" name="_ftnref127" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[127]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dan disebutkan di dalam sunnah pada kita Shahih Muslim dari Aisyah radhiallahu anha berkata: Apabila Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> mengadu suatu penyakit maka Jibril meruqyahnya dengan membaca: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">بِسْمِ اللهِ يُبْرِيْكَ وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيْكَ وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ وَشَرِّ كُلِّ ذِيْ عَيْنٍ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(Dengan menyebut nama Allah yang akan membebaskanmu dan menyembuhkanmu dari setiap penyakit, dan dari kejahatan orang yang dengki jika bersikap dengki serta kejahatan orang yang memiliki ain".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn128" name="_ftnref128" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[128]</span></span></span></span></a> </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dan diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Jibril meruqyah Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> dengan do'a seperti ini.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn129" name="_ftnref129" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[129]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Disebutkan oleh imam Muslim dari Aisyah radhiallahu anha berkata: bahwa Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> jika salah seorang di antara kami mengidap suatu penyakit maka dia mengusapnya dengan tangan kanan beliau sambil membaca: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ اْلبَاسْ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ<span> </span>شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا </span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>3x</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ya Allah Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah! Engkaulah yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang Engkau kehendaki, yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit". Maka pada saat Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> ditimpa suatu penyakit dan semakin parah maka aku mengusapkan tanganku padanya, dengan melakukan seperti apa yang beliau lakukan, maka beliau mencabut tangannya dari tanganku kemudian membca:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَللّـهُمَّ اغْفِـرْلِي وَاجْـعَلْنِي مَـعَ الرَّفِيـْقِ اْلأَعْـلىَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ya Allah ampunilah aku dan jadikanlah aku bersama orang-orang yang menempati tempat yang tertinggi" Lalu aku</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> memandang kepada beliau namun tiba-tiba beliau telah tidak bernafas lagi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn130" name="_ftnref130" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[130]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dan dari Aisyah berkata: Apabila salah satu keluarga Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> mengidap suatu penyakit maka beliau meniupnya dengan <i>Al-Mu'awwidzat,</i> dan pada saat beliau ditimpa penyakit yang menyebabkan beliau meninggal dunia maka aku meniup beliau dan mengusapnya dengan tangan beliau sendiri, sebab tangannya lebih berkah dari tanganku.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn131" name="_ftnref131" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[131]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dari Aisyah bahwa Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam </i>jika salah seorang merasakan suatu penyakit, atau terkena penyakit bisul atau terluka maka Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam </i>melakukan dengan jari seperti ini-maka beliau meletakkan telunjuknya pada bumi kemudian mengangkatnya dan berkata: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">بِاسْـمِ اللهِ تُـرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا لِيَشْفِي بِهِ سَقِيْمَنَا بِإذْنِ رَبِّنَا</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan air liur sebagian kita, untuk menyembuhkan penyakit kita dengan izin Tuhan kita".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn132" name="_ftnref132" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[132]</span></span></span></span></a> Dan dari Aisyah bahwa Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> memerintahkannya membaca ruqyah dari penyakit ain.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn133" name="_ftnref133" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[133]</span></span></span></span></a> Dalam riwayat Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata: Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> memberikan keringanan dalam menjalankan praktik ruqah pada penyakit ain, humah dan namlah".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn134" name="_ftnref134" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[134]</span></span></span></span></a> Imam Nawawi berkata: Al-Namlah adalah penyakit sejenis korengan, bisul yang muncul pada pinggir-pinggir badan, dan penyakit Humah adalah penyakit karena sengatan binatang yang beracun.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn135" name="_ftnref135" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[135]</span></span></span></span></a> Pada shahih muslim diriwayatkan dari Auf Al-Asyja'I berkata: Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam </i>bersabda: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقىَ مَا لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ شِـرْكٌ</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Perlihatkanlah ruqyahmu kepadaku, tidak mengapa dengan ruqyah selama dia terbebas dari kesyirikan". </span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn136" name="_ftnref136" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"><span dir="RTL"></span><span class="MsoFootnoteReference"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 115%;"><span dir="RTL"></span>[136]</span></span></span></span></span></a><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">َ</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dan disebutkan dalam riwayat Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu bahwa beberpa orang shahabat Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> berada dalam sebuah perjalanan, mereka melewati sebuah perkampungan Arab, maka para shahabat meminta izin sebagai tamu pada perkampungan tersebut, namun mereka enggan menjamu mereka. Mereka bertanya: "Apakah di antara kalian ada yang membaca ruqyah? Sesungguhnya peminpin kaum ini sedang terkena sengatan" Jelas mereka. Salah seorang shahabat menjawab: "Ya" Lalu dia mendatanginya dan meruqyahnya dengan membaca surat Al-Fatihah, akhirnya orang tersebut sembuh. Lalu dia diupah dengan beberapa ekor kambing namun enggan menerimanya, sambil berkata: "Sampai aku menanyakannya kepada Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam". </i>Lalu dia datang kepada Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam </i>dan menyebutkan peristiwa yang mereka alami: Wahai Rasulullah aku tidak meruqyahnya kecuali dengan membaca surat Al-fatihah" Jelasnya, maka Rasulullah tersenyum dan berkata: "Dari manakah engkau mengetahui kalau dia adalah ruqyah" Kemudian melanjutkan: "Ambillah dari kambing mereka dan berikanlah beberapa bagian untukku".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn137" name="_ftnref137" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[137]</span></span></span></span></a> Pada riwayat yang lain disebutkan: Maka dia membaca ummul qur'an dan mengumplkan ludahnya lalu meniupkannya,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn138" name="_ftnref138" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[138]</span></span></span></span></a> akhirnya lelaki tersebut sembuh".</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Nash-nash di atas, yang diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah menjelaskan bagi kita bahwa ruqyah disyari'atkan, dan tidak diragukan lagi bahwa syari'at Allah hak dan benar, serta wajib diimani, maka ruqyah syar'iyah adalah penyembuh bagi penyakit rohani dan jasmani dan Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> menjelaskan: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">لاَ بَأْسَ بِالـرُّقىَ مَا لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ شِـرْكٌ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span>"</span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tidak mengapa dengan ruqyah selama terbebas dari kesyirikan".</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Melihat kenyataan adanya usaha memperburuk citra do'a-do'a yang terdapat di dalam ruqyah, maka sebagian ahli ilmu dan orang yang membidangi ruqyah ini telah menuliskan beberapa syarat bagi kebolehan suatu ruqyah, yaitu: </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1) Ruqyah tersebut berasal dari kitab Allah Ta'ala atau dari sunnah Rasulullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>, atau dari do'a-do'a yang dibolehkan yang berisi tentang menggantungkan diri kepada Allah Yang Esa, yang tiada sekutu bagiNya dalam mendatangkan mamfaat dan menolak keburukan, dan hanya Allahlah yang menyembuhkan, Allah berfirman:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">َوإَذَا مَرِضْتُ فَـهُوَ يَشْفِيْنِ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span><i><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn139" name="_ftnref139" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[139]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2) Tidak mengandung sesuatu yang tidak dimengerti seperti isyarat dan garis-garis symbol dan lain-lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">3) Harus berbahasa Arab, untuk menghindari terjadinya kekurangan dan kekaliruan dalam berdo'a dan adanya sikap bergantung kepada selain Allah jika mempergunakan bahasa yang lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">4) Tidak meyakini bahwa pada ruqyah tersebut atau darinya kesembuhan secara langsung, akan tetapi ruqyah adalah sebab semata dan yang menyembuhkn adalah Allah Ta'ala, di mana Dia telah menjadikan ruqyah sebagai sebab, sementara yang menyembuhkan adalah Allah semata. </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">5) Orang yang meruqyah adalah orang yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan yang mengatur alam dan yang wajib disembah, hanya miliknya segala daya dan upaya, apa-apa yang dikehendakiNya mesti akan terjadi dan apa-apa yang tidak dikehendakiNya maka dia tidak akan terjadi. Allah Ta'ala berfirman:</span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; margin-left: 1.65pt; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَنُـنَزِّلُ مـِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah bagi orang-orang yang zalim selain kerugian".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn140" name="_ftnref140" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[140]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">6) Orang yang meruqyah bukan orang sesat dan menyelewng, bergantung kepada selain Allah, bertaqarrub kepada mahluk tempat dirinya bergantung baik dari setan dan jin nakal dengan ibadah dan ketundukan, seperti orang yang meruqyah tersebut meminta kepada pasien bagian dari pakian, kuku dan rambutnya atau keadaan keluarga dan yang lainnya, dari perbuatan yang sering dan biasa dilakukan oleh para pelaku kebohongan, para dukun dan penyembah setan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Apabila salah satu syarat ruqyah tersebut tidak terpenuhi maka dia berubah menjadi praktik kebohongan, angan-angan dan perdukunan yang terkadang bisa membawa pada kesyirikan. Dan praktik inilah yang dikecualikan dari kebolehan menggunakan ruqyah yang disebutkan dalam hadits Rasullullah <i>shallallahu alaihi wa sallam</i>:<span> </span></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="RTL"></span><span> </span>لاَ بَأْسَ بِالرُّقىَ مَا لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ شِـرْك</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Kesimpulan pembahasan ini adalah manusia terdiri dari ruh dan materi, dan keselamatan seseorang dan kemampuannya menjalani kehidupan dan interaksinya yang bergam, biasanya bergantung pada kesehatan ruh dan jasadnya. Badan adalah tempat ruh, maka ruh tidak akan tenang dan lapang kecuali dengan sehatnya badan dari penyakit dan badan tidak sehat dan bugar, terasa bebas kecuali dengan selamatnya ruh dari penyakitnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Penyakit ruh lain dengan penyakit jasad, dan penyakit jasad lain dengan penyakit ruh, dan kenyataan inilah yang bisa menjelaskan kepada kita tentang ungkapan para dokter pada saat dia bertanya: Engkau tidak mengidap suatu penyakit namun sekedar dibuntuti bayang-bayang perasaan ". Mereka mengatakan hal ini karena tidak mengetahui penyakit ruh. Dan tidak ragukan lagi bahwa penyakit ruh mempunyai dampak pada terjadinya penyakit jasmani, pada saat rohani seseorang terasa sempit dan tertekan, tidak tenang dan tidak menentu, maka hal tersebut akan mengakibatkan lemahnya peredaran pembuluh darah dan kelemahan pada kekebalan tubuh, yang akhirnya firus menyerbu tubuh dan menimbulkan penyakit jasmani.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Maka, penciptaan manusia terdiri dari dua unsur gabungan yaitu rohani dan jasmani, maka tidak ada kehidupan baginya tanpa dibarengi dengan ruh dan tidak ada ruh tanpa ada jasad, dan setiap unsur ini mempunyai sifat-sifat khusus baik dalam bentuknya, kecendrungan dan penyakit yang menimpanya, dan para dokter yang spesialis, ilmuan social dan ahli filsafat telah mengetahui kenyataan ini, maka mereka membentuk ilmu kedokteran jiwa, dan terdapat banyak ilmuan yang membidangi masalah ini, dengan spesialisasinya sendiri-sendiri baik pada jenis-jenis penyakitnya dan obat-obatannya, bahkan sampai ilmu tentang kedoteran jiwa menjadi sejajar dengan kedokteran jasmani, dari sisi urgensi, manfaat dan spesialisasi. Akhirnya, didirikanlah rumah sakit-rumah sakit yang khusus menangani penyakit jiwa, serta diadakanlah berbagai penelitian baik dalam konprensi, seminar dan kajian-kajian ilmiyah yang membahas tentang keadaan jiwa serta apa-apa yang mempengaruhinya dari tekanan bayang-bayang, was-was, perasaan, pikiran yang tidak stabil, dan tidak bisa berpikir dan berpandangan normal. Lebih dari itu, terdapat kuliah dan jurusan yang khusus baginya pada berbagai universitas-universitas internasional, serta pusat-pusat penelitian yang secara khusus meneliti tentang jiwa, apa-apa yang menyebabkannya beraktifitas atau menyeleweng, begitu juga tentang penyakit dan pengobatannya. Hal ini adalah sikap mengakui terhadap keberadaan ruh, dan dia adalah sesuatu yang hidup yang bisa mengidap apa-apa yang dirasakan oleh jasad dari penyakit, rasa pedih dan pengaruh benda-benda. Hanya sanya hakekat zat yang aneh ini dan wujudnya adalah hal yang pengetahuannya hanya dimiliki secara khusus oleh Allah. Firman Allah Ta'ala:<span> </span></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَيَسْأَلُوْنَكَ عَـنِ الرُّوْحِ قُلِ الـرُّوْحُ مِنْ أَمْـرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: "Sesungguhnya ruh adalah urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberikan ilmu kecuali sedikit".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn141" name="_ftnref141" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[141]</span></b></span></span></span></a></span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dan menjadi sesuatu hal yang mesti diterima oleh orang-orang yang berakal bahwa ruh adalah inti kehidupan, dan penyakit yang menimpanya berbentuk keadaan yang sebagian besarnya bersifat maknawi, yang terkadang kelompok matrealis tidak mengakui pengaruhnya dalam proses penyembuhan, namun kenyataan yang mereka lihat memukul mereka sehingga menjadikan mereka sangat kebingungan pada saat melihat jiwa seorang yang sakit sembuh dengan izin Allah, dan pengobatnnya dengan sesuatu yang bersifat maknawi di mana obat-obatan medis tidak memiliki pengaruh padanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Tidak diragukan lagi bahwa pengobatan secara maknawi mempunyai pengaruh dengan izin Allah seperti apa yang dihasilkan oleh obat-obatan yang bersifat materi, berupa kesembuhan, sebagaimana juga mempunyai pengaruh untuk penjagaan diri dari terserang penyakit jiwa sama seperti apa yang ditimbulkan oleh obat-obatan medis untuk menanggulangi penyakit tersebut, dan pernyataan ini tidak bisa dibantah oleh orang mengingkari terhadap adanya sesuatu yang tidak mempunyai wujud secara nyata dan materi.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ain itu adalah haq, dan Allah telah memerintahkan kita untuk berlindung darinya, disbutkan dalam firmanNya:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">قُلْ أَعُـوْذُ بِـرَبِّ الْفَلَـقِ مِـنْ شَـرِّ مَا خَلَـقَ وَمِنْ شَـرِّ غَاسِـقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِنْ شَرِّ النَّـفَّاثَاتِ فِي الْعُـقَدِ وَمِنْ شَرِّ حاَسِـدٍ إِذَا حَسَدَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh. Dari kejahatan mahluqNya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.<span> </span>Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn142" name="_ftnref142" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[142]</span></b></span></span></span></a>.</span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Dan Nabi <i>shallallahu alaihi wa sallam</i> bersabda dalam sebuah hadits riwayat Muslim di dalam shahih Muslim dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">اَلْعَيْنُ حَـقُّ وَلَوْ كَانَ شَيْئُ سَابِـقُ اْلقَـدَرِ سَبَقَتْـهُ الْعَيْنُ وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ فَاغْسِلُوْا</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Ain itu hak dan jika ada sesuatu yang bisa mendahului qodar niscaya akan didahului oleh ain, jika kalian diminta mandi maka mandilah".<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn143" name="_ftnref143" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[143]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sihir itu hak dan Allah memerintahkan kita untuk berlindung dari para tukang sihir wanita, dan para peniup pada buhul-buhul sebagai proses sihir mereka. Allah Yang Maha Suci tidak memerintahkan kita berlindung kecuali pada sesauatu yang benar-benar terjadi dan mungkin terjadi. Firman Allah Ta'ala mengatakan: </span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَاتَّـبَعُوْا مَاتَتْلوُاْ الشَّيَاطِيْنُ عَلىَ مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَـرَ سُلَيْمَانُ وَلكِنَّ الشَّيَاطِيْنَ كَفَـرُوا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْـرَ وَمَا أُنْـزِلَ علَىَ الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوْتَ َومَارُوْتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَـتَّى يَقُـوْلاَ إِنَّـمَا نَحْنُ فِتْـنَةٌ فَلا َتَكْفُـرْ<span> </span>فَيَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُمَا مَا يُفَـرِّقُـوْنَ بِهِ بَيْنَ اْلَمرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّيْنَ بِهِ مِنْ أَحَـدٍ إِلاَّ بِإذْنِ اللهِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir) hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir yang mengerjakan sihir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"> </span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn144" name="_ftnref144" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[144]</span></b></span></span></span></a>.</span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Dan pandangan mata yang kasat tidak memiliki bagian dalam melihat proses penyakit ain dan sihir, namun walau demikian, kedua-duanya adalah hakiki, dan pengaruh keduanya bisa dirasakan dan disaksikan, dan obat bagi kedua penyakit ini tidak bisa dijangkau oleh pengelihatan mata, dia adalah perkara maknawi yang memiliki pengaruh di dalam menjaga diri dari penyakit dan penyembuhannya, sama seperti sifat kedua penyakit ini yang tidak mungkin bisa dilihat secara nyata.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Maka penyakit ain adalah pantulan busuk dari seorang aa'in, di mana mata nyata tidak memiliki kemampuan untuk melihatnya, begitu juga pengobatannya, berupa ruqyah yang merupakan kumpulan beberapa terapi seperti membaca ruqyah yang dibarengi dengan meniup, maka pengaruhnya bersifat maknawi, di mana pengelihatan tidak mempunyai kemampuan untuk memandangnya, begitu juga sebaliknya baik penyakit dan pengobatannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Begitu juga dengan ruh serta apa-apa yang menimpanya, berupa penyakit-penyakit selain sihir dan ain, maka penyakit seperti ini dan pengobatannya, biasanya mata tidak mampunyai kemampuan untuk mengetahuinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span>Semoga goresan yang telah saya persembahkan bisa menyumbangkan pemikiran dalam membedakan antara medical syar'I dengan medical khurofat, perdukunan dan kebohongan, dan menegaskan tentang ruh yang bisa dijangkiti suatu keadaan sehingga mempengaruhinya dan menjadikannya sehat atau sakit, dan terjaganya dari penyakit jiwa hanya bisa terealisir dengan<span> </span>kembali kepada Allah semata, firman Allah Ta'ala:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَمَّـنْ يُجِيْبُ اْلُمضْطَـرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشْـفُ السُّـوْءَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepadaNya".</span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَإِمَّا يَنْـزَغَـنَّكَ مِنَ الشَّـيْطَانِ نَـزْغٌ فَاسْتَـعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُـوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ </span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan jika kamu ditimpa suatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui".</span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">وَقُلْ رَبِّ أَعُـوْذُبِكَ مِنْ هَمـَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ<span> </span>وَأَعُـوْذُبِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُـرُوْنِ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan".</span></i></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">قُلْ أَعُـوْذُ بِـرَبِّ الْفَلَـقِ مِـنْ شَـرِّ مَا خَلَـقَ وَمِنْ شَـرِّ غَاسِـقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِنْ شَرِّ النَّـفَّاثَاتِ فِي الْعُـقَدِ وَمِنْ شَرِّ حاَسِـدٍ إِذَا حَسَدَ</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh. Dari kejahatan mahluqNya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.<span> </span>Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki"<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn145" name="_ftnref145" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[145]</span></b></span></span></span></a>.</span></i></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Selalu berdo'a dengan do'a yang sering dibaca oleh Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"> seperti:<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="LTR" style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span> </span></span><span dir="RTL"></span><span style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="RTL"></span><span> </span></span><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِـنْ شَـرِّمَا خَلَـقَ</span><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic";"></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>"Aku berlindung kepada Allah dengan kalimatNya yang sempurna dari kejahatan yang telah diciptakanNya" dan membaca wirid-wirid pagi dan petang, dan hanya Allah-lah yang menjaga dan menyembuhkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Semoga Allah memberikan taufiqNya, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan semua shahabatnya. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Ditulis di Mekkah Al-Mukarramah pada tanggal 7/8/ 1420 H.</span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-collapse: collapse; width: 571px;"><tbody>
<tr style="height: 33.55pt;"> <td colspan="4" style="height: 33.55pt; padding: 0in 5.4pt; width: 5.2in;" valign="top" width="499"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">D<span> </span>a<span> </span>f<span> </span>t<span> </span>a<span> </span>r<span> </span><span> </span>I<span> </span>s<span> </span>i</span></b></div></td> <td style="height: 33.55pt; padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">H a l</span></b></div></td> </tr>
<tr> <td colspan="4" style="padding: 0in 5.4pt; width: 5.2in;" valign="top" width="499"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">P e r s e m b a h a n</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">1-2</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kata Pengantar</span></div></td> <td colspan="3" style="padding: 0in 5.4pt; width: 278.8pt;" valign="top" width="372"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Mani'</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">3-4</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kata Pengantar</span></div></td> <td colspan="3" style="padding: 0in 5.4pt; width: 278.8pt;" valign="top" width="372"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Syekh</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Abdullab bin Abdur Rahman bin Al-Jibrin</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">5-7</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kata Pengantar</span></div></td> <td colspan="3" style="padding: 0in 5.4pt; width: 278.8pt;" valign="top" width="372"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syekh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al-Aql</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">8-9</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kata Pengantar</span></div></td> <td colspan="3" style="padding: 0in 5.4pt; width: 278.8pt;" valign="top" width="372"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Syekh DR. Muhammad bin Abdur Rohman Al-Khomis</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">10</span></div></td> </tr>
<tr> <td colspan="3" style="padding: 0in 5.4pt; width: 360.65pt;" valign="top" width="481"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Muqoddimah Cetakan Keempat<span style="color: black;"></span></span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">11-15</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Pendahuluan</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">16-18</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pasal<span> </span>Pertama</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Cara<span> </span>Pengobatan</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">19-32</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">1</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Firasat<span style="color: black;"></span></span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">19-20</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">2</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Mendiagnosa Jenis Penyakit.</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">20-21</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">3</span></div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Al-Qur'an Adalah Penyembuh Bagi Segala Penyakit</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">21-29</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">4</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.65pt; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Bacaan Secara Imijinatif</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">29-30</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">5</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Kesembuhan Di Tangan Allah Semata</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">30-31</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" width="24"> <div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">6</span></div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Ain Adalah Sebab Yang Paling Banyak Menimbulkan Berbagai Penyakit Yang Terjadi Pada Manusia, Sementara Yang Lain Adalah Pengecualian</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" width="72"> <div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">31-32</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pasal Kedua</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Al-ainu Haq</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">32-42</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kategori Aa'in (Orang Yang Menyebarkan Penyakit Ain)</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">35-41</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Cara Mengetahui Bahwa Seseorang Terkena Penyakit Ain</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">41</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Perkara Yang Diharuskan Bagi Seorang Pembaca Ruqyah sebelum meruqyah</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">41-42</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Bab Ketiga</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" width="24"> <div align="center" class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ayat-Ayat Dan Wirid-Wirid Yang Dibaca Untuk Orang Yang Terkena Penyakit Ain</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">43-45</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Bab Keempat</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Antara Hasad Dan Sihir</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">46-50</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Macam-Macam Hasad</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">46-48</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Apakah Hubungan Ain Dengan Sihir?</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">48-50</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Bab Kelima</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Membentengi Diri Dari Penyakit<span> </span>Ain, Sihir Dan Lainnya</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">51-54</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Bab Keenam</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Beberapa Pertanyaan Tenang Penyakit Ain</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">55-60</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Bab Ketujuh</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">:</span></div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kisah Nyata Tentang Pengaruh Ruqyah Syar'iyah</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">70-74</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Fatwa Penegasan Para Ulama Tentang Kebolehan Metode Ittiham</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">75-76</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td colspan="2" style="padding: 0in 5.4pt; width: 261pt;" valign="top" width="348"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">Jawaban Syekh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Jibrin</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">77</span></div></td> </tr>
<tr> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 95.6pt;" valign="top" width="127"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Penutup</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 17.8pt;" valign="top" width="24"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 247.25pt;" valign="top" width="330"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 13.75pt;" valign="top" width="18"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">78-79</span></div></td> </tr>
<tr> <td colspan="4" style="padding: 0in 5.4pt; width: 5.2in;" valign="top" width="499"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Risalah<span> </span>Tentang <span> </span>Pembeda Antara Perawatan Secara Syar'i Dan Khurofat Para Dukun</span></div></td> <td style="padding: 0in 5.4pt; width: 0.75in;" valign="top" width="72"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="color: black; font-family: "Bookman Old Style";">80-92</span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div><br clear="all" /> <hr align="left" size="1" width="33%" /> <div id="ftn1"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Nisa': 83</div></div><div id="ftn2"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[2]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Suatu penyakit karena imflikasi sorotan mata baik mata dengki atau kagum.</div></div><div id="ftn3"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[3]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Hujurat: 12.</div></div><div id="ftn4"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Sesuatu yang dikehendaki oleh Allah secara alamiyah baik disenangiNya atau tidak disenangiNya, seperti kekafiran adalah suatu yang dikehendaki oleh Allah namun tidak disenanginya, begitu juga keimanan.</div></div><div id="ftn5"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Muslim, Kitabus Salam, Babut Thibb Wal Maradh War Ruqo. (Shahih Muslim Ma'a Syarhan Nawawi: 14/171.</div></div><div id="ftn6"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Do'a yang berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah sebagaimana yang diajrkan oleh Rasulullah shallallahu alahi wa sallam.</div></div><div id="ftn7"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[7]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Ali Imron: 191.</div></div><div id="ftn8"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[8]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Hasyr: 19.</div></div><div id="ftn9"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Suatu metode degan cara bertanya kepada ma'yun tentang orang yang tergambar di dalam benaknya atau dicurigainya telah menimpakan penyakit ain baginya.</div></div><div id="ftn10"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[10]</span></span></span></span></a>Orang<span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>yang membaca ruqyah.</div></div><div id="ftn11"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[11]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Di mana roqi/qori' memaksakan diri untuk menuduh seorang yang menjadi penyebab penyakit ain; bukan pasien, dan fenomena ini sangat disayangkan sekali tersebar dikalangan para roqi, semoga Allah memberikan hidayah bagi mereka, maka tentu ini adalah tipu daya setan. DR. Nashir Al-Aql). Lebih jelasnya lihat pertnyaan ke 30.</div></div><div id="ftn12"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[12]</span></span></span></span></a>Majmu' fatawa 20/142<span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span></div></div><div id="ftn13"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[13]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih: 5/341.</div></div><div id="ftn14"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[14]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Adabu Thalib, Al-Syaukani. Hal. 76.</div></div><div id="ftn15"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[15]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Abu Dawud, Silsilah hadits Shahihah, Al-Bani no:273.</div></div><div id="ftn16"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[16]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Siar A'lamun Nubala, Al-Dzahabi: 4/549.</div></div><div id="ftn17"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[17]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Nisa': 59.</div></div><div id="ftn18"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[18]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Syaekh Rahimhullah percaya pada pengalaman yang bermanfaat dan beliau menjelaskan: (Sebagian besar ilmu tentang terapi pengoabtan adalah dengan cara mendengar, seandainya seseorang mencoba dengan sesuatu yang tidak membawa kepada minggalkan kewajiban atau menjerumuskan pada keharaman maka hal tersebut tidak mengapa). Lihat kaset seputar fatwa tentang sihir, ain dan kesurupan, diterbitkan oleh studio al-bardain. Jika ada yang membantah dengan mengatakan bahwa riwayat dalam kisah Amir cuma menjelaskan bahwa penanggulangan penyakit ain hanya dengan cara mandi, dan kalian menjadikan riwayat ini sebagai dasar dalam bertindak. Jika demikian kenapa kalian mencukupkan diri dengan apa yang disebutkan di dalam nash?. Jawabannya adalah dengan menjelaskan bahwa dalam riwayat tentang kisah Amir yang sekedar mencukupkan pengobatan dengan mandi saja tanpa minum sebab sumber penyakit ada di luar yaitu kekaguman terhadap keindahan kulit (Amir) maka realita ini tidak membutuhkan minum. Wallahu A'lam. Selain itu ada riwayat tambhan yasng shahih dalam hadits tantang kisah Amir yang tidak diketahui oleh syekh yaitu riwayat yang mengatakan:<b><span> </span></b><span dir="RTL"></span><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic";"><span dir="RTL"></span>(وأحسبه قال:فأمره فحسا حسوة أي شرب منه</span></b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">)</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>: "Dan aku mengira ia mengatakan: Maka beliau memerintahkan lalu Amir meneguk beberapa tegukan yaitu meminumnya) oleh karenanya tidak boleh berijtihad di hadapan nash. Lihatlah tkhrij hadits ini pada pertanyaan nomer 24.</div></div><div id="ftn19"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[19]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Fatwa no: 20361, tanggal 17/4/1419 H. menyebutkan: "Penggambaran secara khayali oleh orang yang sakit tentang seorang yang menimpakan penyakit ain pada dirinya, saat sang pemantra membacakan mantra padanya seperti yang diperinthakan oleh sang pemantra adalah perbuatan setan yang tidak boleh diperaktikkan, sebab tindakan tersebut adalah bentuk kerja sama dengan setan yang datang menjelma dalam bentuk orang yang dicurigai menimpakan penyakit ain</div></div><div id="ftn20"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[20]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Yunus: 57.</div></div><div id="ftn21"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[21]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Imam Ahmad 4/278, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Khaistami mengatakan: Sanad Adullah bin Mas'ud dan perawinya terpercaya.</div></div><div id="ftn22"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[22]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Ibnu Majah dalam kitab Al-Sunan 2/1142 no: 3452 dan sanadnya shahih.</div></div><div id="ftn23"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref23" name="_ftn23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[23]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Kiatab Al-Minhajus Sawi, Al-Suyuthi, hal. 307, tahqiq Hasan Al-Ahdal.</div></div><div id="ftn24"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref24" name="_ftn24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[24]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Difinisi ini telah saya ajukan kepada guru kami syekh Muhammad ibnu Utsaimin rahimahullah, dan al-hamdulillah diakuinya dalam sebuah fatwa yang direkam dalam sebuah kaset rekaman.</div></div><div id="ftn25"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref25" name="_ftn25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[25]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Hud: 88.</div></div><div id="ftn26"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref26" name="_ftn26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[26]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Fathul Bari 10/212</div></div><div id="ftn27"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref27" name="_ftn27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[27]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Musnad Imam Ahmad 1/254.</div></div><div id="ftn28"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref28" name="_ftn28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[28]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Ibnu Majah pada: Kitabut Thibbi no: 3548.</div></div><div id="ftn29"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref29" name="_ftn29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[29]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Baihaqi 6/24</div></div><div id="ftn30"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref30" name="_ftn30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[30]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Majmauz zawa'id: 5/115</div></div><div id="ftn31"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref31" name="_ftn31" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[31]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Isro': 82.</div></div><div id="ftn32"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref32" name="_ftn32" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[32]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Zadul Ma'ad: 4/352.</div></div><div id="ftn33"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref33" name="_ftn33" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[33]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Zadul Ma'ad: 4/98</div></div><div id="ftn34"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref34" name="_ftn34" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[34]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Muttafaq Alaihi. </div></div><div id="ftn35"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref35" name="_ftn35" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[35]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Muttafaq Alaih</div></div><div id="ftn36"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref36" name="_ftn36" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[36]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Shaad: 41.</div></div><div id="ftn37"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref37" name="_ftn37" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[37]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Al-Mu'jamul Mufahros Li alfazhil Qur'anil Karim, Hasan Ali Karimah. Halaman: 132.</div></div><div id="ftn38"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref38" name="_ftn38" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[38]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Abu Dawud no: 286.</div></div><div id="ftn39"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref39" name="_ftn39" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[39]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Turmudzi, dia berkata: Hadits Hasan Shahih. Lihat Shahih Turmudzi, Albani 1/40.</div></div><div id="ftn40"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref40" name="_ftn40" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[40]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Shaad: 41.</div></div><div id="ftn41"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref41" name="_ftn41" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[41]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Shaad: 42.</div></div><div id="ftn42"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref42" name="_ftn42" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[42]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Manaqib Imam Ahmad, Ibnul Jauzi, tahqiq DR. Abdullah Al-Turki hal. 245.</div></div><div id="ftn43"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref43" name="_ftn43" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[43]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Musnad Imam Ahmad 5/364.</div></div><div id="ftn44"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref44" name="_ftn44" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[44]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Huud: 44.</div></div><div id="ftn45"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref45" name="_ftn45" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[45]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Insyiqoq: 3-5.</div></div><div id="ftn46"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref46" name="_ftn46" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[46]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Syarh: 1-3.</div></div><div id="ftn47"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref47" name="_ftn47" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[47]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al- Zalzalah: 1</div></div><div id="ftn48"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref48" name="_ftn48" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[48]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Hal ini sekedar contoh, dan semua ayat-ayat ini dibacakan pada penyakit ini dan penyakit yang lainnya, sebagaimana dibacakan juga ayat-ayat tambahan lainnya.</div></div><div id="ftn49"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref49" name="_ftn49" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[49]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Al-Silsilatus Shahihah, Al-Bani 14/191.</div></div><div id="ftn50"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref50" name="_ftn50" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[50]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Syu'ara': 80</div></div><div id="ftn51"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref51" name="_ftn51" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[51]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Muslim 14/191.</div></div><div id="ftn52"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref52" name="_ftn52" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[52]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Bukhari 7/159.</div></div><div id="ftn53"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref53" name="_ftn53" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[53]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Bukhari 7/160.</div></div><div id="ftn54"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref54" name="_ftn54" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[54]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Bukhari 7/159.</div></div><div id="ftn55"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref55" name="_ftn55" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[55]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahih sunan Turmudzi, Al-Bani 2/202</div></div><div id="ftn56"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref56" name="_ftn56" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[56]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Yaitu meruqyah seorang pasien dengan niat kesembuhan pasien tersebut dan berdakwah bagi jin yang merasukinya, maka jin tersebut akan cepat terpengaruh dengan bacaan tersebut dengan kecepatan yang sangat mengagumkan dia akan menerima tanpa harus berbicara dengannya, tandanya adalah ketenangan seorang pasien setelah dibacakan ruqyah tidak merasakan letih, sebagaimana yang sering terjadi pada banyak roqi.<span> </span>Hal ini disebabkan karena imijinasi yang salah, baik untuk membakarnya atau menyakitinya tanpa berfikir untuk memberikan hidayah kepada jin yang merasuki tersebut dan keluar tanpa harus berbicara dengannya.</div></div><div id="ftn57"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref57" name="_ftn57" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[57]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Baqarah: 102.</div></div><div id="ftn58"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref58" name="_ftn58" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[58]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Anbiya': 54</div></div><div id="ftn59"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref59" name="_ftn59" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[59]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Dihasankan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitab: Al-Fath 10/214, dan Al-Shakhawi dalam kitab Al-Maqoshidul Hasanah: 470 Albani dalam Silsilatus Shahihah 747.</div></div><div id="ftn60"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref60" name="_ftn60" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[60]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Ditulis oleh Abu Na'im dalam kitab Al-Hilyah 7/90, Al-Khathibul Bagdadi dalam kitab Al-Tarikh 9/244, dari Jabir radhiallahu anhu, dan Al-Albani dalam Shahihul Jami' 4023.</div></div><div id="ftn61"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref61" name="_ftn61" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[61]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Muslim 2/153.</div></div><div id="ftn62"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref62" name="_ftn62" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[62]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Permulaan lafaz hadits di atas ((<b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;">اَلْعَيْنُ حَقٌّ</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>)) hadits shahih riwayat Al-Bukhari 10/203, dan lafaz<span> </span><span dir="RTL"></span><b><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></b><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;">الشَّيْطَانُ وَحَسَدُ ابْنُ آدَم</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya Al-Musnad 21439 dengan lafaz ((<b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;">وَيَحْضُرُبهَا</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>)) bermakna bersamanya, diriwayatkan juga dengan lafaz ((<b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;">وَيَحْضُرُهَا</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>)) Al-Suyuthi mengembalikan riwayat ini pada Al-Jami'us Shagir karangan: Al-Kajji dalam kitab sunannya dari Abu Hurairah, sebagaimana yang dikatakakan oleh Al-Turmudzi dan yang lainnya. Al-Haitsami mengatakan: 5/107: Diriwayatkan oleh Ahmad dan perawinya adalah perawi yang shahih. Kesimpulannya adalah makna hadits tersebut shahih, tidak bertentangan dengan hadits yang shahih, hal ini juga diperkuat oleh pengalaman dan didukung realita, para syekh kita mendukung makana ini, segala puji bagi Allah atas segala karuniaNya…</div></div><div id="ftn63"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref63" name="_ftn63" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[63]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Kitabus Suluk, Ibnu Taimiyah 10/125.</div></div><div id="ftn64"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref64" name="_ftn64" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[64]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Adabu Dunia Wad Din, Al-Mawardi hal. 260.</div></div><div id="ftn65"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref65" name="_ftn65" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[65]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Hadits hasan shahih, shahihul jami', Al-Albani no: 1217.</div></div><div id="ftn66"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref66" name="_ftn66" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[66]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Al-Suluk, Ibnu Taimiyah 10/126.</div></div><div id="ftn67"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref67" name="_ftn67" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[67]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Permulaan lafaz hadits di atas ((<b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;">اَلْعَيْنُ حَقٌّ</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>)) hadits shahih riwayat Al-Bukhari 10/203, dan lafaz<span> </span><span dir="RTL"></span><b><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></b><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;">الشَّيْطَانُ وَحَسَدُ ابْنُ آدَم</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya Al-Musnad 21439 dengan lafaz ((<b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;">وَيَحْضُرُبهَا</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>)) bermakna bersamanya, diriwayatkan juga dengan lafaz ((<b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;">وَيَحْضُرُهَا</span></b><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>)) Al-Suyuthi mengembalikan riwayat ini pada Al-Jami'us Shagir karangan: Al-Kajji dalam kitab sunannya dari Abu Hurairah, sebagaimana yang dikatakakan oleh Al-Turmudzi dan yang lainnya. Al-Haitsami mengatakan: 5/107: Diriwayatkan oleh Ahmad dan perawinya adalah perawi yang shahih. Kesimpulannya adalah makna hadits tersebut shahih, tidak bertentangan dengan hadits yang shahih, hal ini juga diperkuat oleh pengalaman dan didukung realita, para syaekh kita mendukung makana ini, segala puji bagi Allah atas segala karuniaNya…</div></div><div id="ftn68"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref68" name="_ftn68" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[68]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Fathul Bari, Ibnu Hajar 10/212.</div></div><div id="ftn69"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref69" name="_ftn69" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[69]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Seorang shahabat Rasulullah <i><span style="font-family: "Book Antiqua";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i>, termasuk seorang tentara Islam dalam perang badar, banyak sekali penulis dan pembaca ruqyah-semoga Allah memberikan mereka petunjuk bagi mereka- yang melepas lisannya mencela shahabat Rasulullah yang satu ini dan mensifatinya sebagai seorang yang berjiwa busuk-semoga Allah melindungi kita darinya-maka hendaklah seseorang waspada dengan tindakan seperti ini agar tidak terjerumus dalam larangan <span style="font-size: 12pt;">Rasulullah </span><i><span style="font-family: "Book Antiqua";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i><span style="font-size: 12pt;">:</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 12pt;"><span dir="RTL"></span> <b><span lang="AR-SA">لا تسبوا أصحابي</span></b></span><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"> </span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA"><span dir="LTR"></span><span> </span></span></b>"Janganlah kalian mencela para shahabatku", dan imam Ad Zahabi berkomentar tentang salah seorang yang mengecam seorang shahabat yang hadir dalam perang badar: ((Wahai orang yang ceroboh! Janganlah engkau memandang kepada seorang shahabat yang hadir pada perang badar dengan pandangan kebencian karena kesalahan yang muncul dari dirinya, sebab kesalahan tersebut telah diampuni dan dia termasuk ahli surg)). Siar A'lamun Nubala': 1/188.</div></div><div id="ftn70"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref70" name="_ftn70" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[70]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Fathul Bari 10/215</div></div><div id="ftn71"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref71" name="_ftn71" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[71]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Yaitu sasaran pandangan mata adalah kulit Sahl ra yang putih.</div></div><div id="ftn72"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref72" name="_ftn72" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[72]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahihul Jami', Al-Albani 3908.</div></div><div id="ftn73"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref73" name="_ftn73" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[73]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Tambahan ini di riwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam kitab Al-Sunan dan Al-Syu'ab, pentahqiq riwayat mengatakan bahwa sanadnya shahih. Liahat Majma'uz Zawaid no: 8429.</div></div><div id="ftn74"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref74" name="_ftn74" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[74]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya 3/447, Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrok 4/216 dan dia mengatakan bahwa hadits ini sanadnya shahih, dan imam Al-Dzahabi menyetujuinya.</div></div><div id="ftn75"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref75" name="_ftn75" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[75]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Zadul Ma'ad 4/163</div></div><div id="ftn76"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref76" name="_ftn76" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[76]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Zadul Ma'ad 4/159.</div></div><div id="ftn77"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref77" name="_ftn77" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[77]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Ibnul Qoyyim memberikan komentar yang baik sekali tentang sikap para penafsir mimpi<span> </span>yang berpatokan pada hewan dalam menfsirkan sebuah mimpi. Komentar ini disebutkan oeh Ibnul Qoyyim di dalam kitabnya: Madarijus Salikin 1/405</div></div><div id="ftn78"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref78" name="_ftn78" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[78]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Ibnu Majah, dan hadits ini lemah.</div></div><div id="ftn79"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref79" name="_ftn79" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[79]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Imam Ahmad 2/380.</div></div><div id="ftn80"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref80" name="_ftn80" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[80]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Al-Jami'ul Kabir, Al-Suyuthi no: 14622.</div></div><div id="ftn81"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref81" name="_ftn81" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[81]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Zadul Ma'ad: 4/163. </div></div><div id="ftn82"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref82" name="_ftn82" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[82]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Syekh bin Baz rahimhullah mengatakan: "Dan kami telah mencoba bahwa dengan mencuci wajah, berkumur-kumur dan mencuci kedua tangan sudah cukup untuk menghilangkan penyakit ain; jika ia telah menetapakn kecurigaannya terhadap seseorang dan tidak perlu mandi". Lihat fatwa tentang sihir, ain dan kesurupan dalam sebuah kaset.</div></div><div id="ftn83"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref83" name="_ftn83" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[83]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Pada dasranya tidak dianjurkan untuk berkomunikasi dengannya untuk mengantisifasi keburukan yang mungkin ditimbulkannya.</div></div><div id="ftn84"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref84" name="_ftn84" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[84]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span><span style="font-family: "Book Antiqua";">QS. Al-Baqarah: 137.</span></div></div><div id="ftn85"> <div class="MsoNormal" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref85" name="_ftn85" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[85]</span></span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span dir="RTL"></span> </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">QS. Al-Qolam: 51.</span><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 10pt; line-height: 115%;"></span></div></div><div id="ftn86"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref86" name="_ftn86" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[86]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span><span style="font-family: "Book Antiqua";">QS. Al-Nisa': 54</span></div></div><div id="ftn87"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref87" name="_ftn87" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[87]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Mulk no: 3.</div></div><div id="ftn88"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref88" name="_ftn88" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[88]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Ahqaf: 31.</div></div><div id="ftn89"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref89" name="_ftn89" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[89]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Isro': 82.</div></div><div id="ftn90"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref90" name="_ftn90" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[90]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Fushshilat: 44</div></div><div id="ftn91"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref91" name="_ftn91" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[91]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Yunus: 57</div></div><div id="ftn92"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref92" name="_ftn92" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[92]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Taubah: 14</div></div><div id="ftn93"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref93" name="_ftn93" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[93]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Syu'ara': 80</div></div><div id="ftn94"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref94" name="_ftn94" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[94]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Al-Suluk 10/118.</div></div><div id="ftn95"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref95" name="_ftn95" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[95]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Al-Suluk 10/119.</div></div><div id="ftn96"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref96" name="_ftn96" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[96]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahih Bikhari 2/201.</div></div><div id="ftn97"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref97" name="_ftn97" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[97]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Waqi'ah: 10-11.</div></div><div id="ftn98"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref98" name="_ftn98" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[98]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Hal ini tercela sebab dia tidak menyebut nama Allah atas ungkapan tersebut.</div></div><div id="ftn99"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref99" name="_ftn99" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[99]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Dia tercela sebab ungkapan sifat tidak dibarengi dengan menyebut nama Allah dan berangan-angan agar nikmat tersebut sirnah (dari pemiliknya) kita berlindung kepada Allah dari prilaku yang buruk ini.</div></div><div id="ftn100"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref100" name="_ftn100" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[100]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS.Al-Falaq: 4-5.</div></div><div id="ftn101"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref101" name="_ftn101" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[101]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Fathurrohman, Abi Zakraia Al-Anshori hal.634.</div><div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div></div><div id="ftn102"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref102" name="_ftn102" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[102]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Ali Imron: 104.</div></div><div id="ftn103"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref103" name="_ftn103" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[103]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Rekaman kaset no: 30, untuk tafsir surat Ali Imron, oleh syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah, tasjilatul istiqomah</div></div><div id="ftn104"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref104" name="_ftn104" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[104]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Muslim.</div></div><div id="ftn105"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref105" name="_ftn105" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[105]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Ahmad dan Turmidzi.</div></div><div id="ftn106"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref106" name="_ftn106" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[106]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Thaha: 124</div></div><div id="ftn107"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref107" name="_ftn107" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[107]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Isro': 82.</div></div><div id="ftn108"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref108" name="_ftn108" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[108]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Muslim. </div></div><div id="ftn109"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref109" name="_ftn109" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[109]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahihul Jami', Albani no: 2358.</div></div><div id="ftn110"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref110" name="_ftn110" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[110]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Semua zikir ini diambil dari hadits-hadits yang shahih.</div></div><div id="ftn111"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref111" name="_ftn111" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[111]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Jika dibaca setelah asar maka tidak mengapa.</div></div><div id="ftn112"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref112" name="_ftn112" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[112]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Tidak disebutkannya surat Al-Fatihah sebab surat tersebut tidak dijelaskan oleh Nabi <i><span style="font-family: "Book Antiqua";">shallallahu alaihi wa sallam</span></i> sebagai wirid harian, akan tetatpi disebutkan sebagai penyembuh saja, oleh karena itulah surat ini dibaca saat dibutuhkan saja.</div></div><div id="ftn113"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref113" name="_ftn113" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[113]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahihul Jami', Albani no: 1217.</div></div><div id="ftn114"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref114" name="_ftn114" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[114]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Al-Nasa'I, babul masajid, dishahihkan oleh Albani dalam kitab silsilatus shahihah: 2582.</div></div><div id="ftn115"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref115" name="_ftn115" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[115]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Turmudzi no: 1859.</div></div><div id="ftn116"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref116" name="_ftn116" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[116]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Ibnu Majah dalam kitab As-Sunan 2/1142 no: 3452 dan sanadnya shahih.</div></div><div id="ftn117"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref117" name="_ftn117" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[117]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahihul Jami', Albani no: 1217.</div></div><div id="ftn118"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref118" name="_ftn118" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[118]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Dalam kitabnya: Syarhus Sunnah 13/116.</div></div><div id="ftn119"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref119" name="_ftn119" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[119]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahih Muslim no: 2033, 135.</div></div><div id="ftn120"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref120" name="_ftn120" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[120]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Abdur Razzaq dalam Al-Sunan dan Al-Syu'ab dan peniliti hadits tersebut berkomentar sanadanya shahih, Majma'uz Zawaid no: 8429.</div></div><div id="ftn121"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref121" name="_ftn121" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[121]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahih Muslim/ Al-Musnadus Shahih no: 2198.</div></div><div id="ftn122"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref122" name="_ftn122" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[122]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahih Muslim/ Al-Musnadus Shahih no: 2185.</div></div><div id="ftn123"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref123" name="_ftn123" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[123]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Zumar: 42.</div></div><div id="ftn124"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref124" name="_ftn124" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[124]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Baqarah: 155.</div></div><div id="ftn125"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref125" name="_ftn125" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[125]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Fushshilat: 44</div></div><div id="ftn126"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref126" name="_ftn126" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[126]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Isro': 82.</div></div><div id="ftn127"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref127" name="_ftn127" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[127]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Syu'ara': 80</div></div><div id="ftn128"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref128" name="_ftn128" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[128]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Babut Thibb wal marodh war ruqo. (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/169.</div></div><div id="ftn129"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref129" name="_ftn129" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[129]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Babut Thibb wal marodh war ruqo. (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/170.<span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span></div></div><div id="ftn130"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref130" name="_ftn130" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[130]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Istibab ruqyatul maridh. (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/180.</div></div><div id="ftn131"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref131" name="_ftn131" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[131]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Istibab ruqyatul maridh. (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/181-182.</div></div><div id="ftn132"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref132" name="_ftn132" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[132]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Istibab ruqyatul maridh. (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/183.</div></div><div id="ftn133"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref133" name="_ftn133" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[133]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Istibabur ruqyah minal aini wan namlah wal humah. (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/184.<span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span></div></div><div id="ftn134"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref134" name="_ftn134" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[134]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Istibabur ruqyah minal aini wan namlah wal humah. (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/184.<span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span></div></div><div id="ftn135"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref135" name="_ftn135" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[135]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>Syarhun Nawawi<span> </span>ala Shahih Muslim 14/184.</div></div><div id="ftn136"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref136" name="_ftn136" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[136]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Bab Jawazu Akhzil Ujroh Alar Ruqyah Bil Qur'an Wal Adzakr . (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/187.<span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></div></div><div id="ftn137"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref137" name="_ftn137" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[137]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Bab Jawazu Akhzil Ujroh Alar Ruqyah Bil Qur'an Wal Adzakr . (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/187.<span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></div></div><div id="ftn138"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref138" name="_ftn138" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[138]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span>Shahih Muslim pada kitab: "Al-Salam", Bab Jawazu Akhzil Ujroh Alar Ruqyah Bil Qur'an Wal Adzakr . (Shahih Muslim dengan syrah Imam Nawawi: 14/188.<span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></div></div><div id="ftn139"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref139" name="_ftn139" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[139]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Syu'ara': 80</div></div><div id="ftn140"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref140" name="_ftn140" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[140]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Isro': 82.</div></div><div id="ftn141"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref141" name="_ftn141" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[141]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Isro': 85.</div></div><div id="ftn142"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref142" name="_ftn142" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[142]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Falaq: 1-5.</div></div><div id="ftn143"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref143" name="_ftn143" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[143]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>HR. Muslim, Kitabus Salam, Babut Thibb Wal Maradh War Ruqo. (Shahih Muslim Ma'a Syarhan Nawawi: 14/171.</div></div><div id="ftn144"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref144" name="_ftn144" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[144]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Baqarah: 102.</div></div><div id="ftn145"> <div class="MsoFootnoteText" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref145" name="_ftn145" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[145]</span></span></span></span></a><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span> </span>QS. Al-Falaq: 1-5.</div></div></div>tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-19743853804670478332010-12-31T19:08:00.001-08:002010-12-31T19:08:19.818-08:00Ushul Fikih Integratif-Humanis<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Book Antiqua"; font-size: 14pt;">Ushul Fikih Integratif-Humanis</span><span style="font-family: "Book Antiqua";">:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Book Antiqua";">Sebuah Rekonstruksi Metodologis</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Book Antiqua";">By Shofiyullah Mz. </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="A"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Book Antiqua";">Iftitah</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin: 10pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Garamond;">Sebagai <i>the queen of Islamic sciences</i>,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></span></a> ushul fikih memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam <i>rahmatan lil ‘ālam</i></span><i><span style="font-family: Garamond;">î</span></i><i><span style="font-family: Garamond;">n.</span></i><span style="font-family: Garamond;"> Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis dari ajaran Islam sangat ditentukan oleh bangunan ushul fikih itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fikih menempati poros dan inti dari ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika dan makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Melihat fungsinya yang demikian, rumusan ushul fikih seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis dari tugas ushul fikih yang harus selalu berusaha menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua sumber rujukan utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yang sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, <i>yad</i></span><i><span style="font-family: Garamond;">û</span></i><i><span style="font-family: Garamond;">ru ma`a ‘illatih</span></i><i><span style="font-family: Garamond;">î</span></i><i><span style="font-family: Garamond;"> wuj</span></i><i><span style="font-family: Garamond;">û</span></i><i><span style="font-family: Garamond;">dan wa `adaman.</span></i><span style="font-family: Garamond;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Garamond;">Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan dan standar yang beragam sesuai dengan jenis persoalan yang ditinjau. Ada persoalan hukum fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Namun karena penjelasan <i>nash </i>demikian banyak dan detail sehingga ijtihad tidak bisa memasuki wilayah ini. Pemahaman ahli fikih hanya sekadar menghimpun berbagai <i>nash</i> itu dan menghubungkan dengan <i>nash</i> lain sehingga membentuk gambaran utuh tentang ibadah. Dengan demikian, persoalan ushul fikih hanya berkisar pada persoalan interpretasi <i>nash</i> dengan mempergunakan konsep-konsep dalam prinsip ilmu tafsir seperti mengkaji makna umum dan khusus, kontradiksi (<i>ta`ārudl</i>), dalil isyarat, <i>mafhum mukhālafah</i> dan lain sebagainya.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Secara umum, kajian ushul fikih juga tidak terlepas dari gambaran di atas, banyak berkutat pada wilayah privat dan domestik seperti perkawinan, waris, hak dan kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yang bersifat ritual seperti tata cara ibadah beserta syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkan, tatakrama beribadah dan lain sebagainya. Untuk wilayah publik konemporer tidak terlalu banyak disentuh oleh literatur ushul fikih klasik yang ada selama ini seperti bagaimana kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam masyarakat multikultur dan multirelijius, pemanfaatan sarana informasi teknologi dalam ibadah, menangkal kejahatan berbasis <i>cyber crime</i>, bom bunuh diri ala teroris yang diyakini sebagai <i>jihad fi sabilillah</i>, isu HAM dan gender, <i>traficking</i>, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap <i>ulil amri</i> dalam konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler dan lain sebagainya. Semuanya menjadi tidak banyak disentuh dan dibahas dikarenakan memerlukan energi dan keberanian yang luar biasa untuk tidak sekedar merangkai <i>nash</i> dan <i>nash</i> yang tersedia dengan tanpa mempergunakan berbagai disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik <i>social and natural sciencies</i> ataupun <i>humanities</i> yang selama ini dianggap berada di luar wilayah <i>ulum al-din</i> dan bersifat <i>mubah</i> hukumnya untuk mengetahui atau sekedar mempelajarinya.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt; line-height: 200%;">Ketidak beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan para pendukungnya sudah final dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai berlaku “sekali untuk selamanya”.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></span></a> Akibatnya, tradisi keilmuan yang berlangsung kemudian adalah tradisi <i>syarh</i> dan <i>hāsyiah</i> atas <i>matn</i> yang dirumuskan oleh ulama terdahulunya. Generasi berikutnya merasa sudah cukup atas temuan dan rumusan yang dibuat oleh generasi terdahulu, mereka hanya memoles (<i>talwis</i>) dan mengomentari serta memberikan anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 200%;">.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Arabic"; font-size: 12pt;">[3]</span></span></span></span></a></span><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt; line-height: 200%;"></span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt; line-height: 200%;">Aktifitas <i>syarah</i> dan <i>hāsyiah</i> ini bermula semenjak meninggalnya para imam mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama seperti Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan dalam mazhab Hanafi; Ibn Qāsim dan al-Ashāb dalam mazhab Malikī; al-Muzanī dan al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; dan al-Atsrām dalam mazhab Hanbalī. </span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt; line-height: 200%;">Maraknya tradisi <i>syarah</i> dan <i>hāsyiah</i> dikalangan umat Islam saat itu yang oleh Nurcholis Madjid disebut dengan pseudo-ilmiah ditandai dengan semakin menurunnya tingkat kreativitas dan orisinalitas intelektual umat Islam. Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yang harus dibayar oleh umat Islam sebagai akibat dari ketidakberanian mereka mengambil resiko salah dalam melakukan penelitian (<i>istiqrā’</i>) yang kemudian dirumuskan dan dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para imam mazhab.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[4]</span></span></span></span></a> Periode taklid dan fanatisme terhadap mazhab semakin massif di masyarakat Islam dengan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup. </span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt; line-height: 200%;">Ibrahim Hosen mencatat ada empat alasan utama yang melatari seruan tersebut, <i>pertama</i>, hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, <i>mu’āmalah</i>, <i>munākahat</i>, <i>jināyat</i> dan lain sebagainya sudah lengkap dan dibukukan secara terinci dan rapi, karena itu ijtihad dalam bidang-bidang tersebut sudah tidak diperlukan lagi. <i>Kedua,</i> mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karena itu penganut mazhab Ahl al-Sunnah hendaknya memilih salah satu dari mazhab yang empat dan tidak boleh di luar itu. <i>Ketiga,</i> membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma dan membuang waktu (<i>tahsil al-hāsil</i>), hasilnya akan berkisar pada hukum yang terdiri atas kumpulan pendapat dua mazhab atau lebih, hal semacam ini terkenal dengan istilah <i>talfiq</i> di mana kebolehannya masih diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir adalah kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai kini, tak seorang ulama pun yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya sebagai seorang <i>mujtahid mutlaq mustaqil</i> setingkat ke empat imam mazhab. Hal ini menunjukkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, untuk tidak dikatakan mustahil adanya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[5]</span></span></span></span></a> Argumen ini menurut Ibrahim Hosen ternyata juga diperkuat oleh keputusan hasil sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar di Kairo pada bulan Maret 1964.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[6]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Berkenaan dengan itu, Hassan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu itu sebagai <i>al-turāş</i> (warisan budaya) yang memiliki tiga ciri pokok, yaitu: <i>al-manqul ilainā</i> (sesuatu yang kita warisi), <i>al-mafhum lanā</i> (sesuatu yang kita fahami) dan <i>al-muwajjih lisulūkinā</i> (sesuatu yang mengarahkan perilaku kita).<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[7]</span></span></span></span></a> Dari sini perputaran roda budaya dan tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding dalam alur “gerak statis” (<i>harakat sukūn</i>) karena gerak sejarahnya tidak mengkristal pada produksi hal-hal baru, melainkan pada reproduksi hal-hal lama dalam bingkai pemahaman tradisional atas <i>al-turāş</i>.<i> </i><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[8]</span></span></span></span></a></span><span style="font-family: Garamond;"></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif dengan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ menjadi yang tidak bisa dihindari oleh ushul fikih apabila tetap menghendaki bisa <i>survive</i> dalam merespon setiap persoalan sosial kemasyarakatan yang berkembang demikian dinamis dan akseleratif ini agar ushul fikih tetap sesuai dengan jargonnya, <i>alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman </i>sehingga bisa tetap <i>shālih likulli zamān wa makān</i>.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin: 12pt 0in 6pt 35.7pt; text-align: justify; text-indent: -17.85pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Book Antiqua";"><span>B.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua";">Ushul fikih dalam <i>Islamic Studies</i></span></div><div style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: Garamond;">Secara epistemologis, perkembangan pemikiran Islam menurut al-Jābiri meliputi tradisi <i>bayani, irfani</i> dan <i>burhani</i><span>.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[9]</span></span></span></span></a> Tradisi </span><i>bayani</i><span> berkembang paling awal dan tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami kontak budaya secara massif-akulturatif. Tradisi </span><i>bayani</i><span> telah mencirikan </span><i>al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī</i><span> (rasionalitas keagamaan Arab) dan menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan dan keagamaan. Pada masa </span><i>tadwin</i><span>, al-Syafi’i dinilai sebagai salah satu teoritikus utama formulasi tradisi </span><i>bayani</i><span>. Di antara sumbangan penting al-Syafi’i dalam proses formulasi epistemologi </span><i>bayani</i><span> adalah pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah pada posisi kedua dan berfungsi </span><i>tasyri</i><span>`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah dengan kandungan hadis yang berasal dari Nabi, dan mengikat erat ruang gerak ijtihad dengan nash.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[10]</span></span></span></span></a></span></span></div><div style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: Garamond;">Dalam </span><i><span style="font-family: Garamond;">bayani</span></i><span style="font-family: Garamond;">, posisi nash sedemikian sentral sehingga aktivitas intelektual senantiasa berada dalam </span><i><span style="font-family: Garamond;">haul al-nash</span></i><span style="font-family: Garamond;"> (lingkar teks) dan berorientasi pada reproduksi teks (</span><i><span style="font-family: Garamond;">istişmār al-nash</span></i><span style="font-family: Garamond;">). Nalar </span><i><span style="font-family: Garamond;">bayani</span></i><span style="font-family: Garamond;"> bertumpu pada “sistem wacana” yang concern terhadap tata hubungan wacana verbal (kalam) --bukan “sistem nalar” yang berkaitan dengan tata hubungan fenomena empiris logis—sehingga bahasa Arab menjadi otoritas rujukan epistemologis nalar Arab Islam.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[11]</span></span></span></span></a> Dengan demikian, validitas pengetahuan yang dihasilkan dari aktivitas intelektual tersebut dituntut “korespondensial” dengan makna linguistikal teks. Selain itu, validitas pengetahuan juga dituntut untuk “analogis” dengan teks yang sudah dijadikan sebagai </span><i><span style="font-family: Garamond;">al-ashl</span></i><span style="font-family: Garamond;"> tersebut. Tata hubungan dalam wacana verbal yang memang dibentuk secara sosial lebih bersifat arbitrer, karena interrelasinya berlandaskan pada prinsip </span><i><span style="font-family: Garamond;">mabda` al-tajwiz</span></i><span style="font-family: Garamond;"> (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini setelah bertemalian dengan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap realitas. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu di alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tak ada prinsip kausalitas yang mendasari terjadinya segala sesuatu tadi.</span></div><div style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: Garamond;">Setelah dunia Islam mengalami kontak massif-akulturatif dengan budaya luar dan mengintrodusir khazanah ‘</span><i><span style="font-family: Garamond;">ulūm al-awāil</span></i><span style="font-family: Garamond;"> (ilmu-ilmu kuna), khususnya dari tradisi Persia, maka nalar gnostik pun mulai berkembang dalam diskursus intelektual Islam dan melahirkan epistemologi </span><i><span style="font-family: Garamond;">irfani</span></i><span style="font-family: Garamond;">. Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual dengan daya-daya rohaniah samawi dan menganggap rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa manusia dengan Tuhan, bukan rasio yang mampu menerima pengetahuan dari sumber aslinya (Tuhan) melainkan hati (intuisi) yang telah mengalami kondisi </span><i><span style="font-family: Garamond;">kasyf</span></i><span style="font-family: Garamond;">. Orang-orang suci yang telah mencapai </span><i><span style="font-family: Garamond;">maqam walāyah</span></i><span style="font-family: Garamond;"> dan </span><i><span style="font-family: Garamond;">nubuwwah</span></i><span style="font-family: Garamond;"> diyakini memiliki pengetahuan tersebut sehingga terjaga dari kesalahan (</span><i><span style="font-family: Garamond;">`ishmah</span></i><span style="font-family: Garamond;">). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dianggap berada pada posisi paling tinggi dan prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada </span><i><span style="font-family: Garamond;">mujāhadah</span></i><span style="font-family: Garamond;"> dan </span><i><span style="font-family: Garamond;">riyādah</span></i><span style="font-family: Garamond;">. Pengetahuan spiritual-sufistik yang menyedot perhatian utama para eksponen epistemologi </span><i><span style="font-family: Garamond;">irfani</span></i><span style="font-family: Garamond;"> tidak hanya dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi juga dalam domain kealaman.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[12]</span></span></span></span></a></span></div><div style="line-height: 200%; margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: Garamond;">Masuknya pengaruh pemikiran Yunani (</span><i><span style="font-family: Garamond;">Hellenistik</span></i><span style="font-family: Garamond;">) ke dalam tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan dengan kebijakan al-Makmun untuk mengembangkan diskursus baru sebagai </span><i><span style="font-family: Garamond;">counter</span></i><span style="font-family: Garamond;"> terhadap gerakan intelektual-politis yang dinilai mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang ditimbulkan oleh masuknya pemikiran Yunani adalah introduksi </span><i><span style="font-family: Garamond;">al-aql al-kauni</span></i><span style="font-family: Garamond;"> (nalar universal, </span><i><span style="font-family: Garamond;">universal reason</span></i><span style="font-family: Garamond;">) yang menjadi basis utama epistemologi </span><i><span style="font-family: Garamond;">burhani</span></i><span style="font-family: Garamond;">. Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera dan daya rasional untuk pemerolehan pengetahuan tentang semesta, bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang sistematis, valid dan postulatif.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[13]</span></span></span></span></a></span><span></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Garamond;">Hal ini sejalan seperti disampaikan oleh Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik adalah tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yang besar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan dengan hukum dan struktur sosial. Oleh karenanya, pendekatan yang dipergunakan selalu deduktif bukan induktif.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[14]</span></span></span></span></a> Temuan ini diperkuat oleh Arkoun bahwa yang menjadi kecenderungan pemikiran Arab klasik adalah tekstualisme.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[15]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Garamond;">George Makdisi dengan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, <i>tradisionalistik</i> dan <i>rasionalistik</i>. Kategori pertama disebut tradisional karena berpegang pada keunggulan <i>faith</i> (kepercayaan pada wahyu) sedangkan kategori kedua karena berpegang pada keunggulan akal.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[16]</span></span></span></span></a> </span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fikih juga merupakan cabang ilmu yang dalam banyak hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[17]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: Garamond;"> Ushul fikih sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional, melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologi. </span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond;">Dengan kata lain, ushul fikih tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran hukum belaka, akan tetapi di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi hukum. Bahkan Arkoun secara tegas berpendapat bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi kontemporer.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[18]</span></span></span></span></span></a><span> </span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang memiliki karakter historis yang berbeda-beda. Dalam babak puncak pertumbuhannya eksistensi ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (<i>fikih</i>) sebagai disiplin ilmu yang sangat terhormat dan dominan jika dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, munculnya ilmu ushul bukanlah sama sekali <i>a-historis </i>atau lahir begitu saja tanpa terkait dengan <i>back-ground</i> historis pada zamannya. Sementara teori umum mengatakan bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan kondisi zamannya. Teori-teori ushul fikih yang muncul sejak zaman Sahabat pada dasarnya merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan hukum yang muncul pada saatnya. Sehingga metode ijtihad yang diterapkan oleh generasi pertama umat Islam tersebut merupakan fenomena sejarah yang kemunculannya secara “natural” belum merujuk kepada sumber teori yang baku. Karena memang pada periode itu ushul fikih belum menjadi disiplin ilmu yang mandiri dan mempunyai landasan epistemologi yang kokoh.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Demikian juga, <i>istinbat</i> yang berkembang dan “berserakan” serta belum terkodifikasi pada masa generasi pertama sampai munculnya <i>al-Risalah</i> karya Muhammad Idris al-Syafi’i pada tahun 203 H, merupakan fenomena sejarah yang sangat jelas variabel dan determinannya. Belum berkembangnya alat bantu tulis---kertas misalnya---juga menentukan format tradisi kajian ushul yang lebih banyak <i>bi al-lisān</i> dan bukan <i>bi al-kitābah</i>. Tradisi keilmuan yang demikian juga menentukan bangunan ilmu dari hasil kajian yang belum mapan pondasi epistemologinya karena masih terbuka dan dinamis. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami berbagai ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya oleh para ulama mulai generasi <i>salaf</i> <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[19]</span></span></span></span></a> sampai abad modern sekarang ini.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Menurut George Makdisi, sebagian besar buku ushul fikih pada kenyataannya membicarakan mengenai masalah-masalah yang tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang kajian ilmu kalam dan filsafat hukum. Adapun masalah-masalah yang menjadi kajian kedua bidang tersebut adalah, <i>pertama</i>, masalah ketentuan mengenai yang baik dan buruk. <i>Kedua,</i> hubungan antara akal dan wahyu, <i>ketiga,</i> kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. <i>Keempat,</i> larangan dan kebolehan. <i>Kelima,</i> pembebanan tanggungjawab dan kewajiban di atas kemampuan seseorang, dan yang <i>keenam</i>, pembebanan kewajiban hukum berdasar hal-hal yang belum ada.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[20]</span></span></span></span></a></span><span> </span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Sebagai perintis, al-Syafi’i menurut Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan filsafat hukum, yaitu adakah setiap perbuatan pada dasarnya dipandang boleh jika tidak ada larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan pada dasarnya dilarang, jika tidak ada kebolehan yang mengecualikan. Schacht menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat kuat pada hukum positif.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[21]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond;">Sehubungan dengan hal tersebut berikut </span><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">penulis kutip agak panjang tulisan Amin Abdullah ketika memulai pembahasannya mengenai <i>islamic</i> <i>studies</i>, utamanya dalam memberikan penilaian terhadap keilmuan fikih:<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn22" name="_ftnref22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[22]</span></span></span></span></a></span><span style="font-family: Garamond;"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0.5in 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of <i>fiqh</i> (Islamic jurisprudence) and <i>kalam</i> (Islamic theology). <i>Fiqh,</i> and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by modern life, especially in matters connected to <i>hudud</i>, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (<i>ijtihad</i>) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains <i>`ulum al-din</i>, and especially the sciences of <i>fiqh</i> and <i>kalam</i> still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of <i>fiqh</i>, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0.5in 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0.5in 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">[terjemahannya kira-kira] Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja diantaranya Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam paradigma keilmuan <i>Islamic Studies</i>, khususnya paradigma keilmuan fikih. Fikih dan Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial dalam Islam dianggapnya terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan-persoalan <i>hudud</i>, hak-hak asasi manusia, hukum publik, wanita, lingkungan dan pandangan non muslim. Meskipun ijtihad telah dibuka-- banyak juga yang berpendapat bahwa sebenarnya pintu ijtihad tidak pernah ditutup-- tetapi tetap saja ‘<i>ulum al-din,</i> khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak dan belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yang selalu terbuka tersebut. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi pada tatanan pranata sosial dalam masyarakat muslim belum berani dan selalu menahan diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke 18-19, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan seterusnya</span><span lang="IN" style="font-family: "Book Antiqua";">.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan dengan sinyalemen dari </span><span style="font-family: Garamond;">seorang Guru Besar Hukum Islam pada UCLA School of Law, Khaled Abou El Fadl.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn23" name="_ftnref23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[23]</span></span></span></span></a></span><span style="font-family: Garamond;"> </span><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Khaled menyatakan bahwa sebenarnya sudah sejak abad ke-2H/8M telah muncul pemegang otoritas yang sangat hebat dan luar biasa kuatnya untuk menjadi pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para khalifahnya yang empat, yaitu <i>Syari`ah</i> (hukum Tuhan) yang dibentuk, disajikan, dan dihadirkan oleh sekelompok profesional tertentu yang dikenal dengan sebutan <i>fuqaha</i> (para ahli hukum). </span><span style="font-family: Garamond;">Lebih lanjut Khaled mengatakan:</span><span lang="IN" style="font-family: Garamond;"></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 6pt 27.85pt 6pt 27pt; text-align: justify; text-indent: 0in;"><span style="font-family: Garamond;">It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But itu is only after the development of juristic corps ad the development of a technical legal culture with its specialized language symbols, and structures that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the representatives of Islamic law, the jurists of Islam!<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn24" name="_ftnref24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[24]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 0in 27pt 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0in;"><span style="font-family: Garamond;">[terjemahannya kira-kira] Adalah benar untuk dikatakan bahwa sejak masa awal Islam, contoh-contoh yang diberikan Nabi dan para Sahabatnya dan juga ketentuan-ketentuan al-Qur`an telah membentuk dasal-dasar yang akhirnya melahirkan budaya hukum Islam yang spesifik. Namun, setelah berkembangnya kitab-kitab fikih dan budaya hukum yang bersifat teknis dengan bahasa, simbol, dan struktur yang khusus, hukum Islam menjadi wakil dari sebuah institusi yang mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas dan kokoh dalam konsep hukum Islam dan para penjaganya, yaitu <i>fuqaha</i>!</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 0in 27pt 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin: 0.25in 0in 6pt 35.7pt; text-align: justify; text-indent: -17.85pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Book Antiqua";"><span>C.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua";">Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond;">Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas berbagai <i>space</i> kosong yang belum dijamah oleh para <i>muallif min a`immat al-mazahib</i>. Meminjam terminologi Arkoun, <i>space</i> kosong itu bisa masuk kategori yang belum terfikirkan (<i>not yet thought)</i> atau bisa juga masuk wilayah yang tak terfikirkan (<i>unthinkable</i>) pada masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika dengan problem kekinian dan kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi kalau hasil kinerja ushul fikih bersifat lokal dan temporal. Yang justru tidak bisa dinalar adalah ketika ada klaim yang menyatakan sebaliknya. Ushul fikih adalah rumusan yang final dan sempurna. Dua kata (final dan sempurna) yang dalam dunia keilmuan dikenal sebagai penyakit atau virus yang mematikan. Final dan sempurna tidak akan pernah melekat dan menempel pada sesuatu yang tidak sempurna. Final dan sempurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia dengan segala produk dan kreasi (<i>human construct and creation</i>) yang lahir darinya tidak akan pernah sampai pada tingkat final dan sempurna <i>ilā yaūm al-qiyāmah</i> karena Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, <i>laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā</i>.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond;">Sebelum menuju pada pembahasan rekonstruksi metodologis dengan pendekatan integratif-interkonektif, menarik untuk kembali mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan dengan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama sebagai pemegang ujung tombak keilmuan di kampus dalam menganalisa dan memahami </span><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">asumsi-asumsi dasar dan kerangka teori yang digunakan oleh bangunan keilmuan yang diajarkan (<i>dirāsat islāmiyah, islamic studies</i>) serta implikasi dan konsewensinya pada wilayah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 0in 0.5in 0.0001pt 27pt; text-align: justify; text-indent: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Quite frankly I am personally <b>doubtful</b> of whether all lecturers teaching Islamic Religious Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN (the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic colleges in all over the Muslim world understand this most fundamental issue very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (<i>Ulum al-Din</i>) that are very detailed, but in isolation without really understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that scientific construct or their implications between the epistemological systems of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach in order to develop them further. We also must test their ability to connect basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as well as the epistemology of one scientific discipline with those of another scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn25" name="_ftnref25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[25]</span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 0in 0.5in 0.0001pt 27pt; text-align: justify; text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 0in 0.5in 0.0001pt 27pt; text-align: justify; text-indent: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">[Terjemahannya kira-kira] Terus terang saya pribadi agak <b>ragu</b> apakah semua dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau pada lembaga pembelajaran Islam di seluruh dunia muslim memahami dengan baik persoalan<span> </span>yang amat fundamental. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan <i>Islamic Studies</i> (<i>Dirasat Islamiyah)</i>, yang mungkin saja sudah sangat mendetail, tetapi terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami asumsi-asumsi dasar dan kerangka teori yang digunakan oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsewensinya <span> </span>pada wilayah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, sampai mampu melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yang biasa diajarkan untuk maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain untuk memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin: 0.25in 0.9pt 0.0001pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Keraguan Amin di atas bisa difahami mengingat pola relasi keilmuan yang<span> </span>ada selama ini masih menganut faham <i>single entity</i>. Faham ini mengklaim bahwa bangunan keilmuan yang dimiliki diyakini sebagai yang bisa menyelesaikan seluruh problem kemanusiaan. <i>Self sufficiency</i> ini menyebabkan lahirnya cara pandang tunggal dan sempit (<i>narrowmindedness</i>) yang berakibat pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yang demikian sebagai cerminan dari arogansi intelektual dan ini dalam konteks ajaran agama sudah masuk dalam kategori <i>min al-āfāt al-‘ilmi</i>, virusnya ilmu. </span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-right: 0.85pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yang bersumber pada teks (<i>hadlārah al-nash</i>) tidak menyadari dan tidak mau peduli bahwa di luar entitas keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yang bersifat praksis aplikatif yang faktual-historis-empiris sehingga bersentuhan secara langsung dengan realitas problem kemanusiaan (<i>hadlārah al-‘ilm</i>) seperti <i>social sciences, natural sciences </i>dan<i> humanities</i>. Selain entitas <i>hadlārah al-‘ilm</i>, masih ada lagi entitas etik filosofis (<i>hadlārah al-falsafah</i>). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak berdiri sendiri karena tidak ada satu disiplin keilmuan yang tidak terkait dengan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai contoh, membutuhkan dukungan biologi dan laboratoriumnya ketika membahas <i>fiqh al-haid</i>, begitu juga ketika mau melakukan <i>ru`yah al-hilal</i></span><span lang="IN"> </span><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi dan ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian juga dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu sebaliknya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ juga membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan di dalamnya.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-right: 0.85pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Jadi sudah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (<i>separated entities</i>), apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yang tunggal (<i>single entity</i>). Tingkat peradaban kemanusiaan saat ini yang ditandai dengan semakin melesatnya kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu pada level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud dengan pola pendekatan integrasi-interkoneksi. Apabila tidak memungkinkan dilakukan proses integrasi, maka dengan menggunakan pendekatan interkoneksi bisa menjadi pilihannya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn26" name="_ftnref26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[26]</span></span></span></span></a> Hal ini guna menghindari dari teralienasinya <i>dirāsat islāmiyah</i> (<i>islamic studies</i>) dari komunitas keilmuan global seperti yang disinyalir oleh </span><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Ebrahim Moosa, ketika memberikan kata pengantar buku Fazlur Rahman, <i>Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism</i>, sebagai berikut:<span class="MsoFootnoteReference"> <a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn27" name="_ftnref27" title=""><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[27]</span></span></span></a></span></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 0in 27.9pt 0.0001pt 26.95pt; text-align: justify; text-indent: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will <b>suffer</b> if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 0in 27.9pt 6pt 27pt; text-align: justify; text-indent: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: Garamond;">[Terjemahannya kira-kira] Setelah mengungkap berbagai persolan hubungan internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan dan ahli-ahli agama (termasuk di dalamnya ahli-hali ilmu keislaman) harus juga menjadi ahli ekonomi atau politik. Namun, demikian studi agama<span> </span>akan mengalami kesulitan berat-untuk tidak menyebutnya <b>menderita </b>jika pandangan-pandangan tidak menyadari dan berkembang dalam politik, ekonomi, dan budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan, begitu juga sebaliknya.</span><span lang="IN" style="font-family: Garamond; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin: 0.25in 0in 6pt 35.7pt; text-align: justify; text-indent: -17.85pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Book Antiqua";"><span>D.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua";">Ushul Fikih Integratif-Humanis</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Garamond;">Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk dari ushul fikih yang telah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yang telah melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan sekaligus pembenahan pada dua aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada wilayah mujtahid, penulis setuju dengan 5 prasyarat yang ditentukan oleh Khaled, yaitu: </span></div><ol start="4" style="margin-top: 0in;" type="A"><ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Kejujuran (<i>honesty</i>)</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Kesungguhan (<i>diligence</i>)</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (<i>comprehensiveness</i>)</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Mendahulukan tindakan yang masuk akal (<i>reasonablness</i>)</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Kontrol dan kendali diri (<i>self restraint</i>).<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn28" name="_ftnref28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[28]</span></span></span></span></a></span></li>
</ol></ol><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Namun kelima persyaratan yang ditawarkan oleh Khaled tersebut, terlebih untuk konteks saat ini masih rentan untuk dilanggar bila tidak didukung oleh situasi atau orientasi politik yang benar dari mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed Arkoun bahwa adanya intervensi agama dan politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi dan liberasi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn29" name="_ftnref29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[29]</span></span></span></span></a> Pemikiran menjadi monolitik, kebebasan berfikir dipasung dan panggung dialog terbatas. Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan dan pemikiran serta pada fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya untuk lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid pada kebenaran perlu ditambahkan satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid harus:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>6.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">Berada di luar kepentingan politik praktis (<i>independent</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond;">Sementara pada ranah metodologis berbagai bentuk yang harus dirombak adalah soal definisi, penempatan dan strategi. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi dan interkoneksi, ushul fikih dalam proses </span><i><span style="font-family: Garamond;">istinbāth</span></i><span style="font-family: Garamond;"> yang melakukan operasi pada empat wilayah kajian, yaitu <i>ta’shil</i> (mencari originalitas teks) dan <i>ta’wil</i> (mencari originalitas makna) jelas-jelas membutuhkan bantuan keilmuan ‘sekuler’ seperti hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik dan epistemologi. Sementara pada proses<span> </span><i>tatbiq</i> (mewujudkan mashlahah) dan <i>tarjih</i> (mencari pilihan yang terbaik dan rasional) peran dan bantuan dari sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya memegang andil yang signifikan. </span><span style="font-family: Garamond;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond;">Satu hal lagi yang cukup krusial dalam kajian ushul fikih yang perlu segera dilakukan redefinisi, yaitu tentang definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim bisa dipastikan kalau ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Namun pasca wafatnya Rasulullah nalar kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai dari sahabat hingga hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn30" name="_ftnref30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 12pt;">[30]</span></span></span></span></a> Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan dan pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan berbeda (untuk tidak dibilang pasti), dan keduanya absah (<i>mushawwibah</i>) meski tetap harus menanggung resiko (<i>mukhatti`ah</i>) atas hasil bacaannya. Sejarah telah merekam dengan baik perbedaan itu benar-benar terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah hingga makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak bisa dipersamakan dan apalagi dipastikan seperti itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yang sebenarnya, <i>no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi</i>. Oleh sebab itu, al-Hakim tidak lagi semata Allah, tapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, <i>wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha</i>), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (dengan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI <i>wama asybaha dzalik</i>. Sehingga apapun keputusan yang mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka tidak bisa lagi mengatasnamakan Tuhan, dan masyarakat tidak mempunyai kewajiban yang mengikat untuk percaya dan mematuhi hasil ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa berdosa untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik yang dihasilkan mereka, karena hasil ijtihad mereka tidak bersifat absolut benar melainkan relatif (<i>zann</i>). Mengikat bagi yang melakukan ijtihad, tapi tidak bagi yang tidak meyakininya.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; margin: 6pt 0in 6pt 35.7pt; text-align: justify; text-indent: -17.85pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Book Antiqua";"><span>E.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Book Antiqua";">Ikhtitam </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond;">Demikian ijtihad yang bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas <i>talwis</i> tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita semua untuk ikut aktif terlibat dalam penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan berbagai bentuk, corak dan rupa demi <i>tsamanan qalil</i></span><i><span style="font-family: Garamond;">ā</span></i><span style="font-family: Garamond;">, na`udzubillah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond;">Selanjutnya meski ada rambu-rambu moral, <i>al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad</i>, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi tulisan ini dalam rangka <i>taw</i></span><i><span style="font-family: Garamond;">ā</span></i><i><span style="font-family: Garamond;">shau bil haq</span></i><span style="font-family: Garamond;">. Sekian, mohon maaf dan semoga bermanfaat, amin. Wassalam.</span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-family: "Book Antiqua";">Grya Gaten, 30 Maret 2007</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Book Antiqua";">Daftar pustaka</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Abd Hamid Abu Sulaiman, <i>Towards an Islamic Theory of International Relations: New Direction for Methodology and Thought</i> (Herndon-Virginia: IIIT, 1415/1993)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Ebrahim Moosa, “Introduction” dalam Fazlur Rahman, <i>Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism</i> (Oxford: Oneworld Publication, 2000)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">George Makdisi, <i>Religion, Law and Learning in Classical Islam</i> (Hampshire: Variorum, 1991).</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">---------------------, “The Juridical Theology, Origin and Significance of Ushul Fikih” dalam <i>Studi Islamika</i> nomor 59 tahun 1984.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Hassan Hanafi, <i>Dirasat Islamiyah</i> (Kairo: Maktabah al-Anjilo, t.t).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Ibrahim Hosen, “Memecahkan Persoalan Hukum Baru” dalam Jalaluddin Rahmat (ed.), <i>Ijtihad dalam Sorotan</i> (Bandung: Mizan, 1988)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Imran Ahsan Khan Nyazee, <i>Theories of Islamic Law</i>, (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945)</span><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;"></span></div><div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Joseph Schacht, <i>The Origin of Muhammadan Jurisprudence</i> (Oxford: Clarendon Press, 1979).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Khaled Abou El Fadl, <i>Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women</i> (Oxford: Oneworld Publications, 2003).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Mahmud Arif, “Epistemologi Pendidikan Islam: Kajian atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia” <i>Disertasi</i> tidak diterbitkan (Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2006).</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">M. Abid al-Jabiri, <i>al-Turath wa al-Hadathah; Dirasat wa Munaqashat</i> (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). </span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">---------------------, <i>Bunyah al-Aql al-Araby</i>: <i>Dirāasah Tahliliyah Naqdiyah li al-Nudzūm al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah</i> (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1990).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar” pada <i>Islamic Studies di Perguruan Tinggi:Pendekatan Integratif-Interkonektif</i> (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">-----------------, <i>Islamic Studies, Humanities and Social Sciences: An Integrated-Interconected Perspective</i>, makalah dalam diskusi CRCS-UGM-MYIA di Gedung Pasca UGM pada 18 Desember 2006.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Muhammed Arkoun, <i>al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil, Nahwa Tarikhin Akbar li al-Fikr al-Islami</i> (Tt: Dar al-Saqi, 1999).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">----------------, <i>Pemikiran Arab</i>, terj. Yudian W. Asmin (Yogyakarta: PMI-Pustaka Pelajar, 1996).<span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">---------------, <i>Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru</i>, alih bahasa Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Nasr Hamid Abu Zayd, <i>Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Qur’an</i> (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, cet. V, 2000).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarah dan Hasyiyah Dalam Fikih dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam” dalam Budy Munawar Rahman, </span><i><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">KontekstualisasaiDoktrin Islam dalam Sejarah</span></i><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;"> (Jakarta: Paramadina, 1995)</span><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Subhi al-Salih<i>, Mabahis fi<span> </span>‘Ulum al-Qur’an,</i> cet. 9 (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyin, 1977)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">-----------------, ‘<i>Ulum al-Hadis wa Mustalahuh</i>, cet. 9 (Beirut:Dār al-‘Ilm li al-Malāyin,1977)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Tim Penyusun, <i>Mengenal Istilah dan Rumus Fuqaha’</i> (Kediri: Madrasah ”Hidayatul Mubtadi-ien”, 1997)</span><span style="font-family: Garamond;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Book Antiqua";">Riwayat Hidup</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Garamond;">Nama<span> </span>: Shofiyullah Mz., M.Ag</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Tmp., tgl lahir<span> </span>: Bangkalan, 28 Mei 1971</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">NIP<span> </span>: 150299964</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Pangkat/Gol<span> </span>: Lektor/III C</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Unit Kerja<span> </span>: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">AlamatRumah<span> </span>: Jl. Manggis 62A Rt.06/28 Gaten CC Depok Sleman</span></div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Garamond;">Tlp./Hp<span> </span>: 08122716894</span></div><div class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: Garamond;">Riwayat Penelitian :</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">Pemikiran Hukum Prof. Ibrahim Hosen, bersama Drs.H. Muhadi, Lc., M.Ag., UII<span> </span>Yogyakarta, 2002.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">Gerakan Muhammadiyah di tengah Pluralitas Islam Yogyakarta, Kelompok, Depag RI, 2005-2006</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">Interaksi antara Islam dan Budaya Jawa dalam Organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta, Kelompok, Lemlit UIN Sunan Kalijaga, 2005</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 0.0001pt 53.85pt; text-align: justify; text-indent: -17.85pt;"><span style="font-family: Garamond;">Riwayat Pelatihan/Kursus:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Pelatihan Penelitian bagi Tenaga Edukatif, Puslit IAIN Sunan Kalijaga, 2001</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Gender Awareness Training<span> </span>(GAT), PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002</span><span style="font-family: Garamond;"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Daurah al-Lughah al-Arabiyah lil Mudarrisin, UIN Sunan Kalijaga, 2005</span><span style="font-family: Garamond;"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond; font-size: 11pt;">Short English Course, Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, 2005</span><span style="font-family: Garamond;"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 0.0001pt 53.85pt; text-align: justify; text-indent: -17.85pt;"><span style="font-family: Garamond;">Karya Terjemahan:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">Panduan Moral Bagi Anak Bangsa (<i>Idhotun Nasyi`in</i>) karya Mustofa al-Gholayini) (Yogyakarta:Aziziah, Januari 2004)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">Fiqh Minoritas (<i>Nahw Fiqh Jadid lil Aqalliat</i>) karya Jamaluddin Athiyah, (Bandung: Pustaka Cendekia, 2006)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;">Karya Buku:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">99 Kyai Pesantren Riwayat, Karya dan Perjuangan (I-II); bersama dengan KH.Abd. Aziz Masyhuri (Yogyakarta: Kutub, 2006)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Garamond;"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">“Quo Vadis Kebebasan Beragama?” dalam <i>Kebebasan</i> (Jogja:BEM AF-Pilar Media, 2006)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: Garamond;">Memandang Ulama Secara Rasional (Yogykarta: Kutub, 2006).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div><br clear="all" /> <hr align="left" size="1" width="33%" /> <div id="ftn1"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Arabic"; font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></span></a> <span style="font-family: "Times New Roman";">Imran Ahsan Khan Nyazee, <i>Theories of Islamic Law</i>, (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945), hlm. 1.</span></div></div><div id="ftn2"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[2]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarah dan Hasyiyah Dalam Fikih dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam” dalam Budy Munawar Rahman, </span><i><span style="font-family: "Times New Roman";">Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah</span></i><span style="font-family: "Times New Roman";"> (Jakarta: Paramadina, 1995)</span><span style="font-family: Garamond;">, hal. 313.</span><span style="font-family: Garamond;">. </span></div></div><div id="ftn3"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[3]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Menurut Nurcholis Madjid yang menjadi ciri umum masyarakat muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat ialah ketenangan dan ketentraman. Agaknya dambaan mereka tercapai, tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau kemandekan. Sebab ketenangan dan ketentraman itu mereka “beli” dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan atas nama doktrin taklid dan tertutupnya ijtihad. Nurcholish Madjid, <i>Ibid</i>. </span></div></div><div id="ftn4"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[4]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";"> </span><i><span style="font-family: "Times New Roman";">Ibid</span></i><span style="font-family: "Times New Roman";">.</span><span style="font-family: "Times New Roman";"> </span></div></div><div id="ftn5"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 10pt;">[5]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: Garamond;">Ibrahim Hosen, “Memecahkan Persoalan Hukum Baru” dalam Jalaluddin Rahmat (ed.), <i>Ijtihad dalam Sorotan</i> (Bandung: Mizan, 1988), hal. 40-41.</span></div></div><div id="ftn6"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 10pt;">[6]</span></span></span></span></span></a><i><span style="font-family: Garamond;">Ibid</span></i><span style="font-family: Garamond;">. </span></div></div><div id="ftn7"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond;"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Garamond; font-size: 10pt;">[7]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: Garamond;">Hassan Hanafi, <i>Dirasat Islamiyah</i> (Kairo: Maktabah al-Anjilo, t.t), hal. 107. </span></div></div><div id="ftn8"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Arabic"; font-size: 10pt;">[8]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">M. Abid al-Jabiri, <i>al-Turath wa al-Hadathah; Dirasat wa Munaqashat</i> (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hal. 15.</span> </div></div><div id="ftn9"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[9]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";"> Muhammad Abid al-Jabiri</span>, <i><span style="font-family: "Times New Roman";">Bunyah al-Aql al-Araby</span></i><span style="font-family: "Times New Roman";">: <i>Dirāasah Tahliliyah Naqdiyah li al-Nudzūm al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah</i></span> <span style="font-family: "Times New Roman";">(Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1990), hal. 14</span><span> </span></div></div><div id="ftn10"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[10]</span></span></span></span></span></a><i><span style="font-family: "Times New Roman";">Ibid</span></i><span style="font-family: "Times New Roman";">; Lihat juga al-Syafi’i, <i>al-Risalah</i>, hal. 22, 33, 91-93, dan 478-479.</span></div></div><div id="ftn11"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Arabic"; font-size: 10pt;">[11]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Nasr Hamid Abu Zayd, <i>Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Qur’an</i> (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, cet. V, 2000), hal. 9. </span></div></div><div id="ftn12"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Arabic"; font-size: 10pt;">[12]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Mahmud Arif, “Epistemologi Pendidikan Islam: Kajian atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia” <i>Disertasi</i> tidak diterbitkan (Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2006).</span> </div></div><div id="ftn13"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Arabic"; font-size: 10pt;">[13]</span></span></span></span></a> <i><span style="font-family: "Times New Roman";">Ibid.</span></i></div></div><div id="ftn14"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30.05pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[14]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Abd Hamid Abu Sulaiman, <i>Towards an Islamic Theory of International Relations: New Direction for Methodology and Thought</i> (Herndon-Virginia: IIIT, 1415/1993), hal. 87-88. </span></div></div><div id="ftn15"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30.05pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[15]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Muhammed Arkoun, <i>Pemikiran Arab</i>, terj. Yudian W. Asmin (Yogyakarta: PMI-Pustaka Pelajar, 1996), hal. 71. </span></div></div><div id="ftn16"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30.05pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[16]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">George Makdisi, <i>Religion, Law and Learning in Classical Islam</i> (Hampshire: Variorum, 1991), hal. 44. </span></div></div><div id="ftn17"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[17]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Terutama ketika berbicara tentang kaidah-kaidah bahasa. Lihat</span><span> S}ubhi al-S}alih<i>, Mabah}is} fi<span> </span>‘Ulu>m </i></span><i><span style="font-family: "Times New Roman";">al-Qur’an,</span></i><span style="font-family: "Times New Roman";"> cet. 9 (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyin,1977), hal. 299-312 dan;</span><span> al-S}alih, ‘<i>Ulu>m al-Hadi>s} wa Mus}t}ala>huh</i></span><span style="font-family: "Times New Roman";">, cet. 9 (Beirut:Dār al-‘Ilm li al-Malāyin,1977), hal. 113-114.</span></div></div><div id="ftn18"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30.05pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[18]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";"> Muhammad Arkoun, <i>Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru</i>, alih bahasa Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 52.</span></div></div><div id="ftn19"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[19]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Generasi umat Islam pada umumnya dibagi menjadi empat generasi, yaitu: (1) <i>Al-salaf</i>, yaitu para ulama yang hidup sampai pada akhir abad III H yang terdiri dari generasi Sahabat, Tabi‘in dan Tabi‘ at-Tabi‘in; (2) <i>al-khalaf</i>, yaitu para ulama yang hidup pasca abad III H; (3) <i>al-mutaqaddimun</i> atau <i>al-ashab</i>, yaitu ulama yang hidup<span> </span>pada abad IV H. Sebagai cirikhas generasi yang ketiga ini adalah memiliki kemampuan menggali hukum dengan kaidah-kaidah yang dirumuskan para imam mazhab, seperti al-Gazali dan al-Qaffal. Tetapi ulama generasi ini juga ada yang berijtihad tanpa menggunakan kaidah-kaidah tersebut, seperti al-Muzani dan Ibn Saur. Dan (4) <i>al-mutaakhkhirun</i>, yaitu ulama yang hidup pasca abad IV H. Lihat Tim Penyusun, <i>Mengenal Istilah dan Rumus Fuqaha’</i> (Kediri: Madrasah ”Hidayatul Mubtadi-ien”, 1997), hal. 6<i> </i><span> </span></span></div></div><div id="ftn20"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30.05pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[20]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";"> George Makdisi, “The Juridical Theology, Origin and Significance of Ushul Fikih” dalam <i>Studi Islamika</i> nomor 59 tahun 1984, hal. 16. </span></div></div><div id="ftn21"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[21]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";"> Joseph Schacht, <i>The Origin of Muhammadan Jurisprudence</i> (Oxford: Clarendon Press, 1979), hal. 134.</span></div></div><div id="ftn22"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[22]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">M. Amin Abdullah, <i>Islamic Studies, Humanities and Social Sciences: An Integrated-Interconected Perspective</i>, makalah dalam diskusi CRCS-UGM-MYIA di Gedung Pasca UGM pada 18 Desember 2006, hal. 3.</span></div></div><div id="ftn23"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 30.05pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref23" name="_ftn23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[23]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";"> Khaled Medhat Abou El Fadl adalah seorang Profesor hukum Islam pada UCLA School of Law, USA, kelahiran Kuwait pada 1963 dari kedua orang tua berasal dari Mesir. Ia besar di Mesir kemudian hijrah dan menetap di Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas. Usia 12 tahun sudah hafal al-Qur`an. Semasa kecil selain aktif mengikuti kelas al-Qur`an dan Syariah di masjid Al-Azhar dia juga melahap habis semua koleksi buku orang tuanya yang berprofesi sebagai pengacara. Dia juga tekun belajar kepada para syaikh, diantaranya Muhammad al-Ghazali (w.1995). Dalam pengakuannya ia sempat menjadi pengikut setia faham puritan Wahabi semasa di Mesir. Bayang-bayang puritanisme tetap melekat pada dirinya hingga dia menyelesaikan Barchelor of Artnya dengan yudicium <i>cum laude</i> di Yale University pada 1986. kemudian dia melanjutkan studinya ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada 1989 sebagai peserta terbaik dalam <i>Jessup Moot Court Competition</i> yang kemudian melanjutkan studi doktornya pada Princeton University yang diselesaikan pada tahun 1999 dengan yudicium sangat memuaskan dengan disertasinya, <i>The Rebellion and Violence in Islamic Law</i> dinobatkan sebagai karya terbaik dalam jajaran karya-karya hukum. Dengan background yang demikian wajar kemudian dia dikenal sangat piawai dalam memadukan penguasaannya yang mendalam akan nilai-nilai dan tradisi Islam klasik dengan ilmu dan tradisi Barat Modern. Namanya melambung pasca tragedi 11 September lewat artikelnya yang berjudul “What Became Tolerance in Islam?”. Dia sangat produktif dalam menulis, diantara karyanya yang cukup menghebohkan adalah <i>Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women</i> (Oxford: Oneworld Publications, 2003).</span></div></div><div id="ftn24"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 6pt 0in; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref24" name="_ftn24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[24]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";"> Khaled Abou El Fadl, <i>Speaking</i>…, hal. 12</span></div></div><div id="ftn25"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref25" name="_ftn25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[25]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Amin Abdullah, <i>Islamic Studies</i>…, hal. 8. </span></div></div><div id="ftn26"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref26" name="_ftn26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[26]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Amin Abdullah, “Kata Pengantar” pada <i>Islamic Studies di Perguruan Tinggi:Pendekatan Integratif-Interkonektif</i> (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. vii. </span></div></div><div id="ftn27"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref27" name="_ftn27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[27]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Ebrahim Moosa, “Introduction” dalam Fazlur Rahman, <i>Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism</i> (Oxford: Oneworld Publication, 2000), hal. 28. Bandingkan Amin Abdullah, <i>Islamic Studies</i>…, hal. 13. </span></div></div><div id="ftn28"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref28" name="_ftn28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[28]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Khaled, <i>Speaking</i>…, hal. 54-56</span></div></div><div id="ftn29"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref29" name="_ftn29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[29]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Muhammed Arkoun, <i>al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil, Nahwa Tarikhin Akbar li al-Fikr al-Islami</i> (Tt: Dar al-Saqi, 1999), hal. 14.</span></div></div><div id="ftn30"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref30" name="_ftn30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[30]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman";">Yang hanya memuat 114 surat dengan maksimal 6666 ayat plus Kutub at-Tis`ah (yang tidak lebih dari 100 ribu hadits tanpa <i>tikrar</i> dan <i>syawahid</i>). </span></div></div></div>tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-32056655477491937472010-12-31T19:07:00.001-08:002010-12-31T19:07:32.411-08:00EUTHANASIA BAGI PENDERITA HIV / AIDS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <br />
<div align="center" style="text-align: center;"><b>EUTHANASIA BAGI PENDERITA HIV / AIDS DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA</b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div align="center" style="text-align: center;"><i>Oleh:</i><br />
Taufan Florisa</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div align="center" style="text-align: center;"><b>Abstract</b></div>Perubahan dan perkembangan pada masyarakat saat ini telah menimbulkan berbagai permasalahan khususnya masalah baru yang sama sekali belum pernah ada ketentuannya di dalam nash Al-qur?an dan Al-hadits. Realita ini menuntut kita untuk mencari solusi hukumnya untuk dijadikan pedoman yang akan membawa manusia kepada kemaslahatan dan menghindarkan diri dari kemafsyadatan.<br />
Untuk menetapkan hukum (ijtihad) terhadap masalah-masalah baru yang tidak diketemukan ketentuannya dalam al Qur?an dan Hadist, para ahli agama atau (ahli ushul fiqih) mencoba untuk merumuskan kaidah-kaidahnya atau metode-metode fiqhiyah sebagai jalan kelauarnya.<br />
Dalam konsep ini, maqoshid al syari?ah adalah sebuah konsep dasar pembentukan hukum dengan orientasi mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemafsyadatan bagi manusia. Karena orientasinya tersebut, menjadikan kajian hukum islam (maqoshid al syari?ah) sangat relevan apabila diterapkan dalam ijtihad terhadap masalah masa kini yang semakin rumit dan kompleks. Dalam pencapaian kemaslahatan tersebut hendaknya tidak mengabaikan lima hal: yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum.<br />
Di seluruh dunia telah mengakui bahwasanya salah satu penyakit yang di takuti banyak orang adalah AIDS. Dari semua hasil penelitian semua ahli medis mengenai HIV atau AIDS, membuktikan orang yang bisa terkena HIV atau AIDS bukan hanya bagi mereka yang senang berganti-ganti pasangan, akan tetapi kemudian terbukti virus tersebut bisa juga menular melalui jarum suntik, transplantasi organ tubuh yang terinfeksi HIV atau AIDS, donor darah dan ibu yang menyusui bayinya yang terkena virus tersebut.<br />
Virus ini sampai sekatang belum juga ditemukan obatnya dan kebanyakan orang yang terkena virus ini berakhir dengan kematian. Sehingga timbul masalah di antara pemuka agama tentang boleh tidaknya euthanasia bagi pengidap HIV atau AIDS, karena dampak buruknya bagi masyarakat sekelilingnya.<br />
Dalam penulisan ini, penulis mencoba untuk melakukan ijtihad terhadap masalah tersebut. Yaitu melihat masalah euthanasia bagi penderita HIV atau AIDS dalam konteks memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Adapun penulisan ini penulis menggunakan metode ijtihad maslahah mursalah, karena maslahah muslahah adalah sebuah metode ijtihad dengan orientasi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Sangat relevan apabila diterapkan dalam ijtihad terhadap permasalahan masa kini yang semakin rumit dan kompleks.<br />
Menurut pendapat penulis euthanasia bagi penderita HIV atau AIDS dengan alasan apapun adalah haram berdasarkan prinsip umum yang tersirat dan tersurat baik dalam al Qur?an maupun Hadist dan merupakan pengabaian terhadap hukum islam (maqoshid al syari?ah). Khususnya dalam pemeliharaan agama dan jiwa, serta dalam hukum pidana tetap dilarang dan dapat dijatuhi pidana berdasarkan pasal 334 KUHP dengan hukum penjara maksimal 12 tahun.<br />
<br />
<br />
<br />
The change and development in society has created many problems, especially new problems which has no rule in Al-Qur?an Nash and Al-Hadits. This reality forced us to find law solution to create a compass which brought human being into kindness and avoided badness. <br />
To state law (ijtihad) to the new problems which couldn?t find inside Qur?an and Hadits, the religious leader (ushul fiqh scholar) tried to conclude the principles or fiqhiyah method as a way out. <br />
In this concept, maqushid al syari?ah was a basic concept to form law directed to create kindness and avoid badness for human being. Because of the orientation, Islamic Law (maqoshid al syari?ah) was relevant to apply in ijtihad of nowadays problem which become complicated and complex. In reaching the kindness, we shouldn?t avoid five things : religion, soul, mind, offspring, and wealth as the law needed. <br />
All over the world, people has acknowledged that one disease which was feared by many people was AIDS. All medical person researches about HIV or AIDS proved that person who could injected by HIV or AIDS not just they who loved to change partners, the virus also spread through injection needle, transplantation of organ which infected by HIV or AIDS, blood donor, and mother?s milk which infected the virus<br />
There was still no cure for AIDS, and many people who infected by the virus ended with death. There rose a problem between religion leaders about euthanasia for HIV or AIDS, since the bad effect to the people around. <br />
In this writing, the writer focused to do ijtihad to the problem. Seeing euthanasia for HIV or AIDS victim in the context of keeping religion, soul, mind, offspring, and wealth. In this writing, the writer needed to do ijtihad method, since the problem of society was an ijtihad method which was aimed to decide kindness direction. The complex and complicated problems could be relevant to the nowadays problem. <br />
According to the writer?s opinion, euthanasia for HIV or AIDS with any reasonable reason was ?forbidden? according to the general principal in Al-Qur?an and Hadits and also avoidance in Islamic Law, especially in Law development and soul. In criminal law, it also was forbidden and an avoidance to Islamic Law especially in criminal Law and could be punished according to section 334 with maximum punishment 12 years in Jail.<br />
<strong>Keyword :</strong> EUTHANASIA BAGI PENDERITA HIV<br />
Related Link : <a href="http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/269/jiptummpp-gdl-s1-2008-taufanflor-13413-PENDAHUL-N.pdf">http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/269/jiptummpp-gdl-s1-2008-taufanflor-13413-PENDAHUL-N.pdf</a>tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-41569618305293625342010-12-31T19:05:00.000-08:002010-12-31T19:05:14.152-08:00Menuju Ushul Fiqh Humanitarian<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> </div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 198, 198); text-align: center;"><span style="font-family: "Copperplate Gothic Bold"; font-size: 20pt;">Menuju Ushul Fiqh Humanitarian:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 198, 198); text-align: center;"><span style="font-family: "Baskerville Old Face"; font-size: 20pt;">Sebuah Pembacaan Baru</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 198, 198); text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><b><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Oleh : </span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><b><span style="font-family: "Baskerville Old Face"; font-size: 20pt;">Shofiyullah Mz</span></b><span style="font-family: "Baskerville Old Face"; font-size: 20pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0); text-align: center;"><b><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 14pt;">UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta</span></b></div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(255, 153, 0);"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 148, 99); text-align: center;"><span style="font-size: 18pt;">Presented on</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 148, 99); text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 148, 99); text-align: center;"><span style="font-family: "Baskerville Old Face"; font-size: 18pt;">ANNUAL CONFERENCE ON ISLAMIC STUDIES</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 148, 99); text-align: center;"><span style="font-size: 18pt;">DIRJEND PEND ISLAM DEPAG RI </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 148, 99); text-align: center;"><span style="font-size: 16pt;">GRAND HOTEL</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="background: none repeat scroll 0% 0% rgb(49, 148, 99); text-align: center;"><span style="font-size: 16pt;">LEMBANG, JAWA BARAT</span></div><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 15pt;">NOVEMBER, 26-30 2006</span><br />
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-size: 13pt;">Abstraks</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Sebagai <i>the queen of Islamic sciences</i>, ushul fiqh memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam <i>rahmatan lil alamin.</i> Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan manis dari ajaran Islam sangat ditentukan dari bangunan ushul fiqh itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fiqh menempati poros dan inti dari ajaran Islam. Ushul fiqh menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika dan makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Melihat fungsinya yang demikian, rumusan ushul fiqh seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis dari tugas ushul fiqh yang harus selalu berusaha menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua sumber rujukan utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yang sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, <i>yaduru ma`a illatihi wujudan wa `adaman.</i> Oleh karenanya, upaya yang telah dirintis oleh imam asy-Syafi`i (150-204/767-820) ini seharusnya diapresiasi oleh generasi ummat Islam berikutnya dengan selalu mengadakan kontekstualisasi ataupun pembaharuan ushul fiqh pada semua arasnya, <span>pembaruan aras epistemologi, dalam aras metodologis, dan pembaruan dalam aras materi atau topik-topik hukum. Dan k</span>ajian ini menjadi langkah awal dari proyek besar tersebut.<span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify;">Sebagai langkah awal, kajian ini dimulai dengan melakukan studi komparasi atas tiga kitab ushul fiqh yang dianggap mewakili generasinya, yaitu kelahiran (<i>formative</i>), kematangan dan mutakhir. Pada generasi kelahiran dipilih kitab <i>ar-Risalah</i> karya asy-Syafi`i, sedang dari generasi kematangan dipilih <i>al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam</i> karya al-Amidi dan <i>`Ilm Ushul Fiqh</i> karya Abdul Wahhab Khallaf mewakili generasi mutakhir. Dari ketiga kitab tersebut, akan dibuat perbandingan dari aspek ta`rif, materi dan sistematika pembahasan ushul fiqh. Tujuannya, dengan perbandingan ta`rif akan bisa dibuat batasan akan jangkauan pembaharuan ushul fiqh yang akan dilakukan agar tetap dalam kerangka disiplin keilmuan ini. Sedang dengan perbandingan materi akan dapat membantu dalam menambahkan materi-materi baru yang relevan dan dibutuhkan bagi ushul fiqh, dan dengan membandingkan sistematika pembahasan akan bisa diperoleh kelemahan sistematika yang ada selama ini dan kemungkinan alternatifnya. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Hasil penelitian diperoleh temuan bahwa sebagai kitab perintis, <i>ar-Risalah</i> tidak mencantumkan ta`rif bahkan tidak dijumpai term ushul fiqh di dalamnya. Sedang pada kedua kitab lainnya sudah ada. Materi yang dibahas dalam <i>ar-Risalah</i> seputar <i>mashadir at-tasyri`</i> sementara dasar-dasar epistemologis seperti <i>dalil, ilm, dzan</i> hanya terdapat pada dua kitab berikutnya. Adapun sistematika yang disajikan, kitab <i>al-Ihkam</i> justru menyajikan sistematika pembahasan yang lebih canggih dibanding karya yang lahir sesudahnya, `<i>Ilm Ushul Fiqh </i>apalagi dengan sebelumnya yang ‘sepertinya’ sengaja menyediakan ruang lebar bagi penyempurnaan.</div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify;">Dari hasil di atas banyak ditemukan <i>space</i> kosong bagi penyempurnaan selanjutnya seperti pengklasifikasian antara <i>dalil</i> sebagai obyek materiil dan <i>istidlal</i> sebagai obyek formal yang tidak jelas dan membingungkan semisal menempatkan qiyas sebagai sumber hukum, ‘kesepakatan’ yang menyatakan bahwa <i>al-Hakim</i> hanya Allah semata lalu bagaimana dengan Sahabat, Mujtahid, Qadli, Pemerintah, dan institusi agama lainnya, bukankah mereka selama ini yang menjadi <i>al-Hakim</i> setelah malaikat Jibril tidak lagi datang membawa wahyu? Perlunya dimasukkan ilmu-ilmu <i>‘sekuler’ </i>seperti hermeneutik, linguistik, filologi, semiotik dan sebagainya ke dalam ushul fiqh. Dengan penyempurnaan tersebut diharapkan ushul fiqh akan menjadi ramah dan humanis, <i>wallahu a`lam</i>. </div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 14pt;">Menuju Ushul Fiqh Humanitarian:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 14pt;">Sebuah Pembacaan Baru</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 14pt;">*</span></span></a><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 14pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Oleh</span></b><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"> <b>Shofiyullah Mz</b></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><b><span style="font-family: Arial;"><span>A.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><span style="font-family: Arial;">Iftitāh</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Masih hangat dalam ingatan umat Islam di tanah air, bagaimana fatwa MUI yang menyatakan Jemaah Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan telah berakibat pada tindakan anarkhis dan brutal berupa pendudukan dan penghancuran markas pusat Jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor yang dilakukan oleh umat atas nama Islam, meski kemudian MUI “meralat” dengan menyatakan bahwa MUI tidak menganjurkan cara-cara kekerasan dan anarkhis dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></span></span></a> Tindakan-tindakan serupa juga terjadi pada kasus pro-kontra perumusan RUU APP (Anti Porno), tuduhan murtad yang dialamatkan pada “malaikat” Lia Aminuddin, juga pada Roy Saputra karena ‘merilis’ shalat edisi bahasa Indonesia dan aktifitas <i>sweeping</i> terhadap tempat-tempat maksiat<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></span></span></a> di kota-kota besar yang dilakukan oleh sekelompok atau institusi yang mengatasnamakan diri sebagai “jundullah”. Dalam versi yang berbeda tapi semangat yang sama, bom bunuh diri yang dilakukan oleh Amrozi cs di Bali dan dibeberapa tempat konon juga atas nama “li`i`l</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">-i kalim</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">till</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">h”.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Selain soal wajah Islam Indonesia yang garang dan kaku di atas, problem lain yang dirasakan oleh penulis adalah begitu susahnya memahami ushul fiqh meski sudah begitu lama bergelut dengannya. Kesulitan memahami itu menurut <i>su`udzan</i> penulis lebih pada adanya problem epistemologis ushul fiqh yang ada selain faktor-faktor penyokong lainnya.</span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kedua faktor di atas sepertinya tidak nyambung. Tapi sebenarnya menurut hemat penulis sangat erat berkelindan. </span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Ushul fiqh sebagai sebuah disiplin yang pertama kali digagas </span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">asy-Syafi’i </span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">sebagaimana dikatakan Imran Ahsan Khan Nyazee merupakan ratunya ilmu keislaman (<i>the queen of Islamic sciences</i>).</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[3]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"> Di samping kedudukannya sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fiqh merupakan cabang ilmu yang dalam banyak hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam.</span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[4]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"> Ushul fiqh sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional, melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologi. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dengan kata lain ushul fiqh tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran hukum belaka, akan tetapi di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi hukum. Bahkan Arkoun secara tegas berpendapat bahwa ushul fiqh telah menyentuh epistemologi kontemporer.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[5]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat dan pelbagai batasan pengetahuan. Epistemologi menguji suatu struktur, asal-usul, dan kriteria pengetahuan. Epistemologi juga berhubungan dengan sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan antara lain: persepsi inderawi (<i>sense perseption</i>), suatu relasi antara “yang mengetahui” (<i>the knower</i>) dengan “objek yang diketahui” (<i>the object known</i>), suatu jenis kemungkinan tentang pengetahuan dan tingkatan-tingkatan kepastian bagi setiap jenis pengetahuan, suatu hakikat kebenaran, serta suatu hakikat tentang dan justifikasi bagi pelbagai inferensi atau kesimpulan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[6]</span></span></span></span></span></a> </span></div><div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kajian tentang epistemologi, berdasarkan pengertiannya, merupakan bagian dari filsafat yang menelaah tentang hakikat, jangkauan, pengandaian, dan pertanggungjawaban pengetahuan. Kendatipun demikian, epistemologi tidak hanya ditemukan secara terang-terangan sebagai posisi atau ajaran mengenai pengetahuan. Sebagaimana setiap pemahaman mengenai suatu kenyataan tertentu, sikap dan tindakan yang dilakukan terhadapnya, serta tingkah laku berhubungan dengannya mengandaikan suatu filsafat atau teori tersembunyi tertentu, demikian pula setiap pengetahuan atau ilmu mengandaikan sebuah epistemologi tertentu yang mendasarinya. Seperti halnya seorang filsuf berkewajiban mengungkapkan, menilai, mengembangkan, mengoreksi, atau membongkar pengandaian-pengandaian di dalam pemahaman mengenai kenyataan, demikian pula seorang epistemolog mempunyai kewajiban untuk menyelidiki pengetahuan atau ilmu untuk memaparkan, menganalisis pengandaian-pengandaian dasar yang menjadi latar belakangnya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[7]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Berdasar atas dua problem dan pemikiran di atas harus ada langkah konkrit dalam ranah keilmuan guna mencari solusi, dan itu tiada lain adalah harus dilakukan rekonstruksi epistemologis ushul fiqh agar wajah Islam ke depan bisa ramah dan humanis.</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0.25in 0in 6pt 26.95pt; text-align: justify; text-indent: -26.95pt;"><b><span style="font-family: Arial;"><span>B.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><span style="font-family: Arial;">Langkah Metodologis</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi epistemologis atas bangunan ushul fiqh yang ada perlu dilakukan langkah-langkah metodologis berupa penulusuran dan pengkajian terhadap seluruh karya ushul fiqh yang pernah ada hingga saat ini. Langkah ‘ideal’ itu sangat tidak mungkin (untuk tidak dikatakan mustahil) dilakukan dengan segala perangkat pendukung bersifat terbatas (waktu, tenaga, dana, dll). Yang bisa dilakukan sebagai langkah awal (<i>stimulus of act</i>) adalah dengan menentukan jumlah dan representatifitas sebuah karya, dan itu menurut hemat penulis adalah cukup tiga buah dengan mewakili tiga generasi: generasi kelahiran (<i>formative</i>), generasi kematangan (<i>mature</i>), dan generasi mutakhir. Dengan tiga kitab tersebut, penulis akan membuat perbandingan dari aspek takrif, materi, dan sistematika pembahasan ushul fiqh. Tujuannya, dengan membandingkan takrif kita bisa membatasi jangkauan pembaharuan ushul fiqh yang akan dilakukan agar tetap dalam kerangka disiplin ini; perbandingan materi akan membantu kita dalam menambahkan materi-materi baru untuk ushul fiqh; dan dengan membandingkan sistematika pernbahasan bisa di peroleh kelemahan sistematika klasik dan kemungkinan alternatifnya. Selain hal tersebut, perbandingan ini akan membantu memberikan ilustrasi bagi masalah-masalah yang tercatat dan akan diusulkan pada bagian berikutnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Tiga kitab ushul fiqh yang dipilih adalah: <i>ar-Ris</i></span><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span></i><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">lah</span></i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"> yang mewakili tahap kelahiran Ushul Fiqh; <i>al-Ihk</i></span><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span></i><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">m fi Ushul al-Ahk</span></i><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span></i><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">m </span></i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>(karya al-Amidi) yang mewakili tahap kematangan (pertengahan) dan <i>`Ilm Ushul Fiqh</i><span> </span>(karya 'Abd al-Wahhab Khallaf) yang mewakili karya mutakhir. Ketiganya dipilih dengan metode acak dan tanpa asumsi apa pun selain pertimbangan zaman penulisan. Untuk zaman kelahiran, tentu pilihan yang terbaik jatuh pada <i>ar-Risalah</i> karena kitab inilah yang ditulis oleh orang yang disebut-sebut sebagai perumus ushul fiqh. Sementara dari zaman kematangan, sebenarnya ada banyak pilihan. Kitab <i>al-Ihkam</i> dipilih semata-mata karena keterbatasan waktu dan ketersediaan bahan. Kitab <i>ushul fiqh </i><span> </span>karya Abdul Wahhab Khallaf dipilih karena kitab inilah yang tampaknya paling banyak dipakai di dunia akadernis kontemporer.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dengan hanya membandingkan ta’rif, materi, dan metodologi atas tiga karya saja, sebagai sebuah langkah awal penulis kira sudah memadai. Dengan menggunakan analisa yang biasa-biasa saja, sebenarnya masih banyak ruang yang belum terbuka karenanya, terutama aspek historis dan politis yang melipuli karya dan penulisnya. Insyaallah, jika ada kesempatan, upaya itu akan penulis lakukan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Penting untuk ditegaskan kembali, telaah dan perbandingan atas tiga kitab tersebut tidak lebih adalah sebagai contoh sederhana dan ilustrasi, karena yang terpenting dari makalah ini justru pada bagian berikutnya: ke urah ushul fiqh baru yang ramah dan humanis. Pada bagian inilah penulis memberikan catatan-catatan pokok yang kelak akan menjadi panduan proyek perumusan ushul fiqh baru, semoga. Amin. </span><span style="font-family: Garamond;"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0.25in 0in 6pt 26.95pt; text-align: justify; text-indent: -26.95pt;"><b><span style="font-family: Arial;"><span>C.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><span style="font-family: Arial;">Telaah atas kitab <i>ar-Risalah li asy-Syafi`i </i></span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Meski tidak semua sepakat, tetapi mayoritas menyatakan bahwa asy-Syafi`i adalah Bapak Ushul Fiqh dan kitab <i>ar-Risalah </i><span> </span>adalah kitab pertama tentang ushul fiqh.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[8]</span></span></span></span></span></a> Oleh sebab itu, mengikuti pendapat mayoritas, kitab ini dipilih sebagai bahan telaah atas materi-materi awal yang berkembang dalam Ushul Fiqh. Edisi yang akan digunakan adalah <i>ar-Risalah </i>terbitan Dar al-Fikr dan hasil tahqiq dari Ahmad Muhammad Syakir yang konon adalah <i>muhaqqiq </i>kitab <i>ar-Risalah </i>terbaik dibandingkan <i>muhaqqiq </i>lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Ta’rif dan Materi</span></i></b><b><span style="font-family: Georgia;"> </span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Karena kategorisasi <i>ar-Risalah </i>sebagai kitab ushul fiqh adalah kategorisasi ulama pasca asy-Syafi`i dan asy-Syafi`i sendiri tidak menyebut kitabnya sebagal kitab ushul fiqh<span> </span>maka dapat dimaklumi jika tidak akan ditemukan definisi ushul fiqh dalam kitab ini. Oleh sebab itu, jika kemudian lahir ilmu ushul fiqh dan <i>ar-Risalah </i>dianggap sebagai kitab ushul fiqh tentu karena materi-materi yang dimuat dalam <i>ar-Risalah </i>adalah materi-materi yang pada abad ketiga dikenal sebagai materi ushul fiqh. Walaupun dengan cara yang sama, kitab <i>ar-Risalah </i>juga bisa dianggap sebagai kita Ushul Hadits-karena materi-materinya yang serupa dengan apa yang kemudian dikenal sebagai ilmu hadits.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[9]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dari alenia-alenia pembuka <i>ar-Risalah</i>, rasanya memang asy-Syafi`i tidak tengah menulis ushul fiqh, melainkan tengah menghadapi dua kelompok yang mirip dengan dua kelompok yang harus dihadapi Nabi saat pertama kali beliau menyampaikan risalah Islam: <i>ahl al-Kitab</i> dan <i>ahl al-Kufr</i>. Kelompok pertama mengingkari kitab Allah; sedangkan kelompok kedua “menganggap baik dengan seenaknya” (<i>istahsana</i>) penyembahan berhala, kalau dianggap baik disembah kalau sudah bosan dan dianggap tidak-baik lalu ditinggalkan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[10]</span></span></span></span></span></a> asy-Syafi`i tampaknya juga menghadapi kelompok-kelompok yang semisal: mereka yang menolak as-Sunnah, dan mereka yang mengandalkan <i>istihsan</i>.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Oleh sebab itu, ketika asy-Syafi`i berbicara tentang materi-materi yang kemudian dlikenal sebagai ushul fiqh, sebenarnya yang dilakukan adalah untuk memperkuat posisi as-Sunnah sebagai sumber hukum setelah al-Qur'an. Selain materi-materi yang langsung berbicara tentang as-Sunnah,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[11]</span></span></span></span></span></a> ketika berbicara tentang hal-hal lain seperti lafazh-lafazh <i>‘am</i> di dalam al-Qur'an, maka asy-Syafi`i melakukannya dalam kerangka ingin menunjukkan peran as-Sunnah dalam menakhshish; ketika berbicara tentang <i>an-naskh</i>, ia juga berbicara tentang peran Sunnah dalam menunjukkan mana yang dimansukh dan mana yang tidak;<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[12]</span></span></span></span></span></a> demikian pula ketika materi-materi <i>fiqhiyyah</i> (yang tidak termasuk dalam materi ushul fiqh)<span> </span>dibahas seperti waris, haji, zakat, iddah dan lainnya, posisi as-Sunnah lah yang tengah ia diskusikan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[13]</span></span></span></span></span></a> </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Terkait dengan penolakan asy-Syafi`i terhadap <i>istihsan</i> menurut Noel J. Coulson, tidak terlepas dari maksud dan tujuan asy-Syafi`i untuk meminimalisir perpecahan di kalangan umat sekaligus melakukan unifikasi dalam bidang hukum meski hal itu sepenuhnya tidak berhasil dilakukan oleh asy-Syafi`i. Lebih lanjut Coulson menyatakan:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 0.5in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">“Ash-Shafi`i’s legal theory had established a compromise between the dictates of the divine will and the use of human reason in law. But his hopes that such mediation would resolve existing conflicts and introduce uniformity into jurisprudence were <i>frustrated</i>.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[14]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Jadi, hampir sernua halaman <i>ar-Risalah </i>berisi tentang pembahasan yang dilakukan dalam kerangka penjelasan tentang as-Sunnah. Bab-bab lain yang pada masa kemudian disebut sebagai materi ushul fiqh, seperti al-Ijma', al-Qiyas, Istihsan, dan Ijtihad, dibahas secara tersebar dan dibahas khusus secara singkat pada akhir kitab <i>ar-Risalah</i>. Mungkin akan lebih jelas jika kita lihat isi dan sistematika pembahasan <i>ar-Risalah </i>untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang upaya ini.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: center;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Sistematika Pembahasan</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Ar-Risalah</span></i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"> terdiri atas tiga juz dan sejumlah bab yang sebagian di antaranya dibuat oleh Ahmad Muhammad Syakir. Lebih lengkapnya sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Juz I - Khutbah </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- al-Bayan I - V (berbicara tentang berbagai tingkat penjelasan al-Qur'an dalam hukum-hukum al-Qur'an) </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- Am dan khas </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- Kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- Naskh </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- Masalah-masalah Fiqhiyyah dalam kaitannya dengan posisi as-Sunnah sebagai penjelas al-Qur`an. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Juz II - Masalah-masalah Fiqhiyyah<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- Persoalan-persoalan yang terkait dengan Hadits<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- Sifat larangan Allah dan Nabi<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- Hadis Ahad (<i>khabar al-wahid</i>) </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Juz III - Kehujjahan Hadis Ahad<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">al-Ijma’</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">al-Qiyas</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">al-Ijtihad</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">al-Istihsan</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">al-Ikhtilaf</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0.25in 0in 6pt 26.95pt; text-align: justify; text-indent: -26.95pt;"><b><span style="font-family: Arial;"><span>D.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><span style="font-family: Arial;">Telaah atas kitab <i>al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam lil Amidi</i></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Analisis atas kitab <i>al-Ihkam </i><span> </span>ini didasarkan pada kitab <i>al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam </i>karya as-Syaikh al-Imam al-'Allamah Sayf al-Din Abi al-Hasan 'Ali b. Abi 'Ali b.Muhammad al-Amidi (2 jilid), terbitan Dar al-Fikr tahun 1996.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: center;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Takrif </span></i></b><b><span style="font-family: Georgia;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Takrif ilmu adalah hal yang menurut <i>al-Ihkam </i>sangat penting. Dengan memahami takrif orang bisa membayangkan apa yang ada dalam ilmu itu dan<span> </span>membedakannya dari ilmu yang lain.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[15]</span></span></span></span></span></a> Seperti yang kemudian menjadi lazim dalam tradisi ushul fiqh, <i>al-Ihkam </i>juga memulai dari pengertian etimologis. <i>al-Fiqh</i> berarti <i>al-fahm</i> (pemahaman) dan <i>al-‘ilm </i>(pengetahuan). Sementara menurut istilah berarti: “ilmu yang menghasilkan sejumlah hukum-hukum syar'i yang bersifat <i>furu’</i>, berdasarkan permikiran (<i>nazhar</i>) dan penggunaan dalil (<i>istidlal</i>).”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Sedangkan ushul fiqh atau “prinsip-prinsip fiqh” berarti:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 27pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">“dalil-dalil fiqh, aspek-aspek penunjukan dalil atas hukum-hukum syar’i, dan bagaimana perihal orang yang menggunakan dalil, secara garis besar dan tidak kasuistis (bukan tentang dalil tertentu yang digunakan untuk kasus tertentu)”.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[16]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Obyek materiil (<i>mawdlu</i>’) ushul fiqh, menurut <i>al-Ihkam</i>, adalah dalil-dalil yang digunakan untuk memperoleh - hukum-hukum syar’i, pembagiannya, perbedaan tingkat kekuatannya, dan metode perumusan hukum dari dalil tersebut, secara garis besar.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[17]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Obyek formilnya (<i>istimdad) </i>ushul fiqh mencakup tiga ilmu: Kalam,Bahasa Arab, dan Hukum Syar’i.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[18]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Ushul Fiqh bergantung kepada Ilmu Kalam karena dalil-.dalil hukum hanya berguna jika orang mengenal Allah Swt dan sifat-sifatNya, jika mengakui kebenaran ajaran Rasulullah, dan hal-hal akidah yang lain yang hanya bisa diketahui dari Ilmu Kalam. Bahasa Arab berperan penting karena dalil-daill lafdziyyah, tekstual (al-Qur'an dan as-Sunnah) dan pendapat para ahli menggunakan bahasa Arab, sehingga persoalan-persoalan apakah teks itu menggunakan <i>al-haqiqah</i> dan <i>al-majaz</i>, <i>al-‘umum</i> dan <i>al-khas</i>, <i>al-mutlaq</i> dan <i>al-muqayyad,</i> dan lain-lainnya hanya bisa dipahami dengan menggunakan Bahasa Arab. Hukum Syar'i penting bagi ushul fiqh karena materi bahasan ushul fiqh adalah hukum-hukum syar'i, tentu orang harus tahu terlebih dahulu hakikat hukum, sehingga ia tidak salah membahas.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Sedangkan tujuan ushul fiqh adalah untuk bisa memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syar'i. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dari uraian di atas dapat kita lihat betapa canggihnya Amidi dalam memberi takrif ushul fiqh mulai dari obyek materiil, obyek formilnya, maupun tujuan Ushul Fiqh sudah cukupjelas pada masanya-berbeda sekall dengan <i>ar-Risalah</i>.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: center;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Sistematika Pembahasan</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Membaca <i>al-Ihkam</i> akan membuat kita menyadari betapa kitab ini mewakili suatu tahap perkembangan ilmu Ushul Fiqh yang luar biasa, dari materi-materi yang ditulis seputar kehujjahan Sunnah, Ijma` dan Qiyas pada zaman asy-Syafi`i, pada masa al-Amidi perkembangan itu sudah menunjukkan pembahasan yang canggih mengenai dalil. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">al-Amidi membagi kitabnya dalam empat kaidah bahasan:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah 1. Konsep Ushul Fiqh<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">1. Pengertian Ushul Fiqh</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">2. Kerangka teoritis yang digunakan:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>a - teori-teori Ilmu Kalam </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>b - teori-teori kebahasaan </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>c - teori-teori dasar tentang hukum (<i>hukm, hakim, mahkum fih</i>) </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah II Dalil Syar’i</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">1. Macam-Macam Dalil</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">a - Dalil syar'i yang benar-benar dalil dan wajib diamalkan</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dalil yang datangnya dari Nabi <span> </span>1. Al-Kitab</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>2. As-Sunnah</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dalil dari selain Nabi <span> </span>3. Al-ljma'</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span><span> </span>4. Al-Qiyas</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span><span> </span>5. Al-Istidlal (Istishab al-Hal)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">b. Bukan dalil syar'i tetapi dianggap sebagai dalil syar'i</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 2in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">1. Syar’ man qablana</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 2in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">2. Madzhab Sahabi</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 2in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">3. Al-Istihsan</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 2in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">4. Al-Maslahah al-Mursalah</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">2. Motode-motode Telaah dalil</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">a. metode yang terkait sekaligus dengan al-Qur`an , as-Sunnah, dan al-Ijma`</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span><span> </span>1. Telaah Sanad (tentang khabar <i>mutawatir</i> dan <i>ahad</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span><span> </span>2. Telaah Matn</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span><span> </span>- analisis bentuk bahasa dan kata (<i>al-mandzum</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span><span> </span><span> </span>amr, nahy, al-`am dan al-khas, al-mutlaq dan al-muqayyad, al-</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span><span> </span><span> </span>mujmal, al-bayan dan al-mubayyan, az-Zahir dan ta'wil-nya,</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- analisis cara ungkap (<i>ghayr al-mandzum</i>) <i>dalalah al-iqtida`,</i> <i>tanbih ima</i>`, <i>isyarah</i> dan <i>mafhum</i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">b. Metode Telaah Khusus al-Quran dan as-Sunnah<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">- analisis <i>naskh</i> dan <i>mansukh</i></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">III. Ijtihad </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dalam bagian ini Amidi membaginya dalam dua bahasan: pertama pembahasan<span> </span>hal-hal yang terkait dengan ijtihad dan mujtahid, termasuk persoalan apakah<span> </span>Nabi berijtihad ataukah tidak; dan kedua terkait dengan <i>taqlid</i>, <i>mufti</i>, orang yang<span> </span>meminta fatwa, dan fatwa.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">IV. Tarjih<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in 6pt 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dalam bagian ini, seperti yang umumnya dibahas dalam kitab-kitab Ushul Fiqh<span> </span>sesudahnya, Amidi membahas apa yang sebenarnya dianggap dalil yang saling bertentangan dan mengapa perlu mencari yang lebih kuat (<i>tarjih</i>).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0.25in 0in 12pt 26.95pt; text-align: justify; text-indent: -26.95pt;"><b><span style="font-family: Arial;"><span>E.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><span style="font-family: Arial;">Telaah atas kitab <i>`Ilm Ushul Fiqh li Abd Wahhab Khallaf</i></span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kitab ‘<i>Ilm Ushul Fiqh</i> karya Abdul Wahhab Khallaf adalah kitab yang paling populer di kalangan pengkaji Islam Indonesia. Kitab ini banyak dipergunakan di berbagai perguruan tinggi, pondok pesantren modern atau Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Sejauh yang penulis ketahui, sudah ada dua versi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Meski bukan satu-satunya, kitab ini dipilih untuk mewakili generasi ushul fiqh kontemporer dan yang paling banyak mempengaruhi wacana akademis. Buku yang digunakan di sini adalah ‘<i>Ilm Ushul Fiqh</i> karya Abd al-Wahhab Khallaf, terbitan Dar al-Ilm Mesir, cetakan ke-12 tahun 1978/1494.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: center; text-indent: 45.1pt;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Takrif</span></i></b><b><span style="font-family: Georgia;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Khallaf mengawali pembahasannya mengenai takrif dengan sebuah postulat: ulama Muslim sepakat bahwa setiap perbuatan dan perkatan manusia, entah itu berupa ibadah atau muamalah, pidana atau perdata, atau segala macam kontrak dan bisnis, ada hukumnya di dalam syariat Islam. Kumpulan hukum yang terkait dengan perbuatan dan perkataan manusia itu disebut dengan <i>fiqh</i>.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[19]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Setelah mendefinisikan bahwa <i>fiqh</i> adalah kumpulan hukum-hukum syariah amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil tertentu, Khallaf lalu menunjukkan bahwa ushul fiqh adalah:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 27pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">“Ilmu mengenai kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dengan itu bisa memperoleh hukum-hukum syar’i praktis dari dalil-dalil kasuistis atau ushul fiqh adalah kumpulan kaedah dan pembahasan yang dengan itu bisa memperoleh hukum-hukum syar`i<span> </span>praktis dari dalil-dalil kasuistis”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[20]</span></span></span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Definisi ini terutama untuk membedakan ushul fiqh dengan fiqh. Sehingga orang bisa tahu bahwa fiqh berbicara tentang perbuatan mukallaf sedang ushul fiqh, berbicara mengenai dalil syar'i pada umumnya. Demikian pula ketika fiqh bertujuan menerapkan hukum syar'i atas perbuatan dan ucapan manusia, maka ushul fiqh bertujuan menerapkan kaedah-kaedahnya atas dalil-dalil tertentu untuk memperoleh hukum syar'i yang dikandungnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Jadi titik tekan Khallaf ada pada ushul fiqh sebagal (i) pembahasan tentang <i>dalil </i>dan (ii) <i>kumpulan kaidah </i>yang dengan itu (iii) bisa <i>diperoleh hukum Syar'i</i>. Dengan kata lain, Khallaf-seperti terlihat dalam daftar bahasan di bawah ini-tidak terlalu membedakan antara dalil dengan <i>istidlal</i> sehingga dari al-Qur'an sampai dengan Madzhab as-Shahabi semuanya ia sebut <i>dalil</i>.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Berbeda dengan obyek materiil fiqh yang berupa perbuatan mukallaf, obyek materiil ushul fiqh adalah daill Syar’i secara garis besarnya dari aspek penetapan hukum yang ditimbulkannya. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Sayangnya, Khallaf tidak menyebutkan apa obyek formil ushul fiqh.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Tujuan fiqh adalah menerapkan hukum Syar’i atas perbuatan dan perkataan manusia. Sementara tujuan ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teori atas dalil-dalil tertentu untuk bisa menggali hukum-hukum Syar'i yang dikandung dalil itu.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: center;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Materi dan Sistematika Pembahasan</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Selaras dengan takrifnya, Khallaf membagi bukunya ke dalam empat bagian pokok:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Bagian I: Dalil-dalil syar'i</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">1. al-Qur`an </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">2. as-Sunnah </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">3. al-Ijma’</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">4. al-Qiyas</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">5. al-Istihsan </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">6. al-Maslahah al-Mursalah </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">7. al-'Urf </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">8. al-Istishab </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">9. Syar' sebelum Islam </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">10. Madzhab as-Shahabi</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Bagian II Hukum Syar'i<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">1. al-Hakim<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">2. al-Hukm<span> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">3. al-Mahkum Fih</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">4. al-Mahkum 'Alaih</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Baglan III Kaidah-Kaidah Kebahasaan</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah 1 cara-tunjuk (<i>dalalah</i>) Nash</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah 2 Mafhum al-mukhalafah</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah 3 penunjukan yang jelas dan tingkat kejelasannya</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah 4 teks yang tak jelas dan tingkat ketakjelasannya</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah 5 al-Musytarak</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah 6 al-‘Am dan jangkauan maknanya</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Kaidah 7 al-Khas dan jangkauan maknanya</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Bagian IV Kaidah-kaidah Legislasi ushul fiqh </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>Kaidah 1 tujuan legislasi (<i>maqashid at-tasyri`</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>Kaidah 2 tentang hak Allah dan hak hamba</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>Kaidah 3<span> </span>Wilayah ijtihad</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>Kaidah 4 Naskh</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span> </span>Kaidah 5 Tarjih</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0.25in 0in 12pt 26.95pt; text-align: justify; text-indent: -26.95pt;"><b><span style="font-family: Arial;"><span>F.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><span style="font-family: Arial;">Telaah Banding</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dari ketiga kitab yang mewakili tiga generasi ushul fiqh tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat, baik dari aspek takrif, materi maupun sistematika pembahasannya, dari sisi persamaan maupun perbedaanya.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Takrif</span></i></b><span style="font-family: Georgia;"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Seperti telah disebutkan di depan, karena <i>ar-Risalah </i>tidak ditulis oleh asy-Syafi`i sebagai buku ushul fiqh, maka tidak ada takrif yang diberikan oleh asy-Syafi`i tentang ushul fiqh. Kita hanya bisa membandingkan takrif Amidi (hidup abad VI) dengan takrif Khallaf (hidup abad XIV).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0in; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Berbeda dengan asy-Syafi`i yang berperan sebagai perintis, yang sebelumnya tak ada yang bisa diacunya, Amidi menulis <i>al-Ihkam </i>pada masa ketika ushul fiqh telah mencapai bentuk yang matang sehingga definisi yang diberikannya pun juga sudah matang benar. Sudah ada puluhan kitab ushul fiqh tersedia pada masanya, mulai dari karya-karya yang ditulis segera setelah <i>ar-Risalah</i>, yaitu Kitab <i>al-Qiyas </i>karya al-Muzanni atau karya-karya yang ditulis dalam bentuk.syarah bagi <i>ar-Risalah </i>(seperti yang ditulis oleh Sayrafi, al-Qaffal, dan al-Juwayni), sampai dengan karya-karya brillian al-Ghazzali (<i>al-Mustasfa</i>, <i>al-Mankhul</i>, <i>Syifa al-Ghalil</i>, dan <i>at-Tahsin</i>). </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Jadi, sudah ada banyak-bahan untuk dia pertimbangkan dalam mendefinsikan ushul fiqh. Hal yang sama tentu dialami oleh Khallaf-bahkan ia lebih banyak bahan lagi untuk merumuskannya. Dari definisi keduanya (Amidi dan Khallaf), kita bisa melihat bahwa keduanya sama-sama berupaya mendefinisikan ushul fiqh sebagai sesuatu yang berbeda dengan fiqh. Ini tampaknya sesuatu yang tak terhindarkan karena adanya unsur fiqh dalam nama ushul fiqh dan barangkali karena kelebihpopuleran fiqh daripada ushul fiqh. Sehingga mau tak mau definisi ushul fiqh harus dijelaskan untuk tidak merancukannya dengan Fiqh.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Keduanya juga tidak terlalu berbeda dalam mendifinisikan Ushul Flqh sebagai ilmu yang membahas tentang dalil Syar'i. Meski keduanya berbeda penekanan dalam hal ini<span> </span>Amidi menekankan pada perihal (cara) orang yang menggunakan dalil, sementara Khallaf menekankannya sebagai kumpulan kaedah dan pembahasan. Berbeda tetapi keduanya memaksudkan hal yang sama. Jadi kalau kita hendak merumuskan Ushul Fiqh baru, kurang lebih batasannya adalah ilmu yang berbicara tentang dalil Syar`i, metode dan orang yang menafsirkan dalil itu, dan hukum yang dihasilkannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Materi</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Sepertl terlihat dari daftar bahasan dalam <i>ar-Risalah</i>, <i>al-Ihkam</i>, dan <i>‘Ilmu Ushul Fiqh</i>, ketiganya jelas memiliki perbedaan materi. <i>Ar-Risalah </i><span> </span>masih berisi materi-materi non-Ushul Fiqh dan pembahasannya tentang ushul fiqh terpusat pada Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang dibahas dalam kerangka menolak <i>istihsan</i>. Sementara Amidi sudah membahas secara lebih sistematis materi-materi lama dan memasukkan materi-materi baru seperti <i>al-istidlal</i>,<i> al-mashlahah al-mursalah, taqlid, mufti</i> dan fatwa. Pembahasan tentang <i>ta’arud adillah </i>dan <i>tarjih </i>juga sudah sistematis.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Menarik, bahwa materi yang dibahas oleh Khallaf tidak terlalu banyak berubah dari tujuh abad sebelumnya?! Kecuali <i>al-‘Urf</i> semua dalil telah dibahas Amidi. Demikian pula di bagian lain, hanya tema tentang hak Allah dan <i>maqashid al-syari'ah</i> yang belum dibahas oleh Amidi – namun dengan catatan bahwa tema <i>maqashid as-syri`ah</i> juga bukan tema baru, sudah dibahas beberapa abad sebelumnya oleh at-Tufi dan as-Syatibi. Hal menarik yang perlu dicatat barangkali adalah bertambahnya intensitas pembahasan <i>mashlahah mursalah </i>dari tak terbahas dalam <i>ar-Risalah</i>, menjadi satu halaman dalam <i>al-Ihkam</i>, dan menjadi lima halaman dalam <i>“Ilm Ushul Fiqh</i>. Itu bisa jadi sebagai petanda menguatnya kembali kecenderungan rasional pasca at-Tufi dan Syatibi.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: center; text-indent: 45.1pt;"><b><i><span style="font-family: Georgia;">Sistematika Pembahasan</span></i></b><b><span style="font-family: Georgia;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dalam bentuk aslinya, <i>ar-Risalah</i> lebih sederhana daripada yang ditahqiq oleh Syakir. Seperti umumnya kitab-kitab klasik, pemikiran penulis seringkali dituangkan tidak secara tematis, melainkan tersebar di dalam tema besar. Dalam kasus <i>ar-Risalah</i>, kita bisa menemukan bahwa asy-Syafi`i sendiri tidak memberi nama kitabnya, tidak memberi judul untuk sejumlah tema penting yang kelak dikenal sebagai ushul fiqh, ia ditulis dalam kerangka tema besar: kehujjahan as-Sunnah. Seperti diinformasikan di depan bahwa <i>ar-Risalah</i> hanyalah sebuah <i>risalah</i> yang ditulis asy-Syafi`i atas permintaan dari sobatnya, al-Mahdi. Oleh karena itu mengkaji sistematika dari kitab ini tidak terlalu penting karena masih terlalu mentah dan masih banyak ruang kosong untuk memperkaya sistematika yang memang belum dijamah oleh asy-Syafi`i.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45.1pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Pada dua kitab berikutnya, <i>al-Ihkam</i> dan <i>'Ilm Ushul Fiqh</i> kita bisa melakukan perbandingan sistematika yang dipergunakan. Yang menarik, meski lahir kemudian dan banyak referensi yang bisa dirujuk dan digunakan, <i>'Ilm Ushul Fiqh</i> justru lebih sederhana dibanding <i><span> </span>al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam</i>. <i>Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam</i> membagi materi ushul fiqh menjadi empat konsep: ushul fiqh, dalil, ijtihad dan tarjih. Sementara <i>'Ilm Ushul Fiqh</i> membahasnya menjadi empat bagian: dalil, hukum, kaidah kebahasaan dan kaidah legislasi. Apa yang dibahas dalam bagian hukum oleh Khallaf, dibahas oleh Amidi dalam konsep ushul fiqh. Apa yang dibahas dalam kaidah kebahasaan juga dibahas Amidi dalam bagian konsep ushul fiqh.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0.25in 0in 6pt 26.95pt; text-align: justify; text-indent: -26.95pt;"><b><span style="font-family: Arial;"><span>G.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><span style="font-family: Arial;">Ushul Fiqh Humanitarian: Sebuah Tawaran </span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dari hasil telaah diatas, ada beberapa problem mendasar yang perlu segera dibenahi, seperti sistematika pembahasan, kategorisasi dan perlunya penambahan ilmu-ilmu bantu ‘sekuler’ . </span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Untuk sistematika pada bab awal (mukaddimah) perlu diberi penjelasan orientasi dari kajian ushul fiqh (bukan berupa <i>tarjamah muallif</i>) sehingga pembaca sudah mengerti peta persoalan yang akan dikaji. Penjelasan mengenai sejarah lahirnya ushul fiqh, perkembangan dan capaian serta tantangan modernitas yang akan dihadapi juga perlu ditampilkan guna memperjelas wilayah obyek formil dan materiil juga penyadaran akan tuntutan (baca: ekspektasi) dinamika keilmuan yang demikian besar terhadap ushul fiqh. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Bab berikutnya adalah redifinisi atas term-term yang selama ini mengalami proses pembekuan. Redefinisi ini juga bermakna re-klasifikasi dan re-kategorisasi. Bab ini sangat penting sebagai solusi atas jumbuh dan ruwetnya memahami ushul fiqh seperti yang penulis rasakan. Mulai dari bab ini dibahas dan dikaji ulang soal hukum, hakim, dalil dan istidlal.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dalam literatur ushul fiqh yang ada, disebutkan ada dua hukum, <i>wad`i</i> dan <i>taklifi</i>. Yang perlu dipertimbangkan ulang adalah penempatan <i>istishab</i> juga dalam pembahasan <i>wad`i</i> bukan pada <i>dalil</i> seperti yang ada. Alasannya, kalau <i>rukhsah</i> dan ‘<i>azimah</i> termasuk bagian <i>wad`i</i> seharusnya <i>istishab</i> juga masuk. Jika <i>‘azimah</i> adalah hukum asal yang ditinggalkan karena adanya <i>rukhsah</i> maka <i>istishab</i> adalah hukum asal yang tidak berubah karena tidak adanya ketentuan lain yang bisa merubahnya. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Dalam pembahasan al-H</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">kim bisa dipastikan kalau ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Namun pasca wafatnya Rasulullah nalar kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai dari sahabat hingga hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftn22" name="_ftnref22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt;">[21]</span></span></span></span></span></a> Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan dan pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan berbeda (untuk tidak dibilang pasti), dan keduanya absah (<i>mushawwibah</i>) meski tetap harus menanggung resiko (<i>mukhatti`ah</i>) atas hasil bacaannya. Sejarah telah merekam dengan baik perbedaan itu benar-benar terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah hingga makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak bisa <u>dipersamakan</u> dan apalagi <u>dipastikan</u> seperti itu <u>kemauan</u>, <u>maksud</u> dan <u>kehendak</u> pemilik teks yang sebenarnya, <i>no body knows, wallahu a`lamu dimur</i></span><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span></i><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">dihi</span></i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">. Oleh sebab itu, al-Hakim tidak lagi semata Allah, tapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, <i>wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha</i>), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (dengan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI <i>wama asybaha dzalik</i>. Sehingga apapun keputusan yang mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan, <i>not as voice of God anymore.</i></span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Bab berikutnya adalah pembahasan tentang <b><i><u>dalil</u></i></b>.<span> </span>Menurut keyakinan penulis yang seharusnya masuk dalam pembahasan ini hanya ada enam: al-Qur`an, as-Sunnah, al-Maslahah, Mazhab as-Shahabi, al-‘Urf, dan Syar`u Man Qablana. Qiyas dan Ijma` rancu dimasukkan sebagai <i>dalil</i> (obyek materiil) tapi lebih tepat ke dalam <i>istidlal</i> (obyek formil) sebab ia mempergunakan al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai <i>dalil</i>nya. Demikian pula dengan <i>istihsan, istislah</i> dan <i>sad al-dzariah</i> yang menjadikan <i>al-maslahah</i> sebagai <i>dalil</i>nya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Bab terakhir yang merupakan sumbangan terbaru adalah <b><i><u>istinb</u></i></b></span><b><i><u><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span></u></i></b><b><i><u><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">th</span></u></i></b><span style="font-family: "Arial Unicode MS";"> dengan membagi pada empat pembahasan: <b><i>Ta`shil</i> </b><span> </span>(mencarai originalitas teks) dengan <i>al-jarh wa at-ta`dil</i>; <b><i>Ta`wil</i></b> (mencari originalitas makna) dengan <i>qiyas, maqashid, qawaid al-lughawiyyah</i> dan ilmu-ilmu ‘sekuler’ <i>hermeneutika, semiotika, filologi,linguistik</i> dan epistemologi; <b><i>Tathbiq</i> </b>(mewujudkan mashlahah) dengan <i>ijma`, istihsan, istishlah</i> dan <i>sad al-dzari`ah</i>; <b><i>Tarjih</i> </b>(mencari yang terbaik) dengan <i>at-tarjih, al-jam`u, an-naskh</i> dan <i>at-tark</i>.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0.25in 0in 6pt 26.95pt; text-align: justify; text-indent: -26.95pt;"><b><span style="font-family: Arial;"><span>H.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b><span style="font-family: Arial;">Ikhtitām</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Demikian ijtihad yang bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas <i>talwis</i> tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita semua untuk ikut aktif terlibat dalam penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan berbagai bentuk, corak dan rupa demi <i>tsamanan qalil</i></span><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span></i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">, na`udzubillah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">Selanjutnya meski ada rambu-rambu moral, <i>al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad</i>, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi tulisan ini dalam rangka <i>taw</i></span><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS Baltic";">ā</span></i><i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">shau bil haq</span></i><span style="font-family: "Arial Unicode MS";">. Sekian, mohon maaf dan semoga bermanfaat, amin. Wassalam.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><span style="font-family: "Harlow Solid Italic"; font-size: 12pt;">Grya Gaten View, 23 November 2006</span> <div><br clear="all" /> <hr align="left" size="1" width="33%" /> <div id="ftn1"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference">*</span></a> Dipresentasikan pada “Annual Conference on Islamic Studies” yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI bertempat di Grand Hotel, Lembang Jawa Barat, 26-30 November 2006.</div></div><div id="ftn2"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></span></a><i>Tempo Majalah Berita Mingguan</i>, Edisi 19-25 Desember 2005, hlm 76-80 dan Edisi 2-8 Januari 2006, hlm. 110-117.</div></div><div id="ftn3"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[2]</span></span></span></span></a> Seperti karaoke, diskotek, pub, barbershop dan yang sejenis sedang masjid kampus, kantor, pasar, supermarket, pos ronda, dan tempat-tempat ‘baik’ lainnya tidak perlu padahal kemaksiatan sekarang tidak terikat dan terbatas oleh kategori tempat, <i>anytime and anywhere</i>.</div></div><div id="ftn4"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[3]</span></span></span></span></a><span>Imran Ahsan Khan Nyazee, <i>Theories of Islamic Law</i>, (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945), hlm. 1.</span></div></div><div id="ftn5"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[4]</span></span></span></span></a><span>Terutama ketika berbicara tentang kaidah-kaidah bahasa. Lihat Subhi as-Salih<i>, Mabahis fi<span> </span>‘Ulum al-Qur’an,</i> cet 9 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,1977), hlm. 299-312 dan; as-Salih, ‘<i>Ulum al-Hadis wa Mustalahuh</i>, cet. 9 (Beirut:Dar al-‘Ilm li al-Malayin,1977), hlm. 113-114.</span></div></div><div id="ftn6"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[5]</span></span></span></span></a> Muhammad Arkoun, <i>Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru</i>, alih bahasa Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 52.</div></div><div id="ftn7"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[6]</span></span></span></span></a>Donald Gotterbarn dalam Barnes dan Noble, <i>New American Encyclopedia </i>(USA: Grolier Incorporated, 1991), hlm. 221.</div></div><div id="ftn8"> <div class="MsoFootnoteText" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[7]</span></span></span></span></a>Kajian tentang teori pengetahuan disebut juga dengan epistemologi (Yunani: episteme = knowledge, pengetahuan; dan logos = teori). Definisi epistemologi secara umum adalah teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, ada; dan logos = teori) dan epistemologi. Ontologi sering disinonimkan dengan metafisika, meskipun yang disebutkan terakhir ini dapat berarti ontologi yang merupakan teori tentang apa, juga berarti pula epistemologi sebagai teori pengetahuan. Baca: Donald Gotterbahm, hal. 221.</div><div class="MsoFootnoteText" style="margin: 12pt 0in 6pt; text-align: justify; text-indent: 30pt;"><br />
</div></div><div id="ftn9"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[8]</span></span></span></span></a><span>Wael B. Hallaq, guru besar Hukum Islam McGill University dalam artikelnya yang berjudul <i>Was asy-Syafi`i the Master Architect of Islamic Jurisprudence?</i>termasuk yang tidak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya bahwa gelar asy-Syafi’i sebagai guru arsitek ilmu ushul fikih adalah lemah. Hal itu hanya kreasi ulama generasi jauh sesudahnya, terutama kelompok ulama sunni yang fanatik terhadap mazhab Syafi’i. </span>Alasan Hallaq adalah karena kitab-kitab ushul <i>Syafi'iyyah</i> itu baru muncul pada akhir abad III H dan awal abad IV H. Paling tidak ada kurang lebih satu abad fase kekosongan kitab ushul fiqh. Oleh karena itu ar-Risalah tidaklah populer pada masa kelahirannya, apalagi diklaim sebagai sintesis antara dua kubu Islam Rasionalis Kufah dan Tradisianalis Basrah. Klaim terakhir ini juga tidak terbukti, karena dua kubu itu sama-sama tidak tertarik dengan kitabnya asy-Syafi'i tersebut. Lihat Wael B. Hallaq, "Was asy-Syafi'i the Master Architect of Islamic Jurisprudence,"<span> </span>dalam <i><span>International Journal of Middle East Studies</span></i>, 1993, hlm. 25. </div></div><div id="ftn10"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[9]</span></span></span></span></a> Baca juga Ahmad Hasan, <i>al-Shafi`is Role in the Development of IslamicJurisprudence</i> dan <i><span>Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence: A Study of The Juridical Principle of Qiyas</span></i><span>, </span>Islamabad: Islamic Research Institute, 1986.</div></div><div id="ftn11"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[10]</span></span></span></span></a> <i>Ar-Risalah</i>, hal. 9-16</div></div><div id="ftn12"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[11]</span></span></span></span></a> <i>Ar-Risalah</i>, hal. 79-85;210-343;401-470</div></div><div id="ftn13"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[12]</span></span></span></span></a> <i>Ar-Risalah</i>, hal. 113-146<span> </span></div></div><div id="ftn14"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[13]</span></span></span></span></a> <i>Ar-Risalah</i>, hal. 147-203</div></div><div id="ftn15"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[14]</span></span></span></span></a>Noel J. Coulson, <i>A History of Islamic Law</i> (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990) hal. 37 dan 52.</div></div><div id="ftn16"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[15]</span></span></span></span></a> <i>Al-Ihkam</i>, juz I hal. 9</div></div><div id="ftn17"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[16]</span></span></span></span></a> <i>Al-Ihkam</i>, hal. 10</div></div><div id="ftn18"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[17]</span></span></span></span></a> <i>Ibid</i></div></div><div id="ftn19"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[18]</span></span></span></span></a><i>Ibid</i> <span> </span></div></div><div id="ftn20"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[19]</span></span></span></span></a> <i>‘Ilm UshulFfiqh</i>, hal. 11</div></div><div id="ftn21"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[20]</span></span></span></span></a> <i>‘Ilm UshulFfiqh</i>, hal. 12</div></div><div id="ftn22"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=360489691328275395#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[21]</span></span></span></span></a>Yang hanya memuat 114 surat dengan maksimal 6666 ayat plus Kutub at-Tis`ah (yang tidak lebih dari 100 ribu hadits tanpa <i>tikrar</i> dan <i>syawahid</i>) </div></div></div>tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-360489691328275395.post-64337103522160959352010-12-31T18:59:00.001-08:002010-12-31T18:59:29.800-08:00Sejarah Tafsir dan Perkembangannya<!--[if !mso]> <style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <br />
<div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span style="color: maroon; font-family: Calibri; font-size: 26pt; line-height: 150%;">Sejarah Tafsir dan Perkembangannya</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="text-align: center;"><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 22pt;"><span dir="RTL"></span>﴿</span></b><span dir="LTR"></span><b><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: Calibri; font-size: 22pt;"><span dir="LTR"></span> </span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 22pt;">علم التفسير- نشأته وتطوره</span></b><span dir="LTR"></span><b><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: Calibri; font-size: 22pt;"><span dir="LTR"></span> </span></b><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 22pt;"><span dir="RTL"></span>﴾</span></b><b><span lang="AR-EG" style="font-family: mylotus; font-size: 22pt;"></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 14pt;">]</span><span dir="LTR"></span><span lang="ES-AR" style="font-family: Calibri; font-size: 14pt;"><span dir="LTR"></span><span> </span>Indonesia – Indonesian –</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="ES-AR" style="font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 14pt;"><span dir="RTL"></span> </span><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 14pt;">[ </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;">إندونيسي</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 14pt;"> </span><span lang="ES-AR" style="font-family: Calibri; font-size: 14pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Calibri; font-size: 16pt;">Muhammad Abu Salma <span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 16pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span class="divx11"><b><span lang="ES-AR" style="font-family: Calibri; font-size: 16pt;">Editor</span></b></span><b><span lang="ES-AR" style="font-family: Calibri; font-size: 16pt;"> : </span></b><span lang="ES-AR" style="font-family: Calibri; font-size: 16pt;">Eko </span><span style="font-family: Calibri; font-size: 16pt;">Haryanto </span><span lang="ES-AR" style="font-family: Calibri; font-size: 16pt;">Abu Ziyad</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR"></span><span lang="ES-AR" style="font-family: Calibri; font-size: 14pt;"><span dir="LTR"></span>2009 - 1430</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: maroon; font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 14pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; line-height: 14.2pt; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Calibri;"><a href="http://www.islamhouse.com/"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;"><img border="0" height="30" src="file:///C:/DOCUME%7E1/SHIFTN%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image002.gif" width="152" /></span></a></span><b><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="color: maroon; font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 16pt;"></span></b></div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="text-align: center;"><b><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 22pt;">﴿</span></b><span dir="LTR"></span><b><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: Calibri; font-size: 22pt;"><span dir="LTR"></span> </span></b><b><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 22pt;">علم التفسير- نشأته وتطوره</span></b><span dir="LTR"></span><b><span dir="LTR" lang="AR-SA" style="font-family: Calibri; font-size: 22pt;"><span dir="LTR"></span> </span></b><span dir="RTL"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 22pt;"><span dir="RTL"></span>﴾</span></b><b><span lang="AR-EG" style="font-family: mylotus; font-size: 22pt;"></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;">« باللغة الإندونيسية »</span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="RTL" style="margin: 7.5pt 0in; text-align: center;"><b><span lang="AR-EG" style="color: maroon; font-family: mylotus; font-size: 18pt;">تأليف:</span></b><span lang="AR-EG" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;"> </span><span lang="AR-EG" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;">محمد أبو سلمى</span><span lang="AR-SA"></span></div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><b><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="color: maroon; font-family: mylotus; font-size: 18pt;">مراجعة:</span></b><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="color: maroon; font-family: mylotus; font-size: 18pt;"> </span><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;">أبو زياد إيكو هاريانتو</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: mylotus; font-size: 18pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Calibri; font-size: 14pt;">2009 - 1430</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: maroon; font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 14pt;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; line-height: 14.2pt; margin: 7.5pt 0in; text-align: center; text-indent: 0.25in; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Calibri;"><a href="http://www.islamhouse.com/"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;"><img border="0" height="30" src="file:///C:/DOCUME%7E1/SHIFTN%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image002.gif" width="152" /></span></a></span><b><span dir="RTL" lang="AR-EG" style="color: maroon; font-family: "KFGQPC Uthman Taha Naskh"; font-size: 16pt;"></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="IN"><span> </span></span><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: mylotus;">بسم الله الرحمن الرحيم</span></b><span dir="LTR"></span><strong><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13.5pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span></strong><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13.5pt; line-height: 150%;"></span></strong></div><div align="center" dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: center;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 13.5pt; line-height: 150%;">SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA</span></strong><strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-size: 13.5pt; line-height: 150%;"></span></strong></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Secara etimologi tafsir bisa berarti</span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">: </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">الايضاح والبيان</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> (penjelasan), </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">الكشف</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> (pengungkapan) dan </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">كشف المراد عن اللفظ</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">المشكل</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> (menjabarkan kata</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> yang samar ). <a href="" name="sdfootnote1anc"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote1sym" title="sdfootnote1anc"><span><span style="color: windowtext; text-decoration: none;">1</span></span></a><span></span> Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap </span><i>Kalamullah </i><span style="font-family: "Bookman Old Style";">atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. </span><a href="" name="sdfootnote2anc"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote2sym" title="sdfootnote2anc"><span><sup><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 7.5pt; line-height: 150%;">2</span></sup></span><span></span></a><span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kalamullah </span></em>yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi. </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). </span></em>Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="RTL" style="direction: rtl; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.7pt; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; font-weight: normal; line-height: 150%;">وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة</span></strong><b><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 18pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">kemudian Rasulullah bersabda :</span><span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></div><div dir="RTL" style="direction: rtl; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; font-weight: normal; line-height: 150%;">ألا إن القوة الرمي</span></strong><b><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 18pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">“</span><em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah</span></em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">”. </span><span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Al-Kautsar </span></em>adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Tafsir Pada Zaman Shahabat</span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">marfu’. </span></em></span><a href="" name="sdfootnote3anc"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote3sym" title="sdfootnote3anc"><span><i><sup><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 7.5pt; line-height: 150%;">3</span></sup></i></span><span></span></a><span></span><em><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span></em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Atau paling kurang adalah <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Mauquf. </span></em></span><a href="" name="sdfootnote4anc"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote4sym" title="sdfootnote4anc"><span><i><sup><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 7.5pt; line-height: 150%;">4</span></sup></i></span><span></span></a><span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir Pada Zaman Tabi’in</span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya: </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah. </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy. </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. </span><a href="" name="sdfootnote5anc"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote5sym" title="sdfootnote5anc"><span><sup><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 7.5pt; line-height: 150%;">5</span></sup></span><span></span></a><span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Tafsir Pada Masa Pembukuan </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu; </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Periode Kedua, </span></em>Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Periode Ketiga, </span></em>Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="RTL" style="direction: rtl; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 18pt; font-weight: normal; line-height: 150%;">غير المغضوب عليهم ولاالضالين</span></strong><b><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 18pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Periode Keempat, </span></em>pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">bil aqly</span></em> (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">bin naqly</span></em> ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Periode Kelima, tafsir maudhu’i </span></em>yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya. </span><span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></div><h1 dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Metode Penafsiran </span><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></h1><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah: </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><em><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pertama, </span></b></em><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah</span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Metode penafsirannya terfokus pada <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shohihul manqul</span></em> (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah : </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir At-Tobary (</span><span dir="RTL"></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span>( <strong><span style="font-family: Arial;">جامع البيان في تأويل</span></strong> <strong><span style="font-family: Arial;">أى القران</span></strong><span> </span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">terbit 12 jilid</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir Ibnu Katsir (</span><strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">العظيم</span></strong><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">تفسير القران</span></strong><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span>) dengan 4 jilid</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir Al-Baghowy (</span><strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">معالم التنزيل</span></strong><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> )</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir Imam As-Suyuty </span><span dir="RTL"></span><strong><span dir="RTL" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span><span> </span></span></strong><span dir="LTR"></span><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span></span></strong><strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">التفسير بالمأثور )</span></strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span> </span></span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span dir="RTL"></span><strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;"><span dir="RTL"></span>( الدر المنثور في</span></strong><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> terbit 6 jilid. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><em><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Kedua, </span></b></em><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah). </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><em><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ar-Ro’yu al Mahmudah</span></b></em><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya: </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya : </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Tafsir Al-Qurtuby<span> </span>- </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">الجامع لأحكام القران</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Tafsir Al-Jalalain - </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">تفسير الجلالين</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">Tafsir Al-Baidhowy<span> </span>- </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">التأويل</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">التنزيل و أسرار</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;">أنوار</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 16pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span><span> </span>. </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><em><b><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ar-Ro’yu Al- mazmumah </span></b></em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">(penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">istinbath </span></em>(pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir Zamakhsyary (</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">الكشاف عن حقائق التنزيل و</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">عيون الأقاويل في وجوه التأويل</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> )</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir syiah “Dua belas” seperti (</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">مرأة الأنوار و</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> ) juga</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">مع البيان</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">لأبي محمد الشيرازي</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><h5 dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";">SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN </span></h5><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya: </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1)- Beraqidah <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">shahihah</span></em>, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">“Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“. </span></em></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">mentaujih </span></em>(mengarahkan) suatu makna atau <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">mengistimbat </span></em>suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah, </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">nahwu </span></em>(grammer), <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">al-Isytiqoq </span></em>(pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">al-ma’ani</span></em>, <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">al-bayan, al-badi’</span></em>, ilmu <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">qiroat </span></em>(macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">ushul fiqh, asbabunnuzul, </span></em>kisah-kisah dalam islam, mengetahui <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">nasikh wal mansukh</span></em>, <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">fiqh, hadits</span></em>, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :</span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).</span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain</span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik. </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya. </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>5.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.</span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span>6.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut. </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><u><span style="font-family: "Bookman Old Style";">CONTOH KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI PENULISANNYA</span></u></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 18.15pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Nama Kitab : </span></strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">جامع البيان في تفسير أي القران</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> atau yang lebih dikenal dengan </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 1in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">tafsir al-Tabary. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 18.15pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Pengarangnya : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)<strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span></strong></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 18.15pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jumlah jilid : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">12 jilid besar.</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 18.15pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keistimewaannya :</span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus. </span></div><h2 dir="LTR" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Metodologi Penulisannya: </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></h2><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">mentarjih (</span></em>memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">mengii’rob</span></em> (menyebut harakat akhir), <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">mengistimbat </span></em>hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">“Thobaqah al-Mufassirin“ </span></em>mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut). </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">2. Tafsir Ibnu Katsir </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Nama kitab : </span></strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">تفسير القران العظيم</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jumlah jilid : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">4 Jilid<strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> </span></strong></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Nama penulis : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keutamaanya : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan</span><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> metode bil ma’tsur. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><h2 dir="RTL" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";">Metodologi penulisannya: </span></strong><span dir="LTR" style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></h2><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">mentarjih </span></em>diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">dhoif</span></em>(lemah). mengomentari periwayatan <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">isroiliyyat. </span></em>Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “. </span></em></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">3. Tafsir Al-Qurtuby </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Nama kitab : </span></strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">الجامع لأحكام القران</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jumlah jilid : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">11 jilid dengan daftar isinya<strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">. </span></strong></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Nama penulisnya : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H). </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Keutamaanya </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">: Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”. </span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Metode penulisannya :</span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">ta’assub </span></em>(panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Maliki</span></em>. </span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">4. Tafsir Syinqithy </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Nama kitab : </span></strong><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial;">أضواء البيان في إيضاح القران بالقران</span><span dir="LTR"></span><strong><span lang="AR-SA" style="font-family: "Bookman Old Style";"><span dir="LTR"></span> </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Jumlah jilid : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">9 jilid<strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">. </span></strong></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Nama penulisnya : </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Bookman Old Style"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Metodologi penulisannya: </span></strong><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">qira’ah as-sab’ah</span></em> dan <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">qiro’ah syadz </span></em>(lemah) untuk <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">istisyhad </span></em>(pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Refrensi: </span></div><div class="sdfootnote" dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><a href="" name="sdfootnote1sym"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote1anc" title="sdfootnote1sym"><span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">1</span></span><span></span></a><span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Adz-Dzahabi, <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">at-Tafsir wa al-Mufassirun </span></em>1/13, Manna’ al-Qattan, <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an </span></em>hal : 323.</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="sdfootnote" dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><a href="" name="sdfootnote2sym"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote2anc" title="sdfootnote2sym"><span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">2</span></span><span></span></a><span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Abdul Hamid al-Bilaly, <em><span style="font-family: "Bookman Old Style";">al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, </span></em>(Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="sdfootnote" dir="LTR" style="line-height: 150%; margin-left: 9.05pt; text-align: justify; text-indent: -9.05pt;"><a href="" name="sdfootnote3sym"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote3anc" title="sdfootnote3sym"><span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">3</span></span><span></span></a><span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="sdfootnote" dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><a href="" name="sdfootnote4sym"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote4anc" title="sdfootnote4sym"><span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">4</span></span><span></span></a><span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para shohabat</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="sdfootnote" dir="LTR" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><a href="" name="sdfootnote5sym"></a><a href="http://abusalma.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#sdfootnote5anc" title="sdfootnote5sym"><span><span style="font-family: "Bookman Old Style";">5</span></span><span></span></a><span></span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"> majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-qur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342</span><span style="font-family: "Bookman Old Style";"></span></div><div class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="LTR" style="direction: ltr; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><br />
</div>tantawihttp://www.blogger.com/profile/06758868046701039653noreply@blogger.com0