Jumat, 31 Desember 2010

Bekal Penuntut Ilmu



Bekal Penuntut Ilmu
﴿  مختصر حلية طالب العلم
]  Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

Syekh Bakar bin Abdullah Abu Zaid –rahimahullah-
Diringkas oleh:
DR. Muhammad bin Fahd al-Wad'an



Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad






2010 - 1431





﴿  مختصر حلية طالب العلم ﴾
« باللغة الإندونيسية »


الشيخ بكر بن عبد الله أبو زيد
واختصره  د/محمد بن فهد الودعان


ترجمة:  محمد إقبال أحمد غزالي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو





2010 - 1431

بسم الله الرحمن الرحيم

BEKAL PENUNTUT ILMU

Asy-Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid

          Segala puji bagi Allah SWT semata, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada makhluk-Nya yang terbaik, nabi kitab Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du:
          Tidak disangsikan lagi bahwa menuntut ilmu memiliki adab-adab yang sangat banyak, dan konsekuwensi penuntut ilmu dengan meluruskan langkahnya, sama saja bersama gurunya atau teman-temannya, meringkaskan jalan baginya, membimbingnya menuju keberhasilan dan kesuksesan.
          Kebutuhan penuntut ilmu terhadap adab sama seperti kebutuhan jiwa terhadap udara. Dan dengan adab ia bisa memahami ilmu dan sekadar penghormatan murid terhadap gurunya, ia mengambil manfaat dari ilmunya.
          Syari'at yang suci sungguh mendorong untuk berhias diri dengan akhlak dan adab yang indah, dan menjelaskan bahwa ia adalah tanda ahli islam, dan sesungguhnya tidak bisa mencapai ilmu kecuali orang yang berhias dengan adabnya, menjauhi sifat keburuk nya. Karena hal inilah para ulama memberikan perhatian khusus terhadapnya dengan mengarang dan menyusun. Mereka menyampaikan (mentalqin) adab-adab tersebut kepada para muridnya di majelis ilmu. Maka bersambunglah kesungguhan mereka dari generasi ke generasi, dalam mewariskan ilmu, maka mereka mendapatkan berkahnya dengan duduk bersama ahlinya dan berhias diri dengan adabnya.
          Dan tatkala saya duduk bersama saudara saya Syaikh DR. Ibrahim bin Fahd al-Wad'an waffaqahullah, ia sedang mendengarkan kaset rekaman Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah yang mensyarahkan kitab 'Hilyatu Thalibi Ilm' karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, tiba-tiba ia berkata: sesungguhnya syarah (penjelasan) kitab ini cukup panjang dan hal itu tidak lain kecuali disebabkan besarnya kitab yang ia baca dan ia berharap agar diringkas supaya lebih mudah dipahami, agar pemula bisa mengambil faedah dan seorang alim pun tetap membutuhkannya. Maka pemikiran itu terus beredar dalam benakku untuk meringkas kitab ini agar mudah memahaminya dan santri (penuntut ilmu) bisa mengingat judul-judul utamanya hingga melekat dalam ingatannya, memahaminya sejak pertama mempelajarinya sehingga makin luas pemahamannya, berkembang kemampuannya dalam memahami terhadap kitab tersebut.
          Hal itu mendorong saya menulis ringkasan ini, sekadar mengingat yang alim terhadap apa yang telah dia capai dan memperingatkan para santri (penuntut ilmu) tentang sesuatu yang harus dia ketahui. Semoga Allah SWT memberi taufik kepada kita untuk memperoleh ilmu dan mengamalkannya serta menyampaikan agar kita mendapatkan ridha-Nya sebagai harapan terakhir.
Muhammad bin Fahd al-Wad'an
Riyadh, 10/05/1428 H.













PASAL PERTAMA
ADAB PENUNTUT ILMU DALAM DIRINYA SENDIRI

1.       Ilmu adalah ibadah:
          Dasar dari segala dasar dalam 'bekal', bahkan untuk segala perkara yang dicari adalah engkau mengetahui bahwa ilmu adalah ibadah, dan atas dasar itu maka syarat ibadah adalah:
1)     Ikhlas karena Allah SWT, berdasarkan firman Allah SWT: 
وَمَآ أُمِرُوْ~ا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ
          Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus,. (QS. al-Bayyinah:5)
Dan dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: 'Sesungguhnya segala amal disertai niat...'
Maka jika ilmu sudah kehilangan niat yang ikhlas, ia berpindah dari ketaatan yang paling utama kepada kesalahan yang paling rendah dan tidak ada sesuatu yang meruntuhkan ilmu seperti riya, sum'ah dan yang lain nya.
          Atas dasar itulah, maka engkau harus membersihkan niatmu dari segala hal yang mencemari kesungguhan menuntut ilmu, seperti ingin terkenal dan  melebihi teman-teman. Maka sesungguhnya hal ini dan semisalnya, apabila mencampuri niat niscaya ia merusaknya dan hilanglah berkah ilmu. Karena inilah engkau harus menjaga niatmu dari pencemaran keinginan selain Allah SWT, bahkan engkau menjaga daerah terlarang.
2)     Perkara yang menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat: yaitu cinta kepada Allah SWT dan rasul-Nya dan merealisasikannya dengan mutaba'ah dan mengikuti jejak langkah beliau.


2.      Jadilah engkau seorang salafi:
          Jadikanlah dirimu seorang salafi yang sungguh-sungguh, jalan salafus shalih dari kalangan sahabat radhiyallahu 'anhum dan generasi selanjutnya yang mengikuti jejak langkah mereka dalam semua bab agama dalam bidang tauhid, ibadah dan lainnya.

3.      Selalu takut kepada Allah SWT:
          Berhias diri dengan membangun lahir dan batin dengan sikap takut kepada Allah SWT, menjaga syi'ar-syi'ar islam, menampakkan sunnah dan menyebarkannya dengan mengamalkan dan berdakwah kepadanya.
          Hendaklah engkau selalu takut kepada Allah SWT dalam kesendirian dan bersama orang banyak. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang takut kepada Allah SWT, dan tidak takut kepada-Nya kecuali orang yang berilmu. Dan jangan hilang dari ingatanmu bahwa seseorang tidak dipandang alim kecuali apabila ia mengamalkan, dan seorang alim tidak mengamalkan ilmunya kecuali apabila ia selalu takut kepada Allah SWT.

4.      Senantiasa muraqabah:
          Berhias diri dengan senantiasa muraqabah kepada Allah SWT dalam kesendirian dan kebersamaan, berjalan kepada Rabb-nya di antara sikap khauf (takut) dan raja` (mengharap), bagi seorang muslim kedua sifat itu bagaimana dua sayap bagi burung.

5.      Merendahkan diri dan membuang sikap sombong dan takabur:
          Hiasilah dirimu dengan adab jiwa, berupa sikap menahan diri dari meminta, santun, sabar, tawadhu terhadap kebenaran, sikap tenang dan rendah diri, memikul kehinaan menuntut ilmu untuk kemuliaan ilmu, berjuang untuk kebenaran. Jauhilah sikap sombong, sesungguhnya ia adalah sikap nifak dan angkuh. Salafus shalih sangat menjauhi sikap tercela tersebut.
          Jauhilah penyakit sombong, maka sesungguhnya sikap sombong, tamak dan dengki  adalah dosa pertama yang dilakukan terhadap Allah SWT. Sikap congkakmu terhadap gurumu adalah sikap sombong. Sikap engkau meremehkan orang yang memberi faedah kepadamu dari orang yang lebih rendah darimu adalah sikap sombong. Kelalainmu dalam mengamalkan ilmu merupakan tanda kesombongan dan tanda terhalang.

6.      Qana'ah dan zuhud:
          Berbekal diri dengan sikap qana'ah (merasa cukup dengan yang ada) dan zuhud. Hakikat zuhud adalah: Enggan terhadap yang haram, menjauhkan diri dari segala syubhat dan tidak mengharapkan apa yang miliki orang lain. Dan atas dasar itulah, hendaklah ia sederhana dalam kehidupannya dengan sesuatu yang tidak merendahkannya, di mana dia dapat menjaga diri dan orang yang berada dalam tanggungannya, dan tidak mendatangi tempat-tempat kehinaan.

7.      Berhias diri dengan keindahan ilmu:
          Diam yang baik dan petunjuk yang shalih berupa ketenangan, khusyuk, tawadhu', tetap dalam tujuan dengan membangun lahir dan batin dan meninggalkan yang membatalkannya.

8.      Berbekal diri dengan sikap muru`ah:
          Berbekal diri dengan sikap muru`ah dan yang membawa kepadanya berupa akhlak yang mulia, bermuka manis, menyebarkan salam, sabar tergadap manusia, menjaga harga diri tanpa bersikap sombong, berani tanpa sikap fanatisme, bersemangat tinggi bukan atas dasar kebodohan.
          Oleh karena itu, tinggalkanlah sifat yang merusak muru`ah (kesopanan) berupa pekerjaan yang hina atau teman yang rendah seperti sifat ujub, riya, sombong, takabur, merendahkan orang lain dan berada di tempat yang meragukan.

9.         Bersikap jantan termasuk sikap berani.
          Keras dalam kebenaran dan akhlak yang mulia, berkorban di jalan kebaikan sehingga harapan orang menjadi terputus tanpa keberadaanmu.
          Atas dasar itu, hindarilah lawannya berupa jiwa yang lemah, tidak penyabar, akhlak yang lemah, maka ia menghancurkan ilmu dan memutuskan lisan dari ucapan kebenaran.

10.           Meninggalkan kemewahan:
          Jangan terlalu berlebihan dalam kemewahan, maka sesungguhnya 'kesederhanaan termasuk bagian dari iman', ingatlah wasiat Umar bin Khathab RA: 'Jauhilah kenikmatan, pakaian bangsa asing, dan bersikaplah sederhana dan kasar...'
          Atas dasar itulah, maka jauhilah kepalsuan peradaban, sesungguhnya ia melemahkan tabiat dan mengendurkan urat saraf, mengikatmu dengan benang ilusi. Orang-orang yang serius sudah mencapai tujuan mereka sedangkan engkau tetap berada di tempatmu, sibuk memikirkan pakaianmu...
          Hati-hatilah dalam berpakaian karena ia mengungkapkan pribadimu bagi orang lain dalam berafiliasi, pembentukan dan perasaan.  Manusia mengelompokkan engkau dari pakaianmu. Bahkan, tata cara berpakain memberikan gambaran bagi yang melihat golongan orang yang berpakaian berupa ketenangan dan berakal, atau keulamaan atau kekanak-kanakan dan suka menampilkan diri.
          Maka pakailah sesuatu yang menghiasimu, bukan merendahkanmu, tidak menjadikan padamu ucapan bagi yang berkata (maksudnya, orang lain tidak memberikan komentar, pent.) dan ejekan bagi yang mengejek.
          Jauhilah pakaian kekanak-kanakan, tidak berarti kamu memakai pakaian yang tidak jelas, akan tetapi sederhana dalam berpakaian dalam gambaran syara', yang diliputi tanda yang shalih dan petunjuk yang baik.

11.     Berpaling dari majelis yang sia-sia:
          Janganlah engkau berkumpul dengan orang-orang yang melakukan kemungkaran di majelis mereka, menyingkap tabir kesopanan. Maka sesungguhnya dosamu terhadap ilmu dan pemiliknya sangat besar.

12.           Berpaling dari kegaduhan
          Memelihara diri dari keributan dan kegaduhan, maka sesungguhnya berada atau suka dalam sebuah kegaduhan atau keributan bertentangan dengan adab menuntut ilmu.

13.           Berhias dengan kelembutan:
          Hendaklah selalu lembut dalam ucapan, menjauhi kata-kata yang kasar, maka sesungguhnya ungkapan yang lembut menjinakkan jiwa yang membangkang.

14.           Berpikir:
          Berhias dengan merenung, maka sesungguhnya orang yang merenung niscaya mendapat, dan dikatakan: renungkanlah niscaya engkau mendapat.

15.           Teguh dan kokoh:
          Berhiaslah dengan sikap teguh dan kokoh, terutama di dalam musibah dan tugas penting. Dan di dalamnya: sabar dan teguh di saat tidak bertemu dalam waktu yang lama dalam menuntut ilmu dengan para guru, maka sesungguhnya orang yang teguh akan tumbuh.




PASAL KEDUA
TATA CARA MENUNTUT DAN MENGAMBIL ILMU

16.    Tata cara menuntut ilmu dan tingkatannya:
          'Barangsiapa yang tidak mantap dalam ilmu dasar niscaya ia terhalang untuk sampai' dan 'barangsiapa yang mencari ilmu secara menyeluruh niscaya ia akan mendapatkan nya secara menyeluruh',  dan atas dasar itulah maka harus memulai dari dasar bagi setiap bidang ilmu yang dituntut, dengan cara mencatat dasar dan kesimpulannya di hadapan syaikh yang baik.
          Firman Allah SWT:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً
          Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. al-Isra:106)

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً
          Berkatalah orang-orang kafir:"Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. al-Furqan:32)
          Ada beberapa hal yang harus kamu perhatikan di dalam setiap mata pelajaran yang kamu tuntut:
1.                 Menghapal mukhtashar (ringkasan).
2.                 Mempelajarinya di hadapan guru yang pandai.
3.                 Tidak menyibukkan diri dengan kitab besar dan berbagai macam kitab sebelum mempelajari dan mantap dalam ilmu dasarnya.
4.                 Jangan berpindah dari satu kitab mukhtashar (ringkas) kepada kitab     lain tanpa alasan. Ini termasuk pengganggu.
5.                 Mencatat faedah ilmiyah.
6.                 Menyatukan jiwa untuk menutut ilmu dan mempelajari nya, dan bersungguh-sungguh untuk mendapat ilmu dan mencapai yang          lebih di atas, sehingga ia bisa mempelajari kitab-kitab besar dengan    cara yang benar.
          Dan ketahuilah, sesungguhnya menyebutkan kitab-kitab ringkas sampai kitab-kitab besar yang menjadi dasar dalam menuntut ilmu dan mempelajarinya di hadapan syaikh, biasanya berbeda satu daerah/negara dengan negara yang lain, menurut perbedaan mazhab serta berdasarkan pengalaman belajar para ulama di daerah tersebut.
          Para ulama di negara ini (kerajaan Saudi Arabia-KSA) melewati tiga tingkatan dalam belajar di hadapan para guru dalam pengajian di masjid-masjid: mubtadiin (pemula), kemudian mutawassith (pertengahan), kemudian mutamakkin (pemantapan).
          Dalam belajar tauhid: tsalatsatu ushul wa adillatuha (tiga dasar dan dalil-dalilnya), qawa`id arba' (empat kaidah), kemudian kasyfu syubuhat (menyingkap syubhat), kemudian kitab tauhid.
          Dalam belajar tauhid asma dan sifat: aqidah wasithiyah, kemudian al-Hamawiyah dan Tadmuriyah, lalu Thahawiyah bersama syarahnya.
          Dalam mata pelajaran nahwu: al-Jurumiyah, kemudian Mulihatul i`rab karya al-Hariri, kemudian Qathrun nida` karya Ibnu Hisyam dan Alfiyah Ibnu Malik bersama syarahnya karya Ibnu Aqil.
          Dalam bidang hadits: Arba`in an-Nawawiyah, kemudian Umdatul Ahkam karya al-Maqdisi, kemudian Bulughul Maram karya Ibnu Hajar dan al-Muntaqa karya al-Majd Ibnu Taimiyah.
          Dalam bidang Mushthalah: Nukhbatul Fikr karya Ibnu Hajar kemudian Alfiyah al-Iraqi.
          Dalam bidang fiqih misalnya: Adabul masyyi ila shalah, kemudian Zadul Mustaqna` karya al-Hajawi, atau 'Umdatul Fiqh, kemudian al-Muqni` untuk mempelajari khilaf dalam mazhab, dan al-Mughni untuk mempelajari perbedaan yang lebih tinggi.
          Dalam Ushul Fiqh: al-Waraqat karya al-Juwaini, kemudian Raudhatun Nadhir karya Ibnu Quddamah.
          Dalam ilmu faraidh: ar-Rahbiyah, kemudian bersama syarahnya, dan Fawaid Jaliyah.
          Dalam tafsir: tafsir Ibnu Katsir.
          Dalam ushul tafsir: al-Muqaddimah karya Ibnu Taimiyah.
          Dalam sirah: Mukhtashar sirah nabawiyah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan asalnya karya Ibnu Hisyam, dan dalam Zadul Ma'ad karya Ibnul Qayyim.
          Dalam bidang lisanul arab (bahasa arab): banyak mempelajari syair-syairnya seperti Mu`allaqat sab`, membaca qamus al-Muhith karya Fairuzabadi. Rahmatullahi 'alaihim jami`an.

17.           Mengambil ilmu dari para ulama:
          Dasar dalam menuntut ilmu adalah dengan cara talqin dan talaqqi (belajar langsung) dari para ulama, mengambil dari mulut para masyayikh, bukan langsung dari tulisan dan kitab.
          Auza`i berkata: ilmu ini (syari'at) sangat mulia, satu sama lain saling belajar silih berganti, maka tatkala masuk dalam kitab, masuklah di dalamnya yang bukan ahlinya.


PASAL KETIGA
ADAB PENUNTUT ILMU BERSAMA GURUNYA

18.    Menjaga kehormatan guru:
          Sudah diketahui bahwa ilmu tidak diambil dari kitab secara langsung, tetapi harus lewat guru yang memantapkan kepadanya kunci-kunci menuntut ilmu, agar aman dari kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu engkau harus menjaga kehormatan guru, sungguh hal itu adalah tanda keberhasilan. Hendaklah gurumu menjadi tempat penghormatan dan penghargaan darimu. Beradablah saat engkau duduk dan berbicara bersamanya, bertanya dan mendengar dengan baik. Beradab dengan baik saat membolak-balikan kitab di hadapannya, meninggalkan perdebatan di hadapannya. Tidak mendahuluinya saat berbicara, atau berjalan, atau banyak berbicara di sisinya, atau ikut campur dalam pembicaraan dan mengajarnya dengan ucapan darimu. Jangan terlalu banyak bertanya, terutama saat di tengah orang banyak.
          Janganlah engkau memanggil namanya secara langsung atau bersama gelarnya, seperti ucapanmu: wahai syaikh fulan. Tetapi katakanlah: wahai guruku, atau guru kami, maka janganlah engkau menyebut namanya. Sungguh hal itu lebih beradab. Janganlah engkau memanggilnya dengan taa khithab (engkau) atau memanggilnya dari jauh saat tidak terpaksa.
          Hendaklah engkau selalu menghormati majelis dan menampakan kegembiraan belajar dan mengambil faedah dengannya.
          Apabila nampak kesalahan atau waham guru maka janganlah hal itu menjatuhkan dia dari matamu, maka ia bisa menyebabkan engkau terhalang dalam mendapatkan ilmunya. Siapakah yang bisa selamat dari kesalahan?
          Janganlah engkau menggangunya seperti menguji syaikh terhadap kemampuan ilmu dan hapalannya. Apabila engkau ingin berpindah kepada guru yang lain maka meminta ijinlah kepadanya, maka hal itu lebih mendorong untuk menghormatinya dan membuat dia lebih mencintaimu.
          Ketahuilah, sesungguhnya sekadar penghormatanmu kepadanya sekadar itulah keberhasilan dan kesuksesanmu, dan begitu pula sebaliknya.

19.    Modal hartamu dari gurumu:
          Mengikuti akhlaknya yang shalih dan kemuliaan adabnya. Adapun menerima ilmu maka ia adalah keuntungan tambahan. Akan tetapi janganlah rasa cinta kepada gurumu membuatmu gegabah, lalu engkau terjerumus dalam hal yang memalukan dari sisi yang tidak engkau ketahui, dan setiap orang yang melihatmu mengetahui. Maka janganlah engkau meniru suara dan iramanya, jangan pula jalan, gerakan dan kelakuannya. Maka sesungguhnya ia menjadi syaikh besar dengan hal itu, maka janganlah engkau terjatuh dengan mengikutinya dalam hal ini.

20.           Ketekunan syaikh dalam mengajarnya
          Ketekunan syaikh dalam mengajarnya adalah menurut kadar kemampuan murid dalam mendengarkan dan konsentrasinya bersama gurunya dalam belajar. Karena itulah, jangan sampai engkau menjadi sarana memutuskan ilmunya dengan sikap malas, lesu, bersandar, dan berpaling hati darinya.

21.           Menulis dari guru saat belajar dan muzakarah:

          Cara penyampaian itu berbeda-beda dari satu guru dengan guru yang lain, maka pahamilah. Dan untuk hal ini ada adab dan syarat. Adapun adab, maka sepantasnya engkau memberi tahu kepada gurumu bahwa engkau akan menulis, atau engkau menulis yang telah engkau dengar saat muzakarah. Adapun syarat, maka engkau mengisyaratkan bahwa engkau menulis  dari mendengar pelajarannya.

22.           Menerima ilmu dari ahli bid'ah:
          Hati-hatilah terhadap ahli bid'ah yang tercemar kesesatan aqidah, diliputi oleh awan khurafat, berhukum kepada hawa nafsu dan menamakannya akal, serta berpaling dari nash.
          Apabila engkau mempunyai pilihan lain, maka janganlah engkau mengambil ilmu dari ahli bid'ah: Rafidhi (Syi'ah), atau Khawarij, atau Murji`ah, atau Qadariyah, atau pengagung kubur...
          Para salaf sangat menolak ahli bid'ah dan bid'ahnya, memperingatkan bergaul dengan mereka, berdiskusi bersama mereka, makan bersama mereka, maka janganlah tercampur antara api sunni dengan bid'ah.
          Di antara kaum salaf ada yang tidak mau menshalati jenazah ahli bid'ah, ada yang melarang shalat di belakang mereka, dan para salaf mengusir ahli bid'ah dari majelis mereka. Dan cerita dari kaum salaf sangat banyak tentang sikap mereka terhadap ahli bid'ah, karena khawatir terhadap kejahatan mereka, menghalangi tersebarnya bid'ah mereka, dan untuk mematahkan semangat mereka agar tidak menyebarkan bid'ahnya.
          Jadilah engkau seorang salaf yang sungguh-sungguh dan hindarilah fitnah ahli bid'ah. Adapun jika engkau belajar di sekolah yang engkau tidak bisa memilih, maka berhati-hatilah darinya serta berlindung dari kejahatannya dan selalu waspada dari penyusupannya. Tidak ada kewajiban atasmu selain menjelaskan perkaranya, menjaga diri dari kejahatannya, dan membuka tabirnya.
          Apabila engkau telah mempunyai ilmu yang mantap, maka tekanlah ahli bid'ah dan perbuatan bid'ahnya dengan lisan hujjah dan dalil. Wassalam.

PASAL KEEMPAT
ADAB BERTEMAN

23.           Berhati-hati terhadap teman yang jahat:
          Sebagaimana keturunan yang bisa menular, maka begitu juga sesungguhnya adab yang buruk juga bisa menular, karena perilaku bisa berpindah, tabiat bisa mencuri, dan manusia sama seperti rombongan burung kecil yang dibentuk untuk meniru satu sama lain. Maka berhati-hatilah dari pergaulan bersama orang yang seperti itu, maka sesungguhnya ia sangat halus. Pilihlah untuk persahabatan orang yang membantumu mencapai tujuanmu, mendekatkan engkau kepada Rabb-mu, menyetujui di atas kemuliaan tujuanmu. Dan carilah teman dengan  teliti, karena teman itu ada tiga:
1.     Teman manfaat.
2.     Teman kenikmatan
3.     Teman kemuliaan.
          Dua macam teman yang pertama terputus dengan terputusnya kepentingan; Manfaat pada yang pertama dan kenikmatan pada yang kedua. Adapun yang ketiga maka peganglah erat-erat, karena ia adalah yang membangkitkan persahabatan dan saling meyakini tertanamnya keutamaan antara yang satu dengan yang lain. Dan teman utama ini adalah 'pekerjaan susah' yang tidak mudah mendapatkannya.

PASAL KEENAM
ADAB PENUNTUT ILMU DALAM KEHIDUPAN ILMIYAHNYA

24.           Semangat tinggi dalam ilmu:
          Antara tabiat Islam adalah berhias diri dengan semangat tinggi, dalam ilmu maka ia akan memberimu (dengan ijin Allah SWT) kebaikan yang tidak terputus, agar engkau naik pada derajat yang sempurna. Maka mengalirlah di dalam pembuluh darah (urat) yaitu darah kecerdasan, dan melompat di lapangan ilmu dan amal.
          Janganlah engkau melakukan kesalahan, lalu engkau campur adukan di antara semangat tinggi dan kesombongan, semangat tinggi adalah hiasan warisan para nabi dan sombong adalah penyakit orang yang sakit dengan penyakit orang-orang yang angkuh.
25.           Bergairah dalam menuntut ilmu:
          Engkau harus memperbanyak warisan Nabi muhammad SAW dan kerahkanlah kemampuanmu dalam menuntut ilmu dan mencari, sebanyak apapun ilmu yang ada padamu. Ingatlah: Berapa banyak yang ditinggalkan generasi terdahulu untuk generasi berikutnya."
26.           Melakukan perjalanan jauh dalam menuntut ilmu:
          Barangsiapa yang tidak melakukan perjalanan jauh dalam menuntut ilmu untuk mencari para ulama dan mengambil ilmu dari mereka, maka ia tidak pantas untuk dituju kepadanya (untuk diambil ilmunya): karena para ulama tersebut telah melewati waktu lama dalam belajar dan mengajar: mereka mempunyai tahrirat (editan), catatan, kutipan-kutipan ilmu, dan pengalaman yang susah didapatkan atasnya atau bandingannya di dalam kitab-kitab. Janganlah engkau mengambil ilmu dari para sufi  yang lebih mengutamakan ilmu (yang aneh) terhadap ilmu (yang ada dalam kitab).
27.           Menjaga ilmu secara tertulis:
          Usahakanlah selalu menjaga ilmu (menyimpan kitab) karena mengikat ilmu dengan tulisan yang aman dari pada tersia-sia, memendekkan jarak saat membutuhkan, terutama faedah-faedah yang berharga, masalah-masalah yang berada di tempat yang tidak biasanya, permata-permata yang bertebaran yang engkau lihat dan dengar, karena khawatir akan terlupakan. Sesungguhnya hapalan melemah dan lupa selalu datang.  Apabila terkumpul padamu berbagai macam catatan, maka kumpulkanlah dalam catatan khusus sesuai judulnya. Sesungguhnya ia membantumu di saat mendesak yang terkadang susah didapatkan dari orang lain.
28.           Menjaga ri'ayah: 
          Usahakanlah menjaga ilmu (menjaga secara ri'ayah) dengan mengamalkan dan mengikuti. Engkau harus memurnikankan niatmu dalam menuntutnya. Jangalah engkau menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Jauhilah sikap sombong dan bangga dengannya. Jadikanlah hapalanmu dalam hadits sebagai hapalan ri'ayah bukan menghapal riwayat. Sudah seharusnya penuntut ilmu tampil berbeda dalam berbagai aspek kehidupannya dari kalangan awam dengan mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah SAW sejauh mungkin dan mempraktekkan sunnah-sunnah terhadap dirinya.
29.           Menjaga hapalan: 
          Jagalah ilmu yang engkau dapatkan dari waktu ke waktu, sesungguhnya tidak menjaga ilmu adalah pertanda hilangnya ilmu tersebut. Apabila al-Qur`an yang mudah untuk dihapal bisa hilang jika tidak dipelihara, maka bagaimana dengan ilmu-ilmu lainnya? Sebaik-baik ilmu adalah yang didhabit (dicatat, dijaga) dasarnya dan diulang-ulangi cabangnya, membawa kepada Allah SWT dan menuntun kepada ridha-Nya.
30.           Memahami dengan mentakhrij (mengeluarkan) cabang di atas dasar:   Dalam hadits Ibnu Mas'ud RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Semoga Allah SWT memberi cahaya kepada seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu menghapalnya, lalu menyampaikannya seperti yang didengarnya. Berapa banyak orang yang membawa/menghapal fiqh namun bukan seorang ahli fiqih, dan berapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih fiqih darinya." Ibnu Khair rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini menjelaskan bahwa fiqih adalah istinbath (menarik kesimpulan) dan mendapatkan pengertian ucapan lewat jalur pemahaman. Dan dalam hal ini merupakan penjelasan kewajiban memahami, meneliti makna hadits, dan mengeluarkan yang tersembunyi dari rahasianya.'  Ketahuilah, sebelum memahami harus terlebih dahulu memikirkan dengan melakukan pemikiran mendalam dalam kerajaan langit dan bumi, hingga seseorang memikirkan pada dirinya dan apa yang ada di sekitarnya. Kamu harus memahami nash syara' dan memikirkan apa yang meliputi tasyri', merenungkan maqashid (tujuan) syari'at. Seorang faqih adalah orang yang menghadapi peristiwa yang tidak ada nash padanya maka ia mengambil hukum baginya.
31.           Kembali kepada Allah SWT dalam menuntut dan mencari:
          Janganlah engkau merasa gelisah apabila belum dibukakan ilmu untukmu. Terkadang sebagian ilmu tidak bisa masuk karena terhalang nama-nama yang terkenal. Wahai penuntut ilmu, lipat gandakanlah keinginan, bersimpuhlah kepada Allah SWT dalam berdoa dan kembali kepada-Nya.
32.           Amanah ilmiyah:
          Penuntut ilmu harus berakhlak setinggi mungkin dengan amanah ilmiyah dalam menuntut ilmu, memikul (menghapal), mengamalkan, menyampaikan dan mengajar. Maka sesungguhnya keberuntungan suatu umat berada dalam kebaikan amal perbuatannya, dan kebaikan amal perbuatannya ada dalam kebenaran ilmunya, dan kebenaran ilmunya tergantung pada rijalnya (pembawanya) yang amanah pada sesuatu yang mereka riwayatkan atau mereka gambarkan.
33.           Jujur/benar:
          Jujur lahjah adalah tanda ketenangan, kemuliaan jiwa yang tersembunyi, ketinggian himmah (semangat, cita-cita), dan kematangan aqal. al-Auza'i berkata: 'Belajarlah kejujuran sebelum belajar ilmu.' Shidq (benar, jujur) adalah: menyampaikan ucapan sesuai realita dan kayakinan. Jujur, benar itu hanya ada dalam satu jalur. Adapun lawannya yaitu bohong/dusta maka ada tiga:
a.     Dusta penjilat: yaitu yang menyalahi realita dan keyakinan, seperti orang yang menjilat kepada orang yang dikenalnya seorang yang fasik atau ahli bid'ah, lalu ia menggambarkannya sebagai orang yang istiqamah.
b.     Dusta munafik: yaitu yang menyalahi keyakinan dan tidak sesuai realita, seperti orang munafik yang bertutur seperti yang dikatakan Ahlus Sunnah.
c.      Dusta orang yang bodoh: yaitu yang tidak sesuai realita dan sesuai keyakinan, seperti orang yang meyakini kebenaran ajaran kaum sufi dan bid'ah, lalu ia mengganggapnya sebagai wali. Wahai penuntut ilmu, waspadalah keluarnya engkau dari kebenaran/kejujuran kepada kebohongan.
34.           Perisai penuntut ilmu: yaitu 'tidak tahu', karena ia adalah setengah ilmu. Maka setengah bodoh adalah 'kata orang' dan 'saya kira'.
35.           Menjaga modal hartamu (detik-detik usiamu):
          Ambilah waktumu untuk mendapatkan ilmu. Jadilah engkau sekutu beramal, bukan sekutu penganggur. Jagalah waktu dengan sungguh-sungguh, selalu menuntut ilmu, senantiasa bersama para syaikh, sibuk menuntut ilmu dengan membaca, membacakan, muthala'ah, tadabbur, menghapal dan meneliti, terutama di masa muda. Mamfaatkanlah kesempatan yang sangat mahal ini agar engkau mendapatkan tingkatan ilmu yang tinggi. Hindarilah menunda-nunda seperti setelah selesai pekerjaan ini, setelah pensiun, tetapi bersegeralah. Jika engkau mengamalkannya maka merupakan bukti bahwa engkau memikul 'semangat besar dalam ilmu'.

36.           Rileks (menenangkan jiwa):
          Ambilah sebagian waktumu untuk istirahat dalam taman ilmu dari kitab-kitab pengetahuan umum, sesungguhnya hati memerlukan sedikit istirahat (rileks). Dari Ali bin Thalib RA berkata: 'Istirahatkanlah hati ini, sesungguhnya ia bisa merasa bosan sebagaimana badan merasa bosan."
37.           Membaca sambil mentashhih (membetulkan) dan dhabith (mencatat):           Berusahalah untuk membaca dengan mentashhhih dan mencatat di hadapan guru (syaikh) yang ahli, agar engkau aman dari tahrif (penyimpangan), tashhihf (kesalahan tulisan, cetak), kekeliruan dan waham.
38.           Meringkas kitab-kitab besar: termasuk yang paling penting untuk memperluas pengetahuan, memperdalam pemahaman, mengeluarkan faedah yang tersimpan, dan mengenal metode para pengarang dalam karangan dan istilah mereka padanya.
39.           Pertanyaan yang baik:
          Hendaklah selalu beradab dalam bertanya, sesungguhnya ia termasuk pertanyaan yang baik, lalu mendengarkan, lalu pemahaman yang benar terhadap jawaban. Apabila telah dijawab, jangan sampai engkau mengatakan: akan tetapi ya syaikh, fulan berkata kepadaku seperti ini, atau ia berkata seperti. Maka sesungguhnya ini termasuk kurang dalam adab dan mengadu domba ulama satu sama lain. Jika engkau harus melakukan maka katakanlah: 'Apakah pendapatmu tentang fatwa seperti ini, dan jangan engkau menyebutkan nama seseorang.
40.           Bertukar pendapat tanpa berdebat (tanpa tujuan):
          Jauhilah perdebatan tanpa akhir, sesungguhnya ia adalah siksaan. Adapun bertukar pendapat (berdebat) dalam kebenaran maka sungguh ia adalah nikmat dan padanya menampakkan kebenaran di atas kebatilan, yang rajih atas yang marjuh. Ia dibangun atas dasar saling menasehati, santun, dan menyebarkan ilmu. Adapun perdebatan (tanpa tujuan) dalam diskusi maka sesungguhnya ia adalah pertengkaran dan riya, suara hiruk pikuk dan kesombongan, saling mengalahkan dan pertengkaran.
41.           Mudzakarah ilmu:
          Nikmatilah bersama para ahli dengan mudzakarah, sungguh ia berada di tempat yang melebih muthala'ah, mengisi hati, menguatkan ingatan, selalu netral dan santun, jauh dari penyimpangan dan resiko. Dan engkau mudzakarah bersama dirimu sendiri dalam memecahkan masalah
42.           Penuntut ilmu hidup di antara al-Qur`an dan sunnah serta ilmu-ilmu yang terkait dengan keduanya: keduanya bagi penuntut ilmu bagaikan sayap, maka hati-hatilah, jangan sampai engkau kehilangan sayap.
43.           Melengkapi ilmu pengantar (ilmu alat) setiap bidang ilmu:
          Engkau tidak akan bisa menjadi penuntut ilmu yang ahli lagi menguasai berbagai bidang ilmu selama engkau belum melengkapi alat-alat disiplin ilmu tersebut. Maka dalam ilmu fiqh di antara fiqh dan ushulnya, di dalam hadits di antara ilmu riwayah dan dirayah,,, dan seterusnya. Dan jika tidak demikian maka engkau tidak akan berhasil.

PASAL YANG KEENAM
BERHIAS DIRI DENGAN AMAL IBADAH
44.           Di antara tanda ilmu yang bermanfaat: 
a.     Mengamalkannya.
b.     Tidak suka sanjungan dan pujian serta tidak sombong terhadap orang lain.
c.      Engkau bertambah tawadhu' (rendah diri) setiap kali bertambah ilmu.
d.     Menghindar dari suka pujian, terkenal dan dunia.
e.     Tidak mengaku punya ilmu.
f.       Berburuk sangka terhadap diri sendiri dan berbaik sangka (husnuzh Zhan) terhadap orang lain.
45.           Mengeluarkan zakat ilmu:
          Tunaikan zakat ilmu untuk menyampaikan kebenaran, menyuruh yang ma'ruf, melarang yang mungkar, menjaga keseimbangan di antara mashlahat dan madharrat, menyebarkan ilmu, menyukai manfaat, memberikan syafaat bagi kaum muslimin dalam kebenaran dan kebaikan.
          Berusahalah menjaga pakaian (bekal) ini, ia merupakan pokok buah ilmu yang engkau dapatkan. Dan karena kemuliaan ilmu, maka ia menjadi bertambah karena diinfakkan dan berkurang karena disimpan, dan penyakitnya adalah disembunyikan. Dan janganlah karena alasan zaman yang sudah rusak, banyak orang fasik, nasehat tidak berfaedah mendorong engkau untuk tidak menunaikan kewajiban berdakwah. Maka jika engkau melakukan hal itu, maka ia merupakan perbuatan yang diinginkan oleh orang-orang fasik untuk bisa keluar meninggalkan keutamaan dan mengangkat bendera kehinaan.
46.           Izzatul ulama (kemuliaan ulama):
          Berhias diri dengan (izzatul ulama): untuk menjaga ilmu dan mengagungkannya. Maka janganlah engkau mau dimanfaatkan oleh orang-orang sombong atau bodoh, maka janganlah engkau lemah dalam berfatwa, atau memutuskan perkara, atau riset, atau ucapan...Maka janganlah engkau berjalan dengannya kepada ahli dunia dan janganlah engkau berdiri di atas pundak mereka, janganlah engkau berikan kepada bukan ahlinya sekalipun tinggi kedudukannya.
          Berilah kenikmatan kepada penglihatan dan mata hatimu dengan membaca biografi dan riwayat para imam yang telah mendahului niscaya engkau melihat padanya pengorbanan jiwa dalam menjaga jalan ini, terutama orang yang menggabungkan contoh teladan dalam hal ini.
47.           Menjaga ilmu:
          Jika engkau telah mendapatkan kedudukan, ingatlah selalu bahwa benang merah yang menyampaikan engkau kepadanya adalah menuntut ilmu. Maka dengan karunia Allah SWT, kemudian karena menuntut ilmu engkau telah mencapai kedudukan dalam mengajar, atau berfatwa, atau qadha, maka berikanlah ilmu sesuai kedudukannya berupa mengamalkannya dan menempatkan di tempat layak.
          Hindarilah jalan orang-orang yang menjadikan dasar (menjaga kedudukan), maka mereka menutup lidah mereka dari perkataan yang benar dan mendorong mereka menyukai wilayah dari mujarah.
48.           Mudarah, bukan mudahanah:
          Mudahanah adalah akhlak yang rendah. Adapun mudarah, maka ia tidak seperti itu. Oleh karena itu janganlah engkau campur adukan di antara keduanya. Maka mudahanah mendorongmu mendatangkan sifat nifak secara terbuka, dan mudahanah itulah yang menyentuh agamamu.
49.           Rindu dengan kitab-kitab: kemuliaan ilmu sudah diketahui karena manfaatnya yang nyata dan sudah menjadi kebutuhan. Karena inilah para penuntut ilmu sangat rindu untuk menuntut ilmu dan rindu untuk mengumpulkan kitab-kitab disertai memilih/menyaring.
50.           Melengkapi maktabahmu:
          Hendaklah engkau memiliki kitab-kitab yang ditulis dengan cara mengambil dalil dan memahami illat-illat hukum, serta mendalami rahasia masalah, dan yang paling utama adalah kitab-kitab karya:
a.     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
b.     Ibnul Qayyim.
c.      Ibnu Abdil Barr, terutama kitab at-Tamhid.
d.     Ibnu Quddamah, terutama kitab al-Mughni.
e.     adz-Dzahabi.
f.       Ibnu Katsir.
g.     Ibnu Rajab.
h.    Ibnu Hajar.
i.       Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
j.       Kitab-kitab ulama dakwah, dan di antara yang menggabungkannya adalah kitab ad-Durarus Saniyah.
k.     ash-Shan'ani, terutama kitab Subulus Salam.
l.       Shidiq Hasan Khan al-Khanuji.
m.  Al-'Allamah Muhammad al-Amin asy-Syanqithi, terutama kitabnya 'Adhwaul Bayan'. Dan kitab-kitab lainya yang sangat banyak.
51.           Berinteraksi dengan kitab: engkau tidak bisa mengambil faedah dari kitab apapun sehingga engkau mengetahui istilah yang digunakan pengarang di dalamnya, dan biasanya muqaddimah mengungkapkan hal itu. Maka mulailah membaca muqaddimah (pengantar) setiap kitab.
52.           Membuka kitab sebelum meletakkannya di perpustakaan:
           Apabila engkau mengoleksi suatu kitab, maka janganlah engkau letakkan di perpustakaanmu  kecuali setelah membukanya, atau membaca pengantarnya, daftar isi dan beberapa tempat darinya. Adapun jika engkau meletakkannya bersama yang lain di perpustakaan, mungkin setelah berlalu beberapa waktu dan usia terus berjalan sedang engkau tidak sempat melihat kitab tersebut.
53.           Menjelaskan penulisan:
          Apabila engkau menulis, maka perjelaslah tulisan dengan menghilangkan ketidakjelasan, dan hal itu dengan berbagai cara:
a.     Tulisan yang jelas.
b.     Tulisanya menurut qaidah imla (penulisan).
c.      Memberikan titik bagi yang bertitik dan menghilangkan titik bagi yang tidak bertitik.
d.     Memberi harakat (baris) bagi yang rumit.
e.     Memberi tanda baca selain al-Qur`an dan hadits.

PASAL KETUJUH
PERINGATAN-PERINGATAN
54.           Mimpi di saat jaga: Hindarilah bermimpi di saat jaga, dan di antaranya adalah bahwa engkau mengaku mengetahui sesuatu yang engkau tidak ketahui, atau menguasai sesuatu yang tidak engkau kuasai. Jika engkau melakukan hal itu maka ia merupakan hijab (penghalang) tebal untuk mendapatkan ilmu.
55.           Janganlah engkau menjadi 'Aba Syibr':
          Dikatakan: ilmu ada tiga jengkal, barangsiapa yang masuk di jengkal pertama niscaya ia sombong, dan barangsiapa yang masuk di jengkal kedua niscaya ia tawadhu' (rendah diri), dan barangsiapa yang masuk di jengkal ketiga niscaya ia mengetahui bahwa ia ia tidak mengetahui.
56.           Maju ke depan (menjadi pemimpin) sebelum ahli:
          Hindarilah maju ke depan sebelum ahli, maka ia merupakan penyakit dalam ilmu dan amal.
57.           Tanammur (seolah-olah ahli) dengan ilmu:        Hindarilah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang bangkrut dalam ilmu, ia muraja'ah satu masalah atau dua masalah. Lalu apabila di satu majelis ada orang yang dijadikan panutan, ia membahas dua masalah itu untuk menampakan ilmunya. Perbuatan ini sangat buruk, setidaknya ia mengetahui bahwa manusia mengetahi hakikatnya.


58.           Tahibir Kaghid (kertas):
          Sebagaimana harus berhati-hati dari karangan yang mengandung bid'ah dan yang akhirnya adalah tahbir kaghid,[1] maka hindarilah mengarang sebelum sempurna alat-alatnya, cukup kemampuanmu, dan matang di atas tangan guru-gurumu.
          Adapun mengarang ilmu yang bermanfaat bagi seseorang yang sudah mampu, sempurna alatnya, luas pengetahuannya, sudah terlatih melakukan riset, muraja'ah, muthala'ah, meringkas yang panjang/besar, menghapal yang ringkas, dan mengingat masalah-masalahnya, maka ia merupakan amal yang paling utama yang dilakukan oleh orang-orang cerdas dari orang-orang yang utama.
59.           Sikapmu terhadap kekeliruan pendahulumu:
       Apabila engkau menemukan kekeliruan seorang ulama maka janganlah engkau merasa senang untuk merendahkannya, akan tetapi berbahagialah dengannya karena meluruskan masalah, mengingatkan kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan seorang imam yang penuh dalam lautan ilmu dan keutamaannya. Akan tetapi tidak membangkitkan fitnah atasnya dengan merendahkannya, maka terperdaya dengannya orang yang awam.
60.           Jauhilah syubhat:
          Hindarilah membangkitkan syubhat dan mendatangkannya atas dirimu atau orang lain. Syubhat itu adalah penculik dan hati itu sifatnya lemah, dan yang paling banyak menyebarkannya adalah ahli bid'ah, maka hindarilah mereka.
61.           Hindarilah lahn (kesalahan ucapan dan bahasa):
          Hindarilah kesalahan dalam ucapan dan tulisan, maka sesungguhnya tidak ada lahn merupakan kebesaran, kebersihan perasaan, berhenti di atas makna yang indah untuk keselamatan susunan kata.
62.           Aborsi pemikiran: Hindarilah aborsi pemikiran dengan mengeluarkan pemikiran sebelum matang.
63.           Israiliyat baru (Neo-Israiliyat):
          Hindarilah israiliyat gaya baru dalam hembusan para orentalis dari kaum yahudi dan kristen, maka lebih berbahaya daripada israiliyat lama. Sebagian kaum muslimin telah mengambil darinya dan yang lain tunduk baginya, maka janganlah engkau terjerumus padanya.
64.           Hindarilah perdebatan bizanthi:
          Maksudnya perdebatan yang mandul atau tidak berarti. Dulu bangsa Bizantium (Roma?) memperdebatkan tentang jenis kelamin malaikat sedangkan musuh sudah berada di pintu gerbang negeri mereka hingga menyerang mereka. Dan petunjuk salaf: Menahan diri dari banyak pertengkaran dan perdebatan, dan sesungguhnya terlalu banyak padanya termasuk tanda sedikit sifat wara'.
65.           Tidak ada kelompok dan tidak pula partai yang diikrarkan sikap wala' dan bara' atasnya:
          Dasar Islam bahwa tidak ada bagi mereka tanda selain Islam dan perdamaian. Wahai penuntut ilmu, semoga Allah SWT memberi berkah padamu dan ilmu engkau, tuntutlah ilmu, amalkanlah, dan berdakwahlah karena Allah SWT menurut metode salaf. Jangalah engkau termasuk orang yang suka keluar masuk dalam jamaah (kelompok-kelompok), maka engkau keluar dari yang luas kepada lobang yang sempit. Islam semuanya adalah untukmu secara sungguh dan manhaj. Semua kaum muslimin adalah jamaah, dan sesungguhnya tangan Allah SWT bersama jamaah. Maka tidak ada kelompok dan tidak pula partai di dalam Islam.
Maka hindarilah (semoga Allah SWT memberi rahmat kepadamu) partai-partai dan kelompok-kelompok yang pengikutnya mengelilinginya. Tidak lain ia menyerupai air mancur, mengumpulkan air  dalam kondisi keruh dan memisahkannya secara sia-sia. Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu, maka ia berada di atas petunjuk Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya radhiyallahu 'anhum.
66.           Pembatal-pembatal bekal ini:
       Ketahuilah, sesungguhnya di antara pembatal 'bekal' ini, yang merusak tatanannya adalah:
1.           Membuka rahasia.
2.           memindah ucapan dari satu golongan kepada golongan yang lain.
3.           Membual dan banyak omong.
4.           Banyak bercanda.
5.           Masuk dalam pembicaraan di antara dua orang.
6.           Dendam.
7.           Dengki.
8.           Buruk sangka.
9.           Duduk bersama ahli bid'ah.
10.      Melangkahkan kaki kepada yang diharamkan.
       Maka hati-hatilah dari dosa-dosa ini dan sejenisnya, pendekkanlah langkahmu dari semua yang diharamkan. Jika engkau lakukan, maka sungguh engkau memiliki iman yang tipis. Maka dimanakah engkau bahwa engkau seorang penuntut ilmu yang diisyaratkan dengan telunjuk, penuh dengan ilmu dan amal.
       Semoga Allah SWT meluruskan langkah, memberikan taqwa kepada kita  semua, baik di dunia maupun akhirat.
       Semoga rahmat dan salam Allah SWT senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
       Dan akhir doa kita adalah 'segala puji hanya bagi Allah SWT Rabb semesta alam.
       Diringkas oleh Muhammad bin Fahd bin Ibrahim al-Wad'an
Riyadh, 1428 H. 


[1] Yaitu kertas, bahasa persia yang menjadi bahasa arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar