Jumat, 31 Desember 2010

Pengantar Ushul Fiqh

“Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan
ilmu ushul fiqh.” (Al-Amidi)
Definisi Ushul Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua
sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh
secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai
disiplin ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya
Al-Ushul
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara
etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala
sesuatu, pondasi, asas, atau akar).
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit. (Ibrahim: 24)
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya:
para ulama mengatakan:
اذك ةيآ باتكلا نم مكحلا اذه لصأ
(Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-
Qur’an).
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum,
sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.

Al-Fiqh
هقفلا   يف   ةغللا  : ملعلا   ءيشلاب   مهفلاو   هل
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman
terhadap sesuatu.
Menurut istilah para ulama:
هقفلا  : ملعلا   ماكحلاب   ةيعرشلا   ةيلمعلا   بستكملا   نم   اهتلدأ   ةيليصفتلا
(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang
diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
مكحلا  : دانسإ   رمأ   ىلإ   رخآ   اباجيإ   وأ   ابلس
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau
penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah
menghukumi dunia bila kita mengatakan dunia ini fana, atau
dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana kepada
dunia atau menafikan sifat kekal darinya.
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah
status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal
sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram,
makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya itu sah, atau batal.
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum
tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya
sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari
dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk
dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari
syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api
itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak
berdasarkan syara’.
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh
hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli
fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia
memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan
mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui
penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah
(praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf,
seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini
hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau
ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan
hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan
dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid
(aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga
harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian
mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau
ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian,
bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan
ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian
dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum
syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke
dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari
kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-
orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278).
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun
besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada
pokok masalah yang bersifat praktis.
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan
oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:
ةفرعم   لئلد   هقفلا   لامجإ   ةيفيكو   ةدافتسلا   اهنم   لاحو   ديفتسملا
(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana
menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh
(bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang
mujtahid).
Penjelasan Definisi
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada
dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan
berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku
untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang
atau kasus tertentu, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar
misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang
tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu
masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci,
mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana
yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan
(mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya
dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan
seterusnya.
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat
mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-
dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali
mendefinisikan ushul fiqh dengan:
ملعلا   دعاوقلاب   ةيلكلا   يتلا   لصوتي   اهب   ىلإ   طابنتسا   ماكحلا   ةيعرشلا   نم   اهتلدأ   ةيليصفتلا
(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk
melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya
yang terinci).
Penjelasan DefinisiKaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap
bagian yang ada di bawahnya.
Contoh kaidah umum:
لصلا   يف   رملا   بوجولل
(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah
mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain
yang menjelaskan maksud lain dari kalimat perintah tersebut.
Misalnya perintah Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 43:
(( اوتآو   ةاكزلا ))
(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap
perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada
ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang
zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut adalah dalil rinci,
sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat
global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil rinci lain yang
sejenis.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang
mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang
shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa
syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad yang
benar sesuai batasan-batasan syariat.
Cakupan Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang
membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul
fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
1. Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum
Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan
(Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
2. Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang
mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan
apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut
sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan
keadilan dan rahmat Allah.
3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang
mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau
makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah
saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami
maksudnya dengan benar jika kita memahami
hubungannya dengan ayat atau hadits lain.
4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang
tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana
solusinya.
5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
Tujuan Ushul Fiqh
ةياغ   وأ   ةرمث   ملع   لوصلا  : لوصولا   ىلإ   ةفرعم   ماكحلا   ةيعرشلا   طابنتسلاب
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah
(tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat
melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i
secara langsung.
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya:
1. Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang
ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.
2. Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
3. Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.
4. Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir
logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.
Sandaran Ushul Fiqh1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan
terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah serta kedudukannya
sebagai sumber hukum/dalil syar’i bersumber dari pengenalan
dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya
yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan
terhadap kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu
dibahas dalam ilmu tauhid.
3. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab,
maka untuk memahami maksud setiap kata atau kalimat di
dalam Al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman
Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama mengatakan bahwa:
رملا   يضتقي   روفلا
(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung
tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli
bahasa mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada
pelayannya: “Ambilkan saya air minum!” lalu pelayan itu
menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.
5. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:
لصلا   يف   رملا   بوجولل
(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya
adalah:
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63)
7. Akal, misalnya kaidah ushul:
اذإ   فلتخا   نادهتجم   يف   مكح   امهدحأف   ئطخم
(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi
suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya adalah
logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang
bertentangan adalah sebuah kemustahilan.
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara
untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul
ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam
(’alim). Jika ia awam maka wajib baginya untuk bertanya:
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu
tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak
boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak
bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu
yang dibenarkan, sebab tidak boleh memutuskan hukum
dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi
mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua
orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini
menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu
‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a’lam.”
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan FiqhPembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i
yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba
seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib,
sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil
yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode
seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i
dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan
konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat
dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad,
dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti
posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis
dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga
lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa,
sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid
dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
[Sumber: www.dakwatuna.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar